Jumat, 31 Juli 2009

NU Perlu Penegasan Khitah dalam Politik


Jumat, 31 Juli 2009 | 03:21 WIB

Surabaya, Kompas - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur mengusulkan penegasan implementasi khitah NU dalam bidang politik pada Muktamar NU, Januari 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan. Penjelasan implementasi khitah akan menentukan pilihan politik NU pada warganya.

Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Mutawakkil Alallah, Kamis (30/7) di Surabaya, menegaskan, usulan itu bukan untuk meredefinisi khitah. Khitah, bagaimanapun, tidak bisa diubah. Namun, perlu ada penegasan implementasi khitah.

”Selama ini khitah jadi bulan-bulanan dan senjata, baik untuk yang mengerti khitah, tidak mengerti, dan yang tak memiliki khitah,” tuturnya.

Khitah sesungguhnya berisi tiga hal, yakni roh atau jati diri NU yang ahlussunnah waljamaah; posisi NU yang netral, tidak menjadi bagian dari parpol, tidak pernah menjadi parpol; dan pilihan dalam politik. Masalah pilihan dalam politik akan dibahas supaya tidak ada lagi perdebatan. Hasil dari pembahasan itu dituangkan dalam aturan anggota yang mengikat.

Masyhudi Muchtar, Ketua Komisi Khitah, dalam Musyawarah Kerja Wilayah NU Jatim, awal Juni lalu, mengatakan, NU wajib memberikan petunjuk dan arahan kepada warganya dalam bidang akidah, syariah, akhlak, dan politik sebab NU memiliki potensi politik yang besar. Bila tidak dikelola, potensi politik itu akan diambil pihak yang tidak mendukung upaya untuk mencapai tujuan NU, yakni mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Bahkan, bila dikelola pihak dengan ideologi berlawanan dengan NU, potensi itu justru merugikan NU.

Mengenai figur calon Ketua Umum PBNU selanjutnya, Mutawakkil mengatakan, PWNU Jatim belum membicarakannya. ”Namun, minggu lalu, KH Hasyim Muzadi sudah menyatakan tak bersedia dicalonkan kembali sebagai ketua umum, tetapi saya tidak tahu apakah ini tidak akan berubah,” katanya. (ina)

Senin, 27 Juli 2009

Terorisme: Konstruksi Opini itu Gugur Sudah


Daniel Rudi Hariyanto dan Anab Afifi
Mahasiswa Kajian Media, IKJ dan Praktisi Komunikasi dan Alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki

Sejak terjadinya aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, seluruh perhatian media massa terpusat pada pemberitaan peristiwa tersebut. Sebuah model pemberitaan berhasil mengonstruksi opini publik sekaligus mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi objektif berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik investigatif.

Jika dikaji tayangan audio visual beberapa stasiun televisi swasta, dapat kita temukan kemasan pemberitaan yang padat dan berulang pada setiap konten berita. Kemasan tersebut dibumbui dengan thriller-thriller dan bumper yang sangat cepat. Diambil dari potongan-potongan visual dan audio, diedit dengan ritme yang cepat, disertai scoring musik yang menarik.

Media televisi komersial menunjukkan perlombaan dalam menampilkan berita terbaru. Konten berita yang berulang-ulang dan selalu sama bagaikan cerita yang selalu ditutup dengan open ending yang membuka interpretasi dan persepsi yang berlebihan di mata pemirsa. Maka, konsumen berita terus-menerus digiring dalam ruang informasi yang samar-samar.

Konstruksi berita
Teknologi informasi telah melahirkan konsekuensi percepatan penyiaran berita. Berita tidak lagi berbatas ruang dan waktu. Media televisi dengan sangat praktis dapat segera menyiarkan liputan lapangan secara langsung kepada publik. Demikian yang dapat kita saksikan jam demi jam. Sejak 17 Juli, dalam satu hari, stasiun penyiaran terkesan berlomba dan bersaing merebut segmen pemirsa dengan melansir berita terbaru di lapangan.

Pada jam-jam awal peristiwa, dapat disaksikan rekaman beberapa video amatir yang diambil oleh saksi mata di lapangan. Jam-jam berikutnya, para saksi sudah masuk studio untuk memberikan keterangan peristiwa. Berikutnya konten diisi oleh analisis beberapa pengamat.

Situasi hari pertama adalah situasi yang gamang. Belum adanya titik terang dari hasil investigasi Polri membawa konsekuensi munculnya spekulasi media peyiaran. Informasi yang tumpang tindih berkutat sekitar koran dan lokasi pengeboman. Dimunculkannya pengamat intelijen dan pengamat terorisme menambah spekulasi bertambah kuat.

Tiga hari libur panjang merupakan masa yang sangat efektif untuk pembentukan opini publik. Hari-hari berikutnya, analis-analis memberikan pernyataan yang memfokuskan aksi peledakan kepada jaringan Jamaah Islamiyah. Jaringan ini memang menjadi langganan pemberitaan setelah peledakan bom Bali 1. Noordin M Top dan kelompoknya menjadi sorotan, manakala muncul inisial N. Media menerjemahkannya sebagai satu di antara dua pelaku peledakan bom bunuh diri.

Nur Sahid alias Nur Hasbi adalah santri Ngruki seangkatan Asmar Latin Sani. Fotonya dilansir dalam setiap pemberitaan, berulang-ulang kali. Foto lelaki dengan kacamata hitam itu sangat jauh dari wajah teroris. Ia seperti wajah pemuda-pemuda desa berkacamata hitam lainnya. Warga Dusun Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung Jawa Tengah itu menjadi headline setiap berita.

Sementara berita itu telah dilansir media massa, pihak kepolisian yang menangani investigasi belum memberikan keterangan apa pun. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa media massa menjadikan keterangan sekunder sebagai berita yang primer. Keberadaan keluarga Nur Sahid khususnya dan warga Temanggung pada umumnya merasa terganggu dengan adanya pemberitaan tersebut.

Televisi menyiarkan gambar rumah keluarga Nur Sahid yang tertutup rapat. Tayangan visual yang ditambah dengan narasi reportase tersebut semakin menambah dramatis berita yang belum tentu memiliki kekuatan data tersebut.

Munculnya video kedatangan laki-laki bertopi yang menjinjing tas beroda telah membangun opini yang sangat kuat terhadap Nur Sahid. Tayangan video rekaman itu berasal dari rekaman kamera pemantau keamanan JW Marriott. Tayangan ini menambah kekuatan drama berkaitan dengan pengembangan informasi yang telah dikonstruksikan sejak awal peristiwa.

Ketika tayangan berikutnya didapatkan dari kamera pemantau Hotel Ritz Carlton yang menyampaikan adanya pengeboman ke dua, tampak seorang lelaki berjalan tergesa-gesa ke arah restoran Airlagga. Beberapa saat kemudian, ledakan terjadi. Penonton tidak disuguhkan detail kedatangan pelaku, seperti video dari Hotel Marriott.

Kedua tayangan tersebut semestinya dikaji lebih mendalam, terkait dengan sistem pengamanan yang diberlakukan pada kedua hotel.

Tayangan kedua video tersebut disertai narasi berita yang difokuskan pada pelaku bom bunuh diri Nur Sahid, alumni Ngruki, bagian dari Jamaah Islamiyah kelompok Noordin M Top dan konstruksi paling atas adalah pondok pesantren asuhan Ustaz Abu Bakar Baasyir.

Gugurnya konstruksi opini
Enam hari setelah peritiwa peledakan, Polri memberikan keterangan bahwa inisial N yang disebut sebagai penghuni kamar 1808 Hotel JW Marriott ternyata tidak sesuai dengan DNA yang diambil dari anggota keluarganya. Tentunya, keterangan resmi Polri tersebut membawa dampak berantai pada konstruksi opini yang telah hampir satu minggu ini dibentuk oleh media massa elektronik dan cetak.

Gugur sudah konstruksi opini yang telah dibangun media massa, terutama media televisi selama enam hari ini. Sebuah stasiun televisi swasta, pagi-pagi benar di segmen acara editorial, mencoba membangun konstruksi baru dengan menyampaikan narasi yang menciptakan respek terhadap kerja-kerja lembaga kepolisian yang independen dan profesional. Munculnya keterangan mengenai satu di antara dua pelaku yang masih berusia antara 16 atau 17 tahun menjadi fokus baru. Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan perekrutan anak-anak sebagai pelaku pengeboman sebagai cara baru. Ada pembahasan dari pengamat psikologi anak yang menyampaikan statement gugatan terhadap praktik teror bom bunuh diri yang menggunakan anak-anak sebagai pelaku.

Berita berikutnya adalah pembahasan lembaga intelijen. Pengungkapan teorisme tidak hanya menjadi tugas kepolisian, melainkan juga tugas semua aaparat keamanan negara.

Hari keenam setelah peledakan, media massa, khususnya televisi komersial, terkesan berbalik dan mencari arah serta fokus pemberitaan. Dalam hal ini, terdapat satu hal penting yang harus disadari oleh semua pihak. Perlunya langkah-langkah dari media massa.

Pertama, mesti ada sikap baik untuk menyampaikan klarifikasi terhadap pemberitaan sebelumnya. Kedua, menyampaikan permintaan maaf kepada segenap masyarakat, korban, keluarga di Desa Ketekan Temanggung, Pesantren Al Mukmin Ngruki, serta Ustaz Abu Bakar Baasyir disebabkan berita-berita yang selama ini dilansir telah merugikan moralias sosial pihak-pihak tertentu.

Ketiga, media massa semestinya melakukan perbaikan dalam teknik investigasi berita, bukan mengedepankan kuantitas berita tanpa memedulikan kualitas berita. Penyiaran langsung memiliki potensi kesalahan data dan penyataan narasumber. Pakem-pakem investigasi semestinya dipegang teguh para jurnalis dalam menyampaikan fakta di lapangan.

Gugurnya konstruksi opini yang terbangun selama enam hari ini, jika tidak segera disikapi dengan baik, akan melahirkan pola dan bentuk terorisme baru yang dilakukan media massa. Kamera, perekam suara, pena, dan berita akan menjadi bom-bom baru yang menciptakan ketakutan dan membahayakan kelangsungan negara serta kemanusiaan secara keseluruhan.

Rabu, 15 Juli 2009

Rakyat Masih Jadi Obyek

Jakarta, Kompas - Meski partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum presiden tinggi, bukan berarti pendidikan politik di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Hal ini terbukti bahwa rakyat masih menjadi obyek suara saja bagi partai politik dalam pemilihan umum lalu.

Hal itu disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Daniel Zuchron di Jakarta, Selasa (14/7). Dari hasil pemantauan JPPR, partisipasi masyarakat di tiap TPS selama pelaksanaan pilpres sangat tinggi, bahkan ada yang 100 persen.

”Pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, masih membuktikan bahwa rakyat masih menjadi obyek suara saja. Masyarakat hanya dikonversi hak politiknya menjadi suara saja,” kata Daniel.

Menurut dia, persoalan partisipasi luar biasa. Akan tetapi, kalau bicara kualitas, partisipasi politik yang tinggi ini tidak berbanding lurus dengan pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai-partai politik.

Partisipasi pemilih tinggi bukan hasil dari pendidikan politik jangka panjang yang dilakukan partai-partai politik, melainkan baru sebatas pencitraan, media kampanye, dan penggunaan-penggunaan kapital. ”Secara substansial bukan menjadi ajang pendidikan politik masyarakat, masyarakat secara substansial tidak dapat menagih janji politik dari partai politik atau capres dan cawapres,” jelas Daniel.

Relasi lemah

Daniel mengatakan, relasi masyarakat dengan anggota DPR yang dipilih ataupun presiden yang dipilihnya akan lemah. Sebab, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk memilihnya. Saat ditanya adanya kontrak politik dari calon presiden tertentu, Daniel mengatakan, itu hanya euforia politik dan strategi kampanye saja. ”Situasi ini kalau diteruskan akan berbahaya sebab rakyat selalu hanya dijadikan sasaran suaranya setiap lima tahun sekali,” kata Daniel.

Yang ideal, menurut Daniel, tugas melakukan pendidikan politik seharusnya dilakukan oleh partai politik. ”Partai politik harus bekerja dengan baik mendidik masyarakat. Pendidikan politik ini adalah investasi jangka panjang partai politik, jangan melihat rakyat hanya untuk kepentingan pemilu lima tahunan,” ujar Daniel.

Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi mengatakan, tingginya angka pemilih yang datang ke TPS bukan berarti partisipasi pemilih tinggi dalam pilpres.

”Kami melihatnya sebagai mobilisasi pemilih. Ini kami temukan di daerah-daerah yang pola patronnya kuat, seperti di Madura. Tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh agama mengerahkan masyarakat untuk memilih,” jelas Jojo.

Jojo mengatakan, selain di Madura, KIPP juga menemukan di beberapa daerah lain, seperti di Lampung, Nias, dan Riau. ”Dari TPS yang kami pantau, pemilih yang datang ke TPS di Pulau Jawa sekitar 80-90 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa sekitar 70-80 persen,” jelas Jojo.

Jojo mengatakan, dari hasil temuan KIPP di lapangan, KIPP menemukan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif. Yang menonjol adalah keragaman dalam menyikapi penggunaan KTP dan kartu keluarga.

Menurut Jojo, di beberapa daerah banyak yang meminta fotokopi KTP untuk ditinggalkan. ”Padahal, saat itu kondisinya libur, susah sekali mencari tempat fotokopi, belum lagi kalau lokasinya itu di pelosok yang jauh dari mana-mana, bagaimana bisa mencari tempat fotokopi. Akhirnya hak pilih masyarakat menjadi terabaikan,” ujar Jojo. (VIN)

Demokrasi yang Membebaskan

Oleh Devitri Indriasari

Di tengah euforia demokrasi, nasib bangsa Indonesia sungguh ironis.

Seperti kisah anak dan ibu tiri yang jahat, ketika ada ayah, ibu tiri bermulut manis dan amat sayang. Namun saat sang ayah pergi, ibu tiri amat galak dan kejam. Sang ayah tidak bisa berbuat banyak karena benturan dua kepentingan, istri dan anak.

Kisah sedih bangsa Indonesia tidak beda dengan kisah itu. Menjelang pemilu, politisi mendekati rakyat dengan berbagai janji-janji dan berperilaku seperti seorang ayah kepada anak.

Di sisi lain, perilaku politisi di gedung dewan maupun di belakang layar menunjukkan perilaku sebaliknya. Berbagai keputusan politisi justru melukai hati rakyat dan melemahkan pengawasan rakyat atas jalannya pemerintahan. Imbauan Komisi I DPR agar KPK tidak aktif selama ketua tidak lengkap mengindikasikan adanya resistensi terhadap usaha pemberantasan korupsi. Keputusan untuk mengesahkan RUU Rahasia Negara juga memunculkan sinyal kontraproduktif dengan pelaksanaan Undang-Undang KIP yang memberi jaminan kepada rakyat atas hak informasi publik.

Meski pelaksanaan pesta demokrasi baru saja usai dan pilpres sedang dalam proses rekapitulasi suara nasional, rakyat sudah disuguhkan aneka berita yang menyedihkan. Pelaksanaan demokrasi yang disebut berhasil oleh sejumlah pengamat sepertinya berbanding terbalik dengan kondisi nyata nasib rakyat Indonesia. Berita sedih bermunculan seolah tidak peduli dengan maraknya pesta demokrasi yang sedang berlangsung.

Berita itu antara lain upaya sistematis sejumlah pihak untuk melemahkan usaha pemberantasan korupsi, proses RUU Tipikor yang tidak jelas, dan persiapan pengesahan RUU Rahasia Negara yang kontraproduktif dengan UU KIP. Berita pembagian BLT sebagai strategi kampanye pilpres adalah potret nyata kemiskinan rakyat Indonesia di tengah hiruk pikuk demokrasi.

Merunut ke belakang, yang lebih menyedihkan adalah pengesahan UU BHP. Pengaruhnya amat krusial karena memperkecil peluang masyarakat tidak mampu untuk memperoleh pendidikan tinggi di tengah impitan ekonomi yang kian berat. Tingkat pendidikan yang rendah akan berimplikasi pada kualitas demokrasi yang didominasi pemilih yang tidak rasional. Akhirnya demokrasi yang berhasil secara prosedural tidak menghasilkan pemimpin berkualitas seperti demokrasi di negara maju.

Misteri kesadaran politik

Hernando de Soto pernah menjelaskan fenomena ini sebagai misteri kesadaran politik. Kegagalan rakyat di negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan sudah menjadi kesadaran politik bersama suatu bangsa. Namun, para politisi tidak berinisiatif mengambil tindakan strategis untuk mengatasi kegagalan pembangunan itu. Para politisi menyadari, mereka membutuhkan dukungan suara rakyat kecil guna meraih jabatan politik yang memungkinkan mereka mengambil kebijakan publik untuk melakukan perubahan sistem yang berpihak kepada rakyat.

Pada sisi lain, politisi tidak bisa bebas dari sponsor yang membiayai mereka berkampanye. Bahkan, pada beberapa kasus, sponsor bisa datang dari negara maju yang memiliki kepentingan ekonomi atau politik. Karena posisinya amat dilematis, politisi lebih memilih tidak membangun sistem hukum yang kuat dengan berbagai cara. Pertama, tidak membuat peraturan yang efeknya merugikan sponsor.

Kedua, membuat peraturan yang lemah dan tidak lengkap.

Ketiga, membuat peraturan yang melemahkan peraturan sebelumnya.

Demokrasi yang substansial

Keadaan seperti ini terjadi berkelanjutan karena politisi tidak ingin memperbaikinya melalui regulasi dan kebijakan publik yang diputuskan parlemen. Bahkan, politisi yang muncul dari kalangan rakyat kecil pun tidak bisa berbuat apa-apa. Jumlah mereka relatif sedikit dan harus tunduk kepada keputusan partai politik. Peran individu politisi tidak ubahnya seperti bagian mesin politik partai, yang harus bekerja untuk menyuarakan partai. Sikap yang bertentangan dengan partai akan membahayakan eksistensi jabatan politisi itu.

Konsep pelaksanaan demokrasi yang benar seharusnya ditujukan pada substansi daripada prosedur. Demokrasi harus mampu membebaskan rakyat dari ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi, dan politik. Demokrasi harus memberi jaminan fungsi lembaga-lembaga negara untuk memberi perlindungan hukum, ekonomi, dan politik kepada rakyatnya.

Untuk memutus siklus kegagalan demokrasi dalam mewujudkan masyarakat sipil yang maju, rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus mengambil peran aktif pengawasan. Masyarakat sipil bisa berupa individu, ormas, media massa, dan LSM, harus meningkatkan soliditas pengawasan terhadap semua lembaga negara. Tidak ada jaminan dari prosedur demokrasi yang baik akan menghasilkan kualitas demokrasi yang substantif dan mampu memberi keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Devitri Indriasari Mahasiswa Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia; Bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

"Quo Vadis" Golkar?


Rabu, 15 Juli 2009 | 03:34 WIB

Oleh Kacung Marijan

Merosotnya perolehan suara Partai Golkar secara tajam pada Pemilu 1999 tidak serta-merta menjadikan Golkar kehilangan jati diri sebagai bagian the ruling party.

Meski tak lagi bisa menempatkan kadernya sebagai presiden dan wakil presiden, elite Golkar masih bisa menduduki jabatan ketua DPR dan sejumlah kementerian.

Aroma sebagai the ruling party juga terjadi pada Pemilu 2004. Perolehan suara yang tidak berbeda jauh dari Pemilu 1999 dan kegagalan memenangi pilpres tetap menghantarkan Golkar sebagai bagian kekuasaan. Kursi ketua DPR masih didapat, posisi wakil presiden diraih, dan ”portofolio” sejumlah kementerian didapat.

Pemilu 2009 menorehkan kekalahan beruntun Golkar. Perolehan suara pada pemilu legislatif merosot cukup tajam. Yang terbaru, persentase perolehan suara pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, yang diusung Golkar-Hanura, jauh di bawah persentase perolehan suara gabungan Golkar-Hanura.

Apakah kekalahan beruntun itu menjadikan Golkar berganti posisi, dari sebelumnya selalu menjadi bagian the ruling party menjadi bagian kelompok oposisi?

Kultur berkuasa

Tidak sedikit orang, termasuk elite Golkar sendiri, yang berpandangan, kultur the ruling party di tubuh Golkar telah tertanam kuat. Hal ini tidak saja berimplikasi pada adanya energi cukup besar untuk mempertahankan diri sebagai bagian kekuasaan. Ketika mendapati realitas bahwa perolehan suaranya menurun dan jatuh pun, Golkar berusaha menjadi bagian kekuasaan yang ada.

Upaya untuk mengubah kultur demikian sudah pernah dilakukan, tetapi gagal. Setelah kalah dalam Pilpres 2004, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung bertekad keluar dari kultur the ruling party, melalui komitmen bersama dengan PDI-P sebagai kekuatan oposisi.

Namun, komitmen itu hanya berumur beberapa bulan. SBY-JK menjadikan sejumlah elite Golkar sebagai bagian gerbong pemerintahan, duduk dalam kabinet yang dibentuk. Perlahan-lahan, posisi oposisi Golkar tergerus, dan puncaknya ketika JK terpilih sebagai Ketua Umum Golkar.

Memang, godaan menjadi bagian dari kekuasaan itu bukan hanya karena kultur the ruling party yang tertanam kuat. Kebutuhan JK untuk memperoleh basis dukungan kuat di DPR menjadi rabuk bagi lebih suburnya kultur semacam itu.

Oposisi... tidak... oposisi...

Konteks Pilpres 2009 berbeda dengan Pilpres 2004. Pada Pemilu 2004, SBY menggandeng JK, di antaranya, didasari keinginan untuk merebut sebagian pemilih Golkar. Selain itu juga ada kebutuhan untuk meraih dukungan dari parlemen.

Pilpres 2009 lain lagi situasinya. SBY berangkat dengan modal dukungan ”diri sendiri” yang cukup kuat, melalui kemenangan dan perolehan suara cukup dari Partai Demokrat. Selain itu, SBY juga didukung partai-partai tengahan sehingga total perolehan suara kursi partai-partai pendukung SBY mencapai 56 persen.

Sebagai presiden yang ingin membangun pemerintahan yang kuat dan mendapat dukungan meyakinkan dari parlemen, SBY bisa jadi akan senang ketika Golkar juga menjadi bagian kekuatan yang mendukungnya di parlemen. Namun menjadikan Golkar sebagai bagian pemerintahan dengan ”portofolio” kementerian yang memadai adalah sesuatu yang lain.

Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa SBY juga menginginkan adanya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Pemerintahan semacam ini lebih sulit diwujudkan jika koalisi yang dibangun terlalu gemuk.

Dalam situasi seperti itu, SBY bisa saja tetap membuka diri bagi Golkar untuk bergabung di dalamnya, tetapi dengan persyaratan bahwa ”portofolio” kementerian yang didapat tidak lagi proporsional dan SBY memiliki keleluasaan memilih orang-orang Golkar yang duduk di dalam pemerintahan.

Di sisi yang lain, dalam tubuh Golkar sendiri ada arus untuk membawa Golkar ke arah lain, seperti pernah dicoba oleh Akbar Tandjung, yaitu menjadikan Golkar sebagai bagian kekuatan oposisi.

Arus semacam itu lebih kuat dari apa yang terjadi pada 2004 karena tidak ada lagi magnet yang begitu kuat untuk menarik Golkar sebagai bagian the ruling party kembali. Selain sebagai bagian dari langkah membangun kultur baru, hal ini juga sebagai bagian strategi untuk Pemilu 2014. Menjadi bagian dari oposisi akan menjadikan jenis kelamin lebih jelas.

Kepemimpinan baru

Namun, apa pun langkah yang akan diambil akan amat bergantung pada hasil munas yang akan dilakukan. Pergantian kepemimpinan di tubuh Golkar hampir pasti tidak bisa dihindari. Selain usianya yang tidak muda lagi, JK juga tahu diri bahwa di bawah kepemimpinannya Golkar mengalami kekalahan beruntun.

Ketika Golkar dikendalikan oleh kelompok yang ingin membangun kultur baru di tubuh Golkar, kemungkinan menjadikan Golkar sebagai bagian oposisi akan amat terbuka lebar. Kelompok ini merupakan akumulasi dari orang-orang yang merasa tersinggung dengan SBY yang dianggap jual mahal dan orang-orang yang ingin melakukan berbagai perubahan lebih besar di Golkar.

Meski demikian, sejak awal, dalam tubuh Golkar juga ada kelompok yang lebih suka membawa Golkar berkoalisi dengan Partai Demokrat. Orang-orang ini tak hanya melihat pilihan seperti ini lebih realistis. Mereka juga memahami betapa tidak mudah mengubah Golkar dari yang berkultur penguasa ke yang berkultur oposisi.

Pertarungan untuk memperebutkan kepemimpinan Golkar dari dua arus besar itu akan menarik dan seru. Kedua kelompok sama-sama didukung basis akar rumput. Di kalangan pemilih Golkar, yang memilih SBY-Boediono tidak kalah besar ketimbang yang memilih JK-Wiranto.

Selain itu, hasil dari pertarungan itu akan mewarnai bangunan pemerintahan yang akan dibentuk SBY-Boediono. Saat Golkar dipimpin oleh orang-orang yang cenderung ke SBY, pemerintahan yang terbangun akan amat kuat dan efektif.

Sementara itu, manakala Golkar dikendalikan oleh orang-orang yang ingin membangun kultur baru dan membawa Golkar ke orbit oposisi, pemerintahan yang dibangun SBY masih cukup kuat tetapi mendapat imbangan memadai.

Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Sabtu, 11 Juli 2009

PARTAI GOLKAR Aburizal Disebut-sebut Calon Ketum

Jakarta, Kompas - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie disebut- sebut menjadi calon kuat untuk menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar pada musyawarah nasional yang segera diadakan setelah pelaksanaan rapat pimpinan nasional khusus akhir Juli ini.

Bahkan, Ical, begitu ia biasa dipanggil, disebut-sebut akan sepenuhnya berkonsentrasi memimpin Partai Golkar apabila ia terpilih dan akan menolak tawaran duduk dalam kabinet mendatang.

Hal itu disampaikan Ketua DPD Tingkat I Sulawesi Tenggara Ridwan Bae kepada pers seusai shalat Jumat bersama Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla di Masjid Baitulrahman, Istana Wapres, Jakarta, kemarin.

”Salah satu kandidat terkuatnya adalah Bang Ical. Ia sudah didukung setidaknya oleh 500 DPD Partai Golkar tingkat I provinsi dan tingkat II kabupaten. Adapun pesaingnya yang kuat adalah Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar,” ujar Ridwan.

Selain Ridwan, dalam pertemuan dengan Kalla, hadir pula Fahmi Idris, yang juga Menteri Perindustrian, Ketua DPP Partai Golkar Rully Chairul Azwar dan Ferry Mursyidan Baldan.

Secara terpisah, juru bicara Ical, Lalu Mara, yang dihubungi Kompas di Lombok mengatakan, ”Apa yang disampaikan Pak Ridwan silakan saja ditulis. Pak Ical belum bisa berkomentar lebih jauh.”

Lalu Mara menambahkan, ”Saya bisa mengerti dengan kekalahan beruntun Partai Golkar pada pemilu legislatif dan pemilu presiden. Banyak kader Partai Golkar mengharapkan kejayaan Partai Golkar pada masa yang akan datang seperti sebelum ini. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan Partai Golkar sebagai pilihan mayoritas rakyat Indonesia seperti pemilu sebelumnya.”

Bantah didukung SBY

Ditanya apakah dukungan dari DPD-DPD terhadap Aburizal itu karena kemampuan finansial Ical yang kuat, Ridwan membantahnya. ”Bang Ical tidak datang bawa-bawa uang, tetapi datang membawa program dan janji kemajuan masa depan,” katanya.

Ridwan juga membantah bahwa upaya menjadikan Aburizal sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar didukung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, ia mengakui ada wacana mengenai posisi Akbar Tandjung sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Ical sebagai ketua umum, dan Agung Laksono sebagai sekjen. Pesaing lainnya yang akan maju adalah Kalla sebagai ketua dewan penasihat, Surya Paloh sebagai ketua umum, dan Siswono Yudo Husodo sebagai sekjen.

Secara terpisah, fungsionaris Partai Golkar, Indra J Piliang, menyebutkan, agenda terpenting Partai Golkar pasca-Pemilu 2009 adalah konsolidasi internal. Konsolidasi diri penting untuk persiapan menghadapi Pemilu 2014 dan juga pemilihan kepala daerah mulai 2010.

Indra yang juru bicara tim kampanye pasangan JK-Wiranto menyebutkan wacana oposisi hanya ada dalam sistem parlementer. Ia juga mengatakan selalu ada upaya pihak yang menang untuk merangkul yang kalah. Partai Demokrat dalam posisi membutuhkan Golkar yang merupakan partai politik moderat karena mitra utama koalisi Partai Demokrat saat ini adalah parpol kanan.

Menurut Indra, Kalla adalah sosok yang konsisten dengan pernyataannya. Sejak awal, Kalla tidak berniat kembali menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Jika kalah dalam pemilu, Kalla akan pulang kampung dan berkonsentrasi di bidang agama, pendidikan, dan perdamaian.

Kabinet SBY

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengemukakan, komposisi politik, personalia, kecakapan, dan representasi yang terbaik untuk benar-benar bisa membantu SBY dalam menunaikan visi, misi, dan program aksinya akan menjadi pertimbangan utama pembentukan kabinet. ”Saya juga yakin, SBY tidak bisa ditekan untuk menarik atau menolak Partai Golkar ke dalam jajaran pemerintahan,” katanya.

Apa yang dikemukakan Anas sejalan dengan jalan politik Demokrat, yaitu politik pintu terbuka kepada Partai Golkar. Namun, Anas menyebutkan, kemungkinan koalisi di pemerintahan masih terlalu dini dibahas.

Namun, tidak terlalu sulit menebak ke mana arah Golkar pasca-Pilpres 2009. Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar yang juga Ketua Tim Kampanye JK-Wiranto, Fahmi Idris, sudah mengindikasikan sulitnya Golkar menjadi oposisi pemerintah.

Penegasan lebih keras pernah disampaikan Kalla jauh sebelum Pemilu 2009. Bagi Kalla yang membelokkan arah oposisi Golkar di bawah Akbar Tandjung yang digantikannya, oposisi adalah sebuah kecelakaan karena tujuan utama gagal diraih.

Perbedaan ini pernah menyulut perdebatan dan keretakan hubungan Kalla dengan Akbar. Akbar menilai mentalitas saudagar menguasai Golkar saat Kalla mengambil alih puncak pimpinan darinya. (HAR/DIK/INU)

Kamis, 02 Juli 2009

Polisi, "Bajik"dan "Bijak"

Robert Bala

I’m not against the police; I’m just afraid of them (Alfred Hitchcock).


Kata-kata American filmmaker (1899-1980) ini bisa ada benarnya. Polisi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya, mengapa polisi yang dirindu itu sekaligus dibenci?

Membangun sebuah image positif bukanlah hal mudah. Ia memerlukan proses perjuangan yang melelahkan. Aneka elemen konstitutif sebagai core values diciptakan untuk menyatukan perjuangan, menggugah keteladanan internal, dan menuai dukungan eksternal masyarakat.

Masalahnya, mengapa harapan itu tidak mudah terwujud? Atas pertanyaan ini, Saturla J dalam Vulnerabilidad, Dignidad y Justicia: Valores éticos Fundamentales en un Mundo Globalizado, 2003 membuka rahasianya. Ia mudah sirna karena kebijakan dalam bentuk aturan yang seharusnya dibuat secara bijak sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur dibuat seadanya. Akibatnya, pribadi yang terbentuk tidak utuh. Hal-hal internal yang lahir sebagai kebajikan diri menjadi langka.

Pemikiran yang sama diamini Dino Pasini dalam Problemi di Filosofia della Politica 1977. Ia melihat, politik sering menjenuhkan karena tidak dilihat secara utuh. Ia hanya medium untuk mencapai kepentingan jangka pendek, yakni kekuasaan. Padahal, inti kekuasaan timbul akibat pengakuan akan kualitas diri yang dimiliki seseorang. Martabat diri pun kian terbentuk karena dalam diri seseorang sudah ditemukan dimensi bajik dan bijak (virtuous and wise).

Lurus dan jujur

Perpaduan antara bajik dan bijak bukan hal baru dalam Polri. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sosok Hoegeng Iman Santoso, Kapolri 1968-1971. Dalam buku Pak Hoegeng, Polisi Profesional dan Bermartabat (Aris Santoso, dkk, 2003), terbitan Adrianus Noe Center, terungkap secara jelas.

Martabat kepribadian Hoegeng memulainya dari hal yang kelihatan sederhana. Saat menjabat Dirjen Imigrasi, tidak ada alasan hukum yang melarangnya untuk menutup Toko Kembang yang sudah lama diretas. Namun, nuraninya berkata lain. Pelanggan ”siluman” akan muncul secara gaib memborong bunganya.

Tidak hanya itu. Demi martabat, kerinduan putranya, Aditya, untuk menjadi tentara terkubur. Izin dari Hoegeng sebagai orangtua, sebagai prasyarat untuk seorang putra tunggal, sengaja diundur-undur. Baginya, bagaimanapun, izin itu merupakan ”katebelece” karena ditandatangani orangtua anak Kapolri.

Aditya begitu kecewa, tetapi kini ia sadar, itu adalah buah dari komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar. Ia adalah contoh bahwa kalau Hoegeng masih hidup, pasti ia tidak akan mengizinkan anaknya jadi caleg seperti yang lazim dibuat pejabat.

Citra diri

HUT Polri perlu sekaligus menjadi momen aktualitatif terhadap nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki negeri ini sekaligus menjadi acuan untuk membangun pamor Polri agar semakin baik.

Pertama, citra diri Polri tidak merupakan buah dari peraturan eksternal, tetapi dibentuk melalui proses penanaman nilai-nilai. Dalam bahasa John F Kennedy, a police state finds that it cannot command the grain to grow. Itu berarti, proses itu harus dimulai dari hal-hal keseharian.

Sambil tidak melupakan kemajuan yang telah dicapai, fenomena harian masih menunjukkan praksis yang kontradiktif. Polisi nakal yang bisa diajak ”berdamai” di jalan, hingga jajaran petinggi yang kelihatan masih belum independen dalam menyelesaikan kasus seperti pemilu, menunjukkan bahwa keseharian kita masih tersendat.

Kedua, perlu kemauan untuk membangun kepercayaan. Sebagai aparat penegak hukum, Polri (semestinya) menyadari bahwa kepincangan reformasi yang kini dirasakan juga disebabkan oleh memudarnya kepercayaan rakyat terhadapnya. Rakyat sudah bosan dan muak oleh kesaksian tidak sedikit anggota Polri yang jauh dari harapan.

Sebaliknya, perubahan bangsa ke arah yang lebih positif akan terwujud saat Polri menyadari bahwa kepercayaan pada korpsnya akan menjadi langkah bijak ke arah pembaruan bangsa.

Meminjam Jacques Prevet (1900-1977), penyair asal Perancis, When truth is no longer free, freedom is no longer real: the truths of the police are the truths of today.

Ketiga, perlu menanamkan kebajikan dalam kebijakan. Aturan perundangan demi mereformasi tubuh Polri amat penting. Tetapi, ia akan lengkap ketika reformasi itu dibuat di atas pijakan yang kuat, yakni sikap penuh kebajikan. Itu berarti, ia harus berawal dari diri sendiri sebelum dilansirkan keluar, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Hoegeng.

Bila kita memulai dari sini, niscaya tahun depan Polri sudah selangkah lebih maju. Rakyat tidak lagi takut kepada Polri, melainkan kian mengaguminya.

Dirgahayu Polisi Republik Indonesia.

Robert Bala Diploma Resolusi Konflik dan Perdamaian di Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol; Bekerja pada Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng

Menuju Perpolisian Hijau

SATJIPTO RAHARDJO

Pada tahun 1989 di Giardini-Naxos, Messina, Sisilia, Italia, diselenggarakan sebuah seminar kepolisian internasional bertema ”Policing in the 21st Century: Interfaces with the Social, Cultural, and Private Security Services”. 

Dalam seminar itu, William Tafoya dari Amerika Serikat tampil dengan makalah yang memikat, Changes of Police Functions towards the End of the Century: Integration of the Social; Network. Tafoya mengatakan, pekerjaan polisi terimbas oleh pesatnya perkembangan teknologi yang telah mengubah dunia menjadi a global village. Polisi berada di tengah-tengah transformasi itu dan perlu mengubah fungsi polisi tradisional yang dijalankan selama ini.

Memimpin bangsa

Beberapa pokok pikiran Tafoya antara lain, pertama, polisi harus belajar untuk berbagi informasi, yang berarti menguasai ilmu pengetahuan mutakhir dengan baik. Kedua, polisi hendaknya tidak melihat dirinya sebagai sebuah angkatan kerja saja, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari lingkungannya serta menjadikan dirinya sebagai badan (agent) yang selalu dicari lingkungannya. Ketiga, untuk dapat menjalankan fungsi itu dengan baik, polisi hendaknya melakukan refleksi terhadap hakikat perubahan sosial yang terjadi. Keempat, polisi hendaknya menjadi fasilitator perubahan.

Hal itu akan sulit dilakukan jika polisi masih memfungsikan diri sebagai penjaga status quo. Kelima, polisi harus memimpin bangsanya agar berhasil melewati masa perubahan dengan baik. Untuk itu, ia harus berada satu langkah di depan.

Pikiran-pikiran Tafoya yang muncul hampir 20 tahun lalu masih relevan untuk keadaan sekarang. Kini dunia masih dalam suasana perubahan dan transformasi kendati masalah yang dihadapi tidak persis sama dengan keadaan 20 tahun lalu.

Berbagai masalah yang mencekam dunia (burning issues) saat ini sudah berkembang sedemikian rupa sehingga berkualitas ”masalah planet”. Babak tentang perkembangan teknologi, seperti dikedepankan Tafoya, yang mengubah gaya hidup manusia, sudah memasuki babak baru, yaitu kerusakan bumi akibat eksploitasi alam yang dilakukan teknologi tinggi.

Etika hidup baru

Masalah pemanasan global sudah mengambil alih ”kepemimpinan” teknologi tinggi itu. The Club of Rome (1970) kini disusul The Club of Budapest (1998) yang makin mempertajam masalah tentang kerusakan bumi kita dengan mengeluarkan Manifesto on Planetary Consciousness. Kalau umat manusia ingin hidup dengan selamat (sustainable), tidak ada jalan lain kecuali mengubah gaya hidup dengan mengembangkan kesadaran beretika hidup baru, yaitu planetary ethics.

Jika mengikuti dan mencermati pikiran Tafoya, dengan adanya perubahan yang bertubi-tubi, kepolisian adalah badan yang seharusnya paling sibuk. Kini polisi memiliki tugas baru, yaitu memimpin bangsanya melewati krisis yang sudah berdimensi planet itu dengan baik.

Memang dalam banyak hal, polisi selalu menjadi etalase pamer (show window) dari perubahan di masyarakat. Pada waktu Indonesia memasuki era HAM tahun 1980-an, perilaku perpolisian menjadi tolok ukur sejauh mana HAM benar-benar dimajukan di negeri ini.

Berbagai hubungan yang harus dijaga oleh polisi sekarang tidak lagi hanya berupa hubungan harmoni antarmanusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. Polisi dan perpolisian harus mengamankan suatu etika baru, yaitu planetary ethics itu. Kalau diikuti pikiran Tafoya, jauh sebelum bangsa kita dihadapkan kepada etika planet tersebut, polisi seharusnya sudah memahami seluk-beluk masalah lingkungan dan biosfer agar mampu membimbing bangsanya.

Polisi berada di barisan paling depan untuk mewujudkan etika baru tentang hidup dalam planet dewasa ini. Kini masih banyak gaya hidup manusia yang bertentangan dengan tuntutan etika baru terkait dengan hubungan antara manusia dan alam. Polisi ada di tengah gejolak perubahan yang baru ini.

Pekerjaan mulia

Menurut informasi, Indonesia belum memiliki divisi polisi yang menjaga harmoni antara manusia dan alam atau polisi lingkungan. (Mudah-mudahan informasi saya keliru.) Di negara lain, kita dapat menyaksikan kehadiran divisi polisi lingkungan. Di Belanda, misalnya, bisa ditemukan polisi dengan selempang Millieu Politie sibuk mengangkat barang-barang dari kanal, seperti rongsokan sepeda yang dibuang orang begitu saja.

Pekerjaan polisi seharusnya merupakan pekerjaan mulia karena menjaga kualitas kehidupan manusia. Polisi Belanda bersemboyan ”Kita bekerja agar orang dapat tidur dengan nyenyak”. Sungguh kata-kata sederhana yang mengharukan dan melambangkan kemuliaan itu.

Memang masih banyak kekurangan Polri dalam ”melindungi dan melayani” publik. Kini, porsi pekerjaannya menjadi lebih berat lagi dengan tambahan fungsi untuk tidak saja menjaga harmoni hubungan antarmanusia dalam masyarakat, tetapi juga manusia dengan alam.

Hari Bhayangkara adalah saat yang bagus bagi Polri untuk merenungkan perannya dalam ikut menjaga keberlangsungan (sustainability) hidup manusia di planet ini. Pemanasan global sudah nyata-nyata terjadi. Apakah Polri belum tergerak untuk menjadikan kepolisian Indonesia berada di barisan terdepan dalam mengimplementasikan planetary ethics itu? Pikiran untuk membuat Green Constitution sudah mulai muncul di Indonesia. Penjagaan keamanan hidup di bumi sudah amat mendesak untuk dilaksanakan.

Polri sudah seharusnya berada di depan untuk ikut mengubah dan memandu gaya hidup manusia sesuai dengan tuntutan etika hidup yang baru itu. Untuk itulah, pada hemat saya, kehadiran the Green Police dinantikan di negeri ini.

Selamat Hari Bhayangkara.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang