Jumat, 29 Mei 2009

Marginalitas Politik NU


Dr Ali Masykur Musa
(Penulis adalah Anggota F-PKB DPR RI dan Warga NU)

Di manakah rumah politik warga NU kini? Pertanyaan itu patut dikemukakan seiring kian terpuruknya politik NU di pentas politik tanah air. Tulisan ini ditujukan untuk mengomentari opini Umar Syadat Hasibuan berjudul 'Masa Depan Politik NU' (Republika, 28/4). Meski demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengcounter eksplorasi penulisnya tentang pelbagai kemandulan politik NU, melainkan akan memberikan agenda alternatif bagi tumpulnya peran NU di belantika politik tanah air. Walapun memang benar dalam tataran politik praktis, misalnya dalam percaturan pilpres gaung politik NU sungguh kurang diperhitungkan. Secara tak langsung, tulisan Umar mempermasalahkan efektivitas simbol kultural sebagai alat politik dan memosisikan NU sebagai bagian langsung dari arus politik praktis.

Tarik-Tolak Politik
Memang NU tak mampu lepas dari genetika historisnya yang selalu bersinggungan dengan ruang politik praktis. Bahkan dapat dikatakan secara historis NU berpolitik semenjak kelahirannya. Ketika NU terlibat dalam pelbagai perjuangan menuju kemerdekaan, baik di MIAI maupun Masyumi, NU telah berpolitik. Pada Pemilu 1955, NU secara tegas bermetamorfosa menjadi parpol dan masuk gelanggang politik praktis.

Pada masa itu, upaya NU berjuang lewat politik memang tidak sia-sia, karena ia berhasil menduduki peringkat ketiga dalam perolehannya. Tapi, keberhasilan ini berkonsekuensi pada tersedotnya seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan ke bidang yang satu ini.

Timbul penilaian dari beberapa aktivis dan para ulama NU bahwa NU semakin jauh meninggalkan bidang-bidang garapan hakikinya yang tidak kalah potensial, pendidikan dan sosial (Attarbiyyah wal Mabarot). Pendidikan yang menjadi garapan utama NU, misalnya, seolah ditinggalkan, kepedulian sosial juga mulai luntur. Kekecewaan yang muncul di kalangan para ulama NU makin membesar, karena di samping banyak garapan yang terbengkalai, juga karena para aktivis politik NU seolah kurang menjiwai kultur NU.

Di masa Orde Baru berkuasa, hal itu telah diperparah oleh tidak sehatnya kondisi politik yang ada, karena pemerintah telah melakukan political engineering sebagai mekanisme menjaga kekuasaannya. Politik otoriter pemerintah lantas memaksa empat partai Islam menjadi satu, yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai-partai yang berideologi nasionalis dan non Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Situasi ini dirasakan oleh NU sebagai atmosfir yang tidak kondusif bagi pembangunan politik bangsa. Terlebih NU sendiri telah dijadikan sasaran penggembosan oleh Orde Baru. Dengan situasi seperti ini memang berat untuk berjuang lewat kancah politik, karena dua partai yang ada, yakni PPP dan PDI menjadi tidak berdaya. Dihadapkan pada situasi ini, di kalangan ulama dan aktivis NU muncul pikiran-pikiran untuk kembali ke Khittah NU, yakni NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Gagasan ini memuncak pada khittah NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo. Semenjak itu, NU dikembalikan kepada habitatnya yaitu dunia pendidikan, dakwah, pengembangan ekonomi, serta pelayanan masyarakat.

Tampaknya, semenjak awal keikutsertaan NU dalam politik selalu diwarnai oleh penzaliman dan marginalisasi. Karena itu, sepertinya NU musti dikembalikan menjadi sebuah sub sistem bangsa dalam koridor yang mandiri, kritis dan senantiasa menjaga jarak dengan kekuasaan: sebagai civil society. Paling tidak, ini bisa menjadi pilihan dalam satu dasawarsa ke depan. Dalam konteks ini, pengambilan jarak dengan ruang politik bukan dimaksudkan menjauhkan diri dari kekuasaan, sebaliknya mempersiapkan serangkaian amunisi merebut kekuasaan. NU membutuhkan terapi sistemik, kultural dan mental untuk berbenah. Diaspora kekuasaan yang kini ada di jagat politik NU, musti dikembalikan ke rahimnya. Lantas apakah pelbagai perceraian politik, fragmentasi antara "NU cultural" dan "NU politik" serta besarnya pragmatisme di internal NU bisa diakurkan?

Politik Kultural
Musti disadari bahwa kini, NU sebagai organisasi kerap diseret-seret ke arus politik praktis. Meski tidak verbal untuk melakukan politik "dukung-mendukung", tetapi fakta di lapangan NU kerap "bermain mata" dengan calon kepala daerah dalam pelbagai perhelatan pilkada.

Tentu saja, perilaku ini dapat dipahami sebagai pola kontra-khittah. Sebab politik NU dengan kembali ke khittah adalah politik moral. Pengarusutamaan aktivitas politik NU, dengan demikian, harus lebih banyak bersentuhan dengan proses pematangan kerja-kerja sosial yang meliputi perbaikan hidup masyarakat, baik pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan sosial.

Memang mustahil memisahkan NU dari pusaran politik praktis. Tetapi paling tidak, muncul semangat dan kesadaran bersama bahwa politik praktis adalah satu bagian dari pelbagai sisi agenda jama'ah NU yang masih butuh dipertajam. Sedangkan secara jam'iyah politik NU adalah high politics yang memfungsikan segenap sumber daya manusianya untuk ikut serta membangun demokrasi.

Dengan demikian, akan muncul pemahaman tentang positioning NU di tengah kepentingan parpol. Artinya, peran serta NU secara organisatoris harus diposisikan secara lebih holistik, yaitu orientasi kebangsaan, sebagaimana yang telah diperankan NU dalam mengayomi serangkaian perbedaan hidup bangsa yang plural semenjak puluhan tahun silam. Dalam konteks politik moral ini, maka terdapat beberapa agenda yang musti dijalankan:

Pertama, mengakurkan benturan corak dan cara pandang antara NU politik dan NU kultural. Tak sedikit pengurus dan warga NU yang berposisi penting di parpol dan menjadi wakil rakyat. Sebagai politisi, tentu pola pikir mereka lebih dipengaruhi oleh serangkaian kepentingan politik. Hal berbeda terjadi di tingkat NU kultural. Mayoritas faksi ini memandang politik sebagai perilaku yang penuh intrik. Hingga pada gilirannya mereka alergi dengan politik. Fragmentasi ini harus disadari sebagai salah satu faktor membiasnya perjuangan NU sesuai khittah. Karena itu, masing-masing diharapkan memahami posisinya. Sehingga terjalin pola kerjasama yang sinergi antar keduanya, tidak terlalu condong ke domain politik sekaligus tidak alergi dengan pelbagai persoalan politik. Muncullah sikap apresiatif dan kritis dari keduanya.

Kedua, mempertajam visi sosial dan keagamaan melalui pelbagai strategi dan jalur berbeda-beda. Kesatuan vis dan kepentingan bersama atas nama pemberdayaan masyarakat ini diharapkan dapat menjadi titik temu pelbagai elemen NU yang tersebar di bidang masing-masing.

Ketiga, mengkritisi pelbagai kebijakan publik yang dirasa merugikan bagi masyarakat banyak. Hal itu dapat dilakukan, baik melalui infiltrasi di internal kebijakan dengan mengambil posisi dan peran-peran birokratis dan politis, maupun melalui perjuangan di luar lembaga negara, dalam bentuk LSM. Konsistensi pada khittah 1926 akan menjadikan politik moral NU kian berperan besar dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Karena pada dasarnya politik moral NU disemangati oleh substansi nilai-nilai Islam dalam rangka mengimplementasi bahasa tasamuh, tawasuth, tawazun dan I'tidal.

Buah dari politik kultural NU ini memang tidak dapat dipetik secara instan, tetapi untuk jangka panjang. Manfaat politik kultural NU memang bukan hanya untuk warga Nahdliyin belaka, melainkan untuk Maslahat al Ammah (kepentingan bangsa). Dalam konteks pilpres 8 Juli 2009, siapapun dan dari partai manapun yang memerintah negeri ini akan selalu membutuhkan legitimasi moral dari NU. Memang pilihan politik kultural membutuhkan kesabaran.

Minggu, 24 Mei 2009

Demokrasi Liberal 2

Menimbang Demokrasi Liberal

Dari Ithaca, New York, pada 1958, Herbert Feith menumpahkan pemikirannya dalam sebuah monografi yang kelak dianggap sebagai ”nujum”. Monografi itu dikenal bernama The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia.

Monografi itu ia persiapkan selama 1951-1956 di Jakarta, saat Feith menjabat sebagai staf Volunteer Graduate Scheme for Indonesia di Kementerian Penerangan Indonesia. Dalam monografi itu, terlihat bagaimana Feith terpikat dengan kenyataan sebuah negara muda bernama Indonesia memilih demokrasi liberal yang mengambil model demokrasi Barat. Sebuah demokrasi yang menghormati kebebasan individu dan didasari prinsip-prinsip rule of law.

Pada 1950-an, Feith melihat suasana politik di Indonesia yang masih meneruskan tradisi intelektual Sjahrir-Hatta. Harapannya akan masa depan Indonesia menyala. Apalagi kemudian Wilopo yang masih berusia 40 tahun menjadi perdana menteri. Perdana menteri ini dibantu oleh kabinetnya yang terdiri atas orang-orang muda, seperti Dr J. Leimena, Dr Bahder Johan, Mukarto Notowidagdo, Mt. Sumanang, dan Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo, yang saat itu masih berusia 34 tahun.

Tapi kemudian terjadilah titik balik itu. Pada 1952, Wilopo memberhentikan A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Angkatan Darat kemudian mengorganisasi pengerahan massa di seantero Jakarta. Sebuah peristiwa dramatik terjadi, yang kelak dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952: dua tank menghadap ke Istana. Adapun kedua tank ini menekan Soekarno untuk membubarkan parlemen. Meski usaha ”kudeta” itu gagal, menurut Feith, peristiwa ini memiliki dampak yang luas.

Tempo kali ini melahirkan edisi khusus 17 Agustus yang berniat membaca ulang Indonesia pada 1950-an itu. Sebuah era demokrasi parlementer yang lazim disebut sebagai demokrasi liberal. Saat itu tanggung jawab pemerintahan terletak pada perdana menteri, sementara presiden hanya simbol. Perdana menteri dapat jatuh bila kebijakannya tidak didukung parlemen. Bila terjadi kemelut, presiden berwenang membentuk formatur untuk menyusun kabinet baru.

Sejarah telah menulis: kabinet Wilopo jatuh setelah masa pengabdian selama 14 bulan. Sejak itu, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan. Jika dihitung sejak pertama kali Natsir menjadi perdana menteri pada 1950, terjadi tujuh kali pergantian kabinet sepanjang demokrasi parlementer, antara lain kabinet Natsir-Sukiman, Wilopo-Ali Sastroamidjojo, dan Burhanuddin Harahap-Ali Sastroamidjojo-Djuanda.

Mengapa di ulang tahun Republik yang ke-62 ini kami merasa perlu menengok ke masa penuh pancaroba itu? Sebab, buku-buku pelajaran telah telanjur memberi cap kepada era demokrasi liberal itu sebagai era yang tak cocok dengan kepribadian bangsa kita. Paham demokrasi liberal dianggap sebagai sebuah paham yang diimpor dari Barat dan hanya diinginkan oleh sekelompok intelektual, bukan oleh mayoritas rakyat. Padahal banyak yang sesungguhnya belum diketahui dari era itu.

Pada 1962, empat tahun setelah mengeluarkan monografinya, Herbert Feith menerbitkan buku The Decline of Constitutional Democracy, yang kelak lahir sebagai sebuah buku klasik dan pegangan bagi mahasiswa yang belajar politik Indonesia. Feith menganggap rongrongan terhadap cita-cita demokrasi liberal itu diluncurkan dari dua sisi: dari militer dan jenis pemimpin orator. Dalam disertasi itu, ia menyebut pembagian tipe pemimpin di Indonesia. Menurut dia, pada 1950-an terdapat dua tipe pemimpin di Indonesia, yaitu administrator (ahli pemerintahan) dan solidarity maker (pemimpin massa).

Mereka yang masuk kategori administrator adalah orang yang memiliki kemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan kecakapan bahasa asing yang diperlukan untuk menjalankan negara modern. Mereka sangat mengutamakan pembangunan ekonomi, mengingat kondisi Indonesia, dan mereka bersedia menerima tenaga dan modal asing. Sedangkan tipe solidarity maker adalah mereka yang memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa. Mereka pandai memberikan harapan yang muluk tentang masa depan Indonesia, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya. Menurut Feith, semakin lama Indonesia dikuasai oleh para pemimpin pengorganisasi massa yang pemikirannya sentimental dan kebijakan pemerintahannya tak rasional.

Tentu saja Tempo tak ingin menelan pendapat Feith dengan mentah. Edisi ini ingin membahas era demokrasi liberal lantaran kami ingin membaca masa itu dengan sikap yang lebih berimbang. Selain itu, kami ingin mencari tahu mengapa sampai sekarang pengertian liberal selalu bercitra negatif.

Bukankah di zaman itu pemimpin Partai Katolik seperti I.J. Kasimo mendukung demokrasi liberal? Kasimo sangat aktif menolak ide Soekarno yang semenjak Pemilu 1955 mulai meremehkan demokrasi liberal. Kasimo mengkritik ketidakpedulian Soekarno terhadap prosedur dan aturan permainan. Selain itu, bukankah sosok seperti M. Natsir, sahabat Kasimo, mengecam SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau keadaan darurat perang yang ditekan Soekarno dan militer pada 1958?

Satu hal penting lain yang hendak kami paparkan adalah potret dunia hukum pada 1950-an. Untuk hal ini, Daniel S. Lev (almarhum) memberikan gambaran bahwa pada 1950-an dunia hukum Indonesia masih memiliki integritas. Profesi advokat penuh dengan ahli hukum yang juga dikenal sebagai intelektual. Para jaksa saat itu sangat kukuh dan tidak sedikit pun menyediakan ruang untuk kompromi. Siapa saja, tak peduli pejabat atau petinggi militer, sama di muka hukum. Bagi mereka, rule is rule. Menurut Lev, saat itu lembaga Mahkamah Agung masih sehat. Ketua Mahkamah Agung memiliki kewibawaan tinggi dan menempatkan dirinya sederajat dengan presiden.

Menurut Lev, begitu memasuki era Demokrasi Terpimpin, pamor lembaga tinggi Mahkamah Agung menurun. Hakim, yang semula merupakan profesi yang sangat dihormati, mengalami degradasi profesi luar biasa. Dalam sebuah percakapannya dengan kami di masa lalu, Lev mengatakan, ”Lembaga MA mulai dihancurkan saat Bung Karno mengangkat Ketua MA Wirjono Prodjodikoro sebagai Menteri Penasihat Hukum (18 Februari 1960 sampai 6 Maret 1962). Pengangkatan ini membuat kedudukan Mahkamah Agung, yang seharusnya sejajar dengan lembaga eksekutif, berada di bawah Presiden. Saya melihat sendiri saat itu banyak hakim pengadilan tinggi dan negeri merasa depresi betul. Mereka kehilangan kebanggaan.”

Karena itulah potret dunia hukum tahun 1950-an menjadi bagian tulisan tersendiri. Kami melihat penegakan bidang hukum saat itu bisa menjadi cermin masa kini. Bila kini banyak mantan menteri dan pejabat yang diseret ke pengadilan lantaran korupsi, itu bukannya tanpa preseden di republik ini. Pada 1950-an, tanpa pandang bulu, Jaksa Agung Suprapto berhasil menyeret mantan pejabat, termasuk perwira seperti A.H Nasution, yang berada di balik Peristiwa Oktober 1952.

Toh, kami tetap tidak membabi-buta mengagumi dunia hukum saat itu. Di arsip nasional, kami menemukan dokumen-dokumen kebijakan kejaksaan yang tak sesuai dengan parameter hak asasi manusia, misalnya serangkaian penangkapan pemberontak di daerah yang dilakukan tanpa pengadilan. Kami juga mempertimbangkan kritik yang menyatakan bahwa ketegasan para hakim pada 1950-an yang berpendidikan Belanda sesungguhnya mencerminkan kekakuan mereka yang tak menangkap dinamika revolusi.

Cara pertama untuk menyelami atmosfer tahun 1950-an adalah dengan mengumpulkan memoar yang ditulis tokoh-tokoh saat itu, antara lain Jenderal A.H. Nasution, M. Natsir, Mohammad Roem, Kasimo, Wilopo, dan Ali Sastroamidjojo. Memoar tersebut tentu saja subyektif, tapi dari hasil silang baca ini kiranya dapat direka-reka suasana saat itu. Dari memoar T.B. Simatupang, misalnya, kita dapat membaca perdebatan antara dirinya dan Soekarno beberapa hari menjelang militer menekan Istana. Setelah selama berminggu-minggu di parlemen terjadi perdebatan yang mempersoalkan korupsi di tubuh militer, terjadi pengerahan massa yang dilakukan Angkatan Darat untuk membubarkan parlemen. Massa yang terdiri atas kelompok-kelompok di Jakarta seperti Kobra (Komando Organisasi Barisan Rakyat), dipimpin oleh Kolonel Dr Mustopo, berkeliling Jakarta menekan parlemen.

Simatupang menceritakan bagaimana beberapa hari menjelang demonstrasi itu ia bertamu dan berbincang dengan Soekarno mempertanyakan isu penggantian Nasution. Pembicaraan antara dirinya dan Soekarno berlangsung panas. Dalam bahasa Belanda, Soekarno memaki Simatupang: ”Hij poept op mij” (”Dia memberaki saya”). Dan Simatupang? Ketika keluar, ia membanting pintu dengan keras.

Memoar Wilopo banyak menceritakan kebijakan politik industri yang berpihak pada pemasukan modal asing sepanjang pemilik modal bersedia mematuhi persyaratan tertentu. Ini adalah sebuah pilihan yang tidak disukai Soekarno dan kemudian mengakibatkan munculnya sentimen antimodal asing.

Yang menarik dari memoar Ali Sastroamidjojo adalah kritiknya terhadap pendapat Herbert Feith yang mengatakan bahwa kegagalan demokrasi liberal disebabkan oleh para pemimpin berwatak solidarity maker. Dari pengalamannya sebagai perdana menteri, Ali beranggapan bahwa saat itu prioritas yang mendesak adalah menuntaskan persoalan partai yang banyak sangkut-pautnya dengan kehidupan orang banyak, dibanding memperbaiki struktur kenegaraan dan administrasi. ”Feith kurang memperhatikan kenyataan bahwa bangsa Indonesia masih di dalam taraf peralihan. Masih diperlukan pemimpin yang memiliki karisma,” demikian tulisnya. Ali juga berkisah bahwa sebagai perdana menteri, meski sudah demisioner, pada 14 Maret 1957, ia bersama Soekarno dan gabungan kepala staf seperti Mayor Jenderal Nasution, Laksamana Subiyakto, dan Komodor Suryadarma menandatangani Indonesia dalam keadaan darurat (SOB). Ia menanggapi kritik Ketua Umum Masyumi Mohammad Natsir yang tidak menyetujui hal itu. ”Dalam keadaan genting, seorang menteri demisioner pun harus bertindak menyelamatkan negara,” demikian tulis Ali.

Sejarah menunjukkan SOB adalah pengubur demokrasi liberal. Bila 17 Oktober 1952 adalah sebuah ”kudeta” yang tumpul, SOB adalah paspor untuk menuju era Demokrasi Terpimpin. Banyak pengamat yang berpendapat bahwa sesungguhnya demokrasi liberal bukan eksperimen yang gagal secara alamiah, melainkan eksperimen yang digagalkan oleh SOB. Demokrasi Terpimpin toh kemudian terbukti kinerjanya lebih buruk daripada demokrasi liberal. Natsir pernah mengatakan, apabila demokrasi parlementer diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, demokrasi ini dapat membawa Indonesia selamat mengatasi berbagai kesulitan.

Dengan seluruh pemahaman itu, kami mengundang pakar-pakar untuk berdiskusi, di antaranya Dr R.Z. Leirissa, Dr Adnan Buyung Nasution, dan Prof Mohammad Sadli (baca Surat dari Redaksi). Seperti yang sudah diduga, tentu saja terjadi silang pendapat. Sadli memaparkan bahwa struktur sosial saat itu sangat berbeda dengan masa kini. ”Belanda masih di atas, di tengah ada kaum Tionghoa, dan paling bawah adalah pribumi.” Ini yang memberikan pemahaman bahwa mengapa ide seperti nasionalisasi perusahaan asing menjadi populer saat itu.

Adnan Buyung, yang menulis disertasi tentang konstituante, masih meluap-meluap bahwa era itu adalah praktek demokrasi yang terbaik. Menurut Adnan, perdebatan di konstituante sangat dewasa. Draf undang-undang saat itu lebih lengkap daripada UUD 1945, terutama soal hak asasi manusia.

Lalu apa kata Nono Anwar Makarim? ”Era tahun 1950-an sebuah golden age dalam demokrasi kita adalah mitos,” tuturnya.

Pembaca dapat menarik kesimpulan sendiri: apakah dari demokrasi liberal ada yang bisa menjadi cermin bagi penegakan hukum dan demokrasi di masa kini atau tidak.

Demokrasi Liberal 1

Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945

ADA sebuah revolusi di bulan Agustus 1945—meskipun tak ada pemberontakan. Di Jakarta hari itu tak ada gelombang massa yang menghancurkan sebuah penjara, tak ada tentara rakyat yang menjebol sebuah kekuasaan yang mencoba terus tegak. Di seberang sana, tak ada barikade, juga tak ada takhta yang bisa memberikan titah agar revolusi dipadamkan.

Pada pagi hari 62 tahun yang lalu itu yang tampak hanya sejumlah orang yang mendengarkan Bung Karno membacakan sebuah teks, yang kemudian disebut ”Naskah Proklamasi”. Pada pagi hari itu juga bendera Merah Putih dikibarkan, tapi tak di mana-mana, hanya di depan sebuah gedung tak begitu besar di Jalan Pegangsaan, Jakarta, tempat para pelopor kemerdekaan itu berkumpul.

Namun sesuatu berubah. Terutama dalam diri mereka yang mengalaminya. Setelah bertahun-tahun tertekan dan tersisih dalam proses menentukan sejarah tempat mereka hidup, hari itu orang bisa menyebut diri ”Indonesia” dan jadi ”merdeka”.

Revolusi memang sebuah transformasi: sejak saat itu sesuatu yang dialami segera jadi sesuatu yang dihayati—ketika orang mengartikulasikan apa yang terjadi dengan kata, lambang, mitos. Mereka memberi makna kepada semua itu, dan mendapatkan makna dari sana. ”Indonesia” waktu itu wujud politik dan geografi yang sebenarnya belum ada; tapi ia telah begitu berarti hingga kelak orang akan mempertaruhkan nyawa buat mempertahankannya.

Tak berarti semua itu serta-merta muncul pada 17 Agustus 1945. ”Indonesia” sebagai sebuah komunitas telah dianggit, diartikulasikan, dipaparkan, dan diberi makna sejak awal abad ke-20. Pada bulan Juni dan Juli 1945, di sebuah gedung lain di daerah Menteng di Jakarta, sebuah panitia bahkan telah bekerja berdasarkan anggitan itu. Tugasnya menyiapkan bentuk negara dan konstitusi bagi sebuah ”Indonesia” yang akan lahir.

Meskipun demikian, tak semua bisa dipersiapkan. Ada yang tak terduga-duga, ketika tiba-tiba sebuah kekosongan terjadi: di wilayah yang semula dikuasai Jepang ini tak ada lagi kuasa apa pun yang berdaulat.

Sejarah akhirnya memang bukan sebuah lorong lempang. Selalu ada kelokan mendadak. Revolusi sering ditulis sebagai ujung yang logis dari sebuah sebab sosial politik, tapi bahkan Revolusi Rusia—yang mengartikulasikan diri sebagai revolusi Marxis, bagian dari ramalan ”sosialisme ilmiah”—sebenarnya juga sebuah kejutan: perubahan besar di bulan Oktober 1917 itu dilakukan sejumput minoritas, sebuah partai atas nama kelas buruh di sebuah negeri yang masih agraris, dipimpin Lenin yang baru saja kembali dari hidup di pengasingan. Tapi sejak itu, Rusia tak pernah kembali seperti dulu, dan ”Revolusi Oktober” mengandung getaran yang menggugah.

Juga di bulan Agustus 1945 itu. Di Indonesia, sesuatu yang serba-mungkin telah berubah: revolusi itu jadi sebuah kata sakti yang kemudian membayangi terus politik Indonesia.

l l l

KETIKA Bung Karno membubarkan sistem demokrasi parlementer pada tahun 1958, ia membenarkan tindakannya sebagai ”penemuan kembali Revolusi kita”. Itulah judul pidato pentingnya yang kemudian dikenal juga sebagai ”Manifesto Politik”.

Tampak bahwa ”Revolusi”—karena getarannya yang dahsyat—tak dilihat sebagai sesuatu yang lahir dari keadaan serba-mungkin, sesuatu yang bisa jadi tapi bisa juga tidak. Dalam bahasa politik yang dipakai, ”Revolusi” adalah tuah. Ia sesuatu yang dapat berulang, dilanjutkan melintasi waktu. Dalam beberapa kalimatnya, Bung Karno bahkan membandingkannya dengan revolusi Amerika dan revolusi Rusia—sebuah klaim bahwa yang terjadi di Indonesia bisa jadi standar baru dalam sejarah dunia.

Saya tak menganggap Bung Karno berlebihan. Tapi ia tak melakukan sesuatu yang baru. Ia mengulangi cara memandang sejarah yang lazim pada masa itu: menafsirkan revolusi sebagai totalitas, juga sebagai sebuah jalan universal, kerja para pelaku yang kompak karena semua berdasarkan nalar atau mengikuti hukum sejarah.

Namun revolusi tidaklah sesederhana itu. Waktu itu agaknya dialami tapi tak disadari, bahwa hasil penting Revolusi Agustus 1945 adalah penegasan tentang peran apa yang disebut Claude Lefort ”tempat kosong” dalam revolusi itu—sebuah pembuka bagi kehidupan demokrasi.

Ketika orang Indonesia melihat Hindia Belanda runtuh dan kemudian Jepang jatuh, jelas bahwa di posisi pemegang kedaulatan itu ada sesuatu yang sudah seharusnya terbuka, kosong, untuk diisi oleh yang lain. Revolusi Indonesia, ditandai dengan Proklamasi Soekarno-Hatta, adalah sebuah langkah merebut tempat yang kosong itu—satu hal yang agaknya bukan bagian dari sejarah kemerdekaan India, Singapura, atau Malaysia. Kejadian itu membuat pengertian ”politik”, la politique, punya sifat yang lebih radikal.

Ada heroisme dalam Revolusi Agustus, ada yang transformatif dalam kejadian itu—dan sebab itu ada sesuatu yang layak untuk dianggap indah dan dikenang terus. Tapi tiap revolusi nasional—yang jadi ciri perlawanan terhadap kolonialisme—mengandaikan sebuah bangunan bangsa yang pasti. Ketika pemerintah kolonial tak ada lagi, ”tempat yang kosong” yang ditinggalkan seakan-akan sudah dipesan selama-lamanya untuk sebuah himpunan politik tanpa konflik, tanpa kongkurensi. Dan revolusi, sebagai sesuatu yang transformatif, dibayangkan akan sanggup menghilangkan endapan masa lalu dan membentuk manusia baru: manusia yang bisa dipastikan seia-sekata.

Dengan kata lain, revolusi, sebagai mitos, justru menggarisbawahi sebuah citra-diri yang tanpa-konflik. Pada pertengahan tahun 1960-an Bung Karno berkali-kali menyeru ”penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Tapi mereka yang hendak dibuat bersatu padu—PNI, NU, PKI, dan dapat dibilang juga ABRI—sebenarnya juga mereka yang bersaing, saling mengintai, dan saling menerkam. Pada dasarnya mereka tahu, siapa pun di antara mereka sah untuk mengisi ”tempat yang kosong” itu. Pada dasarnya mereka juga tahu, Bung Karno, sang ”Pemimpin Besar Revolusi”, tak akan dapat terus-menerus berada di sana.

Tak urung, revolusi Agustus yang ”ditemukan kembali” itu pun terbentang antara la politique—yang membuka terus-menerus sifat radikal, agar perubahan selalu terjadi dan kian demokratis—dan le politique, yang mengandaikan keutuhan bentuk sebuah bangunan kebersamaan—yang tak jarang akhirnya mandek, buntu, bahkan represif.

Akhirnya ”demokrasi terpimpin” pun gagal menggantikan demokrasi parlementer yang dicoba diterapkan di antara tahun 1946 dan 1958. Bagi saya, kegagalan ini bermula dari tafsiran yang salah atas revolusi. Revolusi ternyata bukan sesuatu yang punya ”rel” atau garis lurus. Revolusi ternyata tak sepenuhnya bisa melintasi waktu. Sebagian besar dari dirinya terjadi sebagai sebuah aksiden sejarah. Banyak elemennya yang tak bisa diulangi. Ia juga tak pernah bisa melintasi perbedaan dan sengketa yang timbul dalam perjalanan sebuah bangsa.

Di bawah ”Orde Baru”, antara 1966-1998, kata ”revolusi” memang telah ditanggalkan. Tapi di sini juga tampak usaha meniadakan la politique dari kehidupan masyarakat—sebuah lanjutan kecenderungan represif ”demokrasi terpimpin”, tapi dijalankan Presiden Soeharto dengan lebih luas dan lebih lama. Sebuah mis-en-scène disusun untuk memanggungkan Indonesia sebuah kesatuan yang stabil dan serba selaras.

Tapi tak ada sebuah bangsa yang serba selaras. Pemanggungan itu pun gagal memberikan makna bagi para pelaku politik dan orang ramai. Mis-en-scène itu akhirnya tak mampu lagi menampakkan mis-en-sense.

l l l

PEMANGGUNGAN—itu juga yang bisa dikatakan tentang demokrasi parlementer pada dasawarsa pertama setelah kemerdekaan. Sebagian pemimpin Indonesia, terutama Sjahrir, konon menyarankan sistem itu diterapkan agar Indonesia dilihat— tentu saja oleh Eropa dan Amerika—sebagai sebuah negara demokratis, yang tak merupakan kelanjutan model fasisme Jepang.

Tapi sebenarnya masih jadi pertanyaan, adakah para pelaku kegiatan politik dan orang banyak mendapatkan makna dalam panggung itu. Di tengah kesulitan ekonomi dan keterbatasan alokasi sumber kekayaan ke daerah, dibayang-bayangi Perang Dingin yang merasuk ke dalam politik dalam negeri, diintai ambisi militer yang menampik kepemimpinan sipil, demokrasi parlementer dengan segera kehilangan kemampuannya untuk jadi artikulasi rakyat.

Bung Karno—selamanya curiga kepada apa yang berbau ”Barat”—dengan segera menganggap sistem ini sebuah cangkokan.

Saya kira di sini kita menyaksikan bagaimana para pendukung demokrasi parlementer lebih memperhatikan adanya bentuk institusional—parlemen, mahkamah yang mandiri, dan pers yang bebas—sebagai formula. Hak seakan-akan diberikan, bukan hasil sebuah perjuangan yang melibatkan orang banyak. Sangat menarik, misalnya, bahwa di awal Oktober 1945 ada ketentuan dari Menteri Penerangan bahwa pers ”harus” merdeka. Dalam formula semacam itu, tak ada pengalaman transformatif seperti yang terjadi dalam sebuah revolusi.

Dengan kata lain, hak-hak asasi hanya mendapatkan makna jika direbut dari kondisi pengingkaran akan hak-hak itu—sebuah proses yang memang membutuhkan pengalaman sejarah yang pahit. Dalam dasawarsa awal kemerdekaan, pengalaman semacam itu tak cukup tebal dan melekat dalam ingatan. Ketika jauh di awal persiapan kemerdekaan Bung Hatta memperingatkan akan perlunya hak-hak asasi karena khawatir akan kesewenang-wenangan negara, orang mengatakan bahwa dia ”curiga” kepada negara. Orang tak mengira, beberapa dasawarsa kemudian kecurigaan itu memang beralasan.

Sebuah bagian yang sedih dari sejarah Indonesia kemudian memang terbentang. Tapi mungkin dengan itu kita bisa mendapatkan makna dari apa yang dulu dikatakan tapi tak begitu dihayati: kemerdekaan.

Goenawan Mohamad

Jumat, 08 Mei 2009

Wakil Rakyat dan Politik "Lookism"

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

Komisi Pemilihan Umum baru hari Sabtu mengumumkan calon legislatif yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi beberapa perkiraan sudah muncul tentang jumlah perempuan di lembaga tersebut.

Centre for Electoral Reform, misalnya, memperkirakan, 59 perempuan akan lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat atau tak sampai 11 persen dari 560 kursi yang tersedia. Pengajar politik di FISIP Universitas Indonesia yang aktif terlibat dalam memperjuangkan tindakan afirmasi untuk perempuan di DPR, Ani Soetjipto, sedikit lebih optimistis dengan memperkirakan maksimum ada 70 perempuan menjadi wakil rakyat di DPR atau 12,5 persen dari total kursi.

Meskipun perhitungan optimistis memperkirakan jumlah wakil perempuan naik, dari sisi kualitas muncul tanda tanya besar karena di antara yang lolos banyak muka baru dan juga artis. Di sisi lain, banyak perempuan kader partai politik maupun perempuan yang sudah terbukti komitmennya memperjuangkan isu perempuan dan jelas keberpihakannya pada kesejahteraan rakyat tidak lolos ke DPR.

Persoalan menyangkut perempuan dan anak masih jauh dari selesai. Kebijakan banyak yang masih menggunakan pendekatan yang netral jender, mengandaikan persoalan yang dihadapi perempuan dan laki-laki sama. Sampai hari ini masih banyak perempuan diperdagangkan sebagai pekerja domestik atau dilacurkan. Gubernur Kalimantan Barat Cornelis, misalnya, mengakui masih ada penyelundupan TKI ke Malaysia melalui Entikong, terutama perempuan (Kompas, 29/4).

Kekerasan masih terus dialami pekerja domestik di luar negeri karena negara lambat melindungi, sementara remiten mereka menjadi penggerak ekonomi negara. Kiriman buruh migran ke wilayah Yogyakarta selama Januari-Maret 2009, misalnya, besarnya Rp 14,4 miliar.

Di bidang kesehatan, layanan kesehatan reproduksi belum memuaskan akibat pandangan yang masih mengagungkan ”kesucian” perempuan. Film dokumenter Pertaruhan memperlihatkan bagaimana perempuan muda tidak memiliki pengetahuan dan layanan memadai tentang kesehatan reproduksi.

Usulan perubahan Undang-Undang Kesehatan melalui DPR belum juga berhasil. Kenyataannya, banyak perempuan membutuhkan layanan aborsi, sebagian besar ibu rumah tangga, akhirnya pergi ke pihak tidak bertanggung jawab dan tidak kompeten dengan risiko kehilangan nyawa, cacat permanen, dan menderita kesakitan.

Jumlah orang dengan HIV/AIDS dari waktu ke waktu bertambah, dengan korban paling rentan ibu dan anak karena negara ikut melanggengkan relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki.

Kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, secara fisik, ekonomi, psikologi, maupun seksual, di ruang domestik maupun publik. Kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen oleh sebagian besar media massa, misalnya, digeser menjadi mengintip kehidupan Rani Juliani dan istri Antasari Azhar.

Bulan Mei kembali mengingatkan kekerasan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Komnas Perempuan melaporkan, mereka mengalami kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 dan sampai sekarang negara tidak mengungkap pelakunya.

Saat ini sedang berlangsung upaya uji materi Undang-Undang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat, memperlihatkan ada anggota masyarakat yang justru merasa undang-undang itu mendiskriminasi perempuan.

Pelajaran ke depan

Caleg Partai Golkar yang lolos ke DPR, Nurul Arifin, menyadari sikap skeptis masyarakat tersebut. Dia mengatakan, para artis yang lolos harus bekerja keras meningkatkan kapasitas diri agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat.

Ani Soetjipto menyebut, tidak bertambahnya jumlah perempuan di DPR dan turunnya jumlah kader parpol yang lolos ke DPR di sisi lain mendorong gerakan perempuan melakukan introspeksi.

”Beberapa teman perempuan mengatakan, ternyata gerakan akar rumput perempuan tidak semengakar yang diduga semula,” papar Ani.

Hal ini juga dibenarkan caleg Daerah Pemilihan 3 Jawa Timur dari PKB, Nursyahbani Katjasungkana. Ada sosok perempuan yang sudah mendapat pendampingan untuk menjadi penggerak gerakan perempuan akar rumput ternyata tidak tertarik pada isu politik. Ada pula sosok yang sudah mendapat pelatihan pendidikan politik, ternyata tidak mengakar.

Keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa caleg dipilih berdasar suara terbanyak pada 22 Desember 2008, kurang empat bulan dari pelaksanaan pemilu 9 April 2009, disebut Nursyahbani sebagai ”membunuh” perempuan. ”Keputusan itu tidak kompatibel dengan UU Pemilu yang memakai sistem proporsional dengan akibat caleg bertarung dengan teman sendiri dalam satu parpol. Parpol tidak siap menentukan calegnya karena nama sudah harus masuk ke Komisi Pemilihan Umum sebelum jatuh keputusan MK itu,” kata Nursyahbani.

Dengan sistem suara terbanyak yang diberlakukan tiba-tiba itu akibatnya sudah tampak. Politik uang pun terjadi atau sosok yang ”populer” yang akan dipilih. Ini menjelaskan mengapa artis mendapat tempat karena wajah mereka dikenal publik.

Pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rocky Gerung, menyebut apa yang terjadi adalah cerminan masyarakat kita. Politik sedang terseret oleh kultur lookism yang lebih mengandalkan sensasi daripada konsepsi. ”Politik tidak lagi dipahami sebagai urusan publik, tetapi sekadar bagian dari sensasi personal,” jelas Rocky.

Akibatnya, debat gagasan dan kompetensi teknis caleg cukup ditukar dengan daya pikat visualnya. ”Ini yang disebut fantasmagoria dalam politik, politik yang sekadar mengeksploitasi fantasi massa,” tambah Rocky.

Di sini parpol seharusnya dimintai tanggung jawabnya karena, menurut Rocky, parpol tidak menyediakan filter berupa ”kaderisasi ideologi”. Akibatnya, rakyat tidak punya referensi politik dan melihat politik bukan perjuangan ideologis melainkan hanya popularitas.

Alam Pikir Feodal dan Sikap Permisif

Dalam novel Imperium-nya Robert Harris, sosok pejabat korup macam Gaius Verres tak berkutik di hadapan Cicero. Lewat metafora yang sangat terkenal bahwa ”ikan membusuk mulai dari kepala...”, orator ulung dari Romawi ini bukan saja membuat Verres dan antek-anteknya tak berdaya, tetapi yang lebih penting adalah bangkitnya moralitas publik.

Ada banyak pelajaran yang bisa disimak dari sepenggal kisah perjuangan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) melawan korupsi serta pelanggaran moral dan etika kekuasaan menjelang runtuhnya Republik Romawi pada awal abad pertama Masehi. Meski ruang dan waktu yang membentang begitu panjang, lebih dari 20 abad (baca: 2.000 tahun!), ternyata struktur perilaku koruptif dan penyimpangan moralitas kekuasaan di pemerintahan masih tetap bertahan hingga hari ini. Tak terkecuali di Indonesia.

Bagi F Budi Hardiman, dosen filsafat di pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Universitas Indonesia (UI), kisah Cicero menyadarkan kita bahwa publik tidak boleh tinggal diam. Sebab, dalam sistem politik yang korup, korupsi—juga soal integritas dan moralitas pejabat publik—adalah ”agenda harian” yang tidak pernah mereka sadari sebagai kejahatan. Dalam kaitan ini, keberanian moral untuk melakukan semacam intervensi politis—taruhlah seperti lewat kepiawaian retorika model Cicero dengan berbagai salurannya—menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan sebagai alat perjuangan.

Dalam lembar majalah kebudayaan Basis (edisi November- Desember 2008), Budi Hardiman bahkan melihat anatomi kejahatan Verres yang dibeberkan Cicero di pengadilan Republik Romawi memiliki kesejajaran dengan wajah kejahatan para pejabat korup di republik ini: Indonesia!

Diceritakan bahwa Gaius Verres tak hanya merampok koleksi seni Sthenius, rakyatnya sendiri. Guna menghilangkan jejak kejahatannya, Verres bahkan mengadili dan menghukum sang pemilik koleksi yang ia rampok. Pejabat tinggi ini juga menerima sogok dari preman-preman. Ketika Cicero berhasil membawa kasus ini ke pengadilan, Verres menyogok para penegak hukum dan petugas peradilan.

Menurut Budi Hardiman, tidak perlu kata-kata eksplisit khusus untuk menjelaskan bahwa hal serupa terjadi di Indonesia. Cukup nama Verres diganti dengan nama pejabat yang terbukti korup, lalu kasus-kasus mereka dispesifikkan: entah soal impor sapi fiktif, kasus BLBI, penggelembungan dana bencana (juga model penggelembungan hasil suara dan skandal kasus daftar pemilih tetap alias DPT pemilu), atau apa pun yang telah dan masih mungkin terjadi.

”Kasus Verres yang dibeberkan Cicero menyediakan sebuah ’matriks’ yang pas untuk memahami anatomi kejahatan korupsi pejabat di negeri ini,” tutur Budi Hardiman.

Didorong sikap permisif

Kalau dalam beberapa tahun terakhir—juga hari ini—kita seperti disuguhi tontonan terhadap pelanggaran moral dan etika kekuasaan yang begitu vulgar, yang bisa membuat perut jadi mual, boleh jadi itulah tipikal dari watak kekuasaan yang sesungguhnya ada di negeri ini. Alih-alih memaknai jabatan sebagai perwujudan dari tanggung jawab, dan kedudukan sebagai risiko, yang terjadi justru pertama-tama kekuasaan diterjemahkan sebagai kesempatan mendapatkan fasilitas dan berbagai kemudahan.

Ironisnya, persepsi yang keliru tentang kekuasaan ini begitu tumbuh subur di masyarakat kita. Padahal, seperti diingatkan oleh budayawan-sosiolog Ignas Kleden, kedudukan dan jabatan itu sesungguhnya bukanlah anugerah yang pantas dirayakan. Jabatan adalah suatu tanggung jawab dengan sederet implikasi yang sudah menunggu.

”Mestinya, seseorang yang diberi kedudukan dan jabatan, pertama-tama ia harus menghadapinya sebagai suatu risiko. Ini yang tidak disadari bahwa kekuasaan itu semacam racun yang harus ada justru untuk mengobati sakit. Begitulah analoginya. Sebab itu, ia (kedudukan dan jabatan) merupakan suatu risiko, bukan semacam gula-gula yang serba manis,” tutur Ignas Kleden.

Ungkapan bahwa kedudukan dan jabatan sebagai suatu amanah, yang kerap dikemukakan saat seseorang ditunjuk untuk mendudukinya, juga hanya sebatas slogan tanpa pemahaman yang benar tentang konsekuensi-konsekuensinya. Belum muncul kesadaran bahwa apa yang disebut sebagai amanah sesungguhnya penuh dengan ”tabu- tabu” yang tidak boleh dilakukan dalam kekuasaan.

Di sini kata kuncinya adalah pembatasan! Mengapa? Ignas Kleden mengingatkan ada dua hal yang harus menjadi catatan. Pertama, kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak pernah membatasi diri. Kedua, kekuasaan cenderung selalu membenarkan diri dan tidak tidak pernah mau disalahkan.

Menyikapi watak dasar kekuasaan yang demikian, mestinya kekuasaan dilaksanakan secara terbatas. Kekuasaan juga harus selalu dikontrol dan dikritik. Mengingat watak dasar kekuasaan cenderung memperbesar diri dan selalu membenarkan diri, maka harus ada rambu-rambu berupa kontrol diri dan kontrol sosial.

Dalam konteks kekuasaan, kontrol diri dan kontrol sosial menjadi penting bagi para pejabat yang memiliki kesempatan menyelewengkan kekuasaan yang ada pada dirinya. Meski harus disadari bahwa terlalu berlebihan bila masyarakat berharap adanya pemimpin panutan, yang punya kapasitas moral di atas rata-rata, namun setidaknya seseorang yang memiliki kekuasaan harus meningkatkan kontrol atas dirinya sendiri.

”Dalam konsep demokrasi dan kepemimpinan, seorang pemimpin sama dengan orang kebanyakan. Kita hanya bisa berharap dia orang saleh, tapi dia sesungguhnya tidak memiliki kelebihan kapasitas secara moral. Namun, yang perlu dituntut dari dirinya—mengingat dia punya kekuasaan—dia harus bisa mengekang diri sendiri lebih besar daripada orang kebanyakan,” kata Ignas Kleden.

Tuntutan ini bisa dipahami, mengingat sebagai penguasa ia memiliki kesempatan untuk menyeleweng. Di sinilah pentingnya menciptakan semacam mekanisme kontrol yang lebih keras atas diri sendiri bagi seorang pejabat publik.

”Kalau yang bersangkutan tidak bisa mengontrol dirinya agar tidak menyeleweng, maka dia harus dikontrol secara sosial. Lewat mekanisme kontrol sosial, dia dipaksa selalu berjalan dalam koridor moral tersebut,” jelas Ignas Kleden.

Celakanya, bukan kontrol sosial yang berkembang di negeri ini. Justru alam pikir feodal yang masih dominan. Peningkatan status seseorang diposisikan dengan sendirinya membawa peningkatan kekayaan, kesejahteraan, dan lain sebagainya. Seolah-olah pengembangan kekuasaan selalu berakibat peningkatan kekayaan. Kemakmuran seakan-akan hanya akibat dari peningkatan status.

”Sementara itu, tidak pernah dipertanyakan bagaimana itu (peningkatan kekayaan dan kesejahteraan) bisa terjadi. Ini kan tidak benar,” katanya.

Tanpa disadari, masyarakat kita yang masih berada dalam alam pikiran feodal ini punya peran besar dalam menyebarluasnya kelakuan-kelakuan yang korup. Bahkan, tak jarang masyarakat kagum bila ada pejabat, termasuk di tingkat rendah sekalipun, di lingkungannya bisa menyumbang ini dan itu. Padahal, mereka tahu gaji seseorang sebagai pejabat sebetulnya tidak mampu untuk memberikan berbagai sumbangan semacam itu. Tidak ada kecenderungan untuk mempertanyakan dari mana asal-usul uang sumbangannya.

”Dengan kata lain, sikap permisif masyarakat jugalah yang ikut membuat korupsi berkembang. Alhasil, orang tidak takut korupsi karena masyarakat hanya melihat hasilnya. Masyarakat tidak mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang menjadi kaya karena suatu jabatan,” ujar Ignas Kleden.

Jadi, sebetulnya masyarakat menciptakan semacam impunity terhadap perilaku korup di kalangan pejabat…. (ken)

Perekrutan Buruk, Pejabat Memble

Pejabat publik, juga wakil rakyat, yang mestinya menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum itu telah menjelma sebagai pelanggar hukum nomor wahid di negeri ini. Sebagian sudah dijebloskan ke penjara, lainnya dalam proses hukum.

Masih hangat di ingatan masyarakat ketika sejumlah petinggi Komisi Pemilihan Umum, termasuk ketuanya, ditangkap karena kasus korupsi dan penyuapan. Lembaga yang membidani Pemilu 2004 itu pun tercoreng.

Kasus itu mencuatkan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai lembaga baru yang membawa harapan di tengah mandulnya penegak hukum konvensional—kepolisian dan kejaksaan—dalam mengusut tuntas kasus-kasus korupsi.

Sejak itu KPK makin bersinar. Sejumlah kasus korupsi dibongkar, walaupun belum tuntas benar. Kasus anyar dan populer adalah drama penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan dan penangkapan sejumlah anggota DPR dan pejabat tinggi, baik pusat maupun daerah. Indeks prestasi pemberantasan korupsi Indonesia di tingkat dunia mulai membaik.

Namun, saat berjuang memberangus korupsi, Ketua KPK Antasari Azhar terjerembap ke lubang lain. Mantan jaksa ini menjadi tersangka pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran.

Masalah yang kini membelit Antasari memang di luar koridor tugas KPK dan proses hukumnya masih berjalan. Tetapi, masalah ini mencuatkan pertanyaan: apa yang terjadi dengan para penyelenggara negara ini sehingga seolah tak ada lagi yang bebas dari tindakan tercela dan layak mendapat rasa hormat dari rakyat?

Kesalahan perekrutan

Suatu hari di bulan September 2007, empat wartawan terkejut ketika disodori segepok uang dengan pecahan 100 dollar AS oleh calon pimpinan KPK, Antasari Azhar. Antasari menyebut, uang tersebut adalah uang transpor.

Para wartawan ini terkejut dan kesal karena calon pimpinan KPK, yang seharusnya memberantas korupsi, justru mencoba ”menyuap”. Antasari seolah-olah mengolok-olok etika dan kepatutan jurnalistik.

Para wartawan itu, salah satunya Karaniya Dharmasaputra kemudian melaporkan tindakan Antasari kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Mereka menelepon Mas Achmad Santosa, salah seorang anggota panitia seleksi.

Mas Achmad Santosa pun berjanji akan mempertemukan mereka dengan panitia seleksi. Belakangan, hanya tiga anggota panitia seleksi, yaitu Mas Achmad Santosa, Komaruddin Hidayat, dan Frans Alexander Wospakrik, yang merespons. Mereka menemui para wartawan beberapa jam sebelum menyampaikan 10 nama calon pimpinan KPK yang sudah diseleksi kepada Presiden. Nama Antasari tetap lolos.

Tak puas dengan tanggapan Panitia Seleksi KPK, Karaniya dan kawan-kawan melaporkan tindakan Antasari ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). Hasilnya tetap sama. Tindakan Antasari yang mencoba memberi uang kepada wartawan yang mewawancarainya tidak ditindaklanjuti.

Karaniya Dharmasaputra, saat dimintai tanggapan terkait dengan penahanan Antasari Azhar yang diduga terlibat kasus pembunuhan ini, menyatakan, ”Yang paling bertanggung jawab atas tercorengnya nama KPK adalah Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2008-2011.”

Sejak awal terbentuknya panitia seleksi, sudah banyak kritik dilontarkan terhadap komposisi panitia seleksi, terlebih dengan dipimpin oleh seorang menteri. Berdasarkan pengamatan Kompas, selama proses seleksi, nama-nama besar yang menjadi panitia seleksi jarang sekali datang menghadiri rapat. Mereka baru serius mengikuti rapat menjelang akhir proses seleksi. Akibatnya, nama-nama kontroversial yang masuk dalam daftar tidak bisa dicermati secara baik dari awal proses seleksi.

Terlebih lagi, panitia seleksi dalam konferensi pers pada 4 Juli 2007 mengungkapkan, kontroversi dalam masyarakat yang menyertai seorang calon tidak menjadi pertimbangan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Panitia seleksi lebih mengandalkan melihat calon secara komprehensif, mulai dari kepribadian, pengetahuan, hingga wawasan yang dimiliki. Meskipun banyak laporan masyarakat yang masuk seputar rekam jejak para calon, panitia seleksi tidak menggubris.

Berdasarkan catatan Kompas, hasil rekam jejak terhadap Antasari Azhar yang dilaporkan sejumlah LSM beragam, seperti keterlambatan dalam penanganan perkara eksekusi terpidana kasus Tommy Soeharto, anggota DPRD Sumatera Barat, dan pemeriksaan Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood.

Putusan bebas murni terhadap Bupati Lonowe Lukman Abunawas juga diduga disebabkan unsur kejaksaan yang tak pernah mengajukan bukti dan temuannya di persidangan. Menurut laporan LSM kepada panitia seleksi, sebelum diputuskan bebas murni, Lukman Abunawas memberikan uang sebesar Rp 3 miliar kepada Antasari Azhar di Bangka Belitung.

Begitu pun informasi yang diterima LSM tentang dugaan adanya pemberian uang Rp 5 miliar dari Bupati Muna Ridwan Bae kepada Antasari, juga masuk dalam berkas laporan. Akan tetapi, semua laporan tersebut tidak dipertimbangkan oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK.

Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, Antasari adalah salah satu calon pimpinan KPK yang paling kontroversial.

”Secara resmi kami sudah menyurati panitia seleksi agar mencoret Antasari Azhar sebagai calon pimpinan KPK. Jejak rekam dia banyak cacat,” kata Adnan.

Namun, panitia seleksi abai. Mereka juga tidak mendengarkan kritik masyarakat terkait adanya kebijakan mereka memberikan kuota bagi penegak hukum, baik jaksa maupun polisi, untuk menjadi calon pimpinan KPK. Jadi, meskipun para calon yang ada tidak cukup baik dan berintegritas, tetapi dengan adanya kebijakan kuota ini maka para calon dari jaksa dan polisi berpeluang terpilih menjadi pimpinan KPK.

Mas Achmad Santosa mengakui, Antasari termasuk calon yang jejak rekamnya mendapat sorotan saat proses seleksi. ”Seleksi pejabat publik memang memiliki banyak kelemahan. Tak hanya di KPK, tapi juga terjadi di KPU, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian. Banyak orang yang berkualitas tidak terjaring, tetapi yang punya banyak kelemahan yang akhirnya lolos. Kami dihadapkan pada minimnya pilihan,” kata Achmad, yang menjadi anggota panitia seleksi untuk sejumlah lembaga negara ini.

Lebih dari itu, menurut Achmad, yang lebih mengkhawatirkan adalah seleksi di DPR. ”Saya termasuk yang terkejut, ketika kemudian Antasari yang terpilih menjadi ketua KPK,” ujarnya.

Mengenai rekam jejak Antasari Azhar, Muhammad Assegaf selaku kuasa hukum Antasari mengatakan, sebelum menjabat sebagai Ketua KPK soal rekam jejak kliennya sudah banyak diulas sewaktu proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK. Baik oleh sejumlah LSM dan media massa.

”Saya sudah kenal Antasari saat sebagai jaksa, tapi saya tidak tahu track record Antasari sebelum menjabat sebagai Ketua KPK. Saya baru membaca rekam jejak Antasari yang diungkap LSM dan media massa,” ujar Assegaf.

Seleksi di DPR

Proses uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon pejabat publik di DPR memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan fraksi-fraksi politik. ”Seperti politik dagang sapi,” kata Adnan.

Jauh-jauh hari sebelum Komisi III DPR memilih lima calon pimpinan KPK, fraksi-fraksi di DPR ternyata sudah gencar melakukan lobi di antara para pimpinan fraksi. (Kompas, 29 November 2007).

Diduga, dari pertemuan informal di Hotel Four Seasons Jakarta, 27 November 2007 malam, lima nama akan didorong untuk diloloskan. Mereka adalah Antasari Azhar (kejaksaan), Bibit Samad Rianto (kepolisian), Haryono Umar (BPKP), Chandra M Hamzah (pengacara), sedangkan dari pegawai KPK Mochammad Jasin. Ada juga yang menyebut Waluyo (pegawai KPK juga).

Hasil voting para fraksi di Komisi III sama dengan hasil lobi informal di Hotel Four Seasons ini sehingga lima nama yang terpilih adalah Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar, Chandra M Hamzah, dan Mochammad Jasin.

Berdasarkan pengamatan Kompas selama proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III, pertanyaan yang diajukan para anggota DPR kepada Antasari sangat minim, hanya seputar visi dan misinya jika kelak ia menjabat sebagai pimpinan KPK. Dan, pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan lancar oleh Antasari. Bahkan, saat Antasari mengatakan, ia siap pasang badan jika untuk kasus apa pun agar KPK tidak menjadi alat untuk menzalimi seseorang, dia disambut tepuk tangan meriah anggota Komisi III DPR.

Hal ini berbeda sekali saat para anggota Komisi III DPR mencecar Amin Sunaryadi, Wakil Ketua KPK periode 2004-2007, yang kembali mencalonkan diri. Bahkan, informasi Kompas dari salah seorang anggota Komisi III yang diperoleh sebelum voting dilakukan menyebutkan, Komisi III DPR khawatir kalau memilih Amien Sunaryadi karena KPK nanti akan seperti KPK jilid I yang sulit dikendalikan.

Namun, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin membantah hal ini. Dia mengatakan, kasus yang menimpa Antasari saat ini harus dilepaskan dari proses seleksi pemilihan pimpinan KPK tahun 2007.

”Antasari terjerat kasus di luar tugas dia sebagai pimpinan KPK. Jangan karena Antasari ditangkap, kemudian kesalahan ditimpakan pada proses seleksi. Kita sudah lakukan seleksi dengan benar dan sesuai tata tertib dan undang-undang,” kata dia.

Aziz juga menampik adanya lobi-lobi politik yang bertujuan untuk memenangkan Antasari dalam pemilihan ketua KPK, tahun 2007. Aziz justru menyebutkan, yang diperlukan ke depan bukan pembenahan proses seleksi pejabat publik, tetapi pengawasan terhadap kinerja mereka, termasuk KPK.

Namun, Achmad Santosa menyarankan agar proses seleksi calon pimpinan KPK tidak melalui proses di DPR, sebab DPR masih menjadi sumber korupsi di Indonesia. Akibatnya, jika proses seleksi calon pimpinan KPK berada di DPR akan ada konflik kepentingan yang sangat besar.

”Banyak calon yang berkualitas alergi dengan proses seleksi di DPR. Akhirnya yang maju orang yang mau melakukan lobi-lobi politik. Ini seperti menyaring dengan alat penyaring yang rusak. DPR sarang koruptor, bagaimana bisa diharapkan bisa memilih orang yang tepat untuk memberantas korupsi?” kata Adnan.

Achmad juga menyarankan agar proses seleksi pejabat publik dilakukan dengan jemput bola. ”Kita undang orang-orang yang berkualitas dan punya integritas. Panitia seleksi juga harus steril dari kepentingan politik. Jangan lagi pakai menteri atau dirjen,” ujarnya.

Achmad dan Karaniya mencontohkan, pemilihan anggota organisasi pemberantas korupsi, ICAC semacam KPK di Hongkong yang dijauhkan dari DPR. Mereka diangkat oleh Gubernur Jenderal. Hal ini bertujuan agar ICAC jangan dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan politik DPR. Untuk mengawasi ICAC, dibentuk Dewan Pengawas ICAC yang berasal dari unsur-unsur masyarakat bahkan Dewan Pengawas ini bisa memberhentikan KPK.

Masalahnya, seriuskah kita hendak memperbaiki bangsa ini? (VIN/AIK)

Apatisme terhadap Perekrutan Sang Pejabat

Oleh SUWARDIMAN

Perekrutan dan seleksi pejabat negara yang kerap melalui prosedur yang demikian panjang dan ketat, serta memakan biaya yang tidak sedikit, terbukti tidak selalu berhasil menghasilkan figur terbaik. Perekrutan pejabat publik, terutama komisi negara, dikhawatirkan lebih banyak dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya.

Salah satu indikasi kegagalan adalah banyaknya pejabat negara terpilih yang terbelit skandal hukum. Tidak hanya itu, sejumlah pejabat komisi hasil seleksi ketat itu dianggap tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya mengelola dengan baik lembaga yang dipimpinnya. Padahal, perekrutan yang panjang itu tujuannya tidak hanya memindai secara ketat sisi kecakapan calon pemimpin lembaga negara, melainkan integritas moral mereka.

Publik pun meragukan kapasitas dan kapabilitas pejabat publik yang dipilih lewat prosedur lembaga perwakilan rakyat. Hasil jajak pendapat Kompas terhadap 768 responden di sepuluh kota besar di Indonesia menyimpulkan, mayoritas (58,6 persen) responden tidak yakin dengan kualitas dan kemampuan pejabat publik yang dipilih lewat pintu DPR.

Sebanyak 71,9 persen beranggapan bahwa proses seleksi pejabat publik yang dilakukan DPR cenderung lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis. Perekrutan ini dinilai cenderung mengabaikan aspek-aspek obyektif terhadap para calon pejabat publik yang telah melalui proses seleksi yang ketat.

Kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasarudin, yang melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, kembali memicu sinisme publik soal integritas pejabat yang telah dipilih lewat proses ketat.

Sinisme terhadap proses seleksi pimpinan lembaga/komisi negara sebelumnya juga sempat mencuat ketika komisioner Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, ditangkap KPK (26/9/2007).

Irawady tertangkap tangan menerima uang dari rekanan KY dalam pengadaan tanah. Ia didapati penyidik KPK menerima uang Rp 600 juta dan 30.000 dollar AS dari Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso. Dalam kasus ini, MA mengganjar Irawady delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta.

Bukti lain dari gagalnya proses seleksi pejabat publik adalah lolosnya calon anggota KPU, Syamsulbahri, yang ketika itu berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Seleksi yang berlangsung Oktober 2007 itu, seperti dalam proses seleksi komisi lainnya, alot dan penuh dengan tarik ulur dukungan terhadap kandidat yang dijagokan setiap fraksi (partai politik).

Pemilihan kandidat yang alot itu tidak meniscayakan hasil yang terbaik. Sorotan miring terhadap perekrutan pejabat publik makin meluas ketika anggota KPU periode 2007-2012 dianggap tidak mampu menyelenggarakan pemilu legislatif dengan baik. KPU dianggap kedodoran di hampir setiap tahapan penyelenggaraan pemilu lalu. Berbagai persoalan yang menghadang penyelenggaraan pemilu legislatif bulan lalu berujung pada keraguan, apakah memang terjadi kecurangan yang dilakukan secara sistematis ataukah karena ketidakmampuan para anggota KPU menyelenggarakan pemilu.

Lewat pintu DPR

Upaya membenahi sistem perekrutan pejabat publik dituangkan lewat mekanisme yang makin panjang. Bandingkan saja proses seleksi anggota KPU dua periode terakhir. Proses pemilihan anggota KPU periode 2001- 2006 lebih sederhana dibandingkan perekrutan anggota KPU periode sekarang. Pemerintah mengusulkan 22 nama kepada DPR. Selanjutnya DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui Komisi II selama tiga hari. Akhirnya Komisi II DPR memilih 11 anggota KPU.

Sebaliknya, perekrutan KPU periode 2007-2012 lebih panjang. Presiden menuntut lima anggota tim seleksi KPU bergelar doktor. Tim seleksi ini berhasil menjaring 45 calon setelah melalui tes tertulis yang meliputi tes intelegensia (IQ), kepribadian, kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, serta tes kesehatan mental dan rekam jejak. Selanjutnya dilakukan tes individual, kelompok, dan diskusi. Hasil tes ini menjaring 21 calon anggota KPU. Uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi II DPR untuk memilih 7 anggota KPU.

Tarikan kepentingan yang terjadi pada perekrutan yang dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR diyakini sejumlah kalangan kian memperkeruh perekrutan. Model pengambilan keputusan yang diartikulasikan lewat banyaknya jumlah dukungan terhadap calon-calon tertentu lebih mendominasi perekrutan ini. Model seperti ini jelas lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan atas aspek kualitas dan kapabilitas.

Identifikasi masalah perekrutan pejabat publik, seperti yang dilakukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) pada akhir tahun 2007, misalnya, menyimpulkan sejumlah kegagalan perekrutan pejabat publik. Hal itu di antaranya karena DPR cenderung mengabaikan informasi yang disampaikan masyarakat melalui berbagai saluran LSM tentang figur calon pejabat publik. Persoalan lainnya adalah tidak ada mekanisme yang jelas dalam proses verifikasi informasi dan data yang diterima terkait calon pejabat publik yang telah diusulkan.

Gugatannya kemudian adalah soal relevansi DPR sebagai lembaga politik yang diberi kewenangan menjadi ”pintu terakhir” dalam perekrutan pejabat publik. Gugatan ini berlandaskan pada problematika DPR sebagai lembaga politik, yang nyaris mustahil melakukan perekrutan di DPR tanpa melibatkan kepentingan politik mereka.

Sejumlah gagasan kemudian mengerucut pada wacana untuk mengembalikan sistem perekrutan pejabat publik kepada kewenangan penuh presiden. Dengan sistem ini, DPR hanya menjalankan fungsinya sebatas mengawasi perekrutan ini.

Prosedur ketat yang selama ini dilakukan untuk menjaring pejabat publik menghabiskan uang negara yang tidak sedikit. Proses seleksi untuk tujuh anggota KYl, misalnya, membutuhkan anggaran Rp 3,6 miliar. Adapun proses seleksi untuk memilih lima anggota KPK, yang dilakukan dalam dua tahap, masing-masing dianggarkan Rp 4,7 miliar untuk seleksi tahap pertama dan Rp 2,9 miliar untuk seleksi tahap kedua.

Sementara itu, tujuh anggota KPU terpilih setelah melalui proses seleksi dengan anggaran Rp 2,4 miliar. Proses seleksi pejabat publik dengan anggaran terendah adalah proses seleksi anggota Komnas HAM yang menghabiskan anggaran Rp 400 juta dan seleksi anggota Komisi Penyiaran Indonesia dengan anggaran Rp 200 juta.

Kegamangan publik tampak dalam hasil jajak pendapat Kompas. Lebih dari separuh responden (56,5 persen) ragu DPR mampu menjalankan tugas menyeleksi dan merekrut pejabat publik. Meski demikian, sebanyak 41,5 persen responden lainnya masih menaruh keyakinan DPR dapat menjalankan fungsi rekrutmen itu.

Mencari sosok pejabat publik yang ideal tidaklah mudah. Figur yang memiliki kemampuan intelektual dan keahlian di bidang lembaga yang akan dipimpinnya belum cukup untuk memenuhi syarat ideal menduduki posisi strategis.

Tuntutannya lebih dari itu, sosok yang memiliki integritas, kejujuran, dan bebas dari kepentingan politiklah yang dicari. Sayangnya, lembaga-lembaga yang menjadi ujung tombak dalam perekrutan pejabat publik ini pun jarang yang bebas dari kepentingan politik. Lalu, bagaimana menghasilkan figur pejabat publik yang ideal? (Suwardiman Litbang ”KOMPAS” )