Selasa, 24 Maret 2009

ANALISIS POLITIK


"Suara Kosong" dan Absennya Mandat
Selasa, 24 Maret 2009 | 05:51 WIB

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Di tengah ingar-bingar kampanye Pemilu 2009 hari-hari ini, ada baiknya kita mengingat kembali bahwa pemilu bukanlah tujuan, melainkan alat atau sarana. Bahwa dalam demokrasi merayakan hari pencontrengan bisa saja penting, tetapi yang sejatinya jauh lebih penting adalah menimbang hasil-hasil pemilu beserta implikasinya yang luas terhadap kehidupan kita.

Maka, alih-alih berkomentar tentang hiruk-pikuk adu janji selama kampanye ini, saya lebih senang membayangkan wajah Dewan Perwakilan Rakyat kita selepas Pemilu 2009.

Yang saya khawatirkan: hiruk-pikuk politik dan besarnya dana pemilu tak mampu mengantar kita mendekat ke tujuan-tujuan berdemokrasi.

”Suara kosong”

Semestinya Pemilu 2009 menandai perubahan penting dalam sistem pemilu kita. Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubah mekanisme penentuan anggota legislatif (dari mekanisme nomor urut menjadi suara terbanyak), sistem pemilu proporsional yang kita gunakan bergeser dari model tertutup (memilih partai) menjadi terbuka (memilih kandidat).

Karena dalam model terbuka ini pemilih memilih kandidat dan bukan partai, hubungan mandat, akuntabilitas, dan keterwakilan antara publik dan pejabat publik pun potensial terbangun lebih tegas. Sebab, penentuan sang pejabat publik benar-benar secara langsung berada di tangan publik.

Celakanya, inkonsistensi segera terbangun manakala Komisi Pemilihan Umum memutuskan bahwa ”hanya mencontreng partai” (tanpa mencontreng nama kandidat) pun dipandang sebagai cara memilih yang sah. Jadilah kita memiliki sistem proporsional terbuka yang inkonsisten dan bisa jadi mengidap masalah lebih serius dari sistem tertutup (Pemilu 1999) dan semitertutup (Pemilu 2004).

Di satu sisi, suara terbanyak menjadi penentu nasib calon anggota legislatif. Di sisi lain, mudah berdasarkan pengalaman 2004 dan keterbatasan sosialisasi Pemilu 2009, mudah diduga bahwa pencontrengan hanya partai (tanpa pencontrengan nama kandidat) akan marak. Sebab, cara ini jauh lebih sederhana dan tak butuh kerja pikir yang keras.

Konsekuensinya, akan merebak fenomena ”pilihan kosong” atau ”suara kosong,” yakni pilihan para pemilih yang tak bisa digunakan untuk menentukan keterpilihan kandidat. Suara untuk satu partai akan jauh lebih besar dari akumulasi suara untuk para kandidat dari partai itu.

Jika ini terjadi, akan banyak anggota DPR dan DPRD yang melenggang ke Senayan tanpa mendulang suara yang memadai dari para pemilih di daerah pemilihannya.

Demokrasi tanpa mandat

”Suara kosong” adalah salah satu fenomena penting Pemilu 2009. Para pemilih partai yang tak memilih kandidat seperti ”membuang suara” mereka dalam pemilu. Suara mereka bisa disebut ”terbuang” karena tak memiliki kaitan dengan keterwakilan politik yang terbangun.

Alhasil, bisa terbentuk apa yang disebut Susan C Stokes sebagai ”demokrasi tanpa mandat”. Demokrasi berkembang dengan tata caranya yang rumit, kompleks, dan merepotkan. Namun, mandat tak terjaga.

Dalam studinya mengenai pemilihan-pemilihan presiden di Amerika Latin, Susan C Stokes (Mandates and Democracy, 2001) mendefinisikan mandat sebagai ”harapan yang dipatok oleh para politisi ketika berkampanye mengenai tindakan-tindakan yang mereka akan ambil jika memenangi pemilu”.

Dalam gejala ”demokrasi tanpa mandat”, janji-janji kampanye yang ditawarkan para kandidat seperti menguap di udara. Janji-janji itu tak berujung pada realisasi kebijakan. Gejala ini umumnya terbangun sebagai kombinasi mematikan dua faktor pokok: tak adanya daya dukung struktur politik bagi penegakan mandat dan tak tersedianya para penagih janji.

Di satu sisi, struktur politik memberi keleluasaan kepada para pelanggar janji kampanye untuk bertahan dalam jabatan publik yang diembannya dengan tenang. Struktur politik tak mampu memaksa—misalnya melalui mekanisme pemberian sanksi yang layak—para pejabat publik untuk menepati janji mereka.

Di sisi lain, para pemilih salah kaprah. Mereka merasa tugasnya selesai setelah keluar dari bilik pencontrengan atau ketika hari pemilu sudah lewat. Padahal, sejatinya tugas dan peranan sebagai warga negara—antara lain sebagai penagih janji—justru baru saja dimulai ketika pesta pencontrengan usai.

Dalam kerangka itulah, Pemilu 2009, dengan fenomena ”suara kosong”-nya, memperkeruh situasi ”demokrasi tanpa mandat”. Bukan hanya absennya struktur politik yang layak dan belum kuatnya para penagih janji yang berpotensi mencederai demokrasi, melainkan juga tak ”nyambung”-nya pilihan yang diambil pemilih dengan perwakilan politik yang terbangun kemudian.

Ada baiknya di tengah kampanye pemilu legislatif yang begitu ingar-bingar hari-hari ini kita mengingat ancaman ”suara kosong” dan ”absennya mandat” di atas.

Dengan begitu, setidaknya kita terus terjaga agar tak membikin demokrasi jadi sekadar kerepotan berbiaya mahal. Alih-alih, tugas sejarah terpenting kita hari-hari ini justru membuktikan bahwa sebagai sebuah sarana atau alat, demokrasi adalah yang paling mujarab menggapai hasil-hasil terbaik.

EEP SAEFULLOH FATAH Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia

Penguasa, Capres, dan "New Media"


Oleh Lily Yulianti Farid

Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengumumkan peluncuran blog-nya pada 14 Agustus 2006 dan laporan media menyebutkan partisipasi di online voting blog tersebut melampaui angka 12.000 pada hari pertama. Dan, ketika berita ini tersebar ke seluruh penjuru dunia, banyak yang mengeluh tak bisa mengakses blog tersebut saking padatnya kunjungan warga maya (netizen).

Keputusan tokoh dunia yang kencang mengkritik AS dan Barat ini untuk menyapa dunia melalui blog memang jadi berita kala itu. Ada yang memuji, tapi tak sedikit yang mengkritik, bahkan mencurigai. Aktivis hak asasi manusia (HAM) di Barat yang mengecam kontrol ketat atas media di Iran, termasuk terhadap blogger, mencibir dan mengatakan blog Ahmadinejad itu propaganda terselubung rezim yang dipimpinnya.

Meski tak banyak tulisan yang diposting Ahmadinejad dalam tiga tahun terakhir dan bahkan tak ada artikel sepanjang tahun 2008, ia setidaknya telah menunjukkan upaya komunikasi personal kepada dunia. Blog yang tersaji dalam empat bahasa: Persia, Arab, Inggris, dan Perancis itu diawali dengan biografi panjang. Ketika respons pengunjung memuncak sementara postingannya semakin gersang, Ahmadinejad menjelaskan bahwa ia tetap teguh pada janjinya meluangkan waktu 15 menit per minggu (ya betul, hanya 15 menit per minggu!) memeriksa semua pesan. Ia dibantu sejumlah mahasiswa melakukan tabulasi pesan yang disebutnya sebagai masukan penting yang perlu ditindaklanjuti.

Dengan alokasi waktu yang superminim untuk memelihara blog-nya, pada pengujung tahun 2007, Ahmadinejad mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu untuk membaca pesan yang masuk daripada menulis postingan baru. ”Semua pesan saya baca, termasuk pesan yang dibuka dengan kalimat: saya tahu bahwa presiden tidak akan membaca pesan ini....”

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, tapi Ahmadinejad menangguk untung: pesan tetap terus mengalir dan ia memiliki ”kolam ide” berkat komentar dari segala penjuru dunia.

Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat diikuti aktivitasnya di situs www.presidensby.info. Tapi ini media resmi, bukan sebuah kanal komunikasi yang didesain agar sang presiden bisa bercakap-cakap secara lebih personal dengan publik. Yang jadi berita heboh pekan ini justru blog Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sejak Rabu (4/3) mengisi lahan blogger tamu Kompasiana. Postingan pertama berjudul ”Assalamu Alaikum”, tulisan dua paragraf sebagai salam pembuka, yang langsung disambut riuh komentar pembaca. Beberapa jam sebelumnya, Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menulis blog di Kompasiana. Postingan pertama Prabowo berjudul ”Pengalaman Singkat Saya Bermilis” ditayangkan di laman public blogger. Ia pun juga panen puluhan komentar dan meroket sebagai salah satu tulisan terpopuler.

Menarik perhatian

Respons yang tumpah ruah bagi Kalla dan Prabowo bukan hal yang mengejutkan. Pejabat, politisi, dan newsmaker lain yang memutuskan membuat media personal pastilah menarik perhatian. Publik ingin tahu, bagaimana sosok yang selama ini diberitakan, kini mengabarkan diri atau menyajikan pikirannya sendiri. Bagi sang tokoh, membuktikan bahwa tulisan itu karya sendiri adalah tantangan awal untuk menumbuhkan kepercayaan audiens meski tentunya agak sulit meyakinkan audiens bahwa capres dan wapres yang supersibuk bakal punya waktu membaca semua komentar.

Perilaku warga maya, menurut Dan Gillmor dalam We the Media (2004), adalah cerminan rakyat ”dunia nyata” yang bila memiliki akses berdialog dengan tokoh publik akan memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Yang membedakan, karena rakyat dunia maya adalah audiens yang bisa langsung merespons secara kritis dan menempatkan diri setara dengan siapa saja. Mereka adalah representasi warga yang sadar akan haknya dan tak mudah digiring untuk percaya pada suatu pandangan.

Gelombang New Media tak pelak menuntut perubahan model komunikasi pejabat pemerintah, politisi, korporat, dan media mainstream, empat elemen yang selama ini menguasai kanal informasi dan publikasi. Sekarang ada arus We Media, yakni orang- orang biasa yang aktif bercakap di dunia virtual melalui media alternatif yang mereka ciptakan dan isi sendiri. Topik yang mereka bahas terbentang dari hal terpenting hingga yang paling remeh, termasuk kiprah penguasa dan politisi korup, perusahaan yang menipu konsumen, dan media besar yang kehilangan independensi. Suara warga dunia maya ini begitu kencang.

Pada Pemilu 2009, peran New Media jelas semakin signifikan. Preseden gemilang telah dicatat Barack Obama dalam Pilpres AS, ketika barisan pendukung dan relawan yang direngkuhnya tumbuh pesat berkat Web-based organizing campaigns. Di Tanah Air, politisi ramai-ramai mengikuti jejak Obama, merambah blog dan SNS (social network system), seperti Facebook dan Youtube. Tak cukup beriklan di media mainstream, tim komunikasi caleg dan capres pun terjun ke media alternatif.

Sayangnya, penguasa dan politisi yang terbiasa dirubung staf, banyak yang terlambat menyadari kekuatan media baru ini. Bagi Jusuf Kalla, Prabowo, atau capres lain yang menemui publik lewat blog adalah penting mengingat bahwa netizen memiliki ekspektasi untuk menemukan the real you, sosok yang mendengarkan dan meladeni percakapan yang dinamis dan kritis, tanpa mendelegasikannya. Ini merepotkan, tapi tak mustahil. Meski hanya 15 menit sepekan, seperti yang pernah dilakukan Ahmadinejad.

Lily Yulianti Farid Aktif Mengembangkan Citizen Journalism di www.panyingkul.com

Para Prajurit Tua Tak Pernah Mati


Oleh AM Hendropriyono

Membaca buku Sintong Panjaitan yang berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), kita melihat ada dua orang yang dituduh pada 1983 dulu akan melakukan coup d’etat, yaitu Benny Moerdani yang dituduh oleh Kapten Prabowo Subianto dan Kapten Prabowo Subianto yang dituduh oleh Kolonel Sintong Panjaitan.

Tentu saja hal tersebut membuat publik menjadi bingung, ditambah lagi dengan ramainya buku dan serangkaian tanggapan yang terbit dan muncul dari para mantan perwira tentara lain. Untuk menghentikan kebingungan publik, marilah kita menata pikiran terhadap isi buku tersebut. Perlu kita bayangkan dulu suatu kotak pola pikir netral yang menempatkan kedua macam tuduhan yang bersifat antagonistik tersebut sebagai obyek (sasaran) dari analisis.

Rakyat Indonesia, termasuk para prajurit ABRI (TNI dan Polri), sejak kelahirannya dalam kehidupan berbangsa di negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ini semuanya berpegang pada filsafat Pancasila sebagai norma dasar. Dengan norma dasar itu kemudian Bung Karno (Presiden Indonesia berlatar belakang sipil) memercayakan pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada zaman Jepang kepada Gatot Mangkupradja (juga orang sipil) sebagai alat negara milik rakyat yang andal dalam mendampingi para politisi berjuang menuju dan membangun Indonesia merdeka. Peta lalu berkembang dalam proses sejarah sampai akhirnya sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kebenaran relatif

Letnan Dua Prabowo efektif menjadi anggota TNI sejak 1974 dan Letnan Dua Sintong sejak 1963, dengan penanaman sikap mental pengabdian mereka yang sama melalui derivasi nilai dasar, berupa Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga sebagai instrumen (alat) analisis dan perkembangan keadaan masyarakat (publik) demokratis Indonesia sekarang sebagai lingkungan analisisnya, kita akan mendapatkan hasil suatu kebenaran relatif jika menempatkan netralitas diri kita sebagai subyek dan sejarah sebagai metode.

Di dalam Sapta Marga antara lain tersurat, ”Kami kesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.” Instrumen itulah yang menjadikan The Old Soldier (Si Prajurit Tua), Sintong Panjaitan, membeberkan sejarah yang diketahuinya pada masa lalu kepada publik. Dalam pemikiran Sintong, lingkungan kita sekarang sudah berubah. Setiap individu bangsa kita telah melebur ke dalam napas keterbukaan di alam demokratisasi negara. Dengan demikian, mereka berhak mengetahui sejarah bangsanya sendiri agar mata dan hati mereka terbuka lebar dalam melanjutkan bergulirnya demokratisasi di nation state (negara-bangsa) Indonesia.

Bagi Prabowo, instrumen yang digunakannya untuk melakukan counter coup d’etat adalah Sumpah Prajurit, yang antara lain berbunyi ”Demi Allah, saya bersumpah setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan ideologi negara.” Yang dimaksud setia di sini adalah kepada pemerintah siapa saja yang sedang berkuasa karena tentara di mana pun di dunia ini merupakan alat negara yang harus tunduk, setia, hormat, serta taat kepada atasan, dengan tidak membantah perintah atau putusan. Kalimat tersebut juga tersurat di dalam Sumpah Prajurit. Atasan tentara adalah pemerintah, yang dikepalai oleh Presiden (sipil) sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara sehingga lazim disebut sebagai Panglima Tertinggi.

Ada dua cara dalam menghadapi suatu rencana coup d’etat, yang pertama adalah mendorong agar coup d’etat tersebut dapat terlaksana secara prematur. Dengan demikian, para pelaku coup d’etat diharapkan akan bekerja secara tergesa-gesa, ceroboh, dan akhirnya gagal. Yang kedua adalah melakukan suatu counter coup d’etat, yaitu gerakan yang dilakukan mendahului pelaksanaan rencana coup d’etat. Caranya, dengan menangkapi atau menculik para tokoh yang akan berperanan penting dalam pelaksanaan coup d’etat.

Diadili sejarah

Diskursus publik sekarang berkisar pada benar atau tidak Benny Moerdani akan melakukan coup d’etat waktu itu dan benar atau tidak Prabowo dulu akan melakukan counter coup d’etat, serta tepat atau tidak Sintong membeberkan sejarah hidupnya pada saat ruang dan waktu negara Indonesia sedang demam kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden. Namun, yang jelas, landasan pemikiran Sintong dan Prabowo adalah sama, yaitu demi kesetiaan dan rasa tanggung jawab masing-masing kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit serta pemahaman atas keterbukaan yang dituntut oleh perkembangan lingkungan strategisnya, yaitu rakyat di negara demokrasi Indonesia yang telah mereformasi diri sejak 10 tahun lalu.

Kebenaran yang merupakan hasil analisis hanya akan diadili oleh sejarah dan jangan lupa kebenaran tersebut hanya bersifat relatif karena history is written by the winning generals (sejarah ditulis oleh jenderal yang menang). Proses sejarah yang tidak mengenal belas kasihan membuat bangsa Indonesia lebih percaya kepada jenderal yang mewarisi jiwa keperwiraan dari para prajurit pendahulunya. Sejarah Indonesia di zaman Kerajaan Majapahit mencatat jiwa keperwiraan Gajah Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara, tetapi tidak pernah ingin menjadi raja. Demikian pula tercatat di zaman Kesultanan Demak, Faletehan alias Fatahillah yang dengan gemilang dua kali memukul mundur armada Portugis sampai menewaskan Laksamana Fransisco Dessa juga tidak pernah ingin menjadi sultan. Warisan sikap mental yang kita terima dari mereka bukan berupa nafsu kekuasaan ala Julius Caesar yang sepulang menaklukkan negara- negara di Eropa lalu melakukan coup d’etat dengan membubarkan senat dan mengangkat diri sebagai kaisar bangsa Romawi.

Para prajurit tua kita ketika masih aktif telah berhasil sehingga pada masanya dulu di Indonesia tidak pernah terjadi coup d’etat. Kini setelah kembali sebagai anggota masyarakat sipil, mereka bersaing bukan hanya karena keinginan menjadi presiden, apalagi menjadi raja atau sultan Indonesia! Mereka adalah para prajurit tua yang tak pernah mati untuk mempertahankan Indonesia yang belum dua pertiga jalan menuju batas aman bagi keberlangsungan demokrasi.

Proses modernisasi dan demokratisasi negara adalah suatu perjalanan yang panjang dan penuh risiko. Oleh karena itu, siapa pun di antara para prajurit tua yang paling layak untuk memimpin ke arah keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia pasti didukung dan dikoreksi secara sehat oleh para koleganya sendiri. Hanya dengan kondisi seperti itu, seluruh rakyat akan ikut bersama melantunkan himne Taruna AMN, ”Biarpun badan hancur lebur, di bawah Dwiwarna sang panji, kami akan membela keadilan suci dan kebenaran murni!”

AM Hendropriyono Alumnus Akademi Militer Nasional

Negara Inklusif


Oleh Airlangga Pribadi

Ketika semakin banyak orang mempertanyakan mengapa proses demokrasi di Indonesia tidak melahirkan elite-elite politik yang mampu membawa kesejahteraan sosial dan keadilan publik, gagasan tentang pemerintahan yang kuat tampil mengedepan sebagai isu sentral yang ditawarkan para politisi menjelang Pemilu 2009.

Menggelindingnya ide tersebut diperkuat oleh beberapa peristiwa politik, seperti serbuan gencar iklan di media massa dari Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, retorika para elite politik dan fenomena terakhir yang terekam dalam berita utama Kompas (13/3) sekitar pertemuan antara Mega dan JK yang salah satu draf hasil kesepakatannya adalah pentingnya pemerintahan yang kuat untuk masa depan Indonesia.

Kapasitas pemerintahan untuk menjalankan tugas-tugasnya dalam program- program yang konkret, terukur, dan memiliki dampak bagi kualitas hidup masyarakat memang merupakan prasyarat utama menuju kemakmuran bangsa. Namun, gagasan pemerintahan yang kuat bukanlah tanpa persoalan. Hal yang patut dikritisi seputar gagasan ini adalah referensi para intelektual dan politisi pada pemerintahan kuat kerap kali tertuju pada negara-negara yang mampu mendongkrak pembangunan ekonomi minus politik demokrasi, seperti Malaysia, Singapura, dan China.

Gagasan tentang pemerintahan kuat yang berpijak dari model pemerintahan otoriter dapat melupakan kita akan capaian penting demokrasi yang telah membawa peluang emas tidak ternilai, saat rakyat memiliki kesempatan baik melalui hak pilih dan partisipasi politik untuk menentukan baik buruknya pemerintahan. Pada sisi lain ketika kita terpukau oleh hasil- hasil pembangunan dari kepemimpinan kuat tangan besi, kerap kali kita melupakan bahwa warga di negara-negara tersebut harus menukar capaian keberhasilan material ekonomi yang menjulang dengan pembatasan kebebasan politik dan hak-hak sipil. Bukankah tanpa kebebasan politik untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam arena politik, rakyat hanya menjadi penonton pasif dari kehendak elite-elite politik?

Kapasitas negara

Pada saat yang tepat ketika banyak negara yang menapak jalan demokrasi sering tergoda oleh kuatnya kapasitas negara dari beberapa negara otoritarian, Charles Tilly (2007) dalam karyanya, Democracy, membuka wacana tentang kapasitas pemerintahan yang kuat dalam konteks negara demokrasi. Menurut Tilly, dalam bingkai demokrasi, kuatnya kapasitas negara ditentukan oleh tingkat inklusivitas negara merespons suara-suara publik dan kemampuan dari negara memperluas dan mengamankan hak-hak dasar kewargaan serta mengalokasikan sumber- sumber produktif bagi pemenuhan keadilan publik. Pada lintasan demokrasi, kuatnya pemerintahan yang berjalan setara dengan berdayanya dinamika kehidupan demokrasi publik akan menentukan hadirnya negara demokratik yang kuat sekaligus inklusif.

Berbeda dengan tatanan pemerintahan otoriter yang mensyaratkan kesenyapan partisipasi warga, pemerintahan yang kuat dalam tatanan politik demokrasi membutuhkan beberapa syarat, yaitu, pertama, hadirnya karakter budaya keadaban (civility) dan kuatnya tingkat kepercayaan (trust), baik dalam proses-proses politik yang berlangsung antara warga negara dan elite politik maupun di antara elite politik itu sendiri. Kedua, kemampuan negara untuk menyerap, mengelola, dan membuat prioritas kebijakan publik yang mampu memberikan perubahan bermakna bagi kebaikan bersama. Ketiga, inisiatif-inisiatif konstruktif dari kekuatan masyarakat sipil yang sehat untuk memengaruhi dinamika proses politik elite maupun penguatan kapasitas negara ketika memproduksi kebijakan publik.

Persoalannya, di tengah penguatan instalasi demokrasi yang berlangsung dalam lima tahun terakhir, tiga syarat utama bagi terbangunnya pemerintahan yang kuat dalam lintasan demokrasi masih belum berjalan di Indonesia. Hilangnya kemampuan negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak sipil dari saudara kita sebangsa dari komunitas Ahmadiyah memperlihatkan bahwa pelembagaan demokrasi prosedural tidak diikuti oleh hadirnya negara inklusif yang menjamin kebebasan, rasa aman, dan hak-hak dasar bagi warganya.

Kemampuan pemerintah untuk menciptakan kebijakan publik yang responsif tidak kita temukan dalam realitas politik keindonesiaan saat ini, ketika relasi antara kebijakan pemerintah dan fakta sosial membentuk hubungan yang kontras. Berita tentang naiknya anggaran untuk pendidikan nasional berjalan seiring dengan biaya pendidikan bagi rakyat yang membubung tinggi, kebanggaan akan hasil swasembada beras pada tahun 2008 tampil sejajar dengan terpuruknya kesejahteraan para petani, sementara gencarnya program pengentasan rakyat dari kemiskinan berjalan kontradiktif dengan jumlah 49 persen masyarakat miskin yang hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dollar AS per hari menurut ukuran Bank Dunia.

Saat kebijakan pemerintah tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kemaslahatan bersama dan arena politik berjalan semakin terasing dari denyut aspirasi publik, maka warga negara menjadi kehilangan antusiasmenya untuk berperan dalam arena politik. Kapasitas negara melemah sejalan dengan hilangnya hasrat politik untuk menghadirkan inisiatif kewargaan bagi tumbuhnya politik yang berkeadaban.

Inisiatif warga

Dalam kasus Indonesia, tinjauan kritis terhadap pentingnya pemerintahan yang kuat membutuhkan langkah pertama yang berangkat dari tumbuhnya kembali hasrat dan inisiatif politik konstruktif dari warga negara. Putaran kampanye pemilihan legislatif adalah salah satu momentum bagi warga negara untuk merintis jalan membangun kapasitas negara yang kuat. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi aktor- aktor strategis masyarakat sipil untuk memastikan bagaimana membangun mekanisme seleksi publik yang ketat untuk menghasilkan elite-elite politik yang bersih.

Hal penting lainnya adalah merumuskan tindakan politik apakah yang secara efektif dapat dilakukan oleh warga negara untuk mengawal politisi dengan janji-janji mereka sehingga ketika mereka terpilih, warga dapat meminimalisasi kemungkinan pengkhianatan mandat oleh para elite kepada publik. Dengan langkah-langkah bersahaja dan konkret seperti itulah pemerintahan kuat yang inklusif akan tumbuh di Indonesia untuk mendengarkan suara-suara publik, bekerja bagi pemuliaan martabat kemanusiaan, dan peningkatan kualitas hidup dari warganya.

Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Sabtu, 21 Maret 2009

Pesan Moral untuk Elite Politik



M Mossadeq Bahri
(Lektor Kepala, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia)

Pesan moral ini diawali dengan kutipan dua kalimat awal surat Alfatihah. Kalimat pertama, basmalah. Dimaksudkan, semoga isi pesan mampu memancarkan rahman dan rahim, kasih sayang. Khususnya, kepada para elite politik kita dan bangsa ini secara keseluruhan. Hanya dengan kasih sayang, bangsa ini akan menjadi bangsa yang terbebas dari huru-hara, gontok-gontokan, dan pertumpahan darah. Hanya dengan kasih-sayang pula, rakyat kita akan merasakan hidup damai dan merasa nyaman menikmati alam Indonesia baru yang demokratis.

Kalimat kedua, hamdalah. Dimaksudkan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, Tuhan pencipta sekalian alam. Bahwa, kita di sini, di Jakarta, dapat merasakan kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudara kita di Aceh, Ambon-Maluku, Poso, Irian Jaya, dan berbagai belahan Indonesia lain. Rasa syukur kepada Allah SWT itu seyogianya menebalkan keprihatinan kita kepada nasib saudara-saudara kita yang tertimpa musibah kerusuhan dan bencana yang entah kapan akan berakhir.

Belakangan, di negeri ini berjangkit virus bernama penyakit nasional atau penyakit Indonesia. Ciri-cirinya, antara lain, melemahnya disiplin sosial, buyarnya otoritas dan keteraturan, sikap tidak bertanggung jawab, berkuasanya kekuatan uang, konsumsi berlebihan dan ekstravagansa, rusaknya lingkungan hidup, serta gesekan dan friksi antarkelas, daerah, dan generasi. Senyampang penyakit ini tidak segera diobati, negara ini sangat mungkin terjerembab ke titik 'kehancuran total'. Akibat penyakit ini sungguh fatal bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Semua komponen bangsa perlu sungguh-sungguh menyadari hal ini.

Sejarah membuktikan, bangsa ini adalah bangsa pendendam (meski juga absah dibubuhi label bangsa pelupa). Vendeta politik menjadi fenomena yang absah. Kita menerapkan elemen 'hukum' Islam dalam arti yang saru dan soro atas ketertindasan (oleh satu rezim berkuasa) dibayar tunai dengan penindasan (ketika si pecundang naik tahta). Khusus semenjak era pemerintahan reformasi, antara arena politik dan hukum rimba menjadi kancah yang sama-sebangun. Bicara dan buka mulut tak berbeda. Akhlak tak lagi jadi penuntun. Etika masuk keranjang sampah. Kepongahan menjadi panglima. Kepandiran fundamental dipertontonkan dengan sikap jemawa yang sulit dicerna akal sehat.

Dalam konstelasi amburadul semacam itu, derivat yang mengejawantah dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat pun menjadi kaya varian. Manusia Indonesia berubah, orientasi nilai-nilai bergeser. Kepatutan menjadi perkara yang nisbi. Hukum dan dominasi hukum cuma elok di atas lembaran KUHP & KUH Perdata, tetapi menjadi mimpi buruk di dunia riil. Ulama yang seyogianya jadi juru penerang di tengah gulita tak kunjung memahami risalah kudusnya fitrah mereka sebagai ahli waris Nabiyyullah. Dan, cendekiawan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan tampak nyaman sentosa memainkan peran remeh-temehnya alih-alih terlibat ide-ide berskala dan berdimensi besar.

Semboyan 'kepadamu pahlawan kami mengadu' di penghujung dasawarsa 1970-an adalah pekik romantis dengan selera humor yang kreatif mengingat iklim represif yang disemai Soeharto sebagai pemenang tender tunggal proyek pembangunan Nusantara. Gerakan moral mahasiswa (kampus) sebenarnya tak benar-benar musnah sepanjang kontur sejarah. Mereka hanya mati muda karena berada dalam habitat yang tandus. Mereka berjaya sebagai trigger reformasi pada Mei 1998 dengan menempatkan diri sebagai ujung tombak saat kemuakan berjuta-juta anak negeri mencapai kerongkongan.

Tahap selanjutnya, berbagai konstelasi dasar negeri ini berada di titik transisi. Status ini tak pernah diakui BJ Habibie meski Prof Dr Nurcholish Madjid amat nyinyir mengusung dan mendesakkan sebutan ini. Hikmah 'reformasi' cuma mendidik kita tentang satu hal. Kita tahu berubah 'dari', tetapi meraba-raba berubah 'ke (mana)'. Sebagai bangsa yang tak sabar, kita menuntut Habibie datang dengan lampu Aladin. Dengan sekali gesek, kondisi carut-marut warisan Soeharto sontak berubah bak membalik telapak tangan. Euforia reformasi itu pula yang melengserkan tongkat dirigen dari tangan seorang besar bertubuh kecil Habibie atas nama keabsahan politik lantaran aroma Soeharto pada dirinya dianggap kelewat kental.

Eksperimen demokrasi menghasilkan PDIP sebagai pemenang (dengan 32 persen suara dari 49 kandidat yang bertarung dalam Pemilu 1999 yang relatif luber-jurdil). Apa mau dikata, kombinasi kaukus Poros Tengah dengan manuver lokomotif parpol ini membuahkan kecelakaan sejarah jika tak hendak menyebutnya tragedi. Seorang yang tidak memenuhi syarat, menurut konstitusi, dan tak dicalonkan oleh partai yang dideklarasikannya menjadi orang nomor satu di negeri berpenduduk 210 juta jiwa ini. Bagaimana membayangkan jika cucu kita yang mencermati sejarah bertanya tentang hal ini? Kita tak tahu apa kita mampu menjawab atau tidak.

Begitulah. Tanpa perlu terlibat pro-kontra dalam kepentingan partai-partai-an, 200-an juta rakyat di hari-hari ini memerlukan juru penerang. Dahaga terhadap 'mata hati'. Yakni, orang yang menunjukkan 'jalan lurus' ketika rute perjalanan itu melintir, zig-zag, dan bengkok di sana-sini. Yang memberi tahu salah dan benar tatkala yang hak dan yang batil terpiuh dalam chaos yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah peradaban negeri ini, kecuali dipersandingkan dengan the dark period semasa era jahiliyah di Jazirah Arab sana.

Hitung saja manusia digelandang massa hingga luluh-lantak, lalu dibakar; berbunuh-bunuhan antarkomunitas, lalu pemenangnya menenteng dan mengarak penggalan kepala; polisi bermental lanun; hakim-jaksa-pengacara memperdagangkan pasal-pasal; serdadu mengeksekusi penduduk sipil dengan pelor yang berasal dari pajak rakyat; rampok berdasi rangkul-rangkulan dengan birokrat sembari menyantap hidangan kelas supereksekutif di hotel berbintang lima; narkoba mewabah dari lapisan teratas masyarakat hingga anak-anak SD; atau zina diabadikan dalam lempengan silikon VCD dan diperniagakan bebas dengan nilai Rp 3.000 per keping.

Di tengah 'karbala' kemanusiaan ini, sebagai rakyat, kita sangat berharap, elite politik nasional jangan cuma sibuk bersilat lidah tentang kasus Bank Indonesia, pengadilan Soeharto, kasus Lapindo, dan lain-lain. Bukankah ironis, sementara rakyat digelandang musibah, elite kita sibuk memproduk pernyataan yang justru tak bersimpati (konon pula berempati) pada aspirasi yang berdenyut di urat nadi kehidupan rakyat banyak? Inikah etika berpolitik kita? Beginikah moralitas elite politisi kita? Beginikah etika dan moralitas bangsa ini? Persoalan berikutnya, sudikah kita menjadi penonton pameran kedunguan ini? Sampai kapan?

Elite politik nasional seharusnya sadar, mereka bertanggung jawab terhadap 200-an juta rakyat. Mereka seharusnya sadar, pada tupoksi, mereka sebagai motivator; kreator; pelopor yang menentukan arah masa depan negara bangsa ini. Mereka kudu paham, cetak biru kebijakan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan budaya di republik ini adalah keputusan politik yang cerdas dan mencerdaskan yang harusnya lahir dari kiprah mereka. Mereka masih bisa berbuat sesuatu, demi dan atas nama pertanggungjawaban, sekaligus pencerahan kultural, kecuali kalau menghendaki tumpak wilayah geografis bernama Indonesia ini lenyap dari atlas.

Kita berharap agar di Pemilu 2009 ini, sikap para elite politik nasional menjadi titik berangkat menyongsong Indonesia baru.

(-)

Selasa, 17 Maret 2009

Pengunduran diri Irjen Herman SS: Saya Kecewa Diintervensi

Selasa, 17 Maret 2009 | 03:22 WIB

Jakarta, Kompas - Mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman Surjadi Sumawiredja secara terbuka menyatakan kekecewaannya atas intervensi Mabes Polri terhadap perkara dugaan pemalsuan daftar pemilih tetap di Bangkalan dan Sampang dalam Pilkada Jawa Timur, Januari 2009. Atas latar belakang itu, Herman mengajukan pengunduran diri dari Kepolisian Negara RI, Februari lalu, tetapi belum juga dikabulkan. Menanggapi hal itu, pihak Mabes Polri melalui Kepala Polri, Selasa (17/3) ini, akan menggelar jumpa pers.

”Saya hanya ingin bebas supaya bisa bebas bicara secara independen,” kata Herman dalam jumpa pers, Senin di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan.

Ditanya apakah setelah mundur dirinya akan bergabung ke sebuah partai politik, Herman menggeleng.

”Tidak, tidak. Lihat saja nanti. Saya paling mau belajar saja. Sekarang sedang belajar bahasa Arab. Saya enggak terpikir berpolitik segala,” kata Herman.

Herman sedianya baru akan pensiun 1 Juni 2009. Namun, pada 14 Februari dirinya dicopot dari jabatan Kepala Polda Jatim. Selanjutnya, Herman diganti oleh Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Polda Kalimantan Selatan.

Kronologi

Ketika penggantian itu dilakukan, Herman tengah menangani perkara dugaan pemalsuan daftar pemilih tetap (DPT) dalam Pilkada Jatim. Sehari sebelum serah terima jabatan (sertijab) kepala polda, yaitu pada 18 Februari 2009, Herman mengumumkan penetapan tersangka dalam perkara itu, yakni Kepala KPU Jatim Wahyudi Purnomo. Dengan demikian, status penyelidikan ditingkatkan menjadi penyidikan.

Sejak masih dalam penyelidikan, Herman mengaku pernah ditelepon dari Mabes Polri pada 9 Februari 2009 dan diminta untuk tidak reaktif terhadap kasus tersebut. Direktur Intelijen dan Keamanan Polda Jatim Komisaris Besar Endang juga dipanggil Mabes Polri untuk memaparkan kasus tersebut. Kemudian, 13 Februari 2009, Herman menerima pemberitahuan soal rencana penggantian dirinya.

Sehari setelah sertijab, yakni 20 Februari 2009, Herman menyebutkan, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji datang ke Surabaya dan menggelar rapat di Hotel Shangri-La.

Dalam rapat yang berlangsung lebih dari enam jam itu, perkara dugaan pemalsuan DPT diminta untuk dihentikan. Hingga kini, status perkara tersebut ”diturunkan” menjadi penyelidikan. Sementara status tersangka terhadap Wahyudi juga dicabut.

Pengajar Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, berpendapat, jika memang benar, kebijakan mengembalikan kasus itu ke penyelidikan akan menimbulkan pertanyaan sejumlah kalangan tentang profesionalitas polisi sebagai penegak hukum. Dugaannya, kebijakan itu diambil karena ada intervensi politik.

”Jika ingin dipercaya dan dihormati masyarakat, polisi harus mengedepankan hukum dan jangan bicara politik,” ujar Bambang.

Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengatakan, Kepala Polri harus menjelaskan secara rinci kasus tersebut, termasuk perkara dugaan pemalsuan DPT.

”Ini bisa jadi pukulan besar bagi Polri yang selama ini mengklaim profesional, mandiri, dan independen. Kalau memang betul ada intervensi, saya yakin bukan cuma dari Mabes Polri. Pihak Mabes boleh jadi hanya digunakan pihak lain,” kata Trimedya.

Lanjutkan perkara

Herman sendiri berharap, kepolisian tetap meneruskan pengusutan dugaan kasus pemalsuan DPT tersebut di bawah kepemimpinan kepala polda yang baru, Irjen Anton Bachrul Alam.

Dugaan kasus di Sampang dan Bangkalan itu dapat merusak demokrasi dan mudah dilakukan. Dengan demikian, pengusutannya menjadi penting karena untuk mengetahui kemungkinan terjadinya hal serupa di tempat lain. ”Pengungkapan kasus itu juga penting untuk membangun citra polisi yang dapat dipercaya,” kata Herman.

Penetapan tersangka terhadap Wahyudi dilakukan setelah polisi menemukan adanya dugaan pemalsuan DPT di Bangkalan dan Sampang. Dalam penyelidikan diketahui, jumlah pemilih dalam DPT di kedua kabupaten itu 1.244.619 orang yang tercatat di 2.768 lembar salinan DPT di setiap tempat pemungutan suara.

Dari jumlah itu, setelah dicocokkan dengan soft copy KPU Jatim, 345.034 data pemilih atau 27,65 persen di antaranya berisi data yang tidak benar. Sementara dari 368 lembar salinan DPT yang memuat 128.390 data pemilih, diketahui ada 29.949 data yang tidak benar.

Kasus pemalsuan DPT berawal saat pendukung tim pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji), menggelar unjuk rasa secara bersamaan di Kantor Panitia Pengawas Pemilu Jatim, Markas Polda Jatim, dan Kantor KPU Jatim, 9 Februari.

Simpatisan pasangan Kaji lalu mengawal Panwas untuk melaporkan kasus itu ke Polda Jatim. (SF/NWO/DEE)

Minggu, 15 Maret 2009

POLITIKA


Pemimpin atau Penjual
Sabtu, 14 Maret 2009 | 03:03 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Salah satu alasan Tritunggal (Soekarno-Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir) tak bertahan lama karena kepala mereka lebih keras daripada batu. Tak heran mereka mirip film kartun Tom and Jerry.

Hatta mengakhiri era keemasan Dwitunggal setelah mundur sebagai wapres tahun 1956 karena menganggap Soekarno makin otoriter. Soekarno amat menghormati Hatta, baik sebagai proklamator maupun administrator.

Soekarno memberikan peluang kepada Hatta—juga Sjahrir—memimpin kabinet sebagai perdana menteri. Kala itu ia sering melawat ke daerah menggalang kebinekaan ala Pancasila.

Tentu Soekarno pernah geram kepada Hatta. Saking jengkelnya, ia sempat keceplosan bahwa tanpa Hatta pun ia bisa membaca teks Proklamasi sendirian saja.

Ketika Republik genting menjelang pemberontakan PRRI/ Permesta 1957-1958, Hatta pergi ke sejumlah daerah membela Soekarno. Namun, kritik Hatta makin tajam setelah Soekarno memberlakukan Dekret 5 Juli 1959.

Hatta nekat minta izin ke Soeharto menjenguk Soekarno, sahabatnya yang sekarat. Soekarno siuman, mereka menangis sambil bergenggaman tangan dan dua hari kemudian Soekarno wafat.

Hubungan Hatta-Sjahrir bagus. Setelah menyelesaikan studi di Belanda, Hatta menyiapkan Sjahrir sebagai penggantinya, memimpin Perhimpunan Indonesia.

Namun, Hatta jengkel pada politicking Sjahrir yang ikut menghancurkan demokrasi parlementer sebelum Pemilu 1955. Akibatnya, Hatta ”ditendang ke atas” dari jabatan PM yang berkuasa jadi wapres ban serep.

Kekesalan Hatta tampak dari jawabannya atas pertanyaan basa-basi Sjahrir tentang tugas wapres. ”Saya sekarang mengurus PON (Pekan Olahraga Nasional) agar kita sehat, termasuk kamu,” sindir Hatta.

Soekarno dan Sjahrir ibarat air dan minyak yang mustahil dicampur. Saat bersua pertama kali di Bandung, Sjahrir secara terbuka mengkritik Soekarno yang memakai bahasa Belanda—bukan Indonesia—dalam rapat-rapat PNI.

Sjahrir dongkol tiap kali Soekarno mandi sambil bernyanyi karena suaranya sumbang. Soekarno suka meledek Sjahrir sebagai pejuang yang mengandalkan siaran radio-radio luar negeri.

Sjahrir ditangkap Soekarno 18 Januari 1962 dan disekap di penjara Madiun, RSPAD, Jalan Keagungan, dan RTM Budi Utomo. Ia dituduh terlibat dalam upaya pembunuhan Soekarno saat iring-iringan mobil Kepala Negara dilempari granat di Makassar, 7 Januari 1962.

Selain berbakat memimpin dan berotak cair, Tritunggal terbentuk karena tiga faktor. Kombinasi ketiga faktor itu membuktikan kelahiran Tritunggal sudah menjadi suratan sejarah (fate), bukan sekadar untung- untungan (luck).

Faktor pertama, politik etis Belanda yang membuka sekolah bagi pribumi. Tritunggal mengenyam pendidikan bermutu tinggi, termasuk Hatta dan Sjahrir yang belajar ke Belanda.

Kedua, kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang 1905 yang menaikkan gengsi Asia. Dan, ketiga, sukses revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917 yang meruntuhkan kekaisaran Rusia.

Kebebasan bangsa-bangsa yang baru kala itu merupakan ikhtiar bersama—bukan individual effort. Di Uni Soviet ada model triumvirat Vladimir Lenin (1870-1924), Joseph Stalin (1878-1953), dan Leon Trotsky (1879-1940).

Di China ada pula kepemimpinan trio Chiang Kai–shek (1887-1975), Mao Zedong (1893-1976), dan Zhou Enlai (1899-1976). Di India pun sama, ada Mahatma Gandhi (1869-1948), Ali Jinnah (1876-1948), dan Jawaharlal Nehru (1889-1964).

Tritunggal masuk ke Angkatan 1928 walau Sjahrir (1909-1966) jauh lebih muda dibandingkan dengan Soekarno (1901-1970) dan Hatta (1902-1980). Mungkin itu sebabnya Sjahrir tertakdir sebagai ”orang ketiga”.

Buku-buku yang mereka baca sama, begitu juga ideolog-ideolog yang mereka pelajari. Itu sebabnya partai-partai nasionalis yang mereka dirikan dan pimpin tak banyak berbeda, yakni PNI dan PNI Baru.

Sebagai pejuang, Soekarno dikenal mendambakan persatuan, Hatta memimpikan kedaulatan rakyat, dan Sjahrir bersikap nonkooperatif. Sebagai politisi, Soekarno orator pemukau massa, Hatta percaya demokrasi dimulai dari bawah, dan Sjahrir meyakini kaderisasi partai.

Sehubungan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sjahrir, saya sering ditanyai apa warisan PM pertama kita itu? Saya jawab, ”Ia tak meninggalkan warisan apa pun karena enggak punya duit.”

Soekarno ngutang untuk beli rumah, Hatta sampai wafat gagal membeli sepatu Bally. ”Wah, beda ya sama pemimpin sekarang,” tulis seorang pembaca.

Tritunggal adalah leaders (pemimpin), yang sekarang dealers (penjual). Pemimpin bersahabat dengan Nehru atau Mao, penjual berebut mau jumpa Barack Obama.

Saat kampanye Pemilu 1955, pemimpin menawarkan program konkret. Lihat billboard raksasa kampanye penjual: mengepalkan tangan kayak Chris John, mohon doa restu, pasang foto David Beckham, dan... melanggar aturan karena dipajang di jalan protokol.

Dari foto-foto zaman baheula, pemimpin tampak serupa dengan orang-orang biasa. Lihat lagi billboard penjual yang berdandan rapi jali kayak maneken.

Pemimpin mati-matian menjaga kekayaan alam. Penjual ya jualan migas di Freeport, Blok Cepu, dan Natuna.

Sebuah pepatah mengatakan, ”pemimpin adalah penjual harapan”. Teman saya dealer mobil bilang, ”Yang penting anĂ© enggak rugi.”

Jumat, 13 Maret 2009

Negeri yang Menjauhi Cita-cita

MARIA HARTININGSIH

Demokrasi Indonesia sedang terbengkalai. Instalasi demokrasi yang lengkap telah dimiliki, tetapi yang mengalir di dalamnya adalah politik yang dikendalikan sirkulasi uang, keyakinan religius yang cenderung absolut, dan praktik politik komunal yang ditopang alat-alat pemaksa kebenaran yang bernama kekerasan.

Itulah kondisi yang menandai 100 tahun Sutan Sjahrir, Bung Kecil yang besar, terutama karena gagasan-gagasan politiknya, yang pada dasarnya antifasisme, antikolonialisme, antifeodalisme, dan membela politics of value.

Demokrasi kita selama 10 tahun terakhir ini semakin jauh dari konstruksi politik Sjahrir karena instrumen yang ada justru dijadikan alat untuk melegitimasi segala tindakan atas nama adat, budaya, tradisi, yang bercampur baur dengan keyakinan dan agama untuk menegaskan perbedaan antara satu dengan yang lain.

Sinisme karena demokrasi (baca: reformasi) di Indonesia gagal membawa perbaikan ekonomi rakyat sangat mudah tersalur ke dalam pencarian jati diri moral yang menganggap demokrasi tak mampu memberi kepastian akan kemakmuran. Muncul pandangan, hanya sistem nilai tertentu, terutama yang berbasis agama, yang dianggap mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan.

Selama beberapa tahun terakhir kita juga menyaksikan fenomena politisasi identitas, toleransi bersyarat sehingga kosong maknanya di tingkat realitas dan transaksi kewarganegaraan yang terasa sangat formal. Perlindungan dan kemerdekaan individu menjadi taruhan karena tak ada pendalaman kesadaran akan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pergaulan masyarakat yang multibudaya.

Ketegangan dan kekerasan merebak, dipicu oleh disparitas ekonomi dan kehancuran sumber daya alam karena eksploitasi besar-besaran oleh korporasi transnasional maupun nasional, yang tidak seluruhnya tertampung dalam instalasi demokrasi.

Kita seperti bangsa limbung, diombang-ambingkan gelombang politik-ekonomi global. Di dalam negeri, kita menyaksikan politik tipu daya dan demokrasi yang dijalankan dengan ritual politik yang berharap pada ”keajaiban”.

Politik tanpa akal sehat

Cukupkah kecerdasan bangsa ini untuk menyelenggarakan demokrasi kalau komunalisme dan ketidakrasionalan sangat kuat mengarahkan alam pikiran demi kekuasaan yang dimaknai sebagai kesewenang-wenangan untuk menentukan?

Konstruksi politik Sjahrir mensyaratkan politik sebagai kegiatan kolektif, bukan komunal. Alat dari komunalitas adalah pemaksaan menerima semacam ikatan kekuasaan dan keyakinan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan. Yang dibutuhkan adalah kepatuhan dari mereka yang terpenjara rasa takut.

Kolektivitas mengajar orang berpikir, bekerja dan berpolitik dengan akal sehat. Di dalamnya orang bekerja untuk membangun semacam argumentative society, yang hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang berjiwa merdeka. Itulah pentingnya politik pedagogi; suatu pendidikan yang membuat orang matang berpolitik agar mampu merawat demokrasi.

Demokrasi diyakini Sjahrir hanya bisa terwujud melalui sosialisme kerakyatan, yakni sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia.

Nilai-nilai yang mendasarinya adalah nilai-nilai fundamental, yakni keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, kesetaraan, kesejahteraan, kebebasan, dan solidaritas kepada mereka yang ditindas dan diisap oleh penjajahan sistem kapitalisme. Paham sosialisme kerakyatan menentang segala bentuk kediktatoran kelas, baik borjuis maupun proletar, rezim otoriter kiri maupun kanan karena bertentangan dengan nilai-nilai fundamental sosialisme dan demokrasi.

Negara kesejahteraan

Situasi di Indonesia saat ini tampaknya semakin menjauh dari negara kesejahteraan yang dicita-citakan Sjahrir; yang pengertiannya secara politis adalah mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, memajukan stabilitas sosial, memajukan inklusi sosial (menghindari eksklusi sosial), dan memajukan efisiensi ekonomi.

Secara ideologis, cita-cita Sjahrir merupakan bentuk peralihan antara kapitalisme laissez-faire menuju sosialisme sehingga konsekuensi yang paling mungkin adalah bentuk negara kesejahteraan, Universalist Welfare State, yaitu rezim kesejahteraan sosial demokrat dengan jaminan sosial universal dan kelompok target yang luas, serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif, seperti Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Belanda.

Negara kesejahteraan berdasarkan sosialisme yang menghidupi demokrasi Indonesia dalam rumusan seorang panelis berbasis tujuh nilai utama, yakni kemanusiaan, keadilan, kerakyatan, kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan, dan solidaritas, mendudukkan partisipasi setiap individu warga negara dengan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sebagai jantungnya.

Sutan Sjahrir telah berpulang 43 tahun lalu. Ia meninggalkan cita-cita demokrasi dan negara kesejahteraan serta contoh ketulusan perjuangan hati nurani. Ironisnya, semua itu tampaknya telah menguap dari ingatan kolektif para politisi di negeri yang ia cintai ini.

Kecerdasan dan Demokrasi

SALOMO SIMANUNGKALIT

Pertengahan Februari lalu seorang dosen Filsafat UI menumpang pesawat terbang. Seorang laki-laki menengok nomor bangkunya, mendekatinya, dan setengah memaksa meminta dosen itu bersedia menukar kertas pas naiknya dengan kertas pas laki-laki itu.

”Saya ingin agar saya menang,” kata laki-laki itu setelah menjelaskan bahwa nomor kursi sang dosen sama dengan nomor partai dan nomor urutnya sebagai caleg. ”Ini semacam keajaiban.”

Mau tahu nomor kursi peruntungan itu?

”Kebetulan nomor 31,” kata sang dosen yang cukup kuyup bertungkus lumus dengan pikiran-pikiran Sutan Sjahrir.

Ketika Sutan Sjahrir kali pertama memenangi kursi perdana menteri di pertengahan November 1945, Soekarno jengkel terhadap pesaingnya itu. Dia mengatakan, ”Seperti rotan, saya hanya melengkung, tetapi tidak patah.”

Beberapa waktu lalu kita merekam persaingan elite politik masa kini. Seorang calon presiden mengatakan, ”Ah, dia hanya bisa tebar pesona.” Yang dituju membalas dengan, ”Jangan main keroyok, dong!”

Betapa jauh jarak abstraksi ungkapan politikus di masa Sjahrir dengan ungkapan politikus masa kini. Bandingkan metafora ”saya hanya melengkung, tetapi tidak patah” dengan ungkapan telanjang ”jangan main keroyok, dong”. Segi ini gagal dipertahankan, apalagi ditingkatkan, para politisi sejak masa Orde Baru sampai hari-hari ini. Maka, kita meragukan apakah cukup stok kecerdasan para elite politik hari- hari ini untuk menyelenggarakan demokrasi jika mutu metaforanya saja terasa dangkal.

Terbengkalai

Seluruh politik Sjahrir adalah politik pedagogis, politik yang bersifat mendidik. Dengan titik berat pada pengaderan, Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang ia dirikan telah menghasilkan kader-kader yang secara intelektual bermutu tinggi. Seperti yang dikatakan Rosihan Anwar mengutip banyak pengamat asing, Sjahrir bukanlah politikus, melainkan lebih sebagai pendidik, edukator. Sifat serupa kurang lebih tampak pada banyak anggota PSI atau hanya simpatisan PSI.

Djohan Syahruzah, tangan kanan dan keponakan Sjahrir, selain pemuka PSI juga pendidik. Kader yang ia didik bahkan jadi anggota Politbiro PKI: MH Lukman. LM Sitorus yang sekjen PSI dan sejarawan menulis tentang pergerakan politik di Indonesia. Soebadio Sastrosatomo yang ketua Fraksi PSI di parlemen dasawarsa 1950-an adalah pendidik dalam bidang politik. Sumitro Djojohadikusumo yang mendirikan Fakultas Ekonomi UI adalah guru besar yang mendidik ekonom sekaliber Widjojo Nitisastro dan Mohammad Sadli. Sarbini Sumawinata adalah guru besar Fakultas Ekonomi UI dalam ekonomi kerakyatan. Soedjatmoko adalah diplomat dan rektor Universitas PBB di Tokyo. TB Simatupang ikut jaringan Sjahrir di zaman Jepang dan setelah pensiun sebagai Kepala Staf Angkatan Perang bergerak sebagai pendidik melalui Dewan Gereja- gereja di Indonesia.

Diakui atau tidak, menurut Rosihan Anwar, orang-orang semacam Rahman Tolleng, Maruli Silitonga, Marsillam Simandjuntak, PK Ojong, Onghokham, Parakitri Tahi Simbolon, YB Mangunwijaya, Sjahrir yang ekonom, Daniel Dhakidae, dan Hariman Siregar adalah orang yang berhabitat di PSI. Mereka bekerja menurut bakat dan kompetensi masing-masing dalam pelbagai bidang dan profesi.

Yang kita hadapi sekarang adalah gumpalan-gumpalan politik demagogis, politik dengan penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat. Kita memiliki perangkat demokrasi yang komplet seperti partai, parlemen, pemilu, pers, dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, yang mengalir dalam instalasi itu bukan politik yang ada pikirannya. Para demagog itu bekerja 24 jam mengendus dan mengintai kekuasaan semata- mata demi diri sendiri dan kekuasaan itu sendiri dengan menjalankan politik yang dikendalikan oleh, misalnya, sirkulasi uang dan keyakinan religius yang cenderung absolut. Karena itu, saat ini demokrasi kita sedang terbengkalai.

Demokrasi membutuhkan perawatan politik pedagogi: mengajar rakyat untuk merdeka dalam berpikir agar merdeka memutuskan pilihan. Ideal politik inilah yang diupayakan Sutan Sjahrir sebagai inti dari perjuangan kita, yakni bukan semata-mata perjuangan demi kedaulatan negara atau demi cita-cita bangsa, melainkan demi kemerdekaan jiwa manusia. Pedagogi politik Sjahrir adalah pedagogi kemanusiaan universal: pendidikan kewarganegaraan untuk membantu rakyat keluar dari kolonialisme, fasisme, dan feodalisme.

Analisis politik pada Sjahrir memerlukan daya berpikir yang kuat dan inilah relevansi pikiran- pikiran Sjahrir dalam hari-hari ini untuk menyaring semua anjuran ideologi yang bersifat doktrin, ideologi yang hendak menyatukan manusia dalam ikatan absolut yang—demi itu—kekerasan diselenggarakan.