Rabu, 24 Desember 2008


Juwono Sudarsono: Jangan Jadi Preman Moral
Rabu, 24 Desember 2008 | 02:57 WIB

Jakarta, Kompas - Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meminta lembaga swadaya masyarakat bisa benar-benar sepenuhnya menerapkan keswadayaan atau kemandirian, terutama terkait pendanaan, sehingga tidak bergantung sepenuhnya pada pendonor asing.

Jika tidak, keberadaan LSM, menurut Juwono, hanya sebatas meneruskan pesan dan isu pesanan dari LSM asing, seperti terjadi dalam sejumlah kasus. Dia menyebutkan, setidaknya LSM mampu mengadakan 20 persen pendanaannya secara mandiri.

Hal itu disampaikan Juwono, Selasa (23/12), di ruang tamu kantornya di Departemen Pertahanan, Jakarta, seusai menemui sejumlah anggota keluarga korban kasus Talangsari, Lampung, dan kasus orang hilang 1997-1998, yang didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.

”Kesan saya, sebagian LSM itu masih banyak yang 80 persen dananya dari asing. Ke sejumlah LSM asing yang pernah datang kemari, seperti Amnesti Internasional atau Human Rights Watch, saya katakan jangan jadi ’preman moral’ atau moral bully,” ujar Juwono.

Menurut Juwono, dengan menjadi ”preman moral” seperti itu, LSM-LSM asing kemudian menjadi merasa paling benar sendiri soal Indonesia. Mereka selalu mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, padahal yang terjadi di sejumlah negara maju sendiri justru kadang terbalik.

Juwono menceritakan, dia pernah mendatangi markas Human Rights Watch saat masih menjabat Duta Besar RI untuk Inggris. Saat itu Pemerintah Inggris, atas desakan LSM di sana, menggugat penggunaan tank jenis Scorpion oleh TNI di Aceh.

Kepada Human Rights Watch, Juwono menegaskan, penggunaan tank oleh TNI di Aceh sah-sah saja mengingat yang dihadapi di daerah tersebut saat itu adalah bentuk perlawanan bersenjata. Para separatis tersebut berupaya ingin memisahkan dan memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara terang-terangan.

”Saya katakan kepada mereka saat itu, apa yang dilakukan TNI tidak beda dengan yang dilakukan di Inggris. Pemerintah Inggris mengirim operasi intelijen bersama polisi ke Irlandia Utara. Tidak beda, kan? Lantas, saya bilang ke Human Rights Watch, mengapa Anda secara munafik menilai yang terjadi di Indonesia salah dan di Inggris tidak?” ujar Juwono.

Juwono meminta semua pihak paham bahwa tidak semua yang terkait sipil pasti prodemokrasi dan semua yang terkait militer pasti selalu melanggar HAM berat.

Selain itu, Juwono juga meminta LSM tidak hanya menjadi semacam ”industri hati nurani”, yang kelangsungan hidupnya bergantung pada kasus-kasus tertentu.

Saat dihubungi secara terpisah, sejumlah aktivis LSM meminta Juwono lebih spesifik menyebut LSM mana yang dia maksud. Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi dan Usman Hamid dari Kontras meminta Menteri Pertahanan tidak menggeneralisasi dan bersikap apriori. Keduanya berpendapat, bahkan negara pun masih bergantung pada pendonor luar negeri.

”Sepanjang bisa dipertanggungjawabkan, akuntabel, dan independen, penggunaan dana dari pendonor asing tak perlu dipersoalkan. Malah pemerintah, kan, jauh lebih besar dalam menerima bantuan asing, yang justru berbentuk utang luar negeri dengan konsekuensi jauh lebih serius,” ujar Agus.

Usman menambahkan, pemerintah jangan menggunakan isu macam itu untuk menghindari kritik dari LSM. Dia memastikan saat ini Kontras bahkan mampu secara swadaya memenuhi lebih dari 20 persen kebutuhan pendanaannya.

Usman menyarankan pemerintah seharusnya bisa konkret ikut membantu. Selama ini sejumlah LSM, seperti Lembaga Bantuan Hukum dan Kontras, secara rutin sudah melakukan advokasi terhadap masyarakat korban pelanggaran HAM. Sayangnya sampai sekarang belum ada inisiatif konkret negara mendanai pemberian bantuan hukum kepada warga negaranya yang buta hukum. (DWA)

LSM Harus Mandiri soal Dana


Juwono Sudarsono: Jangan Jadi Preman Moral
Rabu, 24 Desember 2008 | 02:57 WIB

Jakarta, Kompas - Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meminta lembaga swadaya masyarakat bisa benar-benar sepenuhnya menerapkan keswadayaan atau kemandirian, terutama terkait pendanaan, sehingga tidak bergantung sepenuhnya pada pendonor asing.

Jika tidak, keberadaan LSM, menurut Juwono, hanya sebatas meneruskan pesan dan isu pesanan dari LSM asing, seperti terjadi dalam sejumlah kasus. Dia menyebutkan, setidaknya LSM mampu mengadakan 20 persen pendanaannya secara mandiri.

Hal itu disampaikan Juwono, Selasa (23/12), di ruang tamu kantornya di Departemen Pertahanan, Jakarta, seusai menemui sejumlah anggota keluarga korban kasus Talangsari, Lampung, dan kasus orang hilang 1997-1998, yang didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid.

”Kesan saya, sebagian LSM itu masih banyak yang 80 persen dananya dari asing. Ke sejumlah LSM asing yang pernah datang kemari, seperti Amnesti Internasional atau Human Rights Watch, saya katakan jangan jadi ’preman moral’ atau moral bully,” ujar Juwono.

Menurut Juwono, dengan menjadi ”preman moral” seperti itu, LSM-LSM asing kemudian menjadi merasa paling benar sendiri soal Indonesia. Mereka selalu mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi, padahal yang terjadi di sejumlah negara maju sendiri justru kadang terbalik.

Juwono menceritakan, dia pernah mendatangi markas Human Rights Watch saat masih menjabat Duta Besar RI untuk Inggris. Saat itu Pemerintah Inggris, atas desakan LSM di sana, menggugat penggunaan tank jenis Scorpion oleh TNI di Aceh.

Kepada Human Rights Watch, Juwono menegaskan, penggunaan tank oleh TNI di Aceh sah-sah saja mengingat yang dihadapi di daerah tersebut saat itu adalah bentuk perlawanan bersenjata. Para separatis tersebut berupaya ingin memisahkan dan memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara terang-terangan.

”Saya katakan kepada mereka saat itu, apa yang dilakukan TNI tidak beda dengan yang dilakukan di Inggris. Pemerintah Inggris mengirim operasi intelijen bersama polisi ke Irlandia Utara. Tidak beda, kan? Lantas, saya bilang ke Human Rights Watch, mengapa Anda secara munafik menilai yang terjadi di Indonesia salah dan di Inggris tidak?” ujar Juwono.

Juwono meminta semua pihak paham bahwa tidak semua yang terkait sipil pasti prodemokrasi dan semua yang terkait militer pasti selalu melanggar HAM berat.

Selain itu, Juwono juga meminta LSM tidak hanya menjadi semacam ”industri hati nurani”, yang kelangsungan hidupnya bergantung pada kasus-kasus tertentu.

Saat dihubungi secara terpisah, sejumlah aktivis LSM meminta Juwono lebih spesifik menyebut LSM mana yang dia maksud. Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi dan Usman Hamid dari Kontras meminta Menteri Pertahanan tidak menggeneralisasi dan bersikap apriori. Keduanya berpendapat, bahkan negara pun masih bergantung pada pendonor luar negeri.

”Sepanjang bisa dipertanggungjawabkan, akuntabel, dan independen, penggunaan dana dari pendonor asing tak perlu dipersoalkan. Malah pemerintah, kan, jauh lebih besar dalam menerima bantuan asing, yang justru berbentuk utang luar negeri dengan konsekuensi jauh lebih serius,” ujar Agus.

Usman menambahkan, pemerintah jangan menggunakan isu macam itu untuk menghindari kritik dari LSM. Dia memastikan saat ini Kontras bahkan mampu secara swadaya memenuhi lebih dari 20 persen kebutuhan pendanaannya.

Usman menyarankan pemerintah seharusnya bisa konkret ikut membantu. Selama ini sejumlah LSM, seperti Lembaga Bantuan Hukum dan Kontras, secara rutin sudah melakukan advokasi terhadap masyarakat korban pelanggaran HAM. Sayangnya sampai sekarang belum ada inisiatif konkret negara mendanai pemberian bantuan hukum kepada warga negaranya yang buta hukum. (DWA)

Pamor AS di Arab Memalukan


Rabu, 24 Desember 2008 | 03:08 WIB

Washington, Senin - Popularitas pemerintahan Presiden Amerika Serikat George W Bush di dunia Arab ”tidak terlalu bagus”, apalagi pascaserangan teroris pada 11 September 2001 dan ”perang melawan teror”. Pernyataan itu diutarakan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, Senin (22/12) di Washington.

”Saya mengerti sejarah hubungan antara AS dan dunia Arab dinilai memalukan dan kurang perasaan saling menghargai. Itu terjadi bukan sejak pemerintahan Presiden Bush dan tetap akan begitu meski Presiden Bush tak memimpin,” kata Rice.

Meski demikian, Rice yakin penilaian dunia Arab terhadap pemerintahan Bush akan dapat berubah. Suatu saat nanti, pendirian AS yang selalu mendampingi dan berjuang untuk dunia Arab, kata Rice, akan dihargai. Selama ini, AS berjuang agar Arab memiliki hak yang sama untuk hidup bebas. Itu yang diyakini Rice menjadi dasar penghargaan dunia Arab pada pemerintahan Bush.

Pada saatnya nanti, ujar Rice, sejarah akan memulihkan nama Bush. Salah satu buktinya adalah Irak. Pascainvasi AS ke Irak pada tahun 2003, Irak akan mengubah ”wajah Timur Tengah” dan akan jadi negara demokrasi multietnis yang pertama di dunia Arab. Akan tetapi, di sisi lain, Rice mengakui, proses perdamaian Palestina dan Israel belum meraih kesepakatan seperti yang diinginkan Bush. Namun, situasi keamanan di wilayah itu dianggap AS membaik setelah Bush mulai memimpin. ”Kondisi di Gaza memang gawat, tetapi jika dibandingkan dengan kondisi pada 2001, kondisi yang ada saat ini jauh lebih baik,” kata Rice.

Perang belum berhasil

Perang melawan teror yang dilakukan AS juga belum berhasil menumpas segala jaringan Al Qaeda atau menangkap Osama bin Laden. Namun, kata Rice, koalisi pasukan asing pimpinan AS dan Irak nyaris mengalahkan cabang- cabang Al Qaeda. ”Selama ini kita memenangi banyak pertempuran besar, tetapi peperangan ini tentu saja belum berakhir,” lanjutnya.

Rice mengaku heran, berbagai media masih saja mempertanyakan popularitas AS di mata dunia Arab, apalagi jika dikaitkan dengan insiden pelemparan sepatu oleh wartawan TV di Irak, Muntazer al-Zaidi. ”Apakah Anda kira orang akan ingat peristiwa itu 10 tahun lagi? Yang terpenting, AS berhasil membebaskan Irak dari Saddam Hussein dan mengubah Irak yang tidak akan lagi menyerang negara tetangganya dan mencari senjata pemusnah massal,” kata Rice.

Isu nuklir Iran juga hingga kini belum usai. Sanksi internasional, termasuk AS, terhadap Iran juga tidak bisa menghentikan proyek nuklir Iran. ”Namun, saya rasa Iran sedang menderita. Kita lihat saja nanti sampai seberapa lama Iran bisa bertahan dan seberapa lama pengeluaran biaya program nuklir akan berpengaruh pada kebijakan nuklir Iran. Ekonomi Iran mulai goyah sebelum harga minyak dunia jatuh. Sekarang kita tinggal tunggu seberapa lama mereka bisa bertahan dari sanksi internasional,” kata Rice.

Kepemimpinan Bush akan segera berakhir. Begitu pula dengan Rice. Posisi Rice akan digantikan Senator Hillary Clinton. Untuk mengisi waktu setelah masuk masa pensiun, akhir Januari mendatang, Rice kembali ke Stanford University di California karena akan mulai melakukan penelitian di Institut Hoover yang khusus mempelajari isu internasional. Rice juga akan menulis buku tentang latar belakang orangtuanya yang Afrika-AS dan buku tentang kebijakan luar negeri AS. (AFP/AP/LUK)

Raja Serukan Perdamaian

Rakyat Thailand Menanti Tuntunan Tokoh Pemersatu
Rabu, 24 Desember 2008 | 03:10 WIB

Bangkok, Senin - Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (81) menyerukan agar pemerintahan baru yang dipimpin Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva menciptakan ”ketertiban dan perdamaian” di Thailand. Seruan yang disiarkan stasiun TV itu adalah seruan pertama Raja Bhumibol terkait situasi politik Thailand.

”Saya harap Anda menjalankan tanggung jawab mengelola negeri ini dengan baik. Saya ingin perdamaian terwujud. Jika Anda semua bekerja sama, ketertiban dan perdamaian pasti dapat terwujud sehingga negeri ini dapat melalui situasi sulit seperti sekarang. Hanya itulah yang diinginkan rakyat Thailand,” kata Raja Bhumibol yang berbicara pelan dengan suara lirih dan parau, Senin (22/12).

Raja Bhumibol yang selama ini sakit-sakitan berbicara di hadapan publik seusai melantik dan mengambil sumpah kabinet baru PM Abhisit di Istana Chitralada. Seruan Raja Bhumibol di stasiun TV itu merupakan komentar raja yang pertama terkait dengan serangkaian protes jalanan dan kampanye untuk menggulingkan pemerintahan yang dimulai sejak tujuh bulan lalu. Sebelumnya, tidak pernah terdengar ada pernyataan dari Raja Bhumibol.

Justru istri Raja Bhumibol, Ratu Sirikit, yang muncul di depan publik setelah insiden bentrokan antara pemrotes dan polisi di luar gedung parlemen pada Oktober lalu. Insiden itu menewaskan dua orang dan melukai ratusan orang. Saat berbicara di stasiun TV, Ratu Sirikit menawarkan bantuan keuangan bagi korban yang terluka. Bahkan, Ratu Sirikit hadir dalam pemakaman salah satu pemrotes yang tewas. Hal ini dianggap tindakan luar biasa karena biasanya anggota keluarga kerajaan tidak ikut hadir di upacara pemakaman rakyat biasa.

Banyak warga Thai yang tidak sabar menanti kemunculan Raja Bhumibol pada awal Desember lalu. Biasanya, Raja Bhumibol tak pernah absen tiap tahun muncul dan berpidato di TV dalam rangka ulang tahunnya. Masyarakat berharap ada seruan dan tuntunan dari Raja mengenai kondisi politik dalam negeri. Namun, Raja Bhumibol membatalkan pidato di TV karena sakit. Raja terakhir kali terlihat di muka publik pada 3 Desember. Meski agak pucat, ia masih bisa memeriksa pasukan kerajaan. Tahun lalu Raja Bhumibol dirawat di rumah sakit selama tiga pekan karena infeksi usus besar dan gejala stroke.

Dinanti-nanti rakyat

Raja Bhumibol yang telah berkuasa selama 60 tahun itu dianggap sebagai tokoh pemersatu rakyat saat terjadi krisis. Oleh karena itu, ketika Raja Bhumibol berbicara di TV, Senin, aktivitas di Thailand seakan terhenti. Orang- orang berkumpul di depan TV, baik di rumah, restoran, maupun pertokoan.

”Saya sangat lega setelah mendengarnya bicara. Itu membuat saya merasa bangsa ini akan maju dan lebih damai,” kata Malai Chanachai (61), pensiunan guru.

Pemilik toko di Bangkok, Puangtip Poolsuwan (60), mengaku, melihat Raja Bhumibol yang terlihat sedikit lebih sehat membuatnya lebih tenang. ”Namun, saya yakin sebenarnya beliau masih sakit. Saya sangat berharap beliau segera sembuh,” ujarnya.

Pertanyaan tentang kelanjutan kepemimpinan di kerajaan Thailand dan politik di dalam negeri sejak lama menjadi kekhawatiran rakyat. Pangeran Mahkota Vajiralongkorn (56) dianggap tidak berpengaruh seperti halnya Raja Bhumibol.

”Krisis dan konfrontasi Thailand terlalu dalam. Pernyataan dari kerajaan tentang pemerintahan baru tentu akan mengurangi ketegangan, tetapi masalah utamanya akan tetap ada,” kata pengamat politik dari Chulalongkorn University, Thitinan Pongsidhirak. (AFP/AP/LUK)

Senin, 22 Desember 2008

Nahdlatul Ulama dan Pancasila


Salahuddin Wahid

Pada tahun 1982/1983 Pancasila sebagai asas organisasi adalah isu politik yang panas. Ada kecenderungan, akan ada keharusan bagi semua orpol dan ormas untuk memakai Pancasila sebagai asas. Ketentuan itu dibuat karena ada kekhawatiran bahwa ormas atau parpol Islam masih memperjuangkan negara Islam.

Untuk menanggapi hal itu dan banyak masalah lainnya, para ulama senior di dalam Syuriyah NU mengambil prakarsa untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU, diselenggarakan Desember 1983 di Pesantren Sukorejo, Situbondo.

Tanggal 21 Desember 1983 munas memutuskan untuk menerima Pancasila dan memulihkan NU menjadi organisasi keagamaan sesuai Khitthah 1926. Keputusan itu dikukuhkan Muktamar NU XXVII, Desember 1984. NU adalah ormas Islam pertama yang menerima asas Pancasila. Muhammadiyah menerimanya setelah terbitnya UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dasar pemikiran

Untuk menyusun dasar pemikiran bagi sikap NU menanggapi kecenderungan kebijakan pemerintah tentang asas Pancasila, Syuriyah NU meminta sejumlah kiai untuk menyampaikan pemikirannya. Yang paling menonjol ialah KH Achmad Siddiq, alumnus Pesantren Tebuireng yang pernah menjadi asisten KH A Wahid Hasyim.

Menurut Kiai Achmad, pencantuman asas Islam sama dengan pencantuman asas marxisme, liberalisme, dan sebagainya. Berarti, menjadikan Islam sejajar dengan isme-isme lain. Islam yang dijadikan asas adalah Islam dalam arti ideologi, bukan agama. Ideologi adalah karya manusia, tidak akan mencapai derajat menjadi agama, tidak terkecuali Pancasila.

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.

Menurut Kiai Achmad Siddiq, salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah.

Salah satu langkah dalam mengembalikan kepercayaan bahwa Islam bukan merupakan bahaya laten atau oposan bagi negara adalah menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Argumentasi Kiai Achmad Siddiq itu ternyata hanya diterima oleh dua penanggap, 34 penanggap menentang. Dari 100 anggota komisi Khitthah NU, sebagian besar memasalahkan asas Pancasila itu.

Jawaban beliau, ”Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita kunyah selama 38 tahun, kok baru kita persoalkan halal dan haramnya.” Lalu diungkapkan, empat ulama besar NU—KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali, KH Masykur, dan KH Ali Ma’syum—mendukung makalahnya itu.

Hubungan Islam-Pancasila

Munas Ulama NU 1983 memutuskan untuk menerima Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila, yang isinya: pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukan agama, dan tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat digunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

Kedua, sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia, menurut >kern 552m<>h 9737m,0<>w 9737mkern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m

Ketiga, bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.

Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan wujud upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.

Kelima, konsekuensi dari sikap itu, Nahdlatul Ulama wajib mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Kiai Achmad Siddiq menegaskan, ”Bagi NU, Republik Indonesia berdasar Pancasila merupakan bentuk final dari upaya membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia.”

Perkembangan mutakhir

Keputusan NU itu berpengaruh besar terhadap hubungan agama dan negara. Berdirinya partai berasas Pancasila di kalangan NU (PKB) dan Muhammadiyah (PAN) adalah dampak nyata dari penerimaan Pancasila oleh ormas Islam. Meski NU kembali berasas Islam (1999), pengaruh penerimaan Pancasila itu sudah tertanam secara kuat dalam diri kebanyakan warga dan tokoh NU.

Meski NU telah 25 tahun menerima Pancasila, ternyata di kalangan NU masih ada perbedaan penafsiran terhadap hubungan agama Islam dan negara. Kita bisa melihat perbedaan (bahkan pertentangan) penafsiran itu antara lain dalam masalah UU Pornografi dan Ahmadiyah. Keadaan serupa tampaknya juga terjadi di kalangan Muhammadiyah.

Sejumlah kiai terkemuka PKNU dan PPP berbeda pandangan dengan Gus Dur dan kawan-kawan dalam sejumlah masalah mendasar terkait masalah di atas. Para kiai itu lebih kental keislamannya dan lebih konservatif.

Terkesan ada semacam ”kecurigaan” dari sejumlah kiai NU terhadap HAM. Majalah PCNU Jombang menurunkan tulisan, HAM menjadi semacam ”Maha Agama”. Syukur ada upaya untuk menjelaskan tentang HAM kepada kalangan pesantren, beberapa kali saya diundang untuk memberi ceramah. Upaya semacam ini perlu ditingkatkan agar pandangan kalangan pesantren lebih proporsional.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya ternyata tidak mendapat banyak perhatian. Dalam Annual Conference on Islamic Studies (Departemen Agama, 2007), dari 35 makalah, tidak ada satu pun yang menyinggung hak ekosob. Tokoh-tokoh Islam yang membela HAM hanya membela hak sipil-politik, bukan hak ekosob.

Sila dari Pancasila yang selalu dibahas terkait hubungan Islam dan Pancasila hanya sila pertama. Sila keadilan sosial kurang mendapat perhatian. Sila terakhir dari Pancasila bukan merupakan sila yang harus diwujudkan paling akhir. Bahkan jika diwujudkan paling awal, maka sila lainnya akan lebih mudah diwujudkan.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Menyelami Keibuan


Elias Situmorang

Memberikan diri sepenuhnya dalam kerja dan tugas sehari-hari, berkorban perasaan, pendapat, dan kehendak, itulah salah satu kekuatan perjuangan ibu.

Bangun tengah malam untuk mengganti popok anaknya, menyiapkan kebutuhan keluarga di pagi hari, itulah kerja harian ibu.

Pada masa lampau sampai dengan dekade terakhir tahun 1980-an merupakan abad industri dengan teknologi biasa saja, yang mensyaratkan pekerja dengan otot kuat dan stamina kesehatan tinggi. Tetapi, sekarang ini kita memasuki teknologi informasi yang serba canggih, yang lebih membutuhkan tenaga yang informatif, terampil, dan teliti, yang membutuhkan akurasi komputer.

Dengan kata lain, abad-abad industri yang menggunakan teknologi kurang tinggi pada masa lampau yang membutuhkan pekerja lelaki, sedangkan abad industri informasi dengan teknologi tinggi dewasa ini lebih membutuhkan pekerja perempuan yang cocok dengan sifat lingkungan kerjanya. Kalaupun dibutuhkan pekerja dengan kekuatan otot, sekarang ini teknologi robot sudah bisa menjawab kebutuhan tersebut, bahkan secara ekonomis pembiayaannya menjadi lebih murah dan secara organisasional lebih gampang diatur.

Perempuan yang dari kodratnya bersifat kuratif, informatif, dan mampu melayani sebagai penjaja lebih cocok dengan industri informasi yang membutuhkan teknologi tinggi dan komputerisasi akurat. Dalam kehidupan sehari-hari juga kita alami bahwa pendekatan perempuan pada umumnya jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan pendekatan laki-laki, sebab perempuan itu mudah senyum dan kaya dengan kata (J Naisbitt dan P Aburdene, Megatrends 2000, New York, 1990).

Sadar bahwa perempuan memiliki potensi dalam hubungan relasional, maka peranan perempuan sekarang ini dalam hidup politik di mana-mana cukup menonjol. Kaum perempuan tampaknya semakin menyadari bahwa martabat hakiki mereka pada kesetaraan dengan laki-laki. Mereka sudah tidak puas lagi berperan pasif semata-mata atau membiarkan diri dipandang semacam sarana. Dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan, mereka menuntut hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang ada pada mereka selaku pribadi. Dalam hal ini perlu disadari bahwa perempuan sebagai manusia adalah makhluk individual dan sosial. Dia juga membentuk dirinya sendiri, memilih, menentukan pemikiran dan tata tingkah lakunya.

Menjadi ibu sejati

Kenangan akan kelembutan hati ibunda terekam sangat kuat dalam diri Mahmud Darwis, seorang pujangga besar Palestina. Hal itu terungkap dalam puisinya, ”Bundaku…” ”Aku kangen pada roti buatan bundaku, aku kangen akan kopinya, sentuhannya, aku harus memberi harga pada hidupku, seharga air mata bundaku….” (Madina, September 2008). Jauh sebelumnya Erich Fromm, seorang psikolog terkenal dari Mazhab Frankfurt, sudah mengumpamakan ideal cinta seorang ibu sebagai susu dan madu. Dalam bukunya, The Art of Loving, Erich Fromm menguraikan bahwa cinta ibu seperti susu adalah kasih yang memberi hidup dan daya; sementara cinta ibu seperti madu adalah cinta yang memberi keindahan dan kemanisan hidup agar hidup dapat ditapaki dengan penuh gairah. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan harus sejalan dan seimbang.

Dalam harapan Fromm cinta yang hanya seperti susu hanya akan membuat manusia bermental subsisten. Artinya hanya sekadar mau mempertahankan hidup. Akibatnya, hidup menjadi asal-asalan, tanpa gairah. Kita lihat, tak jarang justru yang dikhawatirkan Fromm inilah yang masih banyak terjadi. Tak sedikit ibu, yang dengan alasan untuk mempertahankan kemolekan tubuh, tidak mau menyusui bayinya, dan lalu menggantikannya dengan susu buatan. Akibatnya, kehangatan dan keamanan berada di pelukan ibunya tak dirasakan oleh sang bayi, padahal pelukan hangat dan mesra inilah madu yang diperlukan setiap anak (L Binawan, Rohani, Mei 1992).

Di lain pihak, ada juga ibu yang sangat ekstrem dan sangat posesif dan overprotective terhadap anak-anaknya. Ini dilarang. Itu dilarang. Harus begini. Harus begitu. Di sini pun anak lalu kehilangan kegairahan hidupnya, kegembiraan masa kanak-kanaknya. Madu kehidupan tak sempat dikecapnya secara bebas. Kalau toh dikecapnya, madu itu pasti tidak asli lagi. Madu itu menjadi madu buatan yang tidak menunjukkan keasliannya.

Dalam hal ini, kita boleh menimba sejumput pengalaman pada bangsa Jepang. Kemajuan Jepang bukan pertama-tama pada etos kerja yang tinggi, tetapi ada pada perjuangan dan tugas yang diampu oleh ibu rumah tangga yang bertanggung jawab penuh akan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Ibu-ibu di Jepang menjadi plus karena mampu menghidangkan kehangatan dan kasih, bukan sekadar makanan empat sehat lima sempurna. Membantu anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah dan mengajar anak sopan santun. Mereka dengan rela dan tulus menjadi ibu sejati (Daoed Joesoep, Kompas 7/7/2007). Maka dalam konteks ini, ibu sejati adalah ibu yang mampu membimbing anak-anaknya mampu belajar memaknai hidup. Ibu sejati adalah yang berani melepaskan anaknya untuk memilih pasangannya, memilih bentuk hidup, dan menentukan masa depannya. Ibu sejati ibarat matahari yang senantiasa menyinari tanpa berharap menerima kembali. Terima kasih ibu. Selamat Hari Ibu 2008.

Elias Situmorang Pastor Kapusin; Mantan Ketua Tim Seleksi KPUD Samosir, Tinggal di Medan

Hanya Ada Satu Ibu


HANDRAWAN NADESUL

Ibu Jepang dianggap ibu terbaik karena sepenuh harinya tercurah untuk membesarkan anak. Istri yang mengorbankan karier memilih tugas domestik saat anak masih perlu di dekatnya dinilai ibu yang bijak.

Bagi anak, tak cukup hanya ibu bijak. Tak cukup hanya bisa menyusui. Sebagai ibu, perlu punya lebih dari hanya naluri (nature). Supaya anak yang dibesarkan berkualitas, peran sebagai ibu perlu diisi (nurture). Adagium hari depan bangsa di tangan ibu masih belum berganti. Sedang anak tak mungkin memilih siapa ibunya.

Mandat di pundak ibu

Beratnya ibu karena di tangan ibu bakal seperti apa anak akan menjadi. Setiap ibu memikul mandat membesarkan anak agar menjadi berkualitas. Anak mewarisi bibit unggul saja belum jaminan anak menjadi insan berkualitas kalau saat kehamilan tak dirawat, persalinan tak lancar, dan tak cukup diberi gizi. Setiap ibu perlu muatan semua bekal itu.

Sayang, tidak setiap ibu mumpuni sebagai ibu. Kesehatan berkorelasi dengan pendidikan. Bagaimana perut anak bakal sehat sampai dewasa kalau bayi belum cukup umur selain susu, bayi sudah diberi macam-macam karena ibu tidak tahu. Bagaimana otak anak bisa tumbuh optimal kalau ibu tidak tahu tak ada kesempatan kedua mencukupi protein buat otak sebelum anak berumur dua tahun. Siapa memberi tahu ibu bagaimana membesarkan anak secara benar?

Selain ketidaktahuan, membiarkan mitos dan takhayul berkembang menjadikan ibu keliru membesarkan anak. Bayi lahir cacat hanya karena kurang vitamin, bentuk malapetaka bangsa. Vitamin B6, asam folat, zat besi, misalnya, sebetulnya murah dan terjangkau. Tapi ibu tak tahu kalau itu sampai terjadi bikin bayi sumbing, atau tabung saraf tulang belakang tak menutup.

Bayi lahir cacat bukan sumber daya manusia berkualitas. Ibu hamil anemia yang sebetulnya juga tak perlu terjadi, merongrong kehamilan, persalinan, mengancam nyawa dan kualitas anak yang dilahirkan. Ongkos ketidaktahuan seperti itu harus dibayar mahal.

Lebih mahal lagi kalau anak salah asuh salah didik. Anak yang setelah dewasa menyimpang pikir, rasa, dan lakunya karena ibu (orangtua) salah membentuknya. Anak yang terbiasa dipukul kelak akan menyelesaikan urusan dengan cara memukul (”pukul dulu, urusan belakangan”).

Atau anak yang dari kecil sering dicela menjadi dewasa yang rendah diri. Anak yang kecilnya ditekan akan beringas dan agresif. Anak yang dibesarkan salah persepsi seksualnya, berisiko dewasa yang berdeviasi seksual. Sekadar keliru mendidik anak balita buang air (toilet training) saja pun berpotensi menyisakan trauma seksual berkelanjutan.

Maka kalau lahir generasi yang ”sakit”, hampir pasti karena dibesarkan oleh ibu yang kebanyakan ”tidak sehat”. Ibu ”tidak sehat” kebanyakan lebih sebab ketidaktahuan. Termasuk ibu tidak memikirkan dirinya sendiri. Sakitnya ibu bikin pincang roda keluarga. Untuk menjadi ibu yang mumpuni, tak perlu sekolah dokter dan menjadi ahli psikologi.

Sekolah menjadi ibu

Pendidikan kesehatan sekolah kita masih minim. Selain belum mencerdaskan hidup sehat, belum pula memberdayakan anak perempuan mampu melakukan peran sebagai ibu yang mumpuni. Kesan saya (dari memberikan seminar kepada ibu-ibu muda, dan mengasuh rubrik kesehatan di media) wawasan sehat para ibu tahun 1980-an tak jauh beda dengan ibu sekarang. Masih ada ibu level sarjana yang percaya telur bikin anak bisulan, atau beranggapan bayi sehat itu bayi yang montok, makan ikan bisa cacingan.

Lebih menyedihkan karena kegiatan posyandu sudah kendur. Dulu ompongnya pengetahuan kesehatan ibu masih ditambal oleh kehadiran posyandu. Ancaman kecacatan, penyakit, dan gagal tumbuh kembang anak yang tak perlu terjadi masih bisa dihindarkan.

Selain sudah tak ada posyandu, tidak semua ibu membaca. Televisi dan radio juga tak penuh menambah wawasan sehat ibu. Solusi masalah besar kesehatan kita lebih pada memberdayakan rakyat. Lebih pada membangun kesehatan dasar (primary health care). Bagaimana sejak di hulu rakyat diberdayakan tidak sakit, agar di hilir anggaran tak habis buat belanja obat. Termasuk memberdayakan ibu sejak masih di hulu.

Para calon ibu disiapkan melakukan eloknya peran. Ini bagian kegiatan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan yang terkait dengan itu. Saatnya pembangunan dirancang berwawasan ibu. Mungkin diperlukan sekolah, kursus, atau apalah yang mempersiapkan setiap perempuan mumpuni sebagai seorang ibu.

Bukan saja urusan anak, kualitas keluarga juga di tangan ibu. Nasib kesehatan keluarga ditentukan oleh meja makan ibu. Kemampuan ayah dan anak kelak membatalkan kejadian terserang jantung atau stroke juga ditentukan oleh isi meja makan ibu. Betapa sentral peran ibu bagi keluarga dan bangsa. Ibu yang menuliskan garis tangan hari depan anak. Elok tidaknya hari depan anak tergantung seberapa abai negara memberdayakan setiap perempuan siap melakukan peran mumpuni sebagai ibu. Hari ini belum terlambat kita merenungkannya, lalu melakukan sesuatu. Anda betul. Hanya ada satu ibu.

HANDRAWAN NADESUL Dokter; Penulis Buku Kesehatan Anak, Ibu, dan Perempuan

Hari Ibu untuk Merumuskan Keindonesiaan


Hari Ibu dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia merupakan peringatan perjuangan merebut kesetaraan, keadilan, dan pembebasan perempuan yang ditandai dengan Kongres Perempuan Indonesia I. Makna itu harus dijaga untuk mengingatkan pada ancaman besar bagi keberagaman yang dijalankan melalui kontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan.

Itulah yang diingatkan ilmuwan dan pengajar di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, serta aktivis dan feminis Muslim, Lies Marcoes-Natsir. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki Jakarta beberapa waktu lalu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih juga mengingatkan hal senada.

Pada 22 Desember 1928, sejumlah organisasi perempuan terkemuka ikut serta dalam Kongres Nasional Organisasi Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres diselenggarakan untuk ”mengatasi provinsialisme di dalam gerakan wanita”.

Pemrakarsa kongres adalah Nyi Hajar Dewantara atau Ibu Suwardi, Ni Suyatin, pemimpin Putri Indonesia, yang juga pamong Taman Siswa, serta Ny Sukonto, anggota Wanita Utama dan guru di HIS (sekolah Belanda untuk pribumi).

Kongres itu membicarakan sejumlah masalah. Hal itu di antaranya pendidikan untuk kaum perempuan, nasib yatim piatu dan janda, perkawinan usia anak, pembaruan Undang-Undang Perkawinan Islam, meningkatkan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Selain itu, juga ada sejumlah ceramah tentang nasionalisme dan antipermaduan.

Meski demikian, mosi yang diterima dari kongres agak terbatas. Kongres tidak menyatakan pendirian nasionalisme dengan tegas. Seperti dikemukakan I Gusti Agung Ayu Ratih dalam pidatonya, posisi antipoligami dari gerakan perempuan nasionalis terus-menerus menimbulkan ketegangan, bukan saja di kalangan lelaki, tetapi juga di dalam gerakan perempuan.

Organisasi-organisasi perempuan yang tumbuh dari organisasi-organisasi Islam kesulitan menentukan acuan pembenar untuk mengkritik praktik poligami yang lazim di kalangan laki-laki Muslim pada masa itu.

Sejarah

Rocky Gerung mengingatkan bagaimana negara terus berusaha mereduksi makna Hari Ibu. Pada zaman Orde Baru, ideologi ibuisme negara digunakan untuk meringkus perempuan demi stabilitas nasional.

Pada saat itu, perempuan sebagai manusia direduksi maknanya. Mereka lebih dihargai sebagai ibu, istri, dan anak perempuan daripada individu yang memiliki kebebasan berpikir.

Tentu saja hal itu terkait erat dengan sejarah pembentukan Orde Baru. Agung Ayu Ratih mengingatkan, model pemusnahan perempuan ala abad pertengahan berlangsung seiring terbangunnya kediktatoran Soeharto pada akhir tahun 1965. Penguasa militer menggunakan imaji seksual keliaran dan kebuasan perempuan-perempuan ”komunis” yang menari-nari telanjang di Lubang Buaya untuk menumbuhkan kebencian pada perempuan berpolitik.

Propaganda hitam ini segera memicu serangan fisik terhadap perempuan yang berpolitik, anggota PKI, dan organisasi-organisasi massa yang dianggap sealiran. Pesannya jelas; perempuan ”komunis”, perempuan yang berpolitik membahayakan keselamatan dan integritas bangsa.

Pemerintahan Orde Baru, menurut Agung Ayu, tak hanya menghancurkan Gerwani, tetapi juga merebut otoritas organisasi-organisasi perempuan lainnya dalam menentukan gerak mereka. Ide-ide emansipatoris tentang kemandirian perempuan yang belum selesai diperbincangkan sejak dekade kedua abad ke-20 dikooptasi dan diberi bentuk yang paling konservatif: peran ganda wanita.

Pemerintah kemudian membentuk organisasi-organisasi istri pegawai yang strukturnya mengikuti birokrasi pemerintahan sipil dan militer dan kepemimpinannya sejalan dengan jabatan suami. Sementara kekerasan militer secara massal terhadap perempuan berlanjut di daerah- daerah operasi militer.

Pada masa reformasi, gerakan perempuan merayakan kemenangannya karena berhasil mendesak pemerintahan Habibie untuk meminta maaf dan mengakui pemerkosaan Mei sebagai tanggung jawab negara dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta dan mendirikan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap perempuan. Pada masa transisi, kemenangan itu disusul dengan pengesahan UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Kewarganegaraan dan kuota 30 persen perempuan di legislatif,

Namun, hal itu tak berlangsung lama. ”Sekarang ini negara justru menjadi instalasi politik agama yang memberikan pengesahan pada penafsiran tunggal yang ditetapkan secara komunal. Definisi Ibu pun diatur untuk kepentingan agama,” ujar Rocky.

Menurut Lies Marcoes, imperialisme zaman penjajahan menemukan bentuknya yang baru saat ini, yakni penjajahan atas tubuh dan seksualitas perempuan. ”Perempuan tak punya legalitas atas milik sendiri,” ujar Lies.

”Tubuh dan seksualitas perempuan itu begitu beragam dan kaya berdasarkan pengalaman hidup dan spiritualitasnya direduksi menjadi obyek seks dan dibebani segudang prasangka sehingga harus dikontrol. Waktu zaman Orde Baru, seksualitas perempuan digunakan untuk mengontrol pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana. Sekarang, gerak perempuan dikontrol melalui perda-perda syariat dan UU Pornografi,” katanya.

Agung Ayu Ratih mengingatkan, yang dihadapi saat ini bukan perang teologi, tetapi pertarungan politik dan kultural. ”Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu-rambu kekuasaan negara dan merumuskan keindonesiaan,” ujar Agung Ayu Ratih.

Pada Hari Ibu 2008 ini marilah mencamkan apa yang ditegaskan Agung Ayu Ratih. ”Berlawanan dengan pandangan para pendukung UU Pornografi yang menyatakan bahwa mereka berminat melindungi perempuan dari kekerasan, kemiskinan, dan keruntuhan akhlak, saya berpendapat bahwa pembebasan tubuh dan gerak perempuan merupakan salah satu prasyarat utama dalam penegakan demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan sosial!” (MARIA HARTININGSIH)

Biaya Mahal untuk Reformasi Birokrasi


GIANIE

Reformasi birokrasi merupakan syarat mutlak terciptanya good governance. Namun, pemerintah baru berhasil ”menjamah” sebagian kecil dari bermacam aspek pelayanan dan sistem birokrasi.

Dari beberapa parameter yang dipakai mengukur tingkat kepuasan publik terhadap kinerja birokrasi sektor hukum dan ekonomi, misalnya, terlihat ada penurunan tingkat ketidakpuasan publik. Kinerja birokrasi dalam bidang ekonomi, misalnya, penurunan ketidakpuasan responden dari 57,2 menjadi 46,3 persen (lihat Tabel).

Penilaian buruk terhadap kinerja birokrasi tahun ini tidak berbeda jauh dari penilaian pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan upaya memangkas jalur birokrasi yang berbelit-belit atau membersihkan praktik sogok-menyogok masih sangat sulit diwujudkan.

Pertanahan

Jika dirinci dalam berbagai aspek pelayanan, terlihat pelayanan birokrasi dalam bidang administrasi kependudukan, pertanahan, dan pelayanan kesehatan relatif tetap tidak memuaskan. Sementara pelayanan dalam bidang surat-surat kendaraan bermotor dinilai semakin memuaskan.

Citra birokrasi pemerintah di mata publik memang ditentukan oleh banyak aspek. Meski demikian, dua hal utama, yakni mentalitas KKN dan manajemen pelayanan yang amburadul, kerap kali membentuk citra positif atau negatif sebuah lembaga birokrasi di mata publik.

Ketidakpuasan terhadap kinerja birokrasi dalam lingkup departemen, misalnya, masih cukup besar, mencakup 42,1 persen responden, dan relatif tidak beranjak banyak dari tahun ke tahun. Faktanya, komitmen untuk menciptakan aparatur negara yang bersih dan profesional serta ditindaklanjuti secara serius belum banyak ditunjukkan oleh departemen pemerintah.

Boleh dibilang, dalam sektor ekonomi, baru Departemen Keuangan yang sejak Juli 2007 mencoba menjadi ”pelopor” reformasi birokrasi. Dengan persiapan sekitar dua tahun, lembaga ini menata organisasi, memperbaiki proses bisnis, dan meningkatkan manajemen sumber daya manusia.

Sebagian kegiatan yang dilakukan dengan membuat prosedur operasional standar mengatur secara rinci mekanisme pelayanan, lama pelayanan, dan biaya yang dibutuhkan. Dengan prosedur operasional standar ini, publik bisa lebih jelas berurusan, soal perpajakan, kepabeanan dan cukai, atau transfer dana dari pusat ke daerah. Sistem yang dibangun juga mengupayakan tidak ada celah untuk korupsi karena kesejahteraan personelnya pun diperbaiki dengan tingkat yang memadai.

Setahun lebih berjalan, beberapa capaian sudah dirasakan. Masyarakat bisa membuat nomor pokok wajib pajak dalam sehari tanpa dipungut biaya. Pelayanan segera untuk impor (rush handling) dijanjikan selesai dalam dua jam setelah dokumen diterima dan pengurusan pabean jalur prioritas dari 16 jam menjadi 20 menit. Apa yang dirintis oleh Depkeu ini cukup memperbaiki citra aparatur negara di tingkat departemen.

Sayangnya, upaya reformasi di sektor keuangan ini masih berjalan parsial, belum diikuti reformasi sektor produksi seperti perindustrian, pertambangan, perikanan, perkebunan, dan sektor lain.

Nondepartemen

Ketidakpuasan publik terhadap kinerja nondepartemen relatif lebih tinggi dibandingkan departemen. Di lembaga legislatif, ketidakpuasan terhadap kinerja anggota Dewan mencapai 60,6 persen, sementara di lembaga yudikatif (kehakiman dan kejaksaan) mencapai 53 persen.

Kondisi citra dan kinerja aparatur birokrasi pemerintahan di daerah juga dinilai setali tiga uang. Jalur birokrasi yang bertele-tele, aparat yang gampang disuap dan tidak disiplin belum mampu dihilangkan oleh penerapan sistem desentralisasi (otonomi daerah). Banyak faktor yang menyebabkan reformasi birokrasi jalan di tempat. Faktor utama antara lain integritas aparat yang rendah dan sistem remunerasi yang tidak memadai. Ditambah dengan sanksi yang rendah tingkat ancamannya, menjadikan kondisi menjalankan birokrasi dengan business as usual senantiasa terjadi.

Acap kali terjadi, ”gebrakan” baik dalam sistem maupun sumber daya manusia dilakukan dalam sebuah birokrasi sejauh ada momentum, baik terkait diangkatnya pejabat baru maupun ada ”pesanan” dari kepentingan di atasnya. Kenaikan remunerasi, misalnya, disinyalir sekitar separuh responden hanya bersifat membantu menurunnya keinginan korupsi, tetapi tidak akan mampu menangkalnya.

Dalam kasus Depkeu, misalnya, Menteri Keuangan menyatakan pejabat golongan II B di Ditjen Bea dan Cukai bisa menerima suap hingga Rp 900 juta. Bisa dibayangkan berapa uang suap yang diberikan kepada pejabat golongan di atasnya (Kompas, 2/11/2007).

Sebagian besar publik meyakini kenaikan gaji atau pemberian tunjangan khusus bagi aparat pemerintah akan dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik. Hal ini disampaikan oleh 51,3 persen responden. Meski demikian, hampir separuh responden (48,8 persen) beranggapan bahwa kenaikan kesejahteraan itu tidak akan dapat mengurangi kasus korupsi.

Komitmen politik

Upaya reformasi birokrasi memang bukanlah proses yang mudah seperti membalikkan telapak tangan atau bisa selesai dalam waktu semalam. Dalam kondisi korupsi yang sistemik, butuh komitmen yang kuat dari pemimpin politik tertinggi seperti presiden bersama dengan unsur pemimpin lainnya. Hal ini disebabkan reformasi birokrasi yang dijalankan serentak dan menyeluruh memiliki konsekuensi politik yang besar.

Reformasi birokrasi takkan berhasil tanpa reformasi remunerasi, dan ini berarti butuh anggaran yang sangat besar hanya untuk kesejahteraan pegawai pemerintah. Sebagai gambaran, remunerasi atau tunjangan tambahan terkait reformasi birokrasi bagi pegawai di seluruh departemen yang saat ini jumlahnya sekitar 3,5 juta orang diperkirakan mencapai Rp 62 triliun. Jumlah ini belum memperhitungkan gaji pokok.

Misalkan tahun 2009 pemerintah memberlakukan pendapatan pegawai negeri sipil golongan terendah menjadi Rp 1,721 juta per bulan, bisa dibayangkan anggaran belanja negara hanya tersedot untuk gaji dan tunjangan pegawai negeri. Bagaimana dengan pos belanja pembangunan lainnya? Di sinilah komitmen politik itu diuji. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)

Normalisasi Sosial


William Chang

Sebuah proses normalisasi sosial sangat dibutuhkan karena seluruh globus sedang sakit dan mengalami great warming (bdk B Fagan, The Great Warming: Climate Change and the Rise and Fall of Civilizations, 2008).

Sejak terjebak kejahatan, manusia mengalami proses denormalisasi sosial berupa gerakan premanisme yang mengultuskan teori survival of the fittest. Penyalahgunaan kuasa dalam wujud tindak kekerasan dan hukum rimba meruntuhkan peradaban manusia. Politik homicide gaya Herodes termasuk aksi denormalisasi sosial. Proses sosial ini dikategorikan sebagai langkah awal kekacauan sosial.

Gerakan imperialisme moral kontemporer memperparah denormalisasi ini melalui indoktrinasi dogmatis dalam masyarakat majemuk. Konvergensi moral bangsa kita seharusnya terbangun dari himpunan warisan kearifan lokal. Pentingnya tatanan normatif berupa hukum positif tidak diperhitungkan dalam hidup sosial. Akibatnya, peran norma sosial dirobohkan.

Rentetan konflik primordial di Kongo, Nigeria, India, dan tanah air lambat laun merombak seluruh sendi normalisasi sosial di tengah krisis global. Cetusan emosional yang berlebihan mencerminkan manusia hidup di luar garis norma kemanusiaan. Terasa dangkal pendidikan tentang etika sipil yang mempromosikan nilai-nilai global yang diterapkan secara lokal (etika global).

Normalisasi tatanan sosial

Menteri luar negeri Jerman, Frank-Walter Stienmeier dalam wawancara dengan Deutschland (Agustus/September 2008), antara lain, menekankan pentingnya Tatanan Antarbangsa Baru (New International Order) di tengah globalisasi yang mengalir kencang. Tatanan baru ini mengusung semboyan ”A Time to Make Friends” yang disosialisasi sejak 2006. Situasi dunia yang tidak normal perlu ditata ulang sambil memerhatikan isu-isu seperti perubahan iklim, menyusutnya SDA, konflik sosial, terorisme internasional, dan tatanan dunia yang berkutub majemuk. Stabilitas dan keamanan dunia perlu mendapat perhatian dalam proses normalisasi sosial ini.

Program normalisasi ini dimotori roh persaudaraan antarwarga dalam masyarakat majemuk. Keadilan dan kesejahteraan (sosial) diperjuangkan dalam proses ini. Krisis apa pun perlu di-manage agar tidak membahayakan seluruh tatanan sosial. Sebuah pendekatan sosiologis berwawasan komprehensif dan holistik akan menolong normalisasi ini sebab vested interests sering menungganggi sebuah kekacauan sosial. Sebenarnya, mengapa dan ada apa di balik kekacauan sosial?

Asas normalisasi sosial ini ditemukan dalam hati (heart) dan pikiran (head) setiap manusia yang berkehendak baik untuk mereformasi tatanan sosial yang menderita dan sakit melalui usaha terkecil dalam lingkup hidup masing-masing. Keterbukaan dan kejujuran dalam komunikasi sosial tak terhindarkan dalam masyarakat toleran. Topeng-topeng sandiwara dalam masyarakat kita sudah saatnya ditanggalkan agar dialog sosial tumbuh lebih baik.

Menyikapi pesan keagamaan

Tanpa menginstrumentalisasi dan memanipulasi peran agama, salah satu sumbangan konstruktif normalisasi sosial di tengah krisis global adalah pesan Natal PGI dan KWI 2008 yang terfokus pada masalah damai. Masalahnya, bagaimanakah damai bisa sungguh mendarat di bumi kita yang terpengaruh krisis global?

Menghadapi pengangguran massal pada tahun mendatang, damai akan terwujud jika kasus kelaparan dan kemiskinan teratasi. Kesejahteraan hidup ditingkatkan, antara lain dengan mengatur lalu lintas perekonomian pada skala terkecil sebagai langkah antisipatif kekacauan sosial. Tersedianya peluang kerja, makanan, minuman, pakaian, dan perumahan adalah modal dasar damai (W Brandt, 1980).

Selain itu, stabilitas dan keamanan bangsa menurut cita-cita pendirian bangsa termasuk penjinak aneka bentuk konflik sosial yang merugikan kehidupan bersama. Paradigma klasik yang memanipulasi konflik sosial sebagai pelestarian kekuasaan sudah saatnya ditinggalkan. Masa divide et impera sudah berlalu. Dinantikan sebuah manajemen yang sanggup mentransformasi atmosfer konfliktual menjadi wadah harmonisasi antaranasir sosial.

Proses normalisasi sosial bakal menyeimbangkan perilaku agresif dan destruktif manusia (Erich Fromm) dengan pembentukan sikap antikekerasan (rumah tangga, sekolah, tempat kerja dan masyarakat) sehingga terwujud kesejukan sosial. Normalisasi ini menyuburkan benih kemanusiaan dan menjinakkan unsur hewani dalam diri manusia. Pendekatan humaniora menjadi langkah awal normalisasi sosial.

Normalisasi ini akan lebih cepat terwujud jika tiap anak bangsa menjadikan hatinya sebagai tempat persemaian benih-benih damai yang menyejukkan diri dan sesama. Nilai-nilai di balik norma-norma etis, religius, hukum, politik, ekonomi dan kebudayaan diwujudkan dalam hidup harian.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

Kamis, 18 Desember 2008

Demokrasi: Mau ke Mana?

Oleh Azyumardi Azra

Judul 'Resonansi' ini saya ambil dari kertas kerja posisi International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) dalam pertemuan Annual Board Meeting yang saya ikuti di Stockholm pada 4-5 Desember 2008 lalu. Persisnya bertajuk Democracy: Whither are we Wandering?--Demokrasi: Ke Mana Kita Berkelana? Makalah ini merupakan assessment yang jujur dan berani dari sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam pengembangan demokrasi dan bantuan elektoral di berbagai penjuru dunia.

Makalah ini mulai dengan pernyataan: 2009 datang merupakan tahun perayaan demokrasi; 30 tahun setelah mulainya gelombang ketiga demokrasi di Amerika Latin; 20 tahun sesudah runtuhnya Tembok Berlin; 15 tahun setelah berakhirnya rezim apartheid di Afrika Selatan; dan 10 tahun sejak awal reformasi politik Indonesia. Walhasil, sekitar 100 negara telah mengalami transisi ke demokrasi sejak 1970-an--dengan sekitar 40 negara mengalaminya pada 1990-an dan awal 2000-an.

Tetapi, jelas, jumlah semata tidak mencerminkan mulusnya perjalanan demokrasi. Sebaliknya, perjalanan demokrasi memperlihatkan proses-proses yang rumit, bergelombang, bahkan tidak jarang runtuhnya tatanan hukum yang diikuti kekerasan. Dan, di negara-negara Selatan--seperti Indonesia--demokrasi belaka juga tidak serta-merta dapat menghapuskan pengangguran dan kemiskinan. Demokrasi di banyak bagian dunia masih dipandang sebagai cita ideal yang masih harus terbuktikan untuk dapat menjadi sistem politik efektif guna mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.

Dengan penilaian yang jujur dan terus terang dari sebuah lembaga internasional yang memiliki komitmen dan menjalankan berbagai program untuk penguatan demokrasi, tidaklah berarti negara-negara demokrasi atau yang masih berada dalam transisi dan konsolidasi demokrasi harus segera meninggalkan demokrasi dan beralih kepada sistem-sistem politik lainnya. Memang, demokrasi bukanlah ''obat'' (panasea) bagi semua masalah; demokrasi juga memiliki batas-batasnya. Tetapi, jika dibandingkan sistem-sistem politik lain, semacam otoritarianisme militer (atau sipil) atau teokrasi, demokrasi tetap merupakan pilihan yang lebih baik.

Di Tanah Air, yang juga disebut banyak kalangan internasional sebagai salah satu kisah sukses demokrasi, perjalananan demokrasi juga masih belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan. Selain biaya demokrasi prosedural yang cenderung kian mahal dan tidak efisien, juga menimbulkan bermacam ekses yang boleh jadi tidak disengaja (unintended consequences). Eksplosi aspirasi demokrasi membuat usaha pemerintah dan swasta untuk melaksanakan program-program yang baik langsung maupun tidak langsung dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, tidak lagi dapat berjalan mulus. Lihat, misalnya, rencana pembangunan jalan tol trans-Jawa; pembebasan lahan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena adanya kalangan masyarakat yang menolak. Dan, tentunya, banyak contoh lain.

Karena itu, pada akhirnya pertumbuhan dan penguatan demokrasi sangat terkait dengan sejumlah faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor yang dapat menghambat penguatan demokrasi itu mestilah diatasi agar demokrasi betul-betul tumbuh dengan baik dan berdaya guna untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Secara internal, seperti terungkap dari penilaian International IDEA, lembaga-lembaga politik belum juga menguat di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi adalah kian fragmentaris lembaga-lembaga politik. Di Tanah Air, parpol bukannya kian terkonsolidasi, tetapi sebaliknya, makin terfragmentasi, seperti terlihat dari jumlah parpol: 48 pada Pemilu 1999, 24 pada Pemilu 2004, dan naik lagi menjadi 38 plus 6 parpol lokal untuk Pemilu 2009.

Pada saat yang sama, terjadi juga peningkatan kemerosotan kepercayaan publik pada institusi-institusi politik, semacam parpol dan lembaga perwakilan rakyat. Publik melihat bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam institusi-institusi semacam itu lebih tertarik pada kepentingan mereka masing-masing daripada kepentingan publik secara keseluruhan.

Sebab itu, salah satu tantangan dalam penguatan demokrasi adalah pemulihan kepercayaan publik pada institusi politik. Dan, ini harus dimulai dari para aktor politik itu sendiri untuk lebih menampilkan sosok yang penuh dengan integritas dan komitmen pada kepentingan publik. Kesempatan masih ada untuk membentuk dan menampilkan sosok seperti itu pada masa-masa kampanye menjelang Pemilu 2009.

Pada saat yang sama, para pemilih umumnya dapat lebih berhati-hati dalam melakukan pilihan nantinya. Para pemilih hendaknya jangan terbuai janji dan kata-kata manis mereka yang memiliki aspirasi untuk terpilih. Sebaiknya, para pemilih berusaha mendapatkan informasi tentang rekam jejak (track record) setiap calon. Sehingga, ketika melakukan pilihan, dapat betul-betul didasari pertimbangan rasional dan logis. Tidak hanya untuk kepentingan pemilu itu sendiri, tapi lebih penting lagi demi penguatan dan pendewasaan demokrasi di bumi tercinta ini.

Mahalnya Demokrasi

Dono Widiatmoko
Sekretaris ICMI UK, Senior Lecturer di University of Salford, Inggris

Iklim dan sistem demokrasi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir telah berkembang sangat pesat. Dimulai dari dihentikannya oligopoli tiga partai zaman Orde Baru menjadi sistem multipartai, dibentuknya DPD sebagai bagian dari sistem parlemen bikameral, pemilihan presiden langsung, dan juga pilkada provinsi dan kabupaten.

Semuanya menggambarkan dinamisnya perubahan yang oleh kebanyakan kalangan dianggap sebagai perkembangan yang sangat positif. Pada setiap periode lima tahun, ada empat kegiatan besar yang harus dilakukan: pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada provinsi, dan pilkada kabupaten. Penyelenggaraan sistem demokrasi ini tentu harus ada harga yang dibayarkan oleh kita semua rakyat Indonesia, yang berbentuk pengeluaran pemerintah melalui APBN.

Pada tahun anggaran 2009 Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan dana Rp 13,5 triliun yang merupakan penurunan dari jumlah anggaran yang diajukan oleh KPU, yaitu Rp 14,1 triliun. Dengan adanya penurunan anggaran ini maka KPU harus menekan biaya masing-masing komponen agar memenuhi pagunya.

Jika proporsi penggunaan anggaran ini sama dengan proporsi yang diajukan, maka bisa diperkirakan anggaran 2009 untuk pemilu DPR adalah Rp 4,82 triliun dan pemilu presiden sebesar Rp 8,68 triliun. Sebelumnya untuk anggaran 2008, KPU mendapat alokasi dana Rp 6,67 triliun. Jika kita asumsikan proporsi pengeluaran yang sama bisa digunakan untuk tahun anggaran 2008, jatah anggaran untuk pemilu presiden adalah Rp 4,29 triliun. Simpelnya, total biaya yang diperlukan untuk memilih paket presiden dan wakil presiden baru Indonesia untuk lima tahun ke depan Rp 12,97 triliun.

Untuk memilih anggota legislatif, perhitungannya menjadi lebih rumit karena ada beberapa tingkat pemilihan anggota legislatif, mulai dari DPR Pusat, DPRD I, DPDRD II, dan DPD. Untuk menyederhanakan analisis, kita misalkan saja untuk masing-masing kategori kegiatan tersebut bobot pembiayaannya sama. Jadi biaya penyelenggaraan pemilu pusat sama bobotnya dengan pemilu DPRD I dan II, dan juga DPD. Dari total anggaran pemilu legislatif sebesar Rp 7,19 triliun tadi bisa dibagi empat untuk masing-masing tingkat pemilihan sehingga anggaran untuk memilih anggota DPR pusat adalah sebesar Rp. 1,8 triliun.

Mengingat pada pemilu 2009 akan dipilih 550 anggota legislatif DPR pusat, untuk memilih seorang anggota DPR akan diperlukan biaya Rp 3,27 miliar per anggota DPR terpilih nantinya. Jika kita bagi total anggaran untuk penyelenggaraan pemilu nanti yang sebesar Rp 20,17 triliun tadi dengan jumlah seluruh pemilih sebesar 174,41 juta jiwa, maka biaya yang dikeluarkan untuk memilih pasangan presiden dan wapres sebesar Rp. 115,647 untuk setiap pemilih.

Jika kita bandingkan ini, misalnya dengan pengeluaran negara untuk kesehatan sebesar Rp 155,695 per orang (National Health Account 2006) terlihat jelas bahwa ongkos penyelenggaraan pemilu ini mahal adanya. Apalagi, jika dilihat analisis di atas baru terbatas pada biaya yang dikeluarkan oleh KPU dan belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh institusi terkait lainnya.

Biaya pengamanan pemilu, ongkos kampanye masing-masing parpol, caleg, dan capres, dan lain-lain belumlah masuk dalam hitungan tersebut. Belum lagi biaya yang diperlukan untuk memberikan gaji, fasilitas dan biaya operasional bagi mereka yang terpilih nantinya menjalankan tugasnya masing-masing.

Mungkin tidak ada yang tidak sepakat jika demokrasi adalah jalan terbaik yang harus dilalui Indonesia untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara. Pemilu adalah tahap terpenting yang harus dilalui untuk menjamin terlaksananya demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, ongkos pemilu yang harus dikeluarkan adalah konsekuensi logis dari kemauan kita mengikuti jalan demokrasi. Uang yang dikeluarkan sebesar itu mungkin harga tepat yang harus dibayar dalam proses demokrasi ini.

Mahalnya biaya proses demokrasi kita haruslah diimbangi oleh kinerja dan integritas para pengemban amanat demokrasi. Masyarakat yang pada gilirannya harus membayar ongkos demokrasi lewat pajak dan pengurangan fasilitas yang disediakan negara berhak meminta pertanggungjawaban mereka yang duduk di kursi empuk Senayan dan Istana Merdeka. Jika tidak, antipati masyarakat mungkin akan lebih muncul dan tingkat partisipasi politik akan menurun karenanya.

Sayangnya, masih sering rakyat Indonesia mendengar suara sumbang dan mencium bau busuk dari institusi pengemban amanah demokrasi. Terbongkarnya berbagai kasus suap bermiliar rupiah yang melibatkan para anggota legislatif, misalnya, semakin memperpuruk reputasi lembaga pengemban amanah itu.

Harapan besar yang semula timbul dari hasil reformasi 1998 seakan terus pudar. Tidak tampak perubahan berarti dari Senayan atau bahkan mungkin bahkan terasa lebih buruk dibanding dulu akibat diangkatnya kasus-kasus ini oleh KPK.

Harapan kita ke depan tentunya mereka yang terpilih di berbagai tingkatan dari pemilu mendatang sadar, rakyat Indonesia telah mengorbankan uang yang besar untuk memilih mereka. Mudah-mudahan itu kemudian bisa menjadi cambuk agar mereka dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya.

(-)

Rabu, 17 Desember 2008

Reformasi Perlu Direformasi


Jakarta, Kompas - Reformasi yang sudah bergulir selama sepuluh tahun terakhir ini tampaknya masih harus direformasi dengan kesiapan yang lebih baik, di antaranya perlu memberikan landasan perekonomian yang kuat bagi pelaksanaan demokrasi Indonesia. Jika tidak cukup pangan, bukan hanya demokrasi tidak bisa berjalan dengan baik, tetapi hanya menjadi politik sembako.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi di Jakarta, Senin (15/12) malam. ”Kalau ekonomi masyarakat kondisinya lebih baik dan pemerintah serius mau memberikan kesejahteraan rakyat, kita tidak akan lagi melihat politik sembako dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Atau, kita tak lagi melihat politisi kebingungan mencari modal untuk menyediakan sembako bagi konstituennya,” ujarnya lagi.

Secara terpisah, Selasa, saat diterima Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta mengakui, gerakan reformasi tidak memiliki narasi. Akibatnya, setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, tidak ada ide besar yang dilahirkan dari bangsa ini.

”Undang-undang juga dibuat secara reaktif. Akibatnya, kita tak punya kesempatan untuk melahirkan negarawan,” kata Anis.

Pendidikan politik

Selain politisi, lanjut Hasyim, masyarakat Indonesia saat ini juga perlu pendidikan politik yang baik. Namun, supaya pendidikan politik itu masuk di kepala rakyat, tugas pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

”Kita saksikan di sejumlah pilkada, orang yang berkualitas, namun tidak punya modal sembako, tidak akan dipilih,” katanya.

Direktur Eksekutif Pendidikan dan Pemberdayaan Anak Bangsa Santoso Arief Prihandoyo sepakat, masyarakat membutuhkan pencerahan politik. Namun, partai politik yang ada saat ini tampaknya lebih banyak menyikapi secara pragmatis.

”Partai memang menghadapi dilema antara memberikan pendidikan politik dan menyikapi dengan langkah pragmatis. Parpol khawatir, kalau tidak mengikuti langgam masyarakat yang pragmatis, dukungan suaranya akan berkurang,” ujarnya.

Fungsionaris Partai Amanat Nasional, Nasrullah, menuturkan, partai yang memiliki cita-cita idealis memang sering kali menghadapi dilema. Namun, sekecil apa pun pendidikan politik kepada masyarakat, tetap perlu dilakukan.

”Kita tidak bisa menyalahkan sikap masyarakat yang pragmatis,” katanya. Apalagi, elite pemerintah tidak peduli. (mam/tra)

Negara Menularkan Premanisme


Toto Suparto

Pengujung 2008 diwarnai pembasmian premanisme. Siapa saja yang dianggap preman akan disapu aparat keamanan untuk kemudian ”dibina”.

Seorang penganggur yang sehari-hari terpaksa memungut retribusi liar dari toko ke toko mengaku tak luput dari razia preman itu. Penganggur itu dianggap pemalak dan harus ”dibina” beberapa hari di penjara milik kepolisian.

Sebenarnya penganggur itu beruntung. Jika saja dia diciduk pada era Orde Baru, dia sudah layak didor. Sebab, dia sudah memenuhi kategori preman. Kesehariannya sebagai pemalak didukung tato di beberapa bagian tubuh. Memang salah kaprah saat orang sudah mencirikan preman dengan tato. Layakkah selebriti yang tergila-gila tato disebut preman?

Bawaan Orde Baru

Anggapan itu ditanamkan Orde Baru. Semasa Orba, orang-orang bertato diburu pasukan khusus, lalu didor, dan dibungkus karung, dibuang. Pasukan itu dikenal sebagai penembak misterius alias petrus. Maka, sejumlah surat kabar acap memberitakan adanya mayat bertato.

Pada akhir 1983 dan awal 1984 mayat-mayat bertato ada di mana-mana. Saat itu, mayat bertato diistilahkan preman, gali (gabungan anak liar) atau centeng. Atas pembasmian preman ala petrus ini, Presiden Soeharto menenangkan masyarakat bahwa langkah itu sekadar shock therapy untuk menghentikan kejahatan karena kejahatan para preman telah mengganggu stabilitas nasional.

Maksud pemerintahan Orba menghentikan kejahatan preman tak berbuah, buktinya premanisme kembali tumbuh subur. Lantas muncul perbandingan, ”petrus” saja tidak mampu mematikan premanisme, apalagi jika sekadar ”dibina” seperti dilakukan sekarang.

Banyak yang beranggapan razia preman bakal sia-sia karena kategorisasi yang keliru. Padahal, secara harfiah, preman tak kenal kategorisasi. Preman adalah orang jahat. Sesungguhnya siapa pun yang berbuat jahat layak dirazia. Namun, entah mengapa, kali ini yang disapu sekadar kelas teri, para pengamen, pemalak jalanan, tukang parkir liar, pengatur lalu lintas amatiran, calo penumpang di terminal, atau pemuda bertato yang sedang nongkrong.

Saat kelas teri disapu, sementara kelas kakap dibiarkan hidup, maka premanisme akan terus berputar. Ibarat virus ia akan menulari yang lain. Premanisme yang menghalalkan kekerasan, melahirkan spiral kekerasan. Semula negara menyapu premanisme dengan kekerasan, preman pun menerapkan kekerasan untuk bertahan dari sapuan negara. Begitu senantiasa terjadi, sebagaimana spiral.

Alat kekuasaan

Penularan kekerasan bisa dijelaskan dengan beberapa konsep. Sifat orang jahat (preman) di antaranya memaksakan kehendak kepada orang lain meski ada perlawanan. Agar kehendaknya dipertimbangkan orang lain, preman menebar ketakutan. Di bawah ancaman ketakutan itulah kehendak mereka dipenuhi.

Saat para preman memaksakan kehendak, mereka ingin menunjukkan kekuasaan. Ini persis konsep Max Weber, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atas sekelompok orang untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain, meski ada penolakan, diwujudkan dengan perlawanan. Weber menambahkan kekuasaan manusia atas manusia lain berlandaskan instrumen legitimasi, yakni kekerasan. Sejalan dengan konsep Weber, baik ditengok prinsip Leviathan dari Hobbes, bahwa dalam suatu negara, untuk mengendalikan manusia secara obyektif, tanggung jawab moral tidak menjadi perhatian utama, yang terpenting bagaimana negara membuat takut masyarakat.

Dalam keseharian, sulit dimungkiri, negara pun mengadopsi pemahaman Weber dan Hobbes, menempatkan kekuasaan berdampingan dengan kekerasan. Contoh yang paling sering muncul ke publik, negara menggunakan kekerasan saat hendak menggusur kaum marjinal. Entah itu dibungkus dengan satpol PP atau aparat lain, tetapi tetap saja ada praktik kekerasan. Kesannya tak ada cara yang lembut manusiawi. Jika adopsi itu berlanjut, mustahil menghentikan premanisme.

Artinya, selama negara masih mempraktikkan kekerasan, praktik ini menular ke masyarakat, termasuk kalangan yang dikategorikan preman. Maka, benar teori Hannah Arendt, kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang terpisah dari kekerasan oleh negara. Masyarakat pun terbiasa menerapkan kekerasan dalam segala aspek kehidupan. Preman mengedepankan kekerasan untuk menunjukkan ”kekuasaan” mereka.

Penguasa maupun calon penguasa negara mengadopsi kekerasan untuk mencapai maupun memelihara kekuasaan. Lihat, elite politik pun memelihara sekelompok orang yang sering menggunakan kekerasan untuk menyingkirkan rintangan sepanjang jalan menuju kekuasaan. Inilah benih membahayakan saat kekuasaan telah digenggam.

Secara teori ada pilihan untuk menghindarkan kekerasan dalam kekuasaan. Seperti konsep kekuasaan Arendt yang mensyaratkan adanya tindakan komunikatif. Model tindakan komunikatif ini mendefinisikan kekuasaan sebagai pembentukan keinginan bersama melalui komunikasi dan kesepakatan.

Namun, di negeri ini keinginan bersama nyaris tak berwujud. Keinginan itu lebih dominan egosentris kelompok maupun perorangan. Artinya, kekuasaan komunikatif sulit diterapkan dan langgenglah kekuasaan model Weber atau Hobbes. Atas dasar ini, jangan terlalu berharap premanisme bisa dibersihkan. Perlu ada cara lain sekadar menebar ketakutan kepada preman. Sebab, begitu ketakutan itu pupus, preman beraksi kembali. Masalahnya, penularan dari negara terus berlangsung.

Toto Suparto Peneliti Puskab Yogyakarta

Awas Politik Anarki


Dony Kleden

Gejolak anarki ada di sekitar kita. Ia hadir dan tampil dalam banyak wajah dan tidak selalu vulgar dalam mengomunikasikan dirinya. Inilah bahaya laten dalam peta perpolitikan Indonesia zaman ini.

Tindakan anarki cenderung dipahami dalam arti luas, tetapi sebenarnya dangkal, yakni semua tindakan yang melawan negara atau membahayakan keamanan dan keutuhan negara. Pemahaman seperti ini tidak salah, tetapi jika kita berhenti pada pemahaman yang dangkal ini, kita akan terjebak momen nihilistik.

Anarki yang hadir secara tidak vulgar cenderung dinafikan pada hal ia berpotensi membubarkan negara. Momen nihilistik meruangkan konflik sosial. Anarki zaman ini pada peta politik Indonesia ada dalam sistem politik itu sendiri yang sebenarnya adalah pilar dan representasi politik bangsa. Anarki ini cenderung mengelabui publik dengan aneka wacana keadilan, padahal dia sendiri merampas dan bertindak tidak adil.

Politik anarki

Bangsa Indonesia menyimpan aneka tindakan anarki. Politik anarki cenderung meremangkan kesadaran sosial. Geliat anarki melahirkan ketercabikan kehidupan sosial sebagai bentuk destrusi moral. Ada beberapa politik anarki yang telah terjadi di negara kita dan hingga kini belum dikuak dan ditangani serius, seperti korupsi, pelecehan hukum, pemasungan demokrasi, dan fanatisme.

Pada kasus korupsi, politik anarki ini bersetubuh dengan pelecehan hukum yang hadir dan melumpuhkan jejaring kesejahteraan yang seharusnya dinikmati semua warga. Politik anarki ini mengklaim diri sebagai yang berhak memiliki, memanfaatkannya secara sepihak, apalagi sistem birokrasi yang bobrok mengondisikannya.

Integritas moral politisi terisap ke dalam ”massa” birokrasi yang korup sehingga politisi sendiri akhirnya kehilangan diri. Dalam sistem birokrasi yang korup, tindak korupsi menjadi sesuatu yang banal. Mengusut kejahatan korupsi berarti membuka labirin dosa dan magma kejahatan yang terus saja menyembul.

Kedua, fanatisme. Politik anarki jenis fanatisme ini mengkristal dalam berbagai macam klaim kebenaran. Klaim kebenaran itu bisa muncul dalam berbagai macam bidang di antaranya agama, budaya, ideologi, dan ras. Politik anarki ini memarjinalkan kebersamaan dan melihat segala macam perbedaan sebagai ancaman. Ia merasa tidak aman dengan adanya kehadiran the other (heterofobia).

Bentuk anarki keempat adalah pemasungan demokrasi. Demokrasi yang sebenarnya adalah perekat sosial antargolongan masyarakat telah menjadi nista oleh politik anarki yang melihat demokrasi sebagai kebebasan untuk bersaing. Politik anarki jenis ini berangkat dari keegoan dan kerakusan akan kekuasaan. Perdebatan wacana, saling menyalahkan dan mengumpat, adalah tanda bahwa demokrasi kita belum sampai pada kompromi, baru sebatas persaingan. Lihat pada setiap pemilu yang disebut pesta demokrasi. Di sana banyak terjadi politik anarki yang disiasati dalam banyak bentuk dan diperuncing dengan berbagai cara.

Politik untuk rakyat

Nelson Mandela telah menjadi ikon bukan hanya bagi rakyat Afrika Selatan, tetapi juga untuk semua rakyat yang merindukan figur seorang pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Ia telah mendapat tempat di hati rakyat Afrika Selatan. Sepanjang pemerintahannya, ia tunduk pada kepentingan rakyat dengan menjunjung tinggi semangat demokrasi yang menjadikan rakyat sejahtera.

Demikian pula Presiden Bolivia Evo Morales yang memahami politik sebagai ilmu melayani rakyat, bukan hidup dari rakyat.

Di Indonesia, Bung Hatta juga menjadi inspirasi bagi politisi yang mau berpihak kepada rakyat, bukan pada diri, kelompok, atau golongan tertentu. Komitmennya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan rakyat menjadikannya sebagai pemimpin dan pahlawan besar dalam sejarah Indonesia. Ia mundur dari wakil presiden saat merasa posisi itu tidak membuatnya mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bung Hatta mewariskan ketulusan politik untuk membangun suatu bangsa.

Baik Nelson Mandela, Evo Morales, maupun Bung Hatta adalah figur pemimpin yang tahu diri. Mereka tahu bahwa posisi yang dimiliki bukan sebuah kesempatan untuk menggapai cita-cita dan ambisi pribadi. Mereka adalah pemimpin yang punya prinsip, yang teguh dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Bagi mereka, politik adalah melayani rakyat. Rakyat adalah kata kunci dalam politik itu sendiri.

Sanggupkah para politisi kita sekarang ini menghadirkan Nelson Mandela dan Bung Hatta dalam politiknya sehingga rakyat tidak hanya terus mencerca para politisi sebagai yang anarki, tetapi pada akhirnya juga bisa percaya dan menyanjung politisi yang tahu dan menjawab situasi negara ini?

DONY KLEDEN Rohaniwan; Pemerhati Masalah Politik, Tinggal di NTT

Gelombang Balik Korupsi Politik


Semakin mendekati bulan April 2009, semakin nyaring suara rakyat yang menyatakan ketidakpedulian terhadap pemilu. Pemilu yang awalnya disambut dengan penuh gairah dan harapan perubahan dikhawatirkan hanya penuh tebaran retorika ikrar politik para elite.

Sikap sinikal dan skeptik masyarakat terhadap pemilu tersebut tidak muncul tiba-tiba. Gairah masyarakat menyambut pemilu dapat disaksikan pada Pemilu 1999. Pemilu pertama yang demokratis sejak runtuhnya Orde Baru disambut rakyat dengan bergelora dan antusias. Ekspektasi terjadinya perbaikan nasib sedemikian besar sehingga masyarakat bersedia membiayai kampanye parpol dengan membuat kaus sendiri, mendirikan posko, membeli bensin, dan lainnya.

Akan tetapi, sayangnya, pemilu berikutnya, tahun 2004 serta ratusan pemilihan kepala daerah langsung yang dimulai sejak juni 2005, memunculkan perubahan dramatis. Politik uang menggantikan politik cita-cita. Gelombang korupsi politik semakin besar, sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi kontestasi politik di tingkat lokal.

Para elite politik berlomba- lomba mengumpulkan dana politik yang tidak dapat dikontrol. Kekuasaan yang diperolehnya dengan janji-janji muluk dikonversi menjadi kekayaan pribadi dan kelompok untuk biaya mempertahankan dan mengukuhkan kekuasaan.

Penyalahgunaan wewenang menjadi berkelanjutan. Pada tataran masyarakat, gelombang korupsi kekuasaan telah menggulung dan meluluhlantakkan harapan dan impian rakyat untuk hidup lebih baik. Akibatnya, rakyat menjadi frustrasi, kecewa, dan merasa dibohongi.

Kepercayaan yang diberikan kepada para elite politik dengan harapan memberikan perbaikan hidup ternyata hanya menjadi mimpi buruk.

Luka batin tidak mudah disembuhkan atau dinetralisasi hanya dengan memberikan penjelasan bahwa demokrasi perlu kesabaran, mengingat yang dibangun bukan hanya struktur politik, melainkan juga peradaban baru.

Lebih-lebih masyarakat setiap hari dihadapkan pada kebutuhan mendesak. Rakyat juga melihat bagaimana para penguasa menghamburkan uang negara. Angka ”golput” yang tinggi mencerminkan kekecewaan mereka.

Gelombang balik

Sikap skeptis masyarakat berbanding terbalik dengan nafsu para caleg yang ”menjajakan” dirinya melalui berbagai poster dan spanduk yang penuh percaya diri.

Namun, di balik sikap yang penuh percaya diri itu, kita juga perlu tahu bahwa para caleg tersebut sangat kecewa atas perilaku masyarakat yang sangat berorientasi pada uang.

Setiap upaya untuk mendekati calon pemilih potensial selalu dibarengi dengan tuntutan penyediaan dana, termasuk perjanjian sekelompok orang yang bersedia menggalang wilayah tertentu dengan budget puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kalau transaksi politik tersebut ditolak, tawaran akan disampaikan kepada caleg lain. Intinya, semua harus serba duit.

Para caleg merasa seperti menjadi ”anjungan tunai mandiri” (ATM). Bahkan, sebagian caleg merasakan tuntutan konstituen sebagai teror yang menakutkan sehingga mereka enggan sering berkunjung ke daerah pemilihannya. Mereka bahkan menganggap sikap sebagian masyarakat sudah keterlaluan dan kehilangan rasa kepatutan.

Perilaku masyarakat yang dianggap terlalu berorientasi kepada uang itu ditengarai sebagai gelombang balik korupsi politik yang telah dilakukan secara blakblakan oleh para elite politik. Sikap itu bisa jadi merupakan resultante perilaku koruptif para pemegang kekuasaan yang telah melupakan sumber kekuasaan itu sendiri, yaitu rakyat.

Rendahnya tingkat kredibilitas parpol dan lembaga perwakilan rakyat menunjukkan bahwa politisi bukan orang yang mulia, tetapi juga sosok yang lebih banyak mementingkan dirinya atau kelompoknya.

Gelombang korupsi politik tidak hanya akan melanda para penguasa, tetapi ia juga dapat menenggelamkan bangunan demokrasi tatanan politik yang beradab. Keganasannya telah terbukti meruntuhkan kredibilitas tidak saja lembaga-lembaga politik, tetapi juga lembaga penegak hukum dan peradilan.

Kalau dibiarkan, dikhawatirkan politik Indonesia akan dikuasai mereka yang mempunyai dana besar. Hitungan kasar akan menemukan angka sekitar Rp 3,5 triliun apabila harga setiap anggota parlemen memerlukan dana Rp 5 miliar-Rp 10 miliar.

Konstatasi dramatis dan kekhawatiran di atas bukan sikap yang pesimistis. Ulasan di atas lebih didorong oleh semangat agar Pemilu 2009 lebih bermakna. Perjuangan melawan korupsi politik harus menjadi komitmen bersama, terutama bagi para calon wakil rakyat periode 2009-2014.

Jangan biarkan rakyat bertambah kecewa terus-menerus. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah segera melakukan kontrol ketat terhadap keuangan parpol, terutama dana kampanye mereka.

Parpol juga dapat memperdebatkan dana kampanye lawan politik mereka, khususnya budget yang dipergunakan untuk iklan politik yang diyakini bakal sangat besar.

Selasa, 16 Desember 2008

Gelombang Balik Korupsi Politik


Semakin mendekati bulan April 2009, semakin nyaring suara rakyat yang menyatakan ketidakpedulian terhadap pemilu. Pemilu yang awalnya disambut dengan penuh gairah dan harapan perubahan dikhawatirkan hanya penuh tebaran retorika ikrar politik para elite.

Sikap sinikal dan skeptik masyarakat terhadap pemilu tersebut tidak muncul tiba-tiba. Gairah masyarakat menyambut pemilu dapat disaksikan pada Pemilu 1999. Pemilu pertama yang demokratis sejak runtuhnya Orde Baru disambut rakyat dengan bergelora dan antusias. Ekspektasi terjadinya perbaikan nasib sedemikian besar sehingga masyarakat bersedia membiayai kampanye parpol dengan membuat kaus sendiri, mendirikan posko, membeli bensin, dan lainnya.

Akan tetapi, sayangnya, pemilu berikutnya, tahun 2004 serta ratusan pemilihan kepala daerah langsung yang dimulai sejak juni 2005, memunculkan perubahan dramatis. Politik uang menggantikan politik cita-cita. Gelombang korupsi politik semakin besar, sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi kontestasi politik di tingkat lokal.

Para elite politik berlomba- lomba mengumpulkan dana politik yang tidak dapat dikontrol. Kekuasaan yang diperolehnya dengan janji-janji muluk dikonversi menjadi kekayaan pribadi dan kelompok untuk biaya mempertahankan dan mengukuhkan kekuasaan.

Penyalahgunaan wewenang menjadi berkelanjutan. Pada tataran masyarakat, gelombang korupsi kekuasaan telah menggulung dan meluluhlantakkan harapan dan impian rakyat untuk hidup lebih baik. Akibatnya, rakyat menjadi frustrasi, kecewa, dan merasa dibohongi.

Kepercayaan yang diberikan kepada para elite politik dengan harapan memberikan perbaikan hidup ternyata hanya menjadi mimpi buruk.

Luka batin tidak mudah disembuhkan atau dinetralisasi hanya dengan memberikan penjelasan bahwa demokrasi perlu kesabaran, mengingat yang dibangun bukan hanya struktur politik, melainkan juga peradaban baru.

Lebih-lebih masyarakat setiap hari dihadapkan pada kebutuhan mendesak. Rakyat juga melihat bagaimana para penguasa menghamburkan uang negara. Angka ”golput” yang tinggi mencerminkan kekecewaan mereka.

Gelombang balik

Sikap skeptis masyarakat berbanding terbalik dengan nafsu para caleg yang ”menjajakan” dirinya melalui berbagai poster dan spanduk yang penuh percaya diri.

Namun, di balik sikap yang penuh percaya diri itu, kita juga perlu tahu bahwa para caleg tersebut sangat kecewa atas perilaku masyarakat yang sangat berorientasi pada uang.

Setiap upaya untuk mendekati calon pemilih potensial selalu dibarengi dengan tuntutan penyediaan dana, termasuk perjanjian sekelompok orang yang bersedia menggalang wilayah tertentu dengan budget puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kalau transaksi politik tersebut ditolak, tawaran akan disampaikan kepada caleg lain. Intinya, semua harus serba duit.

Para caleg merasa seperti menjadi ”anjungan tunai mandiri” (ATM). Bahkan, sebagian caleg merasakan tuntutan konstituen sebagai teror yang menakutkan sehingga mereka enggan sering berkunjung ke daerah pemilihannya. Mereka bahkan menganggap sikap sebagian masyarakat sudah keterlaluan dan kehilangan rasa kepatutan.

Perilaku masyarakat yang dianggap terlalu berorientasi kepada uang itu ditengarai sebagai gelombang balik korupsi politik yang telah dilakukan secara blakblakan oleh para elite politik. Sikap itu bisa jadi merupakan resultante perilaku koruptif para pemegang kekuasaan yang telah melupakan sumber kekuasaan itu sendiri, yaitu rakyat.

Rendahnya tingkat kredibilitas parpol dan lembaga perwakilan rakyat menunjukkan bahwa politisi bukan orang yang mulia, tetapi juga sosok yang lebih banyak mementingkan dirinya atau kelompoknya.

Gelombang korupsi politik tidak hanya akan melanda para penguasa, tetapi ia juga dapat menenggelamkan bangunan demokrasi tatanan politik yang beradab. Keganasannya telah terbukti meruntuhkan kredibilitas tidak saja lembaga-lembaga politik, tetapi juga lembaga penegak hukum dan peradilan.

Kalau dibiarkan, dikhawatirkan politik Indonesia akan dikuasai mereka yang mempunyai dana besar. Hitungan kasar akan menemukan angka sekitar Rp 3,5 triliun apabila harga setiap anggota parlemen memerlukan dana Rp 5 miliar-Rp 10 miliar.

Konstatasi dramatis dan kekhawatiran di atas bukan sikap yang pesimistis. Ulasan di atas lebih didorong oleh semangat agar Pemilu 2009 lebih bermakna. Perjuangan melawan korupsi politik harus menjadi komitmen bersama, terutama bagi para calon wakil rakyat periode 2009-2014.

Jangan biarkan rakyat bertambah kecewa terus-menerus. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah segera melakukan kontrol ketat terhadap keuangan parpol, terutama dana kampanye mereka.

Parpol juga dapat memperdebatkan dana kampanye lawan politik mereka, khususnya budget yang dipergunakan untuk iklan politik yang diyakini bakal sangat besar.

Senin, 15 Desember 2008

Kaum Muda Harus Kuasai Kepemimpinan


Jakarta, Kompas - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar mengatakan, kepemimpinan mendatang memang harus dikuasai kalangan muda. Bukan saja untuk memberikan semangat baru bagi kepemimpinan nasional, tetapi juga untuk memperlihatkan bahwa proses regenerasi bangsa ini tidak berhenti.

”Pemimpin kaum muda itu hanyalah soal waktu. Kalau kalangan politisi senior yang ada saat ini tidak legowo memberikan kesempatan kepada politisi yang lebih muda untuk tampil dengan beragam alasan, mereka itu hanyalah menunda proses perubahan,” ujarnya, Sabtu (13/12).

Sebuah perubahan, menurut Muhaimin, bukan sekadar terjadinya pergantian kekuasaan, tetapi mampu memberikan efek kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. ”Tidak logis jika rakyat negeri ini menderita. Bangsa ini mempunyai semua yang dibutuhkan,” ujarnya.

Secara terpisah, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir di depan para kadernya di Jakarta, Sabtu, menyebutkan, meskipun problem kebangsaan begitu besar, seluruh anak bangsa negeri ini tidak pantas menyerah.

Dengan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk yang sangat besar, bangsa ini seharusnya tak khawatir ketika ancaman pengangguran ada di depan mata. Namun, bangsa ini tetap membutuhkan pemimpin yang bisa menunjukkan jalan keluar agar bangsa ini tidak jatuh dalam keputusasaan.

Di Bandung, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah menyebutkan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri merupakan calon presiden terkuat pada Pemilu 2009. Ia secara pribadi pun menyatakan dukungannya kepada Yudhoyono. Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertema ”Pemuda dan Kepemimpinan Nasional”, Jumat lalu di Universitas Islam Bandung.

Bachtiar meragukan calon-calon lain, semisal Prabowo Subianto dan Wiranto, bisa memenuhi syarat 25 persen suara. Ia juga memperkirakan partai politik pengusung kedua calon itu bakal sulit meraih 20 persen kursi dalam pemilu legislatif.

Kepemimpinan nasional ke depan, lanjut Bachtiar, memerlukan dukungan penuh dari legislatif. Tanpa dukungan itu, setiap program eksekutif akan menghadapi tantangan dari legislatif dan kestabilan pemerintahan sulit diwujudkan.

Maraknya wacana pergantian kepemimpinan nasional oleh kaum muda, menurut dia, wajar. Meski demikian, Bachtiar mengingatkan pemuda hanya bisa maju sebagai presiden melalui partai politik. ”Saat ini aturannya menyatakan presiden dicalonkan dari parpol sehingga tak ada jalan lain bagi pemuda yang ingin maju dalam kepemimpinan nasional kecuali melalui parpol,” katanya.

Ia mengakui peran parpol selama ini tidak memuaskan rakyat. Terkait itulah pemuda diharapkan terlibat aktif dan memperbaiki peranan parpol. (MAM/REK)

Pimpinan DPR Akan "Dipreteli"


Semua Keputusan Harus di Paripurna

Jakarta, Kompas - Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat tidak akan lagi memiliki kekuasaan yang sangat besar maupun fasilitas istimewa seperti sebelumnya. Fraksi-fraksi sepakat untuk ”mempretelinya” dalam undang-undang.

Semangat itu berkembang dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sekarang tengah dibahas DPR bersama pemerintah.

”Semangat semua fraksi, pimpinan DPR bukan lagi seperti pimpinan departemen yang menentukan banyak hal,” kata Wakil Ketua Pansus Hajriyanto Y Thohari dari Fraksi Partai Golkar, Sabtu (13/12).

Menurut Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nursanita Nasution, fokus pimpinan DPR nanti hanyalah menjadi juru bicara sehingga tidak mempunyai tugas-tugas manajerial seperti lembaga negara lain.

Fasilitas pimpinan pun tidak boleh seperti sekarang yang sangat berlebihan. ”Pimpinan tugas utamanya sebagai speaker, menyampaikan keputusan-keputusan dari alat kelengkapan dan putusan paripurna. Tidak menyuarakan pendapat pribadinya yang bertentangan dengan keputusan Dewan,” ujarnya.

Selama ini tugas pimpinan DPR yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD sangatlah besar. Pimpinan DPR, antara lain, diberi tugas menyusun rencana kerja; atau menetapkan arah, kebijakan umum, dan strategi pengelolaan anggaran DPR.

Menurut Hajriyanto, semua keputusan tentang rencana kerja nanti harus diputuskan dalam paripurna. Demikian pula dengan pengelolaan anggaran.

”Selama ini anggaran itu diusulkan Badan Urusan Rumah Tangga dan diputuskan oleh pimpinan DPR bersama sekretariat jenderal. Akibatnya, kasus renovasi ruang anggota Dewan pun banyak yang tidak tahu. Begitu juga dengan pemasangan televisi di setiap penjuru DPR,” ujarnya.

Lebih transparan

Pimpinan DPR juga tidak akan bisa menahan atau menyembunyikan laporan Badan Kehormatan tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota DPR karena pimpinan DPR hanya mendapat surat pemberitahuan, bukan yang mengumumkan hasil keputusan.

Terkait dengan surat izin pemeriksaan anggota Dewan yang terkena kasus pidana, Fraksi Partai Golkar juga mengusulkan agar pihak kepolisian atau kejaksaan cukup menyampaikan surat pemberitahuan kepada pimpinan DPR. Bukan seperti pada masa lalu, pimpinan DPR yang meneruskan surat tersebut kepada presiden untuk mendapatkan izin.

Perubahan tugas pimpinan DPR ini berdampak pada pengambilan keputusan di DPR, yang diharapkan akan semakin transparan karena semua diputuskan dalam paripurna yang bersifat terbuka.

”Sidang paripurna juga menjadi lebih punya makna, tidak seperti sekarang, sehingga bisa menarik anggota Dewan untuk hadir,” ucap Hajriyanto.

Menurut Nursanita, dengan adanya perubahan ini, pimpinan DPR juga ti dak bisa lagi seperti sekarang merasa diri sebagai ”bos DPR” dan menganggap Sekretariat Jenderal harus melayaninya. (sut)

Mengukur Kinerja dan Elektabilitas Yudhoyono


BAMBANG SETIAWAN

Kondisi politik yang terjadi selama kurun waktu 2004-2008 turut menentukan apakah Susilo Bambang Yudhoyono akan terpilih kembali sebagai presiden atau tidak dalam Pemilu 2009. Pemilu ini bahkan akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh presiden bisa mengambil jarak dari kekisruhan politik dan tetap menampilkan citra demokratisnya sebagai politikus dan pejabat bertahan (incumbent).

Politik menjadi satu-satunya bidang dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono yang cenderung dinilai positif selama empat tahun masa kerja presiden. Bidang-bidang lainnya cenderung dinilai negatif.

Walaupun bidang hukum, khususnya pemberantasan korupsi, terus mengalami peningkatan apresiasi selama setahun belakangan ini, indeks rata-rata selama empat tahun menunjukkan kinerja di bidang ini belum mencapai nilai positif.

Penilaian ini didasarkan pada pengolahan data hasil jajak pendapat Kompas terhadap kinerja presiden yang dilakukan Litbang Kompas setiap tiga bulan sekali.

Dari 16 kali jajak pendapat selama berjalannya pemerintahan Presiden Yudhoyono, dirumuskan indeks penilaian terhadap masing-masing bidang. Indeks kepuasan adalah selisih antara persentase kepuasan dikurangi dengan ketidakpuasan responden dalam tiap-tiap bidang.

Semakin besar nilai negatif, semakin tinggi indeks ketidakpuasan, dan semakin besar nilai positif, semakin tinggi nilai indeks kepuasannya.

Dengan model ini, ukuran indeks berada dalam rentang antara minus (-)100 hingga plus (+)100. Nilai persentase dari mereka yang tidak memberikan jawaban tidak diperhitungkan dalam indeks kepuasan ini.

Indeks rata-rata kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah bidang politik adalah (+)6,6 dan menjadi modal positif yang dipunyai Presiden Yudhoyono saat ini. Meski sisi positifnya tidak terlalu tinggi, namun dibandingkan dengan indeks kepuasan publik terhadap dua pemerintahan sebelumnya, Yudhoyono boleh bernapas lega.

Indeks kepuasan, baik pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun Megawati Soekarnoputri, negatif dengan angka indeks (-)39,1 dan (-)29,9. Bahkan, di berbagai bidang lain, selama periode kekuasaan mereka, kepuasan publik lebih condong ke sisi minus.

Kehati-hatian Yudhoyono menjaga citra politiknya dengan tidak ikut campur secara terbuka dalam berbagai peristiwa politik seperti pilkada, upayanya menjaga stabilitas lembaga negara dari perpecahan, dan sikapnya yang menjaga jarak dengan tarikan politik berbagai kepentingan menjadikan berbagai intrik panas relatif dapat dihindarkannya.

Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang relatif tetap terjaga dari intervensi negara, dan kebebasan memilih dalam pilkada yang dirasakan di hampir semua daerah, menjadi dimensi yang menguntungkan citra politik pemerintahannya. Kebebasan pers, misalnya, menempati indeks (+)57,8.

Kelemahan di ekonomi

Bidang ekonomi menjadi kelemahan pemerintahan Yudhoyono yang paling menonjol selama empat tahun ini.

Dibandingkan dengan bidang kesejahteraan sosial maupun hukum, bidang ekonomi menempati indeks yang lebih buruk. Kenaikan harga minyak yang lebih dari dua kali lipat selama periode pemerintahannya serta membubungnya harga barang dan jasa menjadi indikator yang memiliki nilai minus cukup besar, dengan indeks kepuasan (-)51,3.

Namun, ketidakberdayaan pemerintah yang paling dirasakan oleh masyarakat justru bukan dalam soal sembako, tetapi soal semakin sempitnya lapangan kerja (nilai indeks -74,8).

Sejak tahun 2004 memang tingkat pengangguran terbuka di Indonesia cenderung meningkat. Tahun 2005, misalnya, menurut Badan Pusat Statistik, mencapai 11,24 persen dan tahun berikutnya 10,45 persen.

Apakah Yudhoyono akan terpilih kembali sebagai presiden dalam Pemilu 2009? Tampaknya peluang untuk terpilih kembali masih cukup besar apabila dilihat dari tingkat elektabilitas yang relatif konstan, yang disampaikan publik.

Setidaknya hingga saat ini kecenderungan responden untuk memilihnya kembali lebih besar daripada yang tidak. Indeks elektabilitas pun menunjukkan sisi positif yang lebih menonjol meski hanya menempati indeks rata-rata (+)11,6.

Bahkan, ada kecenderungan pada bulan Oktober terjadi peningkatan yang cukup signifikan dengan menempati indeks (+)27 dibandingkan dengan periode tiga bulan sebelumnya yang hanya (+)4,6.

Yudhoyono juga masih bertengger di posisi puncak, setidaknya di antara publik kelas menengah yang tercermin dalam jajak pendapat telepon ini.

Di kelas ini, preferensi untuk memilih Yudhoyono terpaut jauh dengan pesaing terdekatnya. Persaingan di antara tokoh-tokoh tampaknya hanya terjadi di urutan menengah.

Di level ini, pergeseran-pergeseran dukungan untuk menempati posisi ketiga dan keempat relatif lebih sering terjadi. Prabowo Subianto dengan Sultan Hamengku Buwono X saat ini bersaing cukup ketat menempati posisi ini. Khususnya Prabowo, berpotensi menjadi kuda hitam yang layak diperhitungkan mengingat popularitasnya yang terus naik. Sementara Megawati masih menjadi bayang-bayang Yudhoyono di urutan kedua.

Tampaknya, relatif cukup berat untuk mengalahkan Yudhoyono dalam pemilu tahun depan. Dalam waktu enam-delapan bulan ke depan, memang tidak ringan untuk membangun kredibilitas sosok alternatif, kecuali ada manuver politik yang demikian tepat setelah pemilu legislatif. Manuver paling riil tentulah koalisi partai dan pilihan pasangan yang tepat. (Litbang Kompas)

Korupsi, Perspektif Antropologi


Amich Alhumami

Praktik korupsi di Indonesia sudah di luar nalar sehat. Korupsi itu bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan.

Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial. Ini fakta paradoksal sekaligus ironi tak terperi.

Bagaimana ilmu antropologi menjelaskan fenomena sosial yang merisaukan ini? Paling tidak ada tiga penjelasan.

Penjelasan pertama merujuk teori negara patrimonial, yang menempatkan pemimpin dan elite politik sebagai pemegang kekuasaan yang mendominasi sumber daya ekonomi-politik. Sebagai pemegang kekuasaan politik, sang penguasa bertindak selaku patron yang membangun hubungan patronase dengan para klien dalam posisi tidak setara. Para klien menjadi subordinasi sehingga mereka sepenuhnya bergantung pada sang patron. Mereka harus bersedia mengabdi dan melayani sang patron bila ingin mendapat bagian dan akses ke sumber daya ekonomi-politik itu.

Praktik inilah yang berlangsung di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan Indonesia. Di sini terbangun hubungan segi-tiga-tergantung antara anggota DPR, birokrat, dan pengusaha. Anggota DPR selalu mengambil peran sebagai patron, baik bagi birokrat maupun pengusaha, yang selalu diposisikan sebagai klien. Untuk mendapatkan proyek atau aneka kontrak, pengusaha harus bersedia memberi all in services kepada anggota DPR dan birokrat.

Demikian pula birokrat harus melakukan hal sama, memberikan pelayanan prima kepada anggota DPR untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau persetujuan alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan. Kasus Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Faishal, dan para pejabat BI harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa-patronase ini.

Tukar hadiah

Penjelasan kedua merujuk teori gift exchange atau gift-giving dari ahli antropologi Perancis, Marcel Mauss (The Gift, 1954). Dalam masyarakat primitif, relasi sosial dan interaksi antarwarga berlangsung hangat dan dekat satu sama lain. Mereka membangun hubungan sosial yang bersifat face to face community interactions, tecermin pada kebiasaan bertukar hadiah (gift exchange) dan memberi bingkisan (gift giving).

Tukar hadiah menggambarkan suatu relasi harmonis di antara anggota masyarakat, melambangkan penghormatan/ penghargaan sesama warga masyarakat, merefleksikan kohesivitas sosial yang kokoh, serta melukiskan kedekatan personal di antara pihak yang terlibat dalam pertukaran hadiah.

Adapun pemberian bingkisan juga merupakan simbolisasi civic culture, social virtue, dan public morality di kalangan masyarakat primitif. Bila seseorang diberi hadiah, ia memiliki kewajiban moral untuk membalas pemberian hadiah itu dengan nilai setara sebagai ungkapan penghargaan dan aktualisasi nilai-nilai kebajikan sosial. Ini merupakan bentuk etika sosial yang menandai penghormatan kepada sesama warga masyarakat.

Namun, masyarakat modern membuat ”interpretasi kreatif” dan memberi makna baru tukar hadiah, dengan mengubah pemberian bingkisan menjadi kickback, pay-off, dan buy-off untuk memperlancar segala urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Masyarakat modern telah menyelewengkan fungsi sosial tukar hadiah sebagai instrumen untuk merekatkan hubungan antarwarga masyarakat. Penyelewengan makna pemberian bingkisan menjadi uang suap/uang pelicin jelas bertentangan dengan moralitas publik, etika sosial, dan civic virtue yang berlaku di masyarakat primitif.

Saksikan pemberian hadiah dalam makna baru kini bertebaran di ruang-ruang pertemuan informal di hotel-hotel berbintang, yang melibatkan anggota DPR, aparatur birokrasi, pejabat pemerintah, dan pengusaha yang berkepentingan mendapat proyek pembangunan dan kontrak pekerjaan.

Korupsi

Penjelasan ketiga merujuk teori cultural relativism terkait pengertian korupsi yang merujuk pada nilai-nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat (lihat Haller and Shore, Corruption: Anthropological Perspectives, 2005). Korupsi adalah konsep modern yang muncul dalam wacana modernitas sehingga definisi korupsi bisa saja berlainan dalam konteks budaya masyarakat yang berbeda-beda.

Dalam wacana modernitas, korupsi didefinisikan sebagai misuse of power, of public office, of entrusted authority for private benefits. Dalam pengertian ini, bila seorang pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan atau menyelewengkan otoritas untuk kepentingan pribadi atau mendapat manfaat ekonomi dan keuntungan finansial dari jabatan yang diembannya, itu tergolong korupsi. Ini berbeda dengan pemahaman masyarakat di negara patrimonial saat kekuasaan mengalami personalisasi dan jabatan publik dianggap sebagai milik pribadi.

Dalam konteks budaya negara patrimonial, pengertian korupsi sebagai misuse of power for personal gains sama sekali tak berlaku. Bahkan, di masyarakat tertentu ada anggapan, mengalokasikan sumber daya publik—aset ekonomi produktif, pekerjaan, dan dana publik—kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni merupakan hal yang lumrah karena nilai-nilai budaya yang berlaku adalah personal/communal patrimony. Di sini batasan antara wilayah publik dan pribadi menjadi kabur sehingga korupsi dalam pengertian modern untuk konteks masyarakat demikian menjadi relatif sebagaimana relativitas budaya di masyarakat yang berbeda-beda itu (lihat Akhil Gupta, Blurred Boundaries: The Discourse of Corruption, the Culture of Politics, and the Imagined State, 1995).

Kini, simak ulang 18 modus operandi praktik korupsi di lingkungan pemerintah daerah seperti dilansir Kompas (23/8/2008), yang menunjukkan para pejabat publik mencampuradukkan antara public affairs dan private businesses. Padahal, pemisahan tegas kedua domain/ urusan itu—merujuk tradisi birokrasi Weberian—justru yang mendasari pendefinisian korupsi dalam wacana modernitas. Sungguh, imajinasi negara modern yang merujuk prinsip legal-rasional-kontraktual amat jauh dari alam pikiran para pejabat publik di Indonesia.

Amich Alhumami Sedang Riset untuk Disertasi ”Political Power, Corruption, and Witchcraft in Contemporary Indonesia”. Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom