Kamis, 30 April 2009

Feodalisme sebagai Musuh Demokrasi


Masyarakat Indonesia masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat.
Kamis, 30 April 2009 | 05:23 WIB

Reza AA Wattimena

Masyarakat Indonesia masih hidup dalam iklim feodalisme yang kuat.

Memang ada pernyataan tegas, tiap warga negara setara di hadapan hukum. Namun, pernyataan itu rupanya tidak menjadi realitas. Banyak orang dianggap tidak setara dengan orang lain.

Orang kaya dan penguasa masih mendapat fasilitas lebih. Sementara orang miskin dan lemah tidak mendapat fasilitas apa pun. Untuk hidup normal pun, mereka kesulitan. Mereka dianggap warga negara yang lebih rendah.

Kultur feodalisme

Kultur feodalisme itulah yang menjadi salah satu penyebab kita tidak bisa melakukan pemilu secara efektif dan efisien. Banyak calon anggota legislatif menggunakan gelar kultural, seperti raden mas, untuk menarik pemilih. Saat gagal dalam pemilu, mereka merasa terhina. Perasaan itu muncul karena mereka menganggap dirinya ”berdarah biru”. Mereka menganggap status dirinya lebih tinggi dari warga lain.

Simak pertemuan-pertemuan umum. Bagaimana sapaan terhadap pejabat tinggi lalu turun ke strata paling rendah. Dari ini tercium bau kultur feodalisme. Coba juga cara pejabat melewati jalan raya. Merasa diri sebagai raja, yang memiliki status lebih tinggi dari orang lain.

Maka, di Indonesia, slogan kesetaraan di hadapan hukum masih sekadar impian. Faktanya, banyak orang berpikir feodal, menempatkan diri atau orang lain pada status lebih tinggi daripada status orang pada umumnya.

Feodalisme ekonomi

Hal yang sama berlaku dalam ekonomi. Semakin banyak uang dimiliki seseorang, semakin ia mendapat tempat istimewa atau lebih tinggi daripada orang lain. Uang bisa membeli segalanya. Hak asasi seseorang hanya bisa terpenuhi jika ia memiliki daya beli yang tinggi.

Orang yang tidak punya uang, dianggap tidak memiliki daya beli tinggi, dinilai tidak layak mendapat hak-hak dasar. Uang membuat orang mendapatkan keistimewaan dari yang seharusnya diperoleh. Feodalisme ekonomi dan kultural juga menyuburkan korupsi. Jika orang itu punya gelar tinggi di mata masyarakat, masyarakat umumnya takut menuntut mereka dengan tuduhan korupsi.

Hal ini harus dihindari. Semua orang—baik bangsawan, pengusaha, pejabat, maupun profesor— harus diadili dan dihukum jika terbukti definitif melakukan korupsi.

Musuh demokrasi

Demokrasi berdiri di atas asumsi bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Semua bentuk feodalisme harus dihilangkan. Demokrasi juga berdiri di atas asumsi keterbukaan terhadap semua bentuk cara hidup selama cara hidup itu tidak melanggar hukum yang sah di mata rakyat. Maka, tidak ada cara hidup yang lebih tinggi daripada cara hidup lainnya.

Baik orang keturunan keraton, pemuka agama, pengusaha kaya, maupun pejabat tinggi, semua memiliki kedudukan setara di mata hukum maupun negara. Feodalisme dalam segala bentuknya harus dimusnahkan. Jika masyarakat Indonesia masih hidup dalam alam feodalisme, demokrasi tidak akan pernah terbentuk. Buah feodalisme adalah diskriminasi, intoleransi, penindasan, korupsi, dan akhirnya pemusnahan kelompok minoritas.

Pendidikan antifeodalisme

Senjata utama untuk menghancurkan feodalisme adalah pendidikan. Pendidikan itu tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga di masyarakat maupun keluarga secara intensif. Pendidikan antifeodalisme dimulai dengan pernyataan bahwa semua orang itu setara. Semua bentuk diskriminasi atau ketidaksetaraan adalah ciptaan manusia, yang akhirnya bisa merusak tatanan yang ada.

Setara tak berarti orang boleh kurang ajar satu sama lain. Prinsip penghormatan dan kepercayaan juga perlu diajarkan. Jadi, siapa pun orangnya, baik orangtua berstatus tinggi maupun orang miskin, semua harus diperlakukan dengan penghormatan dan kepercayaan yang sama. Tak ada diskriminasi apa pun.

Dengan pendidikan antifeodalisme yang memadai, demokrasi bisa tumbuh subur dan korupsi dalam segala bentuknya secara bertahap dilenyapkan.

Seseorang bisa menjabat sebagai pemimpin dalam bidang apa pun bukan karena keturunan orang hebat, punya uang, atau punya kedudukan sosial tinggi, tetapi karena ia mau dan mampu membela kepentingan yang mengacu pada kebaikan bersama. Setiap orang setara di hadapan hukum dan negara karena setiap orang setara di hadapan Tuhan yang Mahakuasa.

Reza AA WattimenaPengajar Universitas Widya Mandala, Surabaya

Sederhanakan Parpol untuk Presidensial

Jakarta, Kompas - Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengemukakan, sistem presidensial yang utuh seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus dituju dalam perjalanan demokrasi ke depan.

Din menilai sistem presidensial yang saat ini dijalankan tidak sejalan dengan prinsip dalam UUD 1945. ”Ada inkonsistensi dalam penerapan sistem presidensial. Jika sistem presidensial utuh kita ikuti, tidak ada koalisi-koalisi. Koalisi-koalisi itu tidak sejalan dengan prinsip presidensial yang disyaratkan dalam UUD 1945,” ujar Din seusai menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (29/4).

Din menyatakan, syarat untuk menuju sistem presidensial yang utuh adalah penyederhanaan dalam arti pengurangan jumlah partai politik peserta pemilihan umum. ”Terlalu banyak partai politik suasana ricuh dan gaduh. Banyak hiruk-pikuk. Konsolidasi demokrasi bisa terganggu karenanya,” ujar Din.

Untuk penyederhanaan partai politik, Din meminta agar undang-undang politik ditaati secara konsisten. Untuk partai politik peserta Pemilu 2009 yang tidak lulus parliamentary threshold (PT) diharapkan tidak muncul lagi dengan nama baru atau membentuk partai baru.

Terkait dengan penyederhanaan partai politik, Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng berharap dapat berjalan secara alami tidak dengan paksaan. ”Kita semua sepakat untuk menuju ke sistem presidensial murni. Namun, hal penerapannya harus realistis. Indonesia saat ini tengah masuk masa transisi demokrasi,” ujar Andi.

Menurutnya, Indonesia akan menuju sistem presidensial murni setelah melewati beberapa kali pemilu. Sistem itu dapat dijalankan dengan baik jika ada partai politik yang dominan dalam arti perolehan suaranya lebih dari 50 persen.

Untuk memunculkan partai dominan seperti itu, dibutuhkan beberapa kali lagi pemilu. Penerapan PT, menurut Andi, merupakan bagian dari upaya alamiah. (INU)

Rabu, 15 April 2009

57 TAHUN KOPASSUS


Menuju Terbentuknya Demokrasi Efektif
Rabu, 15 April 2009 | 03:22 WIB

Oleh Rene L Pattiradjawane

Salah satu misi berdirinya Komando Pasukan Khusus, yang besok (16/4) berusia 57 tahun dan tidak berubah sejak tahun 1952, adalah melaksanakan operasi khusus dalam rangka menegakkan kedaulatan dan keutuhan negara serta melindungi segenap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Artinya, bisnis inti Kopassus adalah memfokuskan latihan dan struktur kekuatannya pada misi ini.

Dan selama 57 tahun ini, misi-misi yang diemban dan diselesaikan dengan prestasi tinggi oleh Kopassus masih terfokus pada persoalan penegakan kedaulatan dan keutuhan negara, mengikuti pola berpikir pertahanan dan keamanan lama tentang deteren sebagai prinsip utama strategi militer.

Validitas deteren sendiri sering kali sulit untuk dikuantifikasi karena tergantung dari persepsi penguasa negara. Jadi dampak yang disebabkan dari kemampuan deteren Kopassus terhadap penegakan kedaulatan dan keutuhan negara jarang atau sama sekali tidak pernah terungkap secara terbuka.

Persepsi kedaulatan dan keutuhan negara selama beberapa dekade ini ditentukan oleh ancaman pertahanan dan keamanan berasal dari insurgensi dalam negeri, berupa pemberontakan bersenjata serta berbagai gerakan protes mengganggu stabilitas dalam negeri. Persepsi pemikiran keamanan ini terjadi ketika peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dan masih mencari bentuknya yang baru ketika peran sosial-politik tentara dikebiri memasuki era reformasi 1998.

Sementara itu, ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan bergeser ke format, dimensi, dan bentuk baru menghadapi terorisme mengikuti pola perubahan politik global pascaserangan udara terorisme terhadap AS tahun 2001 yang menghancurkan simbol liberalisme supremasi demokrasi dunia. Reformasi menghasilkan pola baru pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan antara Polri dan TNI yang masih terus mencari bentuk absolutnya.

Kesempatan khusus

Sebagai satuan khusus yang matang dalam usianya dan tumbuh di tengah perjuangan terbentuknya Republik Indonesia, Kopassus memiliki kesempatan yang khusus pula mengukir masa depannya meninggalkan masa lalu. Salah satunya adalah memperkokoh misinya ”melindungi segenap bangsa dan seluruh rakyat Indonesia”.

Di tengah ancaman terorisme serta krisis global keuangan sekarang ini, para pemikir dan pembuat strategi militer setidaknya memiliki dua pilihan untuk memperkokoh Kopassus menjalankan misinya melindungi bangsa dan rakyat Indonesia. Pertama, sebagai elemen kekuatan pemukul utama TNI, dan seperti yang berlaku di berbagai negara lain, hanya ada satu pasukan khusus dalam tubuh angkatan bersenjata.

Artinya, dalam menghadapi perang asimetris serta ancaman terorisme terhadap bangsa dan rakyat Indonesia, diperlukan upaya melakukan analisis dan prioritas sehingga tidak terjadi kesenjangan dan duplikasi dalam menjalankan misi ini. Dalam serangan terorisme seperti yang terjadi di Mumbai, India, akhir Oktober 2008, penggunaan satuan antiteror pasukan khusus adalah mutlak untuk meminimalkan korban rakyat Indonesia.

Kedua, analisis dan prioritas pemeliharaan dan penggelaran pasukan khusus mutlak dilakukan untuk menyediakan anggaran yang memadai menjadikan Kopassus sebagai elemen deteren yang efektif. Harus dipahami bahwa posisi geostrategi Indonesia menjadi sangat rawan dan mudah disusupi serta bisa dijadikan sarang teroris, ketika kelompok-kelompok terorisme yang secara tradisional beroperasi di negara-negara Timur Tengah, Asia Selatan, dan Filipina terdesak menghadapi pemerintahan setempat.

Perbedaan peran

Eksistensi Kopassus dalam lingkungan TNI harus dipahami sebagai bagian dari kekuatan angkatan bersenjata kontemporer dan menjadi produk budaya nasional dan tradisi militer Indonesia, fenomena global seperti Perang Dingin dan globalisasi, serta perubahan agenda keamanan menghadapi ancaman terorisme.

Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi pada Kopassus dipahami sebagai akibat dari perbedaan peran tradisional dan peran barunya yang berpengaruh pada struktur kekuatannya (termasuk doktrin, latihan, dan peralatan), serta adanya perubahan sosiologi.

Pada masa yang akan datang bersamaan dengan kemajuan teknologi persenjataan dan teknologi komunikasi informasi, musuh yang dihadapi kekuatan angkatan bersenjata akan lebih sulit diprediksi, mulai dari negara bangsa sampai pelaku kriminal terorisme.

Perubahan ini mengharuskan Kopassus mengembangkan sebuah hubungan yang dekat dengan rakyat yang menjadi misi utamanya untuk dilindungi dengan seluruh jiwa dan raga. Artinya, di mana pun bangsa dan orang Indonesia berada, seperti penyanderaan para pelaut Indonesia oleh perompak Somalia, negara wajib menginstruksikan sebuah misi untuk menyelamatkan mereka.

Pada era reformasi sekarang ini memang tidak terhindarkan peranan pasukan khusus dalam menjalankan misi operasi militer selain perang (OMSP), condong menjalankan tugas institusionalisasinya yang mirip dengan tugas kepolisian, termasuk mengemban tugas kemanusiaan. Keamanan nasional tradisional yang selama ini dianut dalam pemikiran lama tentang keamanan perlu berubah mengikuti perkembangan reformasi sebagai upaya kita untuk mengefektifkan demokrasi yang sedang mencari bentuknya.

Perubahan sosiologis pasukan khusus, termasuk Kopassus, harus mampu memberikan makna dalam upaya kita bersama mengembangkan demokrasi dan memperluas reformasi. Pasukan khusus Indonesia memiliki sejarah yang panjang bersamaan dengan sejarah berdirinya republik ini. Ketika republik berubah menjadi lebih demokratis, pasukan khusus pun harus menyesuaikannya. Dirgahayu Kopassus.

Sabtu, 04 April 2009

Obesitas Demokrasi

Yasraf Amir Piliang

Setiap kampiun demokrasi selalu percaya bahwa pemilihan umum adalah sebuah ”pesta demokrasi”. Dalam pesta itu, rakyat mengekspresikan segala kebebasan, keinginan, dan aspirasi politiknya.

Namun, pesta demokrasi dapat berubah menjadi pesta ”hiperdemokrasi”, saat praktik demokrasi ”melampaui” batas alami: partai terlalu banyak, caleg terlalu populer, simbol politik terlalu ramai, dan slogan politik terlalu heboh.

Inilah ruang politik yang terlalu sarat informasi, terlalu banyak pilihan, terlalu ramai repertoire, terlalu populer penampilan, terlalu padat jargon, terlalu semrawut simbol, terlalu mahal biaya, terlalu banyak pekerjaan, terlalu rumit prosedur, dan terlalu kompleks aturan. Yang tercipta adalah kondisi ”obesitas demokrasi”, yaitu saat demokrasi ”melampaui” apa yang dapat diterima kapasitas kognitif, afektif, dan simbolis masyarakat politik sendiri—the obesity of democracy.

Nihilisme demokrasi

Demokrasi yang ”melampaui” dapat menggiring pada ”nihilisme”, saat sistem komunikasinya didominasi ”jargon-jargon” tentang ’perubahan’, ’kemajuan’, ’nasionalisme’, ’kerakyatan’, ’transformasi’, sementara tak mampu mengembangkan penjelasan rasional tentang kompleksitas kenyataan sosio-politik yang sebenarnya. Problematika sosial direduksi menjadi jutaan citra manipulatif, yang melaluinya dilukiskan seakan-akan semua persoalan bangsa dengan instan dapat diselesaikan.

Cornel West dalam Democracy Matter (2004) menggunakan istilah ’nihilisme sentimental’ (sentimental nihilism) untuk menjelaskan kondisi demokrasi, di mana aneka polesan citra politik yang menyilaukan mata, bahwa seakan-akan kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan, dengan mudah dapat dipecahkan, melalui retorika komunikasi politik yang gemerlap, dengan mengabaikan ’nalar’ atau ’argumen ilmiah’.

Apa yang terjadi adalah semacam ’desubstansialitas demokrasi’, di mana masalah-masalah nyata negara-bangsa direduksi menjadi ’solusi citra’ (imaginary solution) melalui strategi ’imagologi politik’, yaitu aneka strategi, trik, dan teknik rekayasa (baca: manipulasi) citra politik dalam aneka media komunikasi politik (iklan, poster, pamflet). Di sini, substansi sosial diambil alih jargon sosial; realitas sosial digantikan ’layar sosial’, saat wacana politik dikendalikan oleh ’teknologisasi pencitraan’—the political imagineering.

Desubstansialitas demokrasi menggiring pada ’ketercabutan politik’ (political detachment), di mana citra-citra politik terlepas dari realitas sosio-politik yang sesungguhnya. Gemerlap citra-citra itu membentuk semacam ’orbit citra politik’, yaitu perputaran citra politik yang tanpa henti dan dengan intensitas tinggi dalam orbitnya, dengan muatan informasi padat jargon, tetapi mempunyai relasi minimalis dengan realitas sosial sebenarnya.

Politik obesitas

Saat wacana politik tidak dibangun oleh batas-batas formal yang pasti, maka tiap komponen politik-partai, caleg, komunikasi, simbol, bahasa, citra, bertumbuh melampaui batas sehingga menciptakan kondisi ’obesitas’ (obesity). Obesitas politik adalah kondisi tubuh politik yang tumbuh melampaui batas-batas ’ideal’ karena terlalu banyak tumpukan ekses di dalamnya yang mengakibatkan kelebihan beban.

Jean Baudrillard, dalam Fatal Strategies (1990), melukiskan obesitas sebagai kondisi saat sesuatu bertumbuh ’melampaui’ batas alamiahnya sehingga kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri. ’Obesitas demokrasi’ adalah kondisi pertumbuhan demokrasi yang menuju sifat ekses, redundansi, dan banalitas, yaitu ketika pertumbuhan organisasi, komunikasi, citra, dan informasi politik telah ’melampaui batas ideal’, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan oleh ’fragmentasi melampaui’ (over fragmentation), yaitu terlalu mikronya diferensiasi partai sehingga menciptakan fragmen-fragmen partai yang menyulitkan pembedaan (micro difference). Overfragmentasi menciptakan kondisi ’fatalis-nihilis’: lenyapnya batas-batas di antara elemen politik sehingga batas ideologis antara partai ’nasionalis’ satu dan lainnya, partai ’demokratis’ satu dan lainnya, atau partai ’keagamaan’ satu dan lainnya menjadi kabur—defragmentation of ideology.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan oleh ’pertandaan melampaui’ (over signification), yaitu terlalu banyak gambar, lambang, simbol, tanda, foto, maskot, figur yang ditampilkan, sehingga menimbulkan turbulensi pada tingkat kognitif, afektif, dan semiotik. Pada tingkat kognitif citra yang terlalu banyak menyebabkan kesulitan membedakan satu citra dan lainnya. Pada tingkat semiotik, tanda-tanda yang terlalu masif menimbulkan kesulitan menangkap makna tanda itu sendiri.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan pula oleh ’komunikasi melampaui’ (over communication), yaitu terbentangnya medan komunikasi politik terbuka lintas ruang dan waktu. Melalui kekuatan teknologi informasi (internet dan layanan pesan singkat), kampanye seorang calon anggota legislatif di sebuah daerah didiseminasi ke wilayah lain sehingga terjadi komunikasi trans-spatial yang chaotic, serta penumpukan acak informasi pada seorang individu, yang menciptakan ruang komunikasi politik chaotic.

Pendulum liberalisme

Perkembangan liberalisme sebagai ideologi politik ’demokratis’, menurut Immanuel Wallerstein dalam After Liberalism (1995), ditandai oleh ’pendulum’ yang bergerak di antara kekuatan negara (state) sebagai pengatur dan pembuat regulasi dan komunitas politik (political party) sebagai pelaku dan aktor-aktor politik. Ayunan pendulum itu menentukan tingkat ’kebebasan’ politik dan otoritas ’pengaturan’ (regulation) negara.

Pada fase awal liberalisme, kekuatan negara sebagai regulator dibuat minimal sehingga memaksimalkan ’kebebasan’ politik. Tetapi, pada fase akhir liberalisme, justru kekuatan negara sebagai regulator membesar sehingga mampu ’membatasi’ kebebasan aktor-aktor politik, agar tidak berkembang ke arah demokrasi yang ’melampaui’, seperti dilakukan AS sebagai kampiun liberalisme akhir-akhir ini.

Fenomena demokrasi di atas tubuh bangsa ini, ironisnya, menunjukkan ayunan pendulum yang mengarah pada ’kebebasan politik’ maksimal seperti liberalisme klasik sehingga menciptakan overfragmentasi, overkomunikasi, dan oversignifikasi politik. Akibatnya, pikiran, kesadaran, dan energi elite politik dihabiskan untuk mengurusi kerumitan ’kebebasan demokratis’ biaya tinggi, dengan segala ekses dan redundansinya, sambil melupakan tujuan akhir demokrasi, yaitu kesejahteraan rakyat.

Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung