Rabu, 28 Januari 2009

Afirmatif Akan Diperjuangkan


KPU Tidak Berhak Atur Pembagian Kursi

Jakarta, Kompas - Kebijakan afirmatif untuk perempuan harus diperjuangkan. Kelompok Kerja Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Jakarta, Selasa (27/1), berpandangan perlu ditetapkan regulasi penetapan calon terpilih yang memuat substansi roh kebijakan afirmatif pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR/DPRD lewat suara terbanyak.

Masruchah dan Yuda Irlang dari kelompok kerja (pokja) menyebutkan, putusan MK yang menyatakan penetapan calon terpilih mesti dengan suara terbanyak adalah wajah muram bagi gerakan perempuan. Roh kebijakan afirmatif terhadap perempuan menjadi hilang. Pokja berharap agar peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ataupun peraturan KPU bisa mengembalikan roh itu.

KPU diharapkan bisa berperan aktif dan mengambil tindakan nyata dalam menegakkan semangat afirmasi. Yuda juga menyatakan, Pokja Keterwakilan Perempuan berencana menemui Presiden. ”Kami tidak yakin apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memahami secara jelas kebijakan afirmatif untuk perempuan,” kata Yuda.

KPU berencana memasukkan kebijakan afirmatif untuk perempuan dalam penetapan calon anggota DPR/DPRD terpilih. Jika satu partai politik meraih tiga kursi di sebuah daerah pemilihan (dapil), kursi ketiga diserahkan kepada calon anggota legislatif (caleg) perempuan.

Tidak mendukung

Di Jakarta, Selasa, Sekjen Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Samuel Samson menegaskan, partainya tak mendukung langkah KPU membuat kebijakan afirmatif bagi caleg perempuan. Kebijakan afirmatif itu sebaiknya dilakukan secara internal oleh partai politik.

Menurut Samuel, PKPI yang memiliki caleg perempuan terbanyak dengan persentase 45,8 persen, secara internal memberikan keistimewaan di setiap dapil, meskipun tak seperti direncanakan KPU. Posisi yang strategis diberikan kepada caleg perempuan.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR Lukman Hakim Saifuddin juga mempertanyakan kesesuaian kebijakan afirmatif ala KPU dengan putusan MK. Otoritas KPU dalam membuat regulasi seperti itu pun layak diperdebatkan. Jika nantinya peraturan KPU diuji ke Mahkamah Agung (MA), ketidakpastian bakal berlarut-larut.

”Yang berhak memutus sengketa hasil pemilu adalah MK. Adapun kewenangan menguji peraturan KPU adalah MA, bukan di MK. Tambah ruwet kan?” ujar Lukman.

Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Yasonna H Laoly (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menyebutkan, KPU tak memiliki hak mengatur pemberian kursi untuk caleg perempuan. Putusan MK yang bersifat negative legislation tak bisa menciptakan norma. Penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak harus melalui norma UU. Ketentuan menyangkut pemberian kursi bukanlah sekadar aturan teknis karena punya implikasi institusional dan konstitusional sehingga sama sekali berada di luar kewenangan KPU.

Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyebutkan, PKB belum menyikapi dan memilih menunggu keputusan akhir KPU soal kebijakan afirmatif. Yang terpenting adalah kejelasan dasar hukum bagi KPU untuk membuat kebijakan afirmatif untuk caleg perempuan itu. (dik/inu/eki/mhf/ang)

Kutu Politik

Max Regus

Dua artikel dari dua aktivis prodemokrasi diturunkan Kompas secara bersamaan. Pertama, Boni Hargens, dengan artikel Paradoks Demokrasi Permukaan, kedua, Febri Diansyah, dengan artikel Parlemen ”Tukang Bolos”.

Pada artikel pertama, ada pesan teoretik amat kuat untuk membaca politik kontemporer Indonesia. Dan, pada artikel kedua, ada penjelasan signifikan merujuk pada kerangka konseptual sebelumnya.

Singkatnya, kedua artikel itu ingin mengatakan, demokrasi di Indonesia masih ”artifisial”, tidak pernah matang. Kondisi demokrasi demikian memperkuat posisi wakil rakyat yang lebih suka ”bolos” dari gedung terhormat itu. Demokrasi kita memberi keleluasaan bagi para ”tukang bolos” di parlemen. Sebaliknya, parlemen ”tukang bolos” memiliki peran mengucilkan demokrasi dari kematangan.

Amoral

Kedua artikel itu amat benar pengungkapannya. Dan, tidak ada bantahan saat dikatakan, jejak kaki para elite politik kekuasaan di Indonesia tidak pernah meninggalkan ”keadilan” untuk masyarakat, selain parade kehancuran yang menggumpal sebagai ”beban historis”.

David Low dari Centre for the Study of Cartoon and Caricature, University of Kent, Canterbury, pada tahun 1933 membuat sebuah kartun politik menarik. Ia melukiskan demokrasi dengan seekor kuda kurus yang ditunggangi tiga pria gemuk dan seorang lainnya menarik ekor kuda itu. Sementara itu, pada jarak satu meter di depan, ada seekor anjing sedang menyalak. Gonggongan anjing itu ditujukan kepada ketiga pria yang tidak tahu malu menunggangi kuda kurus itu.

Low mengungkapkan, kartun jenaka itu menggambarkan demokrasi yang terlalu dibebani perilaku keji para politikus. Mereka menunggangi demokrasi demi memenangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka tidak peduli ”teriakan” publik. Mereka mengendalikan ”demokrasi” untuk mewadahi keperluan sempitnya.

Amat jelas, pada keadaan seperti ini, yang ada tidak lebih dari sekadar konstruksi kekuasaan tanpa moralitas (sosial-politik) yang produktif untuk kesejahteraan umum. Demokrasi telah dibajak ”korporat politik amoral”. Parlemen ”tukang bolos” adalah kekejian kelompok elite politik dengan karakter seperti ini.

Perusak

Para penunggang demokrasi yang tidak tahu diri ini akhirnya menghancurkan tesis-tesis fundamental demokrasi itu sendiri, seperti kesetaraan, keterbukaan, keadilan, dan kemanusiaan. Tanpa moralitas, mereka hanya menjadi penjagal publik melalui kebijakan prokorupsi masif.

Para penghancur ini berkeliaran di medan politik yang sengaja dibuat tidak untuk mengimplementasikan pendirian asasi demokrasi. Tak dapat disangkal, demokrasi pada gilirannya dianggap sebagai ”aib” bagi rakyat karena hanya menjadi arena perselingkuhan kepentingan antikesejahteraan bersama.

Tidak ada kebanggaan yang bisa diungkapkan dari kenyataan bahwa wakil rakyat suka ”membolos”, padahal seharusnya mereka ”hadir” untuk serius membincangkan nasib rakyat dan masa depan bangsa.

Adalah kesialan besar menyerahkan hak-hak politik kepada mereka yang tidak mampu mendefinisikan jabatan sebagai totalitas dedikasi pada kepentingan rakyat. Demokrasi yang bermain pada permukaan, menyembunyikan dan membesarkan politikus dan calon pemimpin, akhirnya menjadi penghancur bangsa.

Kutu loncat

David Miller (2003) menulis, ”one way to invigorate democracy: Politician Beware!” Politikus harus menunjukkan kearifan dalam seluruh pola hidupnya sehingga menumbuhkan demokrasi yang sehat. Kita tahu, tesis penting ini belum terjadi di Indonesia. Bahkan pada sesi kritis konsolidasi demokrasi pascareformasi satu dekade ini. Politikus kita belum menunjukkan peran yang benar untuk membesarkan demokrasi.

Yang lebih sering terjadi adalah perpindahan elite politik dari rel perjuangan propublik menuju penyesatan antirakyat. Mereka tidak memiliki intensitas politik mengedepankan hasrat publik pada capaian kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan.

Sejauh ini, kita harus membangun proses politik demokratis yang tidak lagi memberi ruang kepada kawanan ”kutu loncat” yang hanya membombardir ladang demokrasi dengan keangkaraannya. Sebaliknya, kita membutuhkan politikus dan calon pemimpin yang tampil seperti ”kutu buku”, yang menekuni buku demi kearifan, kecerdasan, serta kematangan personal dan sosial.

Kita memerlukan sosok ”kutu politik” yang mengakrabi politik demi kebaikan bersama. Yang mengabdikan hidupnya bagi rakyat paling miskin dan melarat. Sosok politikus seperti ini hanya muncul dari ruang ”demokrasi substansial”, bukan ”permukaan” atau artifisial. Barulah kita yakin pasukan ”kutu politik” tidak bakal menjadi ”tukang bolos”.

Max Regus Direktur Parrhesia Institute Jakarta

"Korupsi Sistemik"

Indriyanto Seno Adji

Membuka tahun 2009, masalah laten bangsa ini adalah korupsi. Padahal, keberhasilan pemerintahan dan kekuasaan suatu negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana kebijakan negara mencegah dan memberantas korupsi secara optimal.

Masalah korupsi tidak bersandar pada limitasi kebijakan hukum, tetapi terkait dengan masalah ekonomi dan politik. Untuk itu, perlu dicermati kritik pengamat politik hukum negara berkembang, Prof SS Hueh, Rektor (saat itu) The University of East Asia, yang menyatakan, pertumbuhan hukum korupsi tidak dapat dipisahkan dari perubahan dalam kerangka sosial-ekonomi.

Prof Hueh memberi ilustrasi, pembentukan aturan hukum dalam rangka memberantas korupsi tidak begitu saja dapat dipisahkan dari soal ekonomi dan politik. Dalam implementasi di Indonesia, kebijakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat dipisahkan dengan political and socio-economic setting. Masalah kebijakan hukum korupsi tidak akan terlepas dengan kekuasaan ekonomi dan politik suatu negara sehingga stigma korupsi dapat menjadi simbol elastis mengakarnya korupsi ketatanegaraan sebagai korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan.

Pandangan Prof Hueh ini sejalan dengan Kongres Ke-7 PBB tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Milan, 1985, yang membicarakan tema yang tidak lagi klasik, yaitu ”Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Salah satu sorotan hasil kongres ini adalah tentang terjadi dan meningkatnya ”penyalahgunaan kekuasaan” (abuse of power).

Penyalahgunaan kekuasaan

Penyalahgunaan kekuasaan di bidang ekonomi ini melibatkan upper economic class (konglomerat) maupun politik sebagai upper power class (pejabat tinggi negara) yang berkonspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok. Maka, ada beberapa perspektif korupsi di tahun 2009 yang dapat menjadi perhatian penegak hukum ke depan, khususnya Kejaksaan Agung, Polri, atau KPK.

Pertama, korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya, tetapi tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Korupsi ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar penyembuhannya amat minim dan selalu menjadi uji coba untuk menanggulanginya. Hasilnya pun kadang diprediksi secara pesimistis, yaitu tidak searah kebijakan masyarakat untuk memberantas korupsi.

Secara konseptual, pada negara berkembang, pemikiran bahwa korupsi merupakan bagian dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri, menjadi tidak diragukan. Karena itu, ada yang berpendapat, penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada.

Artikulasi ”sistem” ini bermakna komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai proses signifikan. ”Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem” yang ada. Karena itu, usaha maksimal penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, harus dilakukan dengan pendekatan sistem atau systemic approach, apalagi bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peran institusi peradilan yang amat menentukan sebagai sebuah institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberantasan korupsi. Sangat sulit menentukan awal dimulainya antisipasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sistem harus ditelaah sebagai kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi, dan pembaruan (reformasi) terhadap struktur, substansi hukum, khususnya budaya hukum (legal culture) sebagai cermin etika dan integritas penegakan hukum. Systemic approach sebagai bahan untuk memecahkan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution) maupun pendapat hukum (legal opinion).

Legal culture (budaya hukum) merupakan aspek penting yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat selalu taat dan menyadari pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Masalah korupsi sebagai budaya hukum ini terkait dengan etika, moral masyarakat, khususnya penegak hukum. Pendekatan struktur dan substantif tidak akan berhasil jika tidak diikuti pendekatan budaya dan etika dari penegak hukum itu sendiri yang sering terkontaminasi suap.

Terintegrasi

Kedua, melakukan tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system. Artinya, di antara penegak hukum harus memiliki balanced and equal of power, suatu kewenangan berimbang dan sama di antara penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi. Selain itu, diskriminasi kewenangan akan menimbulkan disintegrasi penegakan hukum. Kewenangan diskriminatif antara KPK di satu sisi dan Kejaksaan Agung/Polri di sisi lain harus ditiadakan.

Ketiga, pendekatan sistem itu dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi. Kejaksaan Agung dengan minimnya kewenangan telah memberi citra tersendiri dengan menetapkan pejabat eselon I departemen sebagai tersangka sekaligus memerhatikan hak tersangka. Ini merupakan status yang tidak pernah terjadi sejak era reformasi. Pendekatan up-down dalam pemberantasan korupsi merupakan karakter representasi keseriusan negara dalam pemberantasan korupsi. Selama ikon karakter korupsi masih berpijak pada pendekatan bottom-up, hasil yang dicapai adalah pesimisme penegakan hukum. Pemberantasan korupsi, sebagaimana Konvensi PBB 1985, harus dimulai dari upper power class dan upper economic class dengan memerhatikan prinsip praduga tidak bersalah.

Kampanye antikorupsi

Dari semua persoalan itu, amat berarti peran kebijakan kriminal (criminal policy) melalui pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah kampanye antikorupsi misalnya. Kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power), dan institusi kenegaraan (sebagai political power).

Apalagi, masalah korupsi di Indonesia kini tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah eksekutif saja, tetapi juga sudah terkontaminasi institusi kenegaraan lainnya, entah itu legislatif, yudikatif, maupun institusi negara nondepartemen.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum

Sabtu, 03 Januari 2009

Politik Asketik

Oleh Abdul M Mulkhan

Keserakahan atau ekonomi gelembung menjadi biang kebangkrutan dunia dan rantai krisis Amerika, Eropa, dan Jepang yang kemudian mendera negeri miskin dan berkembang. Kapitalisme (neoliberalisme) yang tumbuh dari etika Protestan dituduh mendorong keserakahan ekonomi gelembung.

Keserakahan juga menjebak praktik demokrasi di Tanah Air yang bisa membuat negeri ini bangkrut. Pertanyaannya, bagaimana memilih caleg, capres, dan birokrat yang bebas syahwat kuasa dan keserakahan sehingga lebih mendahulukan kepentingan rakyat? Akan lahirkah pelaku ekonomi, intelektual, pemimpin gerakan keagamaan yang lebih memihak mereka yang terpinggir oleh gelombang dahsyat modernisasi?

Politik citra (saat seseorang yang tak dikenal didandani sesuai hasil survei tentang gambaran ideal seorang pemimpin, bukan kemampuan aktualnya) bisa membuat praktik demokrasi kehilangan moral asketiknya. Iklan partai, calon presiden/wakil presiden, dan calon legislatif di setiap jengkal waktu semua stasiun televisi dan baliho terpampang di sepanjang jalan kota hingga desa miskin dengan sekolah yang hampir roboh.

Sayangnya, elite gerakan keagamaan secara sadar ikut menjebakkan diri dalam ritual citra, larut dalam jaring kekuasaan hedonis. Muncul berbagai model gerakan spiritual yang unik, seperti Kerajaan Tuhan Lia Eden, peramal nasib, dan dukun politik.

Berbagai situasi kritis di atas memunculkan ide ”pemurnian” atau penyadaran nilai autentik asketisme dalam ekonomi dan politik, juga keagamaan. Suatu tafsir baru fungsi sejarah agama-agama dalam praktik kehidupan sosial seperti pengemban lahirnya etika Protestan pada masa lalu. Banyak orang memandang usaha demikian sebagai utopia atau katarsis saat banyak orang kehilangan harapan akan lahirnya kehidupan yang lebih etis dan humanis.

Paradoksal

Triliunan rupiah yang dihabiskan partai, capres, cawapres, dan caleg untuk belanja berbagai jenis iklan menjelang Pemilu 2009 bak sinterklas paradoksal dengan PHK besar seperti diramalkan para ahli yang bakal berlangsung pada awal tahun. Pesta artis bisa menghabiskan miliaran rupiah. Wakil rakyat dan penegak hukum mengorupsi miliaran rupiah. Namun, petani masih berebut pupuk, ibu-ibu antre minyak tanah atau gas, tewas berebut santunan puluhan ribu rupiah, bunuh diri bersama anak atau suami akibat impitan ekonomi tak tertanggungkan.

Seperti pesan Natal Sri Paus bahwa sikap keserakahan manusia akan menjatuhkan dunia (Kompas, 26/12/2008), asketisme dalam etika Protestan, embrio peradaban Barat modern, perlu diaktualkan kembali dalam formula berbeda. Asketisme politik saat suatu tindakan politik dilakukan untuk meraih cita-cita ideal pada masa depan harus diukur dengan prestasi riil yang bisa dinikmati rakyat banyak. Perilaku demikian berlawanan dengan kecenderungan anggota DPR(D)/DPD, pejabat, dan penegak hukum yang lebih mendahulukan terpenuhinya fasilitas jabatannya, mengabaikan kepentingan publik warga yang harus dilayani.

Ironisnya, elite keagamaan yang mestinya menjadi penjaga moral, tergoda syahwat kekuasaan atau terjebak ”keserakahan surgawi”. Semakin jarang intelektual (ulama kampus, meminjam istilah teman) yang mampu bertahan pada penderitaan ”suci”, malah larut dalam ritual hasrat kekuasaan. Muncul kecenderungan pengingkaran peran negara dan keagamaan ketika doktrin perlindungan, pemenuhan, atau pelayanan kepentingan warga menjadi barang asing. Capres, cawapres, caleg, dan elite partai sibuk membujuk rakyat pemilih dengan segala cara, menebar pesona dan janji yang dilupakan begitu pemilu usai.

Kontrak politik

Banyak pihak yang khawatir pembengkakan jumlah pemilih yang tak menggunakan hak pilih (golput) kemudian mengusulkan agar MUI mengeluarkan fatwa haram bagi tindakan golput itu. Situasi demikian bersama krisis ekonomi dunia semestinya menyadarkan semua pihak mengkaji ulang dan menyusun kontrak politik guna memulai tahun 2009 berbasis nilai baru yang lebih asketik. Perdebatan klasik kelahiran teori etika Protestan Max Weber, khususnya tentang aspek asketik penempatan dunia kini yang riil sebagai ajang karya surgawi, penting diingat kembali.

Di sisi lain, konflik pilkada di berbagai daerah mudah disulut sentimen SARA yang bisa menyebabkan kekacauan sosial yang lebih rumit menjelang atau pasca-Pemilu 2009. Kini dibutuhkan kehadiran sesosok pemimpin yang bersedia jadi semacam ”martir” bangsa dan rakyatnya. Pemimpin yang mau berkorban dengan tak mengambil fasilitas jabatan yang menjadi haknya agar bisa mendahulukan kepentingan orang (ke)banyak(an) dan kesejahteraan wong cilik. Dunia merindukan kehadiran pelaku politik asketis yang mampu mengendalikan syahwat keserakahan material. Mereka adalah politisi bernapas panjang yang bekerja keras bukan bagi keuntungan material jangka pendek, tapi keuntungan spiritual dan universal kemanusiaan yang mungkin baru bisa dinikmati generasi berikut.

Kita rancang ”takdir” 2009 sebagai sejarah kelahiran ketuhanan baru yang bebas hasrat kuasa dalam asketisme politik.

Abdul M Mulkhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Politik Uang Akan Dominan

Caleg Berlomba Raih Suara
Sabtu, 3 Januari 2009 | 02:05 WIB 

JAKARTA, KOMPAS - Pada Pemilihan Umum 2009 calon anggota legislatif akan berlomba-lomba meraih suara terbanyak. Hal ini sebagai dampak putusan uji materi Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dengan putusan itu, calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2009 harus meraih suara terbanyak.

Di sisi lain, pemilih masih bingung dengan tata cara pemungutan suara, apakah memilih partai politik atau calon anggota legislatif. Akibatnya, caleg akan kesulitan meyakinkan pemilih untuk memilih mereka.

Hal itu disampaikan anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch, Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh, Jumat (2/1). ”Yang terjadi kemudian, politik uang menjadi dominan. Diperkirakan, jumlah uang yang digunakan untuk hal ini bisa tiga kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2004,” katanya.

Politik uang ini merupakan cara yang digunakan caleg untuk memengaruhi pemilih. Namun, praktik politik uang ini sulit dibuktikan. ”Mungkin memang ada, tetapi kalau diusut sebagai perkara pidana pemilu, sulit dibuktikan,” kata Fahmi.

Sebaliknya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, berpendapat, putusan MK itu tidak akan meningkatkan politik uang. Namun, berpengaruh pada sumber uang yang dibagikan kepada pemilih.

Jika anggota legislatif terpilih berdasarkan nomor urut, uang akan disebarkan dari partai politik kepada pemilih. ”Saat ini dengan suara terbanyak, sebaran uang akan berasal dari caleg. Mereka akan berlomba secara pribadi membagikan uang kepada rakyat,” kata Topo.

Dengan demikian, pelaku politik uang bergeser. Pada Pemilu 2004 pelakunya adalah parpol. Pada Pemilu 2009 pelakunya caleg. Akan tetapi, lanjut Topo, sama seperti pemilu sebelumnya, pidana pemilu semacam ini akan sulit dijerat hukum.

”Problemnya bukan pada koordinasi penanganan perkaranya. Namun, karena klasifikasinya yang tidak jelas. Seperti apa politik uang itu? Apakah caleg yang memberi barang ke sekolah tertentu bisa dibilang sebagai politik uang?” ujar Topo.

Apalagi UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak menjelaskan politik uang dengan gamblang. Pasal 286, misalnya, hanya menyebutkan perbuatan pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih peserta pemilu tertentu. (IDR)

Kamis, 01 Januari 2009

James Veitch: Indonesia Butuh Sistem Pastikan Jalan Perubahan

Pemilihan umum adalah saluran untuk melakukan perubahan. Sementara perubahan diharapkan bisa berlangsung mulus tanpa kekerasan. Menurut James Veitch PhD, pengajar di Victoria University at Wellington di Selandia Baru, Indonesia pun butuh sistem yang memastikan perubahan bisa berjalan dengan baik. Pertengahan Desember 2008, Kompas dibantu Nina Anggraini dan Budi S Putra dari KBRI di Wellington mewawancarai James Veitch, pakar konflik agama dan politik, khususnya untuk wilayah Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Bagaimana Anda melihat Indonesia?

Indonesia seharusnya menjadi negara terdepan, bukan saja di Asia Tenggara. Indonesia mestinya bersebelahan dengan India dan China. Faktor populasi yang banyak sudah dimiliki Indonesia. Namun, Indonesia mempunyai banyak masalah internal sehingga tidak bisa mengemban peran tersebut.

Tahun 2009 Indonesia menyelenggarakan pemilu ketika sedang terjadi krisis global.

Sangat penting bagi Indonesia pada periode mendatang untuk benar-benar memberi pelatihan terhadap generasi pemimpin yang akan datang.

Selandia Baru baru saja menyelenggarakan pemilu. Setelah sembilan tahun, rakyat menginginkan perubahan. Hal itu bukan karena pemerintah tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Rakyat hanya ingin pergantian. Kita perlu perubahan pemerintahan tanpa kup, tanpa kekerasan. Seseorang yang bertahan terlalu lama akan berpikir dia adalah hadiah Tuhan untuk umat manusia.

Bagaimana pergantian kepemimpinan bisa berjalan mulus?

Yang terjadi di Selandia Baru patut ditiru. Kami mengidentifikasi calon pemimpin. Perguruan tinggi mengadakan kelas kepemimpinan. Ini penting karena kepemimpinan di setiap negara sebaiknya tidak di tangan politisi saja, tetapi di tangan birokrat.

Artinya, kebutuhan reformasi birokrasi penting?

Sangat penting, Indonesia harus melatih pegawai paling rendah sampai tingkat manajemen paling tinggi. Seingat saya, Menteri Dalam Negeri pernah mengatakan, jika semua pegawai negeri benar-benar diuji, tidak satu pun yang akan dapat bekerja di pemerintah karena level mereka terlalu rendah.

Di Indonesia, dinasti politik terus dipersoalkan.

Seharusnya itu tidak boleh terjadi. Di dunia modern, struktur ekonomi perlu ahli dan ini di luar sistem patronase. Tahapan selanjutnya yang harus dilalui Indonesia adalah mematahkan sistem patronase. Di Selandia Baru, kami mematahkan patronase sekitar 200 tahun. Orang yang mendapat posisi penting harus menjaga agar keputusan mengangkat seseorang tidak dipengaruhi oleh koneksi, tetapi karena kemampuan. Indonesia mungkin perlu 50 tahun untuk dapat mencapai tahap seperti itu.

Ketika demokrasi di Indonesia sangat mahal, masihkah pemutusan-patronase dilakukan?

Harus terjadi karena jika tidak, Indonesia akan terus terjepit konflik dan kekerasan. Sistem patronase mengarah kepada kekerasan sebagai keluaran. Kaum muda Indonesia yang sudah terlatih dan mendapat pendidikan terbaik dapat dimanfaatkan dalam struktur pemerintahan Indonesia. Mereka yang akan membawa perubahan. Perubahan tak akan datang dengan gampang dan cepat, tetapi itu harus datang. (SIDIK PRAMONO)
Share on Facebo

Tahun 2008, 2009, dan Bagaimana Selanjutnya?

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Tahun 2008 telah kita lalui dengan susah payah, terutama oleh rakyat kecil yang nasibnya masih terombang-ambing antara kepastian dan ketidakpastian masa depan. Jumlah TKI/TKW kita sebagai dampak dari krisis global, puluhan ribu yang harus pulang ke Tanah Air dalam tempo yang sangat dekat ini, sementara lapangan kerja yang tersedia tidak mungkin dapat menampung mereka.

Dengan demikian, kedatangan mereka akan menambah tingkat pengangguran yang memang sudah tinggi. Pengangguran, di mana pun, pasti mengguncangkan pilar-pilar kehidupan sosial secara luas karena orang lapar adalah di antara makhluk yang paling rentan secara fisik dan mental. Pengangguran adalah beban kultur kita. Pelaksanaan bantuan langsung tunai sama sekali tidak akan meringankan beban itu.

Dari kajian saya, sejak kita merdeka sampai hari ini, belum ada sebuah pemerintahan pun yang berhasil menekan angka pengangguran ini secara permanen. Kemerdekaan lebih banyak punya makna bagi mereka yang diuntungkan oleh proses pembangunan, sedangkan bilangannya sangatlah kecil yang bertengger di puncak piramida kelas sosial di Indonesia. Di bawahnya berbarislah rakyat banyak yang pada era terdahulu diminta sabar menantikan rahmat dari trickle down effect (tetesan belas kasihan dari mereka yang ada di puncak piramida).

Pendewasaan politik

Kemudian, tanpa mengaitkannya dengan kualitas politisi kita yang masih jauh dari harapan, ada satu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang patut dicatat pada akhir tahun 2008: membatalkan ketentuan nomor urut caleg sebagai pemenang dalam pemilihan legislatif dan menetapkan prinsip suara terbanyak sebagai gantinya. Ini sebuah keberanian luar biasa dalam upaya mencairkan kebekuan kultur politik selama ini dan akan membuka era baru bagi Pemilu 2009. Keputusan MK ini pasti punya sisi positif-negatif, tetapi bagi perjalanan demokrasi ke depan, sisi positifnya jauh lebih besar. Sisi negatif terutama harus dipikul oleh kader yang tidak populer, sekalipun misalnya telah bekerja siang-malam untuk kepentingan partainya. Pemilu dengan sistem baru ini, yang akan beruntung adalah mereka yang mendapat dukungan luas.

Melalui sistem ini, dinamika persaingan internal dalam partai akan menguat. Di sinilah perlunya proses pendewasaan politik setiap caleg yang untuk Indonesia masih berada pada tahap awal yang mungkin akan memicu ketidakharmonisan internal. Gesekan-gesekan bakal terjadi, tetapi untuk jangka panjang akan mendidik orang untuk semakin sportif dalam menerima kemenangan atau kekalahan. Sportivitas dalam politik sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah demokrasi yang kuat dan sehat.

Pengalaman berdemokrasi kita sekian lama, kultur sportif ini masih harus diperjuangkan. Yang biasa berlaku selama ini bukan sportivitas, tetapi kebiasaan hengkang dari partai jika terjadi gesekan, kemudian membentuk partai sempalan baru yang sulit sekali menjadi besar. Ujungnya, atas nama demokrasi, partai-partai tumbuh seperti jamur yang dapat menyedot energi bangsa ini untuk sesuatu yang tidak mendasar. Jargon demokrasi biasa dipakai untuk menutupi nafsu politik kaum elite yang baru hengkang atau pendatang baru yang bersemangat zealot.

Namun, kita tidak boleh menyamaratakan perilaku politik hengkang itu karena ada yang melakukannya dengan pertimbangan dan alasan idealisme perjuangan untuk kepentingan yang lebih besar. Untuk kelompok ini saya sepenuhnya dapat memahami. Kepada mereka, saya sebagai orang tua mengucapkan, ”Selamat berjuang, jangan biarkan stamina spiritual mengendur. Kita telah semakin kehilangan idealisme kebangsaan, padahal itu adalah modal utama kita untuk membawa bangsa ini ke masa depan yang lebih berdaulat dan bermartabat.”

Adapun mereka yang hengkang karena alasan lain, tentu kita ucapkan juga selamat sampai merasakan sendiri betapa kejam dan berlikunya politik itu, lalu merenung untuk introspeksi diri dalam menata karier yang lain. Namun, itu semua adalah risiko politik yang tidak selalu mudah dikalkulasi, bukan?

Dilema demokrasi

Bagaimana dengan tahun 2009, baik dalam kaitannya dengan ranah nasional ataupun ranah global? Untuk masalah domestik, ada dua catatan yang ingin saya turunkan. Pertama, bangsa ini harus selalu diingatkan akan kemungkinan terjadinya bencana alam berupa gempa dan tsunami dahsyat yang dapat menghantam puluhan kota berpenduduk rapat di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Indonesia timur.

Sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, kita memang sangat rentan terhadap bencana-bencana itu, baik karena dipicu oleh kelakuan rakus manusia maupun karena kehendak alam. Alat peringatan dini untuk menghadapi serba kemungkinan itu masih sangat minim tersedia. Menurut para ahli, jika bencana itu berlaku, jumlah korbannya bisa menjadi lima kali lipat lebih besar daripada korban tsunami Aceh yang telah menelan sekitar 200.000 anak bangsa.

Kedua, pada tahun 2009 kita akan mengadakan pemilu legislatif pada April dan pilpres pada Juli. Bagaimanapun kualitas pemilu itu nanti, masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan oleh hasil kedua peristiwa politik itu. Bagi saya, partai mana pun dan siapa pun nanti yang menjadi pemenangnya, mohon parameter di bawah ini dijadikan bahan pertimbangan. Seperti telah disebut di atas, demokrasi yang kita bangun antara lain adalah untuk menghalau kemiskinan yang masih mendera bangsa ini. Sekiranya dalam jangka waktu lima tahun yang akan datang, kemiskinan itu masih saja ”setia” bersama kita. Berarti, kaum elite kita gagal untuk sekian kalinya menjadikan demokrasi sebagai sistem politik untuk mendekati tujuan kemerdekaan, berupa tegaknya keadilan dan terciptanya kemakmuran yang merata untuk rakyat.

Pemilu dengan biaya tinggi itu jangan dibiarkan gagal lagi dalam membangun demokrasi sebagai alat efektif bagi upaya mencapai tujuan bersama yang telah dirumuskan. Demokrasi yang gagal akan menjadi bumerang yang dapat menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem itu, padahal kita tidak punya sistem lain yang lebih baik. Di sinilah dilema demokrasi itu terletak.

Terakhir, untuk masalah global, saya batasi saja pada perkembangan politik Amerika Serikat dengan kemenangan fenomenal Barack Obama sebagai presiden ke-44. Tak ada pilpres mana pun yang begitu kuat menyedot perhatian publik dunia, kecuali yang baru saja terjadi di sana. Untuk meminjam pendapat Richard Falk, Amerika adalah sebagai satu-satunya negara global pertama sepanjang sejarah. Kekuatan militernya hadir di berbagai pojok Bumi yang strategis. Dengan kemenangan Obama, dimensi global itu semakin dikukuhkan.

Namun, apakah Obama akan berhasil memenuhi janjinya untuk sebuah perubahan fundamental, sikap kita yang terbaik adalah tunggu dan saksikan, sekalipun suara-suara miring akan keberhasilannya mulai bermunculan, terutama dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah Palestina, Afghanistan, dan Irak yang telah cukup menderita akibat ketidakadilan global.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Favorit, Pasangan Capres Tua dan Wapres Muda

Pendukung SBY, Mega, Sultan, Penggemar Dangdut
Rabu, 31 Desember 2008 | 00:11 WIB 

Jakarta, Kompas - Pasangan presiden dan wakil presiden yang diharapkan masyarakat akan lahir dalam Pemilihan Umum 2009 adalah gabungan antara generasi tua dan muda atau perpaduan figur berusia di atas 50 tahun dan di bawah 50 tahun.

Hal tersebut merupakan kesimpulan survei nasional yang dilakukan Reform Institute pada bulan November-Desember 2008 terhadap 2.500 responden. Penyebaran responden diambil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk tiap provinsi, jenis kelamin, dan wilayah tinggal penduduk di pedesaan dan perkotaan.

Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latief dan peneliti Reform Institute, Kholid Novianto, menyampaikan hasil survei itu dalam konferensi pers di Hotel Grand Melia, Selasa (30/12).

Berdasarkan survei Reform Institute, responden yang menghendaki pasangan presiden merupakan gabungan antara generasi muda dan tua sebanyak 68,88 persen. Sementara itu, yang menginginkan pasangan dari generasi tua hanya sekitar 17,79 persen, sedangkan yang menghendaki keduanya dari generasi muda hanya 12,13 persen.

Menurut Yudi dan Kholid, dalam survei ini juga terungkap mayoritas responden, 65,7 persen, menginginkan pemimpin baru, sedangkan yang tidak menginginkan hanya 32,32 persen. Namun, ketika ditanyakan siapa presiden yang akan dipilih apabila pemilihan presiden dilakukan hari ini, jawabannya tetap didominasi tokoh yang berusia 50 tahun ke atas.

Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono (42,18 persen), Megawati Soekarnoputri (16,67 persen), Sultan Hamengku Buwono X (10,48 persen), Prabowo Subianto (7,88 persen), dan Wiranto (4,33 persen).

Terkait dengan adanya keraguan masyarakat akan independensi lembaga penelitian, Yudi memastikan Reform Institute tidak pernah mengubah angka untuk kepentingan kontestan pemilu. Reform Institute juga tidak menjadi lembaga survei yang juga merangkap sebagai konsultan politik pihak yang disurvei.

Selera musik

Terdapat temuan menarik dari survei ini ketika Reform Institute mencoba mencermati karakteristik para pendukung capres berdasarkan selera musiknya. Pendekatan ini belum banyak diambil lembaga peneliti lain (lihat Tabel).

Menurut Kholid, memang tidak ada korelasi positif antara penggemar musik tertentu dan orientasi politik. Namun, hal ini tetap menarik dicermati.

Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum menegaskan, Partai Demokrat tak menjadikan isu kombinasi tua-muda, tua-tua, atau muda-muda sebagai fokus penentuan capres dan cawapres.

”Fokus kami adalah kombinasi mampu dan mampu. Syukur-syukur kalau kombinasi mampu itu sekaligus tua dan muda. Namun, kalau ternyata tua dan tua, itu pun tidak masalah sama sekali,” paparnya.

Menurut dia, bangsa ini membutuhkan kombinasi terbaik yang saling melengkapi dalam semua dimensi, baik dukungan politik pemenangan pemilu maupun pascapemilu.

Meski demikian, Anas juga menegaskan, Partai Demokrat juga belum bisa memastikan akan memasangkan Yudhoyono dengan Jusuf Kalla karena hal itu baru diputuskan setelah melihat hasil perolehan suara pada pemilu legislatif. (sut)

Munir dan Demokrasi

Oleh Rocky Gerung

Hari ini, 31 Desember, negeri ini menunggu putusan pengadilan kasus Munir. Setelah hampir lima tahun dililit benang kusut kasus itu, kini kita menunggu simpul- simpulnya diurai satu per satu.

Pertanyaan utama kita adalah jenis keadilan semacam apakah yang akan kita saksikan di ruang pengadilan besok? Apakah putusan majelis hakim akan melegakan pernapasan demokrasi? Akankah putusan ini tercatat dalam dokumen hak asasi manusia sebagai tanda komitmen bangsa ini terhadap perjuangan kebebasan politik?

Lebih dari itu, apakah putusan itu merupakan akhir dari pengusutan panjang atau justru awal untuk suatu pengusutan yang lebih kompleks terhadap motif dan jaringan politik antidemokrasi yang sangat mungkin masih menumpang dalam sistem demokrasi kita hari-hari ini?

Transisi yang tidak tuntas

Untuk menoleh sejenak ke belakang, pada hari-hari awal reformasi, kita sekarang seperti merasakan ada yang tak tuntas dalam proses ”transisi menuju demokrasi” yang kita sebut gerakan reformasi itu. Secara material kita memang telah memiliki berbagai perlengkapan politik demokrasi: partai, parlemen, pemilu, Mahkamah Konstitusi, pers bebas, dan seterusnya. Namun, secara mental kita justru khawatir bahwa perlengkapan politik itu setiap saat dapat dipergunakan oleh para ”pemain tersembunyi” yang berupaya memanfaatkan ”layar demokrasi” sebagai tempat berlindung bagi latihan politik yang antidemokrasi. Artinya, keterbukaan politik yang kita nikmati sekarang ini sesungguhnya juga dinikmati kalangan yang sebetulnya memelihara motif politik antidemokrasi.

Dalam banyak studi tentang ”transisi demokrasi” di berbagai negara, kegagalan menegakkan hak asasi manusia akan menjadi hambatan struktural bagi semua upaya memperoleh keadilan sosial-ekonomi. Artinya, sebuah bangsa yang tak tuntas menyelesaikan perkara-perkara pembunuhan politik akan terus terjebak dalam keragu-raguan menjalankan demokrasi. Dan, dalam kondisi di mana demokrasi tak menjadi dasar kebudayaan politik, sangat sukar bagi masyarakat mengajukan berbagai tuntutan keadilan sosial-ekonomi yang lebih luas. Demokrasi adalah kondisi yang diperlukan untuk mewadahi keadilan sosial. Demokrasi adalah suasana yang akan menjamin setiap orang bebas memperjuangkan hak-hak hukum dan sosial-ekonominya.

Dalam konteks itu kedudukan lembaga peradilan menjadi sangat menentukan dalam memelopori upaya mewujudkan suasana demokrasi. Pengadilan dalam masyarakat transisi adalah mercusuar yang akan memandu masyarakat untuk berani berlabuh di pelabuhan demokrasi. Terlebih, dalam kondisi politik kita hari-hari ini, ketika demokrasi semakin ditekan oleh kapital dan komunalisme, kita membutuhkan penguatan hak asasi manusia sebagai tiang pokok membangun demokrasi. Memang halangan utama dalam membongkar kejahatan politik adalah keragu-raguan sebagian penyelenggara negara kita tentang manfaat demokrasi. Konteks inilah yang sering dimanfaatkan kepentingan dan lobi politik untuk mengganggu psikologi pengadilan.

Khusus dalam hal kejahatan politik, faktor konspirasi adalah praduga yang sah dalam pengadilan. Kejahatan politik bukan kejahatan personal. Di sinilah halangan itu bisa berawal karena kejahatan itu sering kali justru bernama ”rahasia negara”. Karena itu, pengadilan kejahatan politik sangat rawan dipengaruhi berbagai ”pertimbangan strategis”: stabilitas nasional, agenda pemilu, dan lain-lain.

Peradaban politik baru

Munir adalah tiang pokok perjuangan demokrasi. Pengadilan kasus Munir adalah pertaruhan keadilan yang sangat menentukan peradaban demokrasi kita selanjutnya. Kita harus selesaikan kasus ini agar ia tak terus jadi ”duri dalam daging” bagi sejarah demokrasi kita. Penghormatan kita pada independensi pengadilan adalah juga penghormatan kita pada martabat setiap orang yang teraniaya, entah dia korban, entah sebagai terdakwa.

Keadilan adalah menerangkan apa yang tersembunyi oleh kekuasaan. Keadilan adalah penyatuan kembali relasi kemanusiaan yang dipisahkan oleh kejahatan. Karena itu, keadilan seharusnya menimbulkan kelegaan batin, yaitu dengan melepaskan beban dendam dan kepentingan politik. Seluruh dorongan negara dan advokasi publik terhadap pengungkapan kasus Munir sudah cukup dikerjakan. Sistem internasional juga telah bekerja di dalam semangat yang sama. Karena itu, urgensi dari kasus ini tak lagi sekadar demi memenuhi ”agenda reformasi”, tetapi lebih dari itu adalah meyakinkan setiap orang bahwa jalan demokrasi yang sedang kita tempuh adalah jalan peradaban yang memuliakan martabat manusia. Kini kita menunggu majelis hakim mengucapkan sebuah putusan yang melegakan kemanusiaan dan menciptakan peradaban politik baru.

Rocky Gerung Pengajar Filsafat UI

Belajar dari Reformasi China

Oleh I Wibowo

Pada 1994 Shenzhen memang sudah menjelma menjadi sebuah ”keajaiban”. Empat belas tahun kemudian (2008) keajaiban itu semakin membuat orang terkesima. Kota yang berpenduduk 12 juta orang itu menempati peringkat tertinggi dalam pendapatan per kapita (3.000 dollar AS).

Fasilitas kotanya aduhai. Dalam 14 tahun, Shenzhen membangun kereta api bawah tanah, gedung konser yang anggun, perpustakaan umum yang megah, tentu saja gedung dan jalan yang serba mulus. Kota itu bersih, tak ada sampah, tak ada baliho iklan yang berceceran di mana-mana dan mencemari pemandangan. Jangan lupa dua taman kebudayaan yang luas dan indah, Window of the World dan Zhongguo minyu wenhua cun, Taman Kebudayaan Suku-suku China.

Shenzhen memang pantas dipakai sebagai ujung tombak reformasi China karena mulai dari Shenzhen-lah kapitalisme masuk China. Sekaligus juga Shenzhen merupakan model pembangunan China yang berciri state-led. Tentu saja Shenzhen adalah eksperimen sukses China mengadakan ”zona ekonomi khusus”. Kalau Shanghai sering dianggap sebagai ikon keberhasilan pembangunan China, Shenzhen benar-benar adalah ”legenda” model pembangunan China. Sebab, berbeda dari Shanghai yang punya sejarah gemilang pada tahun 1930-an, Shenzhen mulai dari sebuah desa nelayan berpenduduk 3.000 orang. Tak salah kalau KBRI di China pada 12-13 Desember mengadakan seminar ”30 Tahun Reformasi China” di kota yang amat historis itu.

Selama diskusi untuk menguak keberhasilan China, orang cenderung menunjuk kepada keberanian Deng Xiaoping memasukkan sistem pasar dan dengan demikian memasukkan kapitalisme. Tanggal yang biasa ditunjuk adalah 30 Desember 1978, ketika Sidang Pleno III Komite Sentral Partai Ke-11 berakhir dan mengesahkan rencana ”reformasi dan keterbukaan”. Walaupun tak eksplisit, sidang ini diingat sebagai tonggak sejarah yang memberi sinyal dipakainya sistem ekonomi pasar. Tak heran kalau orang segera menyatakan bahwa keberhasilan reformasi China dikaitkan dengan sistem kapitalisme! Seolah-olah kapitalisme telah menyelamatkan China!

Yang banyak orang lupa adalah bahwa reformasi China tidaklah dimulai dari nol. Antara tahun 1949 dan 1978 (30 tahun) China telah mengadakan pembangunan fisik yang mengagumkan. Meskipun mengikuti model Uni Soviet, industri berat ataupun ringan di China telah terjadi.

Namun, yang lebih penting adalah pendidikan. Wajib belajar telah diterapkan sejak tahun 1950-an. Maka, tingkat buta huruf di China pada masa Mao sangat rendah, kurang dari 7 persen. Untuk mendukung usaha ini, Pemerintah China memperkenalkan aksara yang sudah disederhanakan, dalam arti mengurangi jumlah guratan dibandingkan dengan yang dipakai pada masa sebelum 1949.

Kecuali pendidikan, Pemerintah Mao mampu meningkatkan kualitas hidup. Angka harapan hidup meningkat dari 35 tahun (sebelum 1949) sampai ke 70 tahun (1978). Ini berkat sistem kesejahteraan sosial yang diterapkan di China—juga sejak 1950-an—yang menyediakan secara amat murah pelayanan kesehatan, perumahan, listrik, dan air.

Dari sudut sumber daya manusia, China pada awal reformasi 30 tahun lalu sudah memiliki modal yang amat besar. Ketika universitas membuka pintu lagi pada 1979, tak banyak pemuda China yang terhambat dalam proses belajarnya karena buta huruf. Lulusan universitas ini pada gilirannya dapat mengisi kebutuhan produksi ketika investor asing masuk ke China.

Pertumbuhan ekonomi China pada masa Mao (1952-1978) sebenarnya cukup bagus, sekitar 6 persen (Barry Naughton, 1995). Masalah utama yang dihadapi di China pada awal masa reformasi adalah inefisiensi dan bahwa tenaga produktif di China terkekang oleh sistem ekonomi komando. Lulusan universitas, misalnya, ditempatkan oleh negara dan sangat sering tak sesuai dengan bakat ataupun keinginan si mahasiswa. Sistem ekonomi komando dibubarkan dalam arti sesungguhnya ”membebaskan” tenaga produktif itu. Terjadilah semacam ”ledakan” energi yang dengan tepat disalurkan sehingga proses produksi di China mengalami percepatan luar biasa.

Bukan sumber daya alam

China pada hakikatnya adalah negara yang miskin sumber daya alam.

Duta Besar RI untuk China Sudradjat dengan tepat menunjuk kepada keberhasilan China di bidang pendidikan sebagai kunci terpenting reformasi China, terutama pada tahap awalnya. Soal kekurangan sumber daya alam, China dapat menutupnya dengan memperolehnya (impor) dari negara lain.

Yang terjadi di Indonesia justru kebalikannya. Kekayaan alam dieksploitasi sampai habis, sementara pengembangan sumber daya manusia diabaikan. Mungkin ini dapat menjelaskan mengapa reformasi Indonesia selama 30 tahun (selama Orde Baru) tak berkelanjutan. Ketika reformasi kedua diadakan setelah 1998 juga terlihat kecenderungan yang sama.

I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies FIB UI