Senin, 29 Juni 2009

Menimbang Demokrasi, Merajut Optimisme

SYAMSUDDIN HARIS

Karut-marut politik pasca-pemilu legislatif dan menjelang Pilpres 2009 terus mewarnai perjalanan negeri ini. Kampanye yang seharusnya menjadi momentum untuk menawarkan gagasan terbaik bagi pembenahan negeri ini ke depan, terperangkap sebagai ajang saling menyindir antarcalon presiden, adu citra, serta unjuk kekuatan.

Bagaimana seharusnya kita menimbang semua haru biru politik dan dinamika demokrasi yang berlangsung satu dekade terakhir?

Harus diakui bahwa kinerja para politikus, partai politik, caleg dan capres, serta parlemen dan pemerintah yang dihasilkan pemilu masih mengecewakan. Para aktor dan institusi demokrasi tersebut relatif gagal memanfaatkan kesempatan emas satu dekade reformasi bagi kejayaan Ibu Pertiwi. Seperti dikemukakan dalam ulasan saya sebelumnya, para aktor demokrasi terperangkap pada pendangkalan politik tak berkesudahan yang berujung pada salah urus negara dan daerah.

Meski demikian, saya berpendapat, tidak cukup adil bagi kita menyalahkan mereka yang mau mewakafkan dirinya untuk kerja politik yang potensial dicerca publik. Kita perlu memberi apresiasi atas apa yang telah dicapai negeri serta menilai secara jujur, yakni dengan melihat realitas politik dalam konteks perjalanan bangsa ini secara utuh.

Tahap belajar

Tak satu negara pun yang bisa dijadikan model demokrasi terbaik di dunia ini. Amerika Serikat yang sering menjadi rujukan demokrasi termaju, ternyata tak hanya menghasilkan Barack Obama yang cerdas dan brilian, tetapi juga George W Bush Jr yang buruk mengelola negerinya. Selain itu, tak pernah ada sistem demokrasi yang benar-benar final. Demokrasi adalah kerja dan perjuangan kolektif yang tak pernah selesai, termasuk bagi negeri kita.

Kita baru mulai merajut kembali demokrasi sejak 1998-1999 setelah sempat mekar pada periode 1950-an. Sesudahnya, bangsa ini didera pengalaman pahit sistem otoriter yang panjang selama hampir empat dekade, di bawah Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Seperti diketahui, sistem otoriter tak hanya membelenggu hak-hak politik dan kebebasan sipil serta melembagakan prasangka dan saling curiga antargolongan masyarakat, melainkan juga membunuh segenap potensi kreatif negeri ini, termasuk kepemimpinan, karakter, etika, dan keberadaban.

Oleh karena itu, wajah buruk para aktor dan institusi demokrasi untuk sebagian harus dipandang sebagai tahap belajar bagi negeri ini pasca-rezim otoriter. Apalagi para elite politik sipil tidak pernah memiliki agenda yang benar-benar genuine mengenai arah bangsa ketika Soeharto benar-benar lengser dari kekuasaannya. Tak mengherankan jika Deklarasi Ciganjur (1998) yang dihasilkan Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan HB X, misalnya, gagal melandasi kerja sama dan konsolidasi antarelemen reformasi.

Wajah Kita

Apa yang hendak saya garis bawahi adalah bahwa wajah demokrasi kita pada dasarnya merupakan potret kita juga, potret diri bangsa ini. Artinya, apa boleh buat, kualitas demokrasi dan kualitas para aktor semacam itulah yang bisa dihasilkan negeri kita saat ini. Potret diri itu akan berangsur-angsur membaik bersamaan dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan kesejahteraan mayoritas bangsa ini.

Kalau mau jujur, dengan tingkat pendidikan mayoritas bangsa kita yang masih sekolah dasar, dan pendapatan per kapita sekitar 2.200 dollar AS, pencapaian demokrasi harus dikatakan sangat signifikan. Meski masih prosedural, pemilu-pemilu dalam 10 tahun terakhir (1999-2009), serta ratusan pemilihan kepala daerah sejak 2005, berlangsung relatif damai dan hampir tanpa gejolak politik yang berarti. Apalagi jika dikaitkan dengan rumitnya sistem dan manajemen pemilu karena harus melayani lebih dari 100 juta pemilih dengan tingkat kesulitan antarpulau yang sangat beragam, serta format surat suara yang berbeda-beda dari ribuan daerah pemilihan dan puluhan ribu caleg.

Merajut optimisme

Ada beberapa argumen mengapa kita perlu merajut optimisme. Pertama, bangsa ini pernah melahirkan Soekarno, Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangunkusumo yang memiliki komitmen luar biasa bagi keindonesiaan, bukan sekadar ”mengambil” seperti para politikus partai dewasa ini. Setelah merdeka, keteladanan serupa diberikan oleh Mohammad Natsir, Sjahrir, dan J Kasimo. Mereka rela hidup menderita demi komitmen kebangsaan dan keindonesiaan. Realitas historis ini adalah aset untuk merajut harapan bahwa pemimpin serupa dapat dilahirkan negeri ini di masa depan.

Kedua, meski konflik komunal pernah mengguncang beberapa wilayah, seperti Kalbar, Kalteng, Maluku, dan Poso di Sulteng, tetapi relatif tidak berdampak pada dinamika pemilu. Konflik- konflik tersebut lebih bersumber pada ketimpangan struktur ekonomi penduduk asli dan pendatang ketimbang pada perbedaan pandangan dan afiliasi politik. Itu artinya, terbuka peluang bagi tegaknya demokrasi atas dasar pluralitas politik di negeri ini.

Ketiga, beberapa studi menggarisbawahi bahwa institusionalisasi demokrasi selama satu dekade terakhir cukup menjanjikan. Andreas Ufen (2008), misalnya, mengatakan, sebagian besar partai di Indonesia lebih terinstitusionalisasi ketimbang sebagian besar partai di Filipina dan Thailand. Penilaian serupa diberikan Marcus Mietzner (2008), bahkan juga apabila dibandingkan partai-partai di Korea Selatan. Sementara itu, studi Bappenas dan UNDP (2008) menemukan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia dewasa ini berada pada skala ”kinerja sedang”.

Keempat, kendati didera berbagai bencana, korupsi belum berkurang, salah urus negara terus berlangsung, dan krisis finansial global menghantam kita, ekonomi ternyata bisa tumbuh cukup signifikan, diperkirakan di atas 4 persen pada 2009 ini. Ada peluang bagi negeri besar ini untuk menyejahterakan rakyat jika berbagai distorsi salah urus negara bisa dibenahi.

Kelima, seyogianya kita bersyukur, berbagai elemen masyarakat madani memiliki komitmen besar untuk mengawal demokrasi dan HAM, menegakkan pemerintahan bersih, serta menyuarakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua anak negeri. Begitu tingginya komitmen itu sehingga sejumlah mahasiswa (tragedi Mei, Semanggi I dan II), aktivis pers (Fuad M Syafruddin alias Udin), buruh (Marsinah), HAM (Munir), dan banyak lagi, berkorban demi Indonesia yang lebih baik.

Walaupun demikian, tidak pada tempatnya pula jika kita cepat puas dengan semua itu. Sebaliknya, para aktor yang dihasilkan pemilu justru harus terus-menerus diingatkan, bahkan jauh lebih keras, agar mereka benar-benar bertanggung jawab atas mandat rakyat di pundaknya. (Syamsuddin Haris)

 

Minggu, 28 Juni 2009

Ancaman Plutokrasi

Sudar D Atmanto

Wakil rakyat di Senayan dan anggota Dewan Perwakilan Daerah akan diisi banyak wajah baru. Mereka umumnya keluarga pejabat pemerintah/pemerintah daerah atau keluarga tokoh politik. Faktor dinasti politik, kemampuan pembiayaan, dan popularitas, mereka manfaatkan. Terkait fenomena itu, sejarawan Inggris, Prof Hugh Seton-Watson (1960), membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga. Pertama, pemerintahan demokrasi yang dicirikan kekuasaan di tangan rakyat. Kedua, pemerintahan otokrasi yang dicirikan kekuasaan dipusatkan pada beberapa orang. Ketiga, pemerintahan plutokrasi, dicirikan kekuasaan dikelola sekelompok golongan berduit. Dengan sistem demokrasi dan model pemilu legislatif ini, tampaknya ancaman terwujudnya pemerintahan plutokrasi kian nyata.

Pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden tahun 2009 memerlukan biaya sekitar Rp 47,5 triliun. Selain itu, para caleg dan capres, dalam kampanye juga harus mengeluarkan biaya. Menurut Business News (6/5/2009), sepasang capres-cawapres dalam pemilu memerlukan biaya sekitar Rp 20 triliun. Untuk calon anggota legislatif DPR atau DPD, dalam kampanye memerlukan biaya rata-rata minimal Rp 500 juta. Bahkan, beberapa caleg perlu mengeluarkan biaya hingga Rp 2 miliar.

Adapun caleg anggota DPRD provinsi diperkirakan mengeluarkan biaya kampanye sekitar Rp 300 juta. Untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota, diperkirakan mengeluarkan biaya sekitar Rp 100 juta.

Data KPU menunjukkan, jumlah calon anggota DPR sebanyak 11.219 orang, calon anggota DPD 1.109 orang, calon anggota DPRD provinsi 32.263 orang, dan calon anggota DPRD kabupaten/kota 246.558 orang. Dengan demikian, seluruh jumlah caleg sebanyak 291.504 orang. Dari jumlah caleg itu, jika dikalikan biaya kampanye yang dikeluarkan oleh tiap caleg, mencapai sekitar Rp 39.947,75 miliar atau sekitar Rp 40 triliun.

Jika jumlah itu ditambah dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 47,5 triliun, jumlah keseluruhan mencapai Rp 87,5 triliun. Jika ditambah biaya kampanye capres-wapres, biaya keseluruhan akan lebih dari Rp 100 triliun. Luar biasa.

Sistem pemilu kita, di satu sisi, memberi peluang kepada warga negara untuk dapat mencalonkan sebagai anggota legislatif. Namun kenyataannya, hanya para caleg yang mempunyai biaya yang akan mampu berkompetisi.

Sistem demokrasi pemilu kita telah bergeser dari ”demokrasi musyawarah” menjadi ”demokrasi pasar”. Akibatnya, munculnya fenomena wakil-wakil rakyat dari kalangan keluarga pejabat pemerintah, keluarga politisi lama, pengusaha, dan artis- selebritis. Akibatnya, wakil rakyat yang jadi tidak didukung kapasitas sebagai aktivis dengan pengalaman ”kerja-kerja politik” di masyarakat.

Ancaman plutokrasi

Robert Dahl dalam Demokrasi dan Para Pengritiknya mengatakan, sistem demokrasi seharusnya memberikan ruang kepada semua warga untuk berpartisipasi politik, tetapi kenyataannya sering dikuasai kelompok berkemampuan (plutokrasi).

Ancaman plutokrasi di Indonesia disebabkan beberapa hal. Pertama, partai politik pascareformasi gagal mengembangkan paradigma demokrasi model Indonesia. Yang berkembang adalah pemahaman demokrasi liberal atau demokrasi pasar.

Kedua, pemerintah dan elite parpol gagal membangun sistem demokrasi politik nasional yang memberi peluang (affirmative action) wakil masyarakat bawah di lembaga perwakilan politik.

Ketiga, tidak berkembangnya kekuatan masyarakat dan civil society organization pascareformasi dalam mendesakkan sistem demokrasi politik yang mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat menengah-bawah. 

Sebentar lagi pemilu presiden-wakil presiden dilaksanakan. Presiden terpilih nanti diharapkan mampu menyusun sistem demokrasi politik yang mempunyai ciri keindonesiaan, yaitu yang mengakomodasi sistem keterwakilan politik semua komponen masyarakat, bukan bangunan demokrasi pasar liberal yang menyisihkan si lemah.

Hasil pemilu legislatif yang menghasilkan wakil rakyat dari kelompok sosial tertentu harus direspons dengan melakukan komunikasi politik yang substansial antara presiden terpilih dan pimpinan parpol dengan agenda utama membangun demokrasi politik yang berorientasi kerakyatan, bukan liberal-market oriented.

Sudar D Atmanto Wakil Direktur LP3ES

Sabtu, 27 Juni 2009

Partai Islam dan Partai Nasionalis

Bustanuddin Agus
(Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas Padang)


Pemilu legislatif telah usai dan hasilnya sudah sama maklum. Menyusul pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres dan pilwapres) langsung oleh rakyat dua bulan lagi. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), capres incumbent, dengan style penuh kehati-hatian , tapi sungguh suatu kejutan dan kontroversial (terutama di mata parpol-parpol yang telah menyatakan berkoalisi dengan Partai Demokrat) mendeklarasilakan Boediono jadi cawapres pendampingnya. Menurut biasa dan logika lurus tentu partai koalisi peraih suara yang termasuk banyak serta dapat pula dijadikan figur untuk meraup sura lebih banyak yang akan dipilih.

Tapi logika politik SBY ternyata lain sama sekali. Rupanya SBY membaca lembaran sejarah perpolitikan Indonesia bahwa suara umat Islam, dari Pemilu ke Pemilu, belum pernah jadi pemenang di Republik ini. Partai Masyumi di kala itu hanya mampu meraih nomor dua setelah PNI. Hamzah Haz memang pernah jadi Wapres (semasa Presiden Megawati), tapi pemilihan dan pengangkatan keduanya dilakukan oleh MPR, bukan langsung oleh rakyat. Berdasarkan pengalaman itu SBY (juga cawapres yang lain) tampaknya berani "bertaruh" bahwa suara yang mengatasnamakan Islam tidak akan menang.

Hasil Pemilu baru-baru ini makin menunjukkan suara partai Islam tidak termasuk tiga besar. Yang berhasil meraup tiga besar adalah Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Islam hanya termasuk sepuluh besar. Rumor partai-partai Islam yang telah menyatakan berkoalisi dengan SBY akan menarik diri dan membangun poros tengah jilid dua ternyata hanya angin lalu. Pertimbangan praktis (dan prinsip kasik ilmu politik “demi kekuasaan”), kalau tidak dapat kursi cawapres, kursi menteri pun jadi, ternyata lebih dominan dari pertimbangan ideologi.

Setelah melalui pembicaraan yang alot, Prabowo Subianto (bekas komandan Kopasus, pasukan elit negeri ini, Ketua dewan penasihat Partai Gerindra), pada hari yang sama akhirnya (sebelumnya bersikukuh menjadi capres saja) juga mau menerima sebagai cawapres, pendamping capres Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI-Perjuangan yang pernah menjadi Presiden dan pernah kalah dalam persaingan dengan SBY dalam pilpres putaran kedua yang lalu). Yusuf Kalla (JK) yang jabatan Wapresnya hampir berakhir tidak mau lagi jadi pendamping SBY dan pas, SBY juga tidak mau lagi menggandengnya jadi cawapres periode kedua. JK telah lebih dahulu mendeklarasikan diri jadi capres dengan Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura) sebagai cawapresnya. Wiranto adalah bekas sejawat JK di Partai Golkar dan hengkang dari partai tersebut serta berhasil meraih suara pemilih legislatif sehingga termasuk sepuluh besar peraih suara. Kedua pasangan yang bergerak cepat ini telah menggalang dukungan, seperti dari kiyai-kiyai pesantren Jawa Timur. Tampaknya karena watak bisnis JK yang suka bergerak cepat ini, SBY (yang mengutamakan kehati-hatian) tidak mempriotaskannya jadi cawapres.

Jadi dalam pasangan (salah satu) yang akan berlaga Juli yang akan datang masih wajah-wajah lama dan, nota bene, tidak ada lagi yang dari kalangan (partai) Islam atau berbasis pendukung dari kalangan Islam. Ketiga pasangan tentu sudah memperhitungkan bahwa yang mewakili Islam tidak perlu digandeng untuk meraup pencontreng. Hal ini tak usah mengherankan karena masalah ideologi tetap tidak menarik kalau dibawa ke khalayak yang lebih luas. Apakah ideologi tidak penting?

Ideologi masih relevan
Menghadapi Pemilu yang lalu terdengar komentar bahwa tak masanya lagi perbedaan didasarkan kepada ideologi. Perbedaan antar partai yang relevan diusung dikatakan hanya perbedaan program. Kalau dicermati lebih serius, dalam skala yang lebih luas dan lebih mendasar, pertimbangan ideologi (nasionalisme, sekularisme, Islam dan lain-lain) lah yang bermain di belakang pengelompokan negara dan orientasi politik. Negara-negara Barat dan banyak negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea, memilih ideologi sekuler bagi negaranya. Banyak negara dan partai yang berideologi nasionalis. Negara-negara Muslim juga ada yang memasang ideologi Islam bagi negaranya, seperti Iran, Saudi Arabia dan Pakistan.

Ideologi berperan untuk memberi semangat dan sumber energi bagi warga negara dan pemimpinnya untuk berjuang membangun dan mempertahankan negara. Ideologi berbeda dengan sekedar ilmu pengetahuan. Sekedar pengetahuan biasa dilanggar oleh yang punya pengetahuan itu sendiri, apalagi oleh yang tidak mengetahui. Ideologi mengandung semangat, jiwa juang, kecintaan dan persatuan. Dan ideologi yang didasarkan kepada agama punya semangat, kecintaan dan kekompakan yang lebih tinggi dari ideologi yang tidak dikaitkan kepada agama. Berjuang demi negara (nasionalisme) lebih luas dan lebih jauh dari demi harta dan anak istri. Berjuang demi kemanusiaan (humanisme) juga lebih luas dan lebih mendasar dari sekedar demi negara. Kemudian demi Tuhan dan demi agama jauh lebih dalam, lebih kuat dan lebih tahan lama lagi karena didasarkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, dan untuk kehidupan dunia akhirat pula. Istilah jihad dan syahid dikaitkan dengan demi agama dan demi Tuhan, tidak kepada yang demi negara dan kemanusiaan. Karena itu kata demi Tuhan dan agama diganti oleh nasionalisme dan humanisme dengan demi negara dan demi kemanusiaan .

Secara teologi, teori atau keyakinan (das Sollen), menurut yang berakidah (ber philosophy and way of life) Islam, ideologi Islamlah yang lebih kuat dan lebih dalam dari ideologi nasionalis, kemanusiaan dan lainnya. Tapi dalam kenyataan (das Sein) banyak yang tidak demikian. Ketika suara dan selera massa jadi tolok ukur (minimal dalam perjalanan perpolitikan Indonesia), partai-partai yang tidak mengusung jargon Islamlah yang menang. Alasan-alasan Tuhan, agama, akhirat tampak tidak menarik lagi bagi anak bangsa ini. Yang menarik bagi selera massa alasan-alasan yang praktis: lapangan kerja, peningkatan penghasilan, kesejahteraan, keamanan dan juga kebebasan.

Di Barat, ideologi sekuler yang meminggirkan agama dan Tuhan dalam kehidupan bernegara, resmi diusung dan diproklamirkan sebagai ideologi mereka. Sejarah Barat di Abad Pertengahan yang trauma dengan ulah Gereja Katolik yang dinilai sebagai biang korok mereka tenggelam dalam The Dark Ages, menjadikan Barat memproklamirkan sekularisme.

Lain halnya dengan di Indonesia. Kehidupan beragama telah menyatu dengan adat dan budaya suku-suku bangsa yang ada. Kentalnya peran agama dalam kehidupan bernegara dapat dibacara dalam Pembukaan UUD 1945. "Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa", sila-sila Pancasila, apalagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, ada departemen khusus yang mengurus urusan-urusan yang langsung menyangkut agama. Semuanya ini menunjukkan bahwa bangsa (dan negara Indonesia harus pula) adalah religius, bukan negara sekuler yang tidak mengakui dan meminggirkan agama dan Tuhan.

Para intelektual dan pemimpin mampu hendaknya membedakan antara ajaran agama dan perilaku sebagian pemimpin, apalagi penganut. Sebagai ajaran, Islam adalah pedoman hidup yang diajarkan oleh Tuhan Pencipta untuk keselamatan semesta. Umat dan sebagian pemimpin dalam realita sosial (secara sosiologis) ada (bahkan banyak) yang memperalat agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Karena itu dari segi ajaran (teologis), kita hendaknya tetap meyakini bahwa ajaran agama penting dan urgen dipedomani dalam kehidupan pribadi dan bersama.

Bukankah amat banyak bencana dan kekacauan kalau manusia (rakyat apalagi elit dan kelompok) telah merasa atau mau jadi Tuhan Yang Maka Kuasa dalam kehidupan ini. Mau kaya, berkuasa, dan benar sendiri tanpa mempedulikan ajaran Tuhan dan agama, adalah perilaku Firaun-Firaun. Kekuasaan mereka ditunjang dengan ekonomi, media massa, teknologi, persenjataan canggih dan kekuatan struktural. Invasi semena-mena ke negara lain, besarnya gap antara negara/kelompok kaya dan negara/kelompok miskin, terkurasnya sumber daya alam negara miskin, pencemaran lingkungan dan global warming adalah diantara kefasadatan akibat ulah tangan manusia tidak mau jadi khalifatullah untuk menebarkan rahmatanlil'alamin, tapi ingin jadi Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.

Karena alasan-alasan tersebut dan karena partai-partai yang didukung oleh bangsa Indonesia yang religius dan berfalsafahkan Pancasila, maka (seyogyanya) hanya ada dua kelompok partai di Indonesia, yaitu partai Islam dan nasionalis. Keduanya menjujung tinggi kehidupan beragama di Indonesia. Tidak ada kekuasaan atau partai sekuler yang menabrak ajaran agama dalam undang-undang, peraturan dan kebijakan yang ditempuh. Negara harus ikut membangun dan menggairahkan kehidupan beragama untuk keselamatan bersama. Wabillahit taufiq wal hidayah.

Refleksi Islam Politik


Yusuf Wibisono
(Staf Pengajar FEUI)


Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan bahwa tiga partai Islam terbesar, yaitu PKS, PPP, dan PBB, hanya mampu mendulang 14,99 persen, tidak banyak berbeda dengan perolehan 10 tahun lalu dalam Pemilu Legislatif 1999. Padahal, pada Pemilu 2004 partai-partai Islam mampu mendulang 21 persen suara. Partai Islam-inklusif -PAN dan PKB- dan partai sekuler-inklusif -Partai Golkar- yang disebut Baswedan (2004) sebagai Islam-friendly parties, bahkan mengalami penurunan signifikan dari 42 persen pada 1999 menjadi 25 persen pada 2009. Hal ini secara jelas menunjukkan stagnasi Islam politik. Dalam satu dekade terakhir, partai-partai Islam tidak mampu menarik dukungan publik yang lebih luas. Mengapa Islam politik pascareformasi mengalami kegagalan?

Dalam rentang enam dekade terakhir, terjadi transformasi politik Islam di Indonesia. Di era 1950-an, hanya ada partai Islam (Islamist parties) dengan agenda negara Islam dan penerapan syariat. Pascareformasi di akhir 1990-an, tidak hanya terdapat partai Islam dengan agenda tunggal penerapan syariat, namun juga terdapat partai Islam-inklusif dan partai sekuler-inklusif dengan agenda yang lebih umum, yaitu masuknya nilai dan moral Islam dalam kebijakan negara dan pembangunan.

Secara umum, partai Islam di Indonesia tampil semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara Muslim besar-demokratis lainnya, yaitu Turki. Banyak pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses politik, baik secara demokratis maupun tidak, akan membawa pemimpin partai Islam menjadi moderat secara ideologis, seperti beralih dari teokrasi ke demokrasi.

Mecham (2004) menunjukkan bahwa moderasi ideologis AKP di Turki merupakan hasil dari beberapa faktor institusional. Pertama, gerakan mendapat kebebasan untuk membuat pilihan strategis dalam sistem politik yang memberi political entrepreneurship, dengan peluang kredibel untuk kekuasaan. Kedua, negara dan elemen masyarakat madani menerapkan kendala-kendala institusional publik pada perilaku gerakan. Ketiga, interaksi antara pemimpin gerakan, konstituen, dan negara meningkatkan informasi gerakan tentang potensinya dan pilihan-pilihan strategis yang dimilikinya.

Namun, berbeda dengan AKP yang sangat moderat dan meraih kemenangan dalam tiga kali pemilu 2002, 2007, dan 2009, moderasi ideologis partai-partai Islam di Indonesia, tidak diikuti dengan meningkatnya dukungan publik. Mengapa moderasi ideologis AKP membawa kemenangan, sedangkan moderasi ideologis partai Islam Indonesia justru berbuah pesimisme bahkan sinisme politik?

Moderasi ideologis
Kehadiran partai Islam di pentas demokrasi dengan isu yang semakin moderat, membuktikan adanya proses political learning. Dalam kasus AKP di Turki, moderasi ideologis partai adalah hasil dari political learning dalam periode waktu yang ekstensif. Ia muncul sebagai hasil dari respons strategis atas berbagai hambatan institusional dan pengalaman demokrasi untuk memperoleh kekuasaan. Moderasi ini hanya terjadi setelah interaksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen, yang membuat partai mendapat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih dan kendala-kendala dari negara.

Dalam kasus Indonesia, moderasi ideologis terlihat jelas pada kasus PKS. Setelah mengalami kegagalan pada Pemilu 1999, PKS tampil di Pemilu 2004 dengan memperluas citra modernis dan moderat partai dengan slogan 'bersih dan peduli'. Moderasi ideologis yang berjalan beriringan dengan kinerja partai di tingkat akar rumput, mampu mendongkrak raihan suara PKS secara signifikan. Moderasi PKS terus berlanjut hingga Pemilu 2009, bahkan dengan derajat yang semakin tinggi. Namun, moderasi signifikan ini tidak berbuah membesarnya dukungan publik pada PKS. Raihan suara PKS stagnan.

Political learning partai-partai Islam adalah fenomena umum. Namun, di Indonesia, partai-partai Islam gagal menampilkan diferensiasi dan kemampuan partai dalam mengelola pemerintahan. Menurunnya dukungan terhadap partai-partai Islam terlihat disebabkan oleh semakin meningkatnya persepsi kesenjangan antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di lapangan. Pemimpin partai Islam juga gagal memunculkan creative action yang mengizinkan mereka mempertahankan orisinalitasnya dan pada saat yang sama, memperluas daya tarik mereka terhadap konstituen.

Partai-partai Islam dilihat publik semakin pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan semata. Dalam rangka meraih kekuasaan dan mengumpulkan dana, partai-partai Islam masuk ke banyak koalisi cair dengan partai-partai sekuler, baik di tingkat nasional maupun lokal. Beberapa kasus besar juga tercatat oleh publik yang memperlihatkan pragmatisme jangka pendek dan bergesernya orientasi kerakyatan partai-partai Islam, seperti kasus impor beras, kenaikan harga BBM, blok Cepu, BLBI, dan lain-lain.
Kemenangan partai Islam dibanyak negara sebagian besar disebabkan oleh kegagalan partai sekuler yang lemah dan korup. Di Aljazair, kemenangan FIS terjadi beriringan dengan turunnya kinerja partai mayoritas FLN. 

Koalisi rent-seeking yang menyatu di dalam FLN, menghambat ketersediaan pilihan kebijakan dalam krisis fiskal. FLN merespons krisis fiskal khususnya dengan mengubah kebijakan regulasi dan distribusi, yaitu liberalisasi pasar dan reformasi sektor publik, yang membawa pada keluarnya kelompok menengah dari FLN yang kemudian menggeser dukungannya ke FIS. Dukungan kelompok menengah ini, khususnya pelaku usaha kecil, birokrat tingkat bawah dan kelompok terdidik, menjadi kunci kemenangan FIS (Chibber, 1996). Sedangkan kemenangan partai Refah di Turki, sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor internal negara, seperti fragmentasi kekuatan politik, distribusi pendapatan yang sangat tidak merata, menurunnya kapasitas redistribusi, dan menurunnya moral otoritas negara.

Hal ini secara jelas juga terjadi pada PKS di Pemilu 2004. PKS yang tampil dengan kampanye pemerintahan 'bersih dan peduli', bukan keislamannya, mampu menarik simpati publik yang telah kehilangan kepercayaan pada partai-partai sekuler, yang dianggap lemah dan korup. Maka, ketika kemudian partai-partai Islam dipersepsikan tidak berbeda dengan partai sekuler yang lemah dan korup, dukungan publik pun terhenti. Bahkan, PPP dan PBB pada Pemilu 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Secara jelas kita melihat bahwa kunci kemenangan partai Islam adalah keberpihakan pada rakyat, kemampuan mengelola pemerintahan, dan citra antikorupsi, bukan moderasi ideologis semata. Citra pemerintahan bersih dan prorakyat ini justru mampu dimunculkan pada sosok SBY, yang kemudian menjadi faktor kunci kemenangan PD pada Pemilu 2009 ini.

Kinerja publik
Kinerja partai di ranah publik adalah kunci kemenangan di pentas demokrasi. Partai-partai Islam yang mencoba memperluas dukungan publik dengan hanya semata-mata mengandalkan moderasi ideologis, secara jelas mengalami kegagalan. Kinerja partai di lembaga legislatif maupun eksekutif menjadi parameter keberhasilan yang secara mudah dilihat publik.

Di Turki, AKP yang mampu mendapat simpati publik dan menguasai pemerintahan lokal, mampu menunjukkan kinerja yang sangat baik di tingkat lokal dengan menyerap aspirasi rakyat, terutama di daerah-daerah industri baru, dengan secara pragmatis menyelesaikan permasalahan melalui sikap business-friendly, pro-Uni Eropa, proglobalisasi, dan outward-looking. Dikombinasikan dengan kekuatan organisatoris AKP di tingkat akar rumput yang hebat dan penzaliman pemimpin partai yang populis, membuat AKP mendapat kepercayaan pemilih di tingkat nasional yang menginginkan perubahan dari keterpurukan ekonomi nasional dan kesenjangan yang besar.

Hal ini kemudian dibuktikan setelah AKP naik ke kursi kekuasaan. Secara mengejutkan, AKP mampu membawa Turki mendekat ke Uni Eropa, sesuatu yang tak mampu dilakukan pemerintahan manapun sebelumnya. Di saat yang sama, AKP mampu membawa pemulihan ekonomi Turki dari jurang resesi menuju kesejahteraan. Prestasi ekonomi Turki secara jelas menunjukkan perbaikan setelah AKP naik ke kursi kekuasaan pada 2002. Hasilnya, pada Pemilu 2007, AKP kembali memenangkan pemilu Turki secara telak dengan mendapat 47 persen suara.

Belajar dari pengalaman AKP, partai-partai Islam Indonesia harus mampu menunjukkan kinerja mereka di ranah publik, secara pragmatis menyelesaikan berbagai permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan gratis, mengentaskan kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja. Hal ini dapat dimulai di tingkat lokal, di mana partai-partai Islam memegang kekuasaan. Keberhasilan mengelola pemerintahan lokal akan menjadi modal penting dalam mengejar kemenangan di pemilu nasional.

Kamis, 25 Juni 2009

64 Tahun Piagam Jakarta

Dr Adian Husaini
Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Islam Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta (the Jakarta Charter). Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menandatangani rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar negara RI yang berikutnya dikenal sebagai Piagam Jakarta tersebut.

Meskipun sempat dikurangi tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Naskah Piagam Jakarta itu tetap dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945. Dan pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menegaskan dalam Dekritnya: 'Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.'

Prof Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi di PPKI pada 18 Agustus 1945, juga menegaskan: 'Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut. Jakarta Charter dan Undang-undang Dasar 1945 --aldus Dekrit 5 Juli 1959-- merupakan suatu unit atau kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan lagi,' tulis Prof Kasman. (Lihat, buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)).

Jadi, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di Indonesia. Bahkan, setelah dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta merupakan sumber hukum yang hidup, dijadikan rujukan dalam sejumlah peraturan di Indonesia. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: 'Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.'

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: 'bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut'.

Anti-Piagam Jakarta
Tetapi, faktanya, meskipuan Piagam Jakarta adalah 'barang halal', ada saja di Indonesia sebagian kalangan yang berusaha menempatkannya sebagai 'barang haram'. Sebuah tabloid yang terbit di Jakarta edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul 'RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?' Dalam pengantar redaksinya, tabloid ini menekankan tugasnya untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.

Upaya umat Islam untuk mendapatkan UU Makanan Halal ditentang keras, bahkan disebut oleh tabloid ini sebagai 'ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.' Lebih jauh, umat Islam dikatakan telah 'memaksakan kehendaknya dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas.'

Cornelius D Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid itu menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. Yang menggemaskan, katanya, yang melakukan hal itu bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. "Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen," kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, "Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI."

Tentu, bagi kaum Muslim Indonesia, ini bukan hal baru. Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menceritakan tekanan kaum Kristen kepada negara RI, jika tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus dari UUD 1945, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997)).

Peristiwa tahun 1945 itu terus berulang di kemudian hari. Setiap kaum Muslim berniat mengajukan satu peraturan atau Undang-undang yang dianggap 'berbau syariah' maka akan dikatakan sebagai penghancur NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Pada 28 Januari 1989, pemerintah RI menyampaikan RUU Peradilan Agama ke DPR. Berbagai kalangan kemudian menuduh RUU tersebut tidak Pancasilais. Ketika perdebatan seputar RUU mencuat, ada seorang menulis: "Tiada Toleransi untuk Piagam Jakarta!" Ada lagi yang menulis: "RUUPA mengambil dari seberang". Toh, pada 29 Desember 1989, RUUPA disahkan. Peradilan Agama sudah berjalan. Dan berbagai gertakan terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia ternyata tidak terbukti.

Kesepakatan bangsa
Berdasarkan buku Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Setneg, 1995), bisa dipahami, bahwa Piagam Jakarta sebenarnya adalah sebuah 'Kesepakatan bangsa' yang di BPUPK dikatakan sebagai gentlements agreement. Kesepakatan itu tercapai melalui perdebatan yang sangat alot. Bahkan, setelah disahkan oleh Panitia Sembilan, Piagam Jakarta masih menimbulkan kontroversi. Pihak Islam belum puas. Begitu juga, pihak Kristen diwakili Latuharhary sempat menyoal rumusan tersebut.

Berulangkali Soekarno meminta agar rumusan itu diterima. Dalam rapat BPUPK 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan: ''Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat 'dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' sudah diterima Panitia ini."

Tetapi, permintaan itu belum reda ketika sidang memasuki pembahasan pasal-pasal dalam UUD. Dalam rapat 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan 'yang beragama Islam'. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: "Agama Negara ialah agama Islam", dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Usul Wachid Hasjim didukung oleh Soekiman. Tapi, Agus Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan lagi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan.

Usul Wachid Hasjim akhirnya kandas. Tapi, pada rapat tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kiai Sanusi yang meminta agar frase 'bagi pemeluk-pemeluknya' dalam Piagam Jakarta dihapuskan saja. Jadi, bunyinya: 'Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.'

Menanggapi permintaan Kyai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPK: "Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen."

Dalam rapat besar BPUPK tanggal 15 Juli 1945, Soepomo menyampaikan pidato cukup panjang, di antaranya menegaskan perlunya semua menghormati kesepakatan yang telah dicapai susah payah tersebut. Tetapi, dalam rapat itu muncul perdebatan keras lagi. Tokoh NU, KH Masjkoer, misalnya, mengusulkan, agar pasal 28 diganti saja dengan rumusan 'Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah agama Islam.' Usul KH Masjkoer tersebut kemudian sempat memanaskan sidang. Perdebatan yang panas pun tidak dapat dihindarkan. Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah, juga mendukung usul tersebut.

Dalam rapat BPUPK tanggal 16 Juli 1945, Soekarno kembali tampil sebagai juru bicara untuk menengahi polemik sebelumnya. Dalam pidatonya yang panjang, Soekarno antara lain menyatakan: "Marilah kita setujui usul saya itu; terimalah clausule di dalam Undang-undang Dasar, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagai yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: "Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Saya minta, supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian."

Pada 18 Agustus 1945, sejumlah tokoh Islam yang sudah bersusah payah merumuskan Piagam Jakarta menerima penghapusan tujuh kata tersebut. Dan pada 5 Juli 1959, Piagam Jakarta ditegaskan sebagai 'yang menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945'. Maka, aneh, jika setiap aspirasi Islam di Indonesia dicap sebagai anti-Pancasila dan UUD 1945. Umat Islam sudah hafal 'lagu lama' semacam ini. Beberapa dekade lalu, para siswi yang mengenakan jilbab dicap anti-Pancasila. Kini, jilbab berlomba-lomba menuju istana. Wallahu a'lam.

Minggu, 21 Juni 2009

Keping Kenangan Elite Indonesia

JJ RIZAL

Bila karya Robert van Niel, ”The Emergence of the Modern Indonesian Elite”, adalah studi langka yang membahas elite Indonesia, bagaimanakah membaca buku ini di tengah hiruk pikuk Indonesia mencari pemimpin?

Santer suara di Indonesia kini yang kelihatan cuma penguasa dan pembesar. Tiada pemimpin. Yang ada akrobat penguasa yang sibuk mengumbar syahwat politik untuk bisa tidur di ranjang kekuasaan bersama.

Di bawah, suara rindu pemimpin justru menguat. Ada kesadaran ingin menemukan pemimpin sebagai kekuatan inspiratif dan pencerah di masa yang gawat.

Akan tetapi, siapakah pemimpin itu? Di sinilah pentingnya karya Van Niel. Van Niel menyediakan pengukur sejati, bukan artifisial berdasar popularitas. Ia memberi kacamata ideologis dan kultural historis ihwal pemimpin karena suara ingin pemimpin itu berakar dari ingatan kolektif terkait identitas pemimpin atau elite yang membanggakan dalam sejarah.

Sejarah munculnya elite baru dan pemimpin nasionalis Indonesia mengakar dari zaman gelap. Menjelang wafat pada 1873, RNg Ronggowarsito menulis Serat Kala Tida (Syair Zaman Kegelapan). Kemiskinan dan kemandekan memang citra Hindia saat itu. Seperempat abad kemudian, saat kolonialisme bertemu perubahan besar akibat semangat aufklarung atau pencerahan Eropa, biang keladinya, politik kolonial abad ke-19, dikritik. Bahkan, ethicus CT van Deventer pada 1899 mengingatkan Eereschuld (utang budi) dan perlunya ”orang kulit putih menerangi kegelapan pribumi jajahan”.

Arsitek kolonialisme, Snouck Hurgronje, mengusulkan perluaslah sekolah untuk menanamkan ”jiwa Eropa” sehingga anak jajahan menumbuhkan diri sendiri, bermanfaat dan setia kepada Belanda. Maka, sejak 1900 ide ethicus diterima. Hoofden School, sekolah guru dan dokter Jawa, diperluas. Anak priayi rendah pun bisa sekolah. Bergeraklah mesin cetak orang Hindia ”berjiwa Eropa” yang dikiaskan Frant Fanon peau noire, masques blancs alias ”kulit hitam, topeng putih”.

Ternyata hasil cetakan tak seragam. Politik etis, kata Van Niel, memang berhasil mencetak ”elite fungsional”, yaitu jelmaan yang siap meniru dan mengabdi demi menegakkan pikiran selamanya Belanda pengasuh Hindia. Namun, muncul juga ”elite politik” atau figur politik modern yang tampak ngotot melawan wacana kolonial secara tertutup atau terbuka, yang mampu memberi sumbangan dalam pergulatan hidup jutaan manusia yang mendambakan cahaya kebenaran.

Frasa cahaya

Sebagaimana pengkaji Indonesia awal abad ke-20, Van Niel pun memakai frase cahaya sebab itu mendominasi pikiran elite awal kebangkitan nasional. Lagi pula pada tahun1900-1925, para tokoh utama dan banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru menggambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang, mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya, dan api. Semuanya tanda lebih luas kebangkitan kembali dan regenerasi.

Kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tetapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika publikasi elite awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradoks kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perubahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide diliputi sifat muda, maju, dan sadar.

Muda tak hanya usia biologis, tetapi juga pemikiran dan kejiwaan untuk merombak struktur lama dan menciptakan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tecermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka ”nasionalisme Hindia” dan Soetatmo Soerjokoesoemo, Ketua Komite Nasionalisme Jawa.

Bayangan masyarakat baru memacu elite bersikap maju, menemukan kembali harkat diri. Tak ayal, demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat maju. Sebab itu, pada tahun 1912 mencuat Sarekat Islam, ”gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch” ala ratu adil antipenindasan dan antikeangkuhan rasial. Pada 1918, meluas moto Mas Marco ”sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hierarkis.

Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar yang pada awal abad ke-20 meluas artinya. Dalam otobiografi Soetomo, sadar punya pengertian yang berkaitan. Pertama ”daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo diartikan ”menjadi motor pendorong”. Saat elite jadi motor pendorong perubahan, harus dijalani dengan ngurban. Kata ini bermuatan moral dan emosional dalam, yaitu ”bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar itu ”perubahan perangai” yang dirumuskan dalam suasana terus ”memperlombakan diri berjaga dengan moril”.

Bukan kepentingan

Van Niel menyimpulkan sukses elite modern pertama itu terletak pada political will mereka melembagakan nilai dan meraih kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Ada subyektivitas di sini, tetapi lahir dari panggilan yang universal. Dalam konteks itu, ada keberanian moral untuk menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan menempuh jalan panjang penuh rintangan serta kesulitan.

Siswa Stovia, contohnya. Stovia didirikan guna menciptakan ”hamba sahaya” bagi tuan putih. Tetapi, ”hamba sahaya” itu menolak buaian keterpencilan kultural yang diciptakan untuk menetralisasi kenyataan kebangkrutan politik- ekonomi tanah jajahan dan rakyatnya. Pengetahuan ”keterbelakangan rakyat” pun jadi dorongan memasuki ”dunia maju”. Maka, lahirlah pemikiran ihwal ”bangsa”.

Demi ”bangsa” yang dibayangkan, elite sebagai komunitas politik minoritas yang kreatif, dituntut menjadi ujung tombak gerakan. Otomatis mesti berperan antagonistis terhadap kolonialisme-feodalisme. ”Jangan takut,” kata HM Misbach. ”Rawe-rawe rantas malang-malang putung (hancurkan semua penghalang)” semboyan IP. Para elite itu pun terlihat liar dan memberontak sebab mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali oleh gerakan sosial sebagai cara utama membongkar struktur lama dan membangun yang baru.

Kaum protagonis memiliki komitmen moral melakukan ide itu. Sebab itu, mereka datang dengan kekuatan keyakinan, bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil politik adalah perjuangan, bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah, nilai dan kewajiban itu dapat dijalani bila perlu dengan mengorbankan diri. Di sinilah terletak nilai elite yang historis.

Ironi besar nilai-nilai itu kini tinggal keping kenangan. Keping kenangan karatan dan rusak oleh iklim politik zaman gelap Soeharto yang masih berlanjut dan menyediakan hawa bagus bagi elite kekuasaan dekaden berbudaya kroni, bapakisme dengan kolusi, korupsi, nepotisme, karbitan tanpa pengetahuan, wawasan luas, dan moral.

JJ Rizal Peneliti Sejarah di Komunitas Bambu

Minggu, 14 Juni 2009

Satu Dasawarsa Politik dan Kebijakan LN RI


afp/stringer
Sejumlah warga berdoa di pagoda Swhe Dagon, Yangon, Myanmar, Kamis, 4 Juni, untuk pembebasan Aung San Suu Kyi dari status tahanan rumah. Suu Kyi juga menjadi tantangan RI dalam kaitannya dengan isu demokratisasi di kawasan ASEAN.

Rakaryan Sukarjaputra

Satu dasawarsa setelah memasuki era baru pasca-Soeharto, politik luar negeri Indonesia dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Tatanan dunia baru yang terus berproses menuntut politik luar negeri kita melakukan berbagai penyesuaian.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 antara lain disebutkan bahwa, ”Bagi Indonesia, sebagai negara yang baru membangun demokrasi, pilihan kebijakan luar negeri (LN) tidak lagi semata-mata menyangkut perspektif luar negeri yang berdiri sendiri. Pertautan dinamika internasional dan domestik cenderung makin mewarnai proses penentuan kebijakan luar negeri. Walaupun demikian, satu prinsip yang tetap tidak boleh diabaikan adalah seluruh proses perumusan kebijakan luar negeri ditujukan bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai bidang.”

Ditambahkan juga, dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berorientasi kepada kepentingan nasional, Indonesia berupaya memperkuat kelembagaan regional di tengah kecenderungan menguatnya unilateralisme.

Sebagai UU, hal-hal yang tercantum di dalam UU tersebut tentu harus menjadi pegangan bagi siapa pun yang memerintah, siapa pun yang menjadi menteri luar negeri. Sayangnya, berbagai perkembangan terbaru dalam ranah politik internasional, khususnya pergantian presiden di negara adidaya Amerika Serikat (AS), membuat asumsi mengenai kecenderungan menguatnya unilateralisme perlu dipertanyakan kembali.

Dalam arahan UU itu juga disebutkan dasar kebijakan politik luar negeri Indonesia, yaitu menumbuhkan penguatan citra Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan aspirasi umat Islam dengan upaya konsolidasi demokrasi, memberi perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, meningkatkan penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif, dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan hak-hak dasar warga negara secara konsisten.

Lima tantangan

Untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar negeri kita itu, pakar masalah luar negeri dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Rizal Sukma, dalam seminar nasional bertema ”Refleksi dan Proyeksi Satu Dasawarsa Politik Luar Negeri Indonesia” di Kampus FISIP UI Depok, belum lama ini, menyebutkan ada lima tantangan yang harus diperhatikan dengan mendalam.

Pertama, meskipun transformasi global sedang terjadi, pada saat yang sama kita juga menyaksikan masih adanya persistensi dari tatanan yang lama. Di satu pihak dunia ini sudah berubah ke struktur nonpolar atau oleh Farid Zakaria disebut dengan post-American world. Dalam struktur internasional seperti ini, kekuatan tidak hanya terbagi di antara beberapa negara besar, tetapi terbagi hampir di semua aktor, bukan hanya aktor negara, tetapi juga yang non-negara sehingga sulit untuk menentukan siapa yang menjadi kekuatan hegemon dalam konteks itu.

”Akan tetapi, hal ini juga bukan berarti memudarnya AS. AS masih mempunyai kekuatan yang sangat besar, proyeksinya 30-40 tahun akan tetap menjadi negara yang sangat kuat, tetapi pada saat yang sama negara-negara lain pun akan terus berjuang menjadi sama kuat dengan AS,” papar Rizal.

Transformasi global itu juga tercermin dari adanya perdebatan atau pergeseran dari Konsensus Washington yang menjadi landasan bagi tatanan ekonomi internasional, ke arah yang kita belum tahu apakah bentuk yang baru itu merupakan bentuk yang disempurnakan dengan berbagai penyesuaiannya ataukah apa yang disebut Konsensus Beijing.

Kedua, jika dulu semua harus diputuskan oleh G-8, sekarang ada dorongan menuju perluasan pemain global karena berbagai persoalan tidak bisa diselesaikan hanya oleh G-8. ”Saya kira G-20 akan semakin penting. Saya kira pergeseran dari G-8 ke G-20 akan menjadi tren di masa yang akan datang. Akan tetapi, pada saat yang sama struktur keamanan masih P-5, tetap sama saja di Dewan Keamanan PBB. Jadi persistensi dari tatanan lama itu memang masih ada,” ungkap Rizal.

Ketiga, di kawasan sekitar kita sedang terjadi sebuah pergeseran kekuatan yang cukup dramatis. Karakteristiknya adalah ekspansi mandala regional, dari yang semula orang berbicara mengenai lingkup Asia Timur, sekarang melebar ke Asia Pasifik. Ekspansi dari mandala regional itu ditandai juga dengan adanya pergeseran di dalam empat kekuatan besar dan adanya kebijakan-kebijakan baru dari mereka. Yaitu kebangkitan China, datangnya India, bergabungnya kembali AS sejak Obama memerintah karena pemerintahannya menjadikan Asia sebagai prioritas politik luar negeri AS, dan revitalisasi peran Jepang khususnya di bidang keamanan.

”Pergeseran kekuatan itu akan melahirkan tatanan regional yang akan membuat Indonesia bingung. Terutama akibat adanya kemungkinan konflik, kemungkinan ketegangan, tetapi pada saat yang sama mereka juga membutuhkan kerja sama,” papar Rizal.

Keempat, pakar CSIS itu menguraikan, empat negara besar (Jepang, China, India, AS) saat ini semuanya melakukan strategi hedging, yaitu bagaimana sebuah hubungan dikelola meskipun berusaha untuk mengeksploitasi aspek-aspek positif, tetapi pada saat yang sama dia juga mengantisipasi efek-efek negatifnya. Padahal, untuk bisa membuat kerja sama yang lebih dalam, dia harus memilih salah satu. Jadi, pola hubungan yang kompetitif dan kooperatif pada saat yang sama itu akan melahirkan kemacetan dalam hubungan keempat negara itu.

ASEAN ditinggalkan

Kelima, negara-negara besar itu selama ini mengandalkan ASEAN yang ditempatkan sebagai regional manajer melalui berbagai forumnya. Kalau ASEAN dilihat sudah tidak cukup lagi untuk digunakan, khususnya pascakegagalan pertemuan puncak di Pattaya (April 2009), maka akan terjadi penyelarasan (realignment).

”Suka atau tidak suka, terutama pasca-Pattaya, ASEAN semakin kehilangan relevansinya dan semakin tidak begitu penting di mata negara-negara besar. Negara-negara besar akan tiba pada satu kesimpulan, mengapa harus pergi ke ASEAN yang merupakan negara-negara lemah dan menyelenggarakan pertemuan puncak saja tidak sanggup. Ini membuat citra ASEAN buruk sekali di mata China, Korsel, dan Jepang. Saya khawatir 10-15 tahun yang akan datang dan ini sudah terlihat prosesnya, akan dibentuk pembagian kekuasaan di antara negara-negara besar. Kalau itu terjadi, lupakanlah kebijakan politik luar negeri bebas-aktif itu, lupakan ASEAN. ASEAN akan pecah, sebagian menggelayut kepada China, sebagian memilih Jepang, sebagian bingung kayak kita. Ini yang akan terjadi,” kata Rizal.

Pakar CSIS itu menyarankan agar ASEAN tidak diperlakukan lagi sebagai saka guru politik luar negeri Indonesia. Pemahaman kepentingan berdasarkan lingkaran konsentris yang berdimensi geografis pun sudah harus diganti. ”Tidak perlu kita mengistimewakan ASEAN dengan istilah saka guru. Seolah tanpa ada ASEAN maka bubarlah politik luar negeri. Tinggalkan konsep lama itu dan perlakukan ASEAN sebagai salah satu forum saja yang memang tetap memiliki arti penting untuk menciptakan hubungan saling bertetangga yang baik di Asia Tenggara. Oleh karena kalau saka guru, kita ini terus-menerus kompromi dengan negara-negara anggota yang baru yang sangat konservatif,” papar Rizal.

Guru besar Politik Ilmu Politik Internasional Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mempertanyakan apakah Indonesia mempunyai visi yang jelas dalam politik luar negerinya. Dia mencontohkan China yang konsisten membangun dari 1979 sampai 2009.

”Sejarah bangsa China dari 1840-an sampai 1940-an itu yang mereka sebut dengan abad dipermalukan. Mereka diperlakukan secara tidak adil oleh kekuatan besar. Macao diambil Portugal, Hongkong diambil Inggris, dan mereka mendapatkan perlakuan kejam dari Jepang. Dan, mulailah dari 1989-2050 mereka mau ubah itu menjadi abad kemenangan. Dan, sudah mulai kelihatan saat ini. Itu yang saya pikir kenapa kita tidak bisa setelah menghabiskan waktu dan energi dalam kurang lebih 60 tahun,” ungkapnya.

Sabtu, 13 Juni 2009

Label Sosial dan Logika Tuyul

Benny H Hoed

Tanpa sadar, setiap kita mengikuti warga lainnya memberikan makna dan tafsiran tertentu pada hal, benda, lembaga, gagasan, atau orang, itu adalah realitas sosial budaya di sekitar kita.

Gejala ini saya sebut semiotik sosial, yakni makna dan tafsiran yang terbentuk dalam masyarakat tentang aneka realitas sosial budaya. Bendera memiliki semiotik sosial, merah ”berani”, putih ”suci”. Di Jakarta, bendera kuning dari kertas minyak bermakna ”ada orang meninggal”.

Label sosial

Label sosial adalah semacam ”cap sosial” yang diberikan oleh orang, lembaga, atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya. Iklan komersial memberikan label sosial kepada produk agar terbentuk semiotik sosial positif dan kepercayaan publik (ini dikenal dengan istilah positioning).

Label sosial juga terjadi dalam kehidupan politik dan digunakan, misalnya dalam pidato politik atau unjuk rasa. Dalam politik, penciptaan label dilakukan secara sengaja untuk memberikan citra positif (mendukung) atau negatif (menyerang) dan merupakan bagian dari strategi politik. Label sosial bisa terjadi secara tidak sengaja.

Label tidak selalu warna, bisa juga kata. Label neolib (akronim neoliberal) dewasa ini muncul ke permukaan. Neoliberalisme yang mengandalkan ”pasar bebas” bermakna ”negatif” karena dipandang sebagai sebuah konsep ekonomi yang ”tidak berpihak pada rakyat”.

Pandangan itu sah saja. Label ini memang sudah lama diberikan kepada tim ekonomi pemerintahan SBY. Dalam dinamika politik sekarang, label ini diberikan kepada Boediono, seorang calon wapres. Dalam pidato politik mereka, SBY dan Boediono kelihatan mencoba menghapus label sosial ini. Pemberian label sosial seperti ini berpotensi menghasilkan semiotik sosial yang bisa menimbulkan pemahaman yang belum tentu betul tentang Boediono.

”Santri-abangan”

Dikotomi ”santri-abangan” yang diperkenalkan oleh tokoh sosiologi Clifford Geertz masih saja menjadi label sosial yang diberikan kepada sebagian warga beragama Islam di Indonesia. Meskipun sering kali mendapat kritik dari para pakar ilmu sosial kita, label abangan masih hidup di dalam semiotik sosial kita.

Editorial salah satu surat kabar nasional bahkan pernah memberikan label abangan kepada partai-partai ”non-Islam”, seperti PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Meski mungkin tidak disadari penulisnya, pemberian label itu berpotensi membangun semiotik sosial karena disiarkan oleh sebuah media. Padahal, banyak anggota, pengurus, konstituen, dan simpatisan partai-partai itu yang tidak termasuk golongan ”abangan”. Label sosial seperti itu berpotensi menghasilkan semiotik sosial yang tidak tepat tentang partai-partai itu.

Para capres dan cawapres juga menciptakan label sosial bagi kebijakan mereka dengan berkali-kali menyebutkan kata ekonomi kerakyatan dan kebijakan prorakyat. Ini lumrah dalam kampanye yang ingin menarik simpati pemilih. Seperti upaya positioning dalam iklan. Apa maksudnya tentu belum terlalu jelas.

Label sosial juga sering kali diberikan kepada para selebriti yang kehidupan pribadinya dibuka di muka publik oleh infotainment. Ini pun dapat menghasilkan semiotik sosial tentang tokoh yang bersangkutan, positif atau negatif.

Logika tuyul

Tuyul adalah makhluk halus yang dipercayai dapat mencuri uang di rumah seseorang tanpa diketahui. Dipercayai pula bahwa kita dapat memelihara tuyul agar dapat disuruh mencuri uang.

”Logika” tentang tuyul atau yang sejenisnya, yakni kepercayaan akan adanya makhluk halus dan dan hal-hal di luar nalar biasa, masih hidup subur di negeri kita. Tidak hanya di kalangan kurang terpelajar, tetapi juga pada kaum terdidik. Berita tersiar, banyak caleg menggunakan ”orang pinter” untuk memenangkan dirinya. Jika hasilnya sukses, makin dipercayai, kalau tidak sukses dipercayai sebagai ”belum saatnya”.

Dewasa ini nomor urut para capres pun dibicarakan maknanya. ”Logika” tuyul juga bermain di sini. Bahkan, media cetak dan elektronik mengangkat pembicaraan tentang makna ”1”, ”2”, dan ”3” yang menjadi label bagi setiap pasangan capres-cawapres. Yang ikut bicara pun orang-orang berpendidikan tinggi.

Dengan memberikan angka sebagai label, setiap pasangan mencoba membangun semiotik sosial yang menguntungkan dengan memanfaatkan logika tuyul. Padahal, apa hubungan ”logis” antara angka dan keberuntungan?

Namun, ”logika tuyul” masih hidup di kalangan para pemilih kita. Maka, label-label yang dibangun di atas dalam logika tuyul itu membentuk suatu semiotik sosial yang diharapkan akan terjadi di kalangan pemilih.

Tidak mendidik

Reformasi 1998 telah memberikan jalan pada proses demokratisasi dalam masyarakat Indonesia dan harus dipelihara dan dimatangkan menjadi bagian dari kebudayaan kita. Penciptaan label-label sosial itu merupakan bagian dari dinamika sosial di alam demokrasi.

Namun, penciptaan label-label sosial dengan memanfaatkan logika tuyul bisa membawa kita pada pembentukan semiotik sosial yang tidak mendidik masyarakat untuk menjadi cerdas. Apa pun tujuannya, label-label sosial seperti itu cenderung menjadi slogan yang bisa membuat masyarakat menjadi ”pembebek”.

Tentu saja ini merupakan imbauan kepada elite politik dan media massa kita. Pemaparan yang bernalar jauh lebih mendidik dan bermanfaat bagi proses demokratisasi daripada penggunaan label-label sosial dan eksploitasi logika tuyul.

Pemilih yang cerdas seharusnya tidak terbawa dalam arus semiotik sosial yang dilahirkan dari label-label seperti itu.

Benny H Hoed Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Ikon Nasional

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Proses perlindungan kepailitan General Motors merupakan yang terbesar dalam sejarah manufaktur Amerika Serikat. Tetapi, pengajuan ”Chapter 11” ini bukan berarti berakhirnya perjalanan GM yang tahun silam mencapai usia seabad.

Chapter 11 bagian dari hukum kepailitan (Bankruptcy Code) yang boleh dimanfaatkan tiap entitas bisnis, baik korporasi maupun perorangan, untuk reorganisasi. Tujuannya agar bisnis lebih ramping, sehat, dan kelak menguntungkan.

Chapter 11 berbeda kontras dengan Chapter 7. Yang terakhir ini proses likuidasi (penutupan bisnis) lewat keputusan pengadilan karena tak layak dipertahankan lagi alias lebih baik tutup buku.

Berhubung GM salah satu dari dua perusahaan otomotif terbesar dalam skala global bersama Toyota, berita Chapter 11 menghebohkan. Ternyata masih ada persepsi keliru di berbagai kalangan bahwa riwayat GM sudah tamat.

Tak heran Direktur Pengelola General Motors Indonesia (GMI) Mukiat Sutikno perlu menjelaskan kepada media hal ihwal Chapter 11. Singkat kata, ia menjelaskan, jaringan penjual GMI tetap beroperasi dan layanan purnajual, garansi, serta ketersediaan suku cadang tak terganggu.

GMI, dan juga GM Asia Tenggara serta Asia Pasifik, tak masuk ”daftar korban” Chapter 11. Bahkan, dalam tiga bulan mendatang Chevrolet—salah satu merek GM—menambah sedikitnya dua dealer karena penjualan lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kini Pemerintah AS mayoritas pemegang saham GM, sisanya Pemerintah Kanada, serikat buruh, dan beberapa pihak lain. Pengelolaan manajemen GM ditangani Departemen Keuangan dan Presiden Barack Obama menjadi chief of executive officer (CEO) sementara.

Pada pascaera Chapter 11 ini GM coba mempersepsikan diri sebagai ”New GM”. Beberapa risiko restrukturisasi yang mesti diterapkan antara lain PHK, menutup ribuan dealer, menjual sebagian merek GM di luar negeri, dan menurunkan BEP (break even point) jumlah kendaraan per tahun.

GM di AS hanya akan berkonsentrasi ke merek Chevrolet, Buick, Cadillac, dan GMC dengan maksimal 34 varian. Merek-merek lain, misalnya Opel, Saab, Saturn, dan Hummer, harus dilego paling lambat akhir tahun ini.

Proteksi kepailitan GM ini menggambarkan dampak terbesar krismon global yang dipicu krisis finansial di AS yang berpengaruh negatif ke seluruh dunia. Krisis diawali oleh foreclosure karena rakyat tak mampu membayar cicilan utang rumah (subprime mortgage).

Krisis ini mengakhiri ekspansi ekonomi terpanjang sepanjang sejarah pada masa Presiden Bill Clinton (1992-2000). Saat meninggalkan Gedung Putih, Clinton mewarisi surplus perdagangan 237 miliar dollar AS (2000) dan membuka 22 juta lowongan kerja—prestasi yang fenomenal.

Pengangguran mencapai tingkat terendah dalam 30 tahun menjadi 4 persen (2000), inflasi juga terendah sejak era Presiden John F Kennedy (rata-rata 2,5 persen). Pertumbuhan rata-rata 4 persen per tahun selama 116 bulan—tertinggi dalam sejarah dan jumlah orang miskin berkurang sampai 11,8 persen (2000), pertama kali dalam 30 tahun.

AS adalah pengutang terbesar dengan 5,3 triliun dollar AS. Namun, pada akhir jabatannya, Clinton menurunkannya 0,2 persen. Ekspansi yang menyejahterakan 100 juta kelas menengah itu menguap setelah George W Bush terpilih karena selama 8 tahun ia menambah utang sampai 10 triliun dollar AS (2008).

Jumlah itu 69 persen dari PDB, angka tertinggi sejak 1955. Penyebab kenaikan karena pengurangan pajak bagi orang kaya, invasi ke Irak yang menghabiskan 600 miliar dollar AS, dan kegagalan pengawasan praktik bisnis Wall Street.

Obama menang karena kondisi ekonomi terpuruk (winning by events). Tanggal 22 Maret 2007 ia, sebagai senator, menyurati Gubernur Bank Sentral Ben Bernanke dan Menteri Keuangan Henry Paulson meminta mereka mengadakan KTT kepemilikan rumah.

Secara politis ia punya indra keenam karena surat itu sudah tahu ancaman foreclosure. Andai surat itu tak ada, Obama belum tentu populer dalam tahun kampanye dan pilpres 2008.

Saat berkampanye, kondisi ekonomi AS memburuk antara lain karena pengangguran per Agustus 2008 melonjak. Sejak Januari 2008 PHK rata-rata 76.000 per bulan, padahal angkatan baru yang butuh kerja 100.000 per bulan.

Selama 2008 total 650.000 karyawan di-PHK dan per akhir tahun ini bisa mencapai lebih dari 10 juta orang. Sayangnya, kini terbukti rencana Obama menggelontorkan dana talangan 800 miliar dollar AS untuk menyehatkan ekonomi belum berhasil.

Secara politis Obama sukses, tetapi pemulihan ekonomi dia tergantung dari apa yang akan dialami GM. Apalagi, sejarah panjang GM kadung jadi simbol ”keamanan pekerjaan seumur hidup” (security of a job for life) kelas menengah AS dari generasi ke generasi.

GM ikon nasional yang jadi kebanggaan rakyat, seperti es krim, Coca-Cola, Levi’s, atau McDonald’s. Bagi orang Amerika, Chevrolet tak ubahnya Mercedes-Benz untuk orang Jerman atau Toyota untuk orang Jepang.

Dari perspektif teknologi, GM mencerminkan supremasi manufaktur tak terkalahkan selama 77 tahun sampai Toyota merebut gelar produsen terbesar tahun 2008. Generasi paruh baya di sini ingat kejayaan GM lewat Impala, Holden, atau Opel yang berseliweran pada tahun 1960-an.

Setiap bangsa punya ikon nasional, termasuk kita yang punya pasar tradisional, warteg, batik, atau tempe. Pasar tradisional makin tersingkir, warteg dikalahkan jaringan resto cepat saji, batik dibajak negara lain, dan jangan-jangan kedelai sebentar lagi jadi barang impor.

Selasa, 09 Juni 2009

Perlukah Ilmuwan Berpolitik?

Elisabeth Rukmini

Kebijakan pemilu presiden di AS bertautan dengan sains. Para ilmuwan menyebutnya politicization of science.

Kebijakan Bush kerap disebut paling memolitisasi sains. Meski demikian, politicization of science secara berimbang dapat ditimpakan kepada Obama dalam kampanye terkait energi bersih (clean energy). Bukankah Obama memolitisasi sains yang tidak dilakukan Bush?

Roger Pielke, profesor Environmental Studies University of Colorado at Boulder, aktif dalam penelitian sains teknologi dan decision making; menulis kaitan sains dan politik (Harvard International Review, 2008).

Pielke mencontohkan enam presiden yang melakukan politicization of science. Richard Nixon mengubah waktu peluncuran Apollo 17 demi pilpres ulang tahun 1972. Ford meminta Environmental Protection Agency (EPA) mengubah data pendukung emisi gas sulfur dioksida; investigasi terhadap regulasi ini menunjukkan bukti-bukti berlawanan dengan kesahihan regulasinya. Jimmy Carter menyimpulkan, AS menyediakan 20 persen energi dari sumber-sumber terbarukan; data ini berbeda dengan data dari penasihat sainsnya. Ronald Reagan membawa isu evolusi dalam kampanye dan mengusulkan agar teori evolusi sekaligus kisah penciptaan dari Alkitab diajarkan di sekolah. George Bush membawa isu wetlands untuk membebaskan lahan terbuka di bawah perlindungan hukum federal bagi pembangunan properti. Bill Clinton memerintahkan penutupan pabrik farmasi Al Shifa di Sudan tahun 1998 terkait kasus peledakan bom Kedubes AS di Kenya dan Tanzania. Diberitakan, berdasarkan bukti-bukti ilmiah, Al Shifa terlibat kasus ini. Belakangan diketahui, bukti-bukti ilmiah itu belum disimpulkan. Barack Obama menambah daftar ini dengan membawa isu perubahan cuaca dan clean energy.

Peran ilmuwan

Politicization of science tidak terkait hitam putih sains dan politik atau pengambilan keputusan. Dalam isu-isu terkait sains, teknologi, dan kehidupan masyarakat, politicization of science penting dipandang sebagai advokasi. Contoh, isu lingkungan terkait sumber energi terbarukan atau perubahan iklim. Pengambil keputusan membutuhkan tenaga ahli untuk menilai aksi apa yang perlu dipilih.

Pielke dalam buku The Honest Broker (2008) merangkum empat peran ilmuwan dalam politik dan policy. Keempat peran itu adalah the pure scientist; the science arbiter; the issue advocate; the honest broker of policy options. Di antara peran-peran itu ada stealth issue advocacy bila ilmuwan dibayangi keuntungan pribadi untuk mengegolkan isu tertentu, ada konflik kepentingan. Peran pertama dan kedua berjalan baik, bila nilai suatu isu amat jelas dan derajat ketidakpastiannya amat minim. Ketika ada konflik nilai dan ketidakpastiannya jelas, peran ilmuwan sebagai the issue advocate dan the honest broker terlihat jelas. Peran ketiga berbeda dari peran keempat dalam pilihan solusi yang disodorkan ilmuwan kepada pembuat keputusan. The issue advocate membawakan satu opsi dengan analisisnya, sedangkan the honest broker mengajukan beberapa opsi beserta analisis positif dan negatifnya.

Pertanyaannya, dimanakah posisi ilmuwan kita? Memasuki masa kampanye pilpres, penting bagi ilmuwan (dan capres-cawapres) memperhitungkan politicization of science dalam penilaian program-program yang ditawarkan para calon. Masyarakat berhak mengetahui duduk persoalan isu-isu penting dan menyangkut harkat hidup orang banyak.

Ilmuwan pantas menjalankan pilihan empat peran itu demi masyarakat terdidik. Peran pertama (the pure scientist) dan kedua (the science arbiter) tentu penting. Namun, peran ketiga dan terutama keempat amat penting dalam politicization of science. Para calon pemimpin layak menyodorkan siapa ilmuwan terpilih yang menjadi penasihat kepresidenan dan rencana program mereka. Ilmuwan di luar sistem mengkritisinya sehingga politicization of science menemukan opsi terbaik.

Belajar dari Jepang, penasihat sains kepresidenan mengusulkan negara memberikan insentif bagi sektor industri yang berhasil mengurangi emisi karbon tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini sektor industri bersandar pada penelitian dan advancement di bidang emisi karbon (bergantung peran the honest broker). Pertalian ilmuwan dengan politik dan policy tak mungkin dihentikan.

Elisabeth Rukmini Staf Akademik Unika Indonesia Atma Jaya Jakarta; Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kimia Miami University, Oxford, Ohio, AS

Minggu, 07 Juni 2009

Kegagalan Politik Santri


Santri harus tetap berjuang dengan konsisten terus bereksperimentasi. Nabi Muhammad juga ”politikus’’ ulung yang selalu kreatif mencipta strategi dalam mengimbangi ”lawan politik”.

GERAKpolitik kaum santri menjelang Pilpres mendatang terlihat ”pincang”. Partai berbasis santri tidak mampu mengkonsolidasikan massa santri, bahkan akhirnya mengekor dengan partai lain. Di samping tidak solid, politik santri juga semakin jauh dari nilai ideologis yang diperjuangan. Kalkulasi kekuasaan telah mengaburkan nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan lewat jalan politik.


Gagalnya eksperimentasi politik santri harus menjadi evaluasi gerakan yang telah dijalankan selama ini. Menarik yang disinyalir oleh Fachry Ali (2008) bahwa kaum santri tidak cocok mendirikan partai politik. Analisis Fachry Ali tersebut dikaitkan dengan kondisi politik kaum santri yang hari-harinya hanya didera konflik tak berujung sehingga justru membingungkan jamaah santri. Para kiai, lanjut Fachry, juga terlalu ”suci” untuk berkecimpung dalam jagat politik kekuasaan yang selalu diwarnai intrik dan geger.


Analisis Fachry Ali menarik menjadi sebuah tema aktual menjelang Pilpres karena eksperimentasi politik yang dijalankan kaum santri selalu kandas di pertengahan jalan. Kapal politik yang dikemudikan santri selalu tertabrak ”gunung es” yang kuat, sehingga kapalnya selalu pecah, berantakan. Membuat kapal baru lagi, ternyata tertabrak lagi, dan berantakan lagi. Tragedi demi tragedi, sayang, tidak menjadi pelajaran untuk evaluasi (muhasabah). Yang terjadi justru adalah ”politik balas dendam” yang saling menjatuhkan di kemudian hari. Fakta sejarah telah berbicara.


Kapal Besar


Tatkala kaum santri mendirikan partai Masyumi tahun 1948, semua bersepakat agar suara santri tertampung dalam satu kapal besar. Selang beberapa tahun kemudian, satu persatu organisasi menyatakan keluar dari Masyumi. Nahdlatul Ulama (NU) dengan tegas keluar pada tahun 1952. Demikian juga organisasi Islam dan partai Islam lainnya. Tanpa kualitas berdemokrasi, Masyumi akhirnya bubar pada 1959. Pasca bubarnya Masyumi, politik kaum santri tercerai dalam organisasi masing-masing.


Ketika Orde Baru tegak berdiri, kaum santri berfusi dalam politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itu terjadi pada 1973. Akrobat politik PPP sebagai kapal politik kaum santri dengan jelas terlihat dari lambangnya berupa Ka’bah.


Apalagi lambang itu dihasilkan melalui ritual istikharah yang dilakukan langsung oleh Rais Aam PPP, KH Bisri Sansuri yang juga Rais Aaam PBNU. Pada awal gerak politiknya, PPP mampu menjadi jendela politik yang mampu mengakomodasi semua organisasi santri. Tetapi selang beberapa tahun, masing-masing aliran santri mulai memperlihatkan egoisme politiknya.


Politisi NU mengawali kekecewaan di tubuh PPP. Pasca-wafatnya tokoh kharismatik NU, KH Bisri Sansuri tahun 1979, kapal PPP mulai goyah.


Politisi dari sayap modernis mulai bergerak ke tas menduduki jabatan tertinggi PPP. Kekecewaan politisi NU semakin memuncak tatkala para sesepuh NU ”memaksa” KH Idham Kholid mengundurkan diri dari kursi PBNU. KH Idham Kholid dirasa ”gagal” menyelamatkan moral kaum santri dalam gelanggang politik yang dimainkan PPP. Politisi NU, menurut kiai sepuh, menjadi rugi dan dirugikan dalam judi politik yang terjadi dalam tubuh PPP. Pecahlah kemudian suara ”Khittah 1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Dan NU secara tegas menarik seluruh aktivitas politiknya.


Berbagai tragedi kelam tersebut ternyata tidak membuat jera kaum santri dalam dunia politik. Tatkala terompet reformasi bergema tahun 1998, gonjang-ganjing politik bergejolak di seluruh negeri. Jagat politik santri juga geger dengan suara politik yang terus memperebutkan massa santri yang melimpah.


Yang paling kentara adalah berdirinya PKB pada 23 Juli 1998. Dengan suara bergemuruh, para kiai dan santri berkumpul di Pesantren Ciganjur, Jaksel, mendeklarasikan PKB dengan penuh sungguh dan khidmat.


Memang, jalan politik santri tidak hanya dalam jagat politik PKB. Era reformasi juga menandai jalan fragmentasi politik kaum santri. Di sana ada PAN, PKS, PBB, PPP dan sekarang ada PKNU dan PMB. PKB, PPP dan PKNU berselancar dalam merebutkan suara kaum santri tradisional.


PKS, PAN, dan PMB, bersikeras dalam mendulang suara kauma santri modernis. Terlepas dari fragmen tersebut, diakui atau tidak, suara santri tradisional jauh lebih melimpah dari pada santri modernis yang hanya berdiri di pojok-pojok kota. Santri tradisional hidup secara paguyuban yang dipimpin oleh kiai dan masih menerapkan kiai sebagai panutan dalam segala hal, termasuk dalam sebuah Pemilu.


Gejolak demi gejolak politik, sekali lagi, tidak menjadi bahan evaluasi (muhasabah) dalam mencipta moralitas politik santri yang bisa memperjuangkan nasib konstituennya. Gus Dur dengan PKB sendiri yang masih terus bergejolak juga penanda bahwa gejolak politik santri menjadi penanda gagalnya eksperimentasi politiknya. Berkah eksperimentasi politik santri mengalami kegagalan? Gerak sejarah yang akan menjawabnya. Tetapi sinyalemen Fachry Ali menjadi autokritik kaum santri dalam menata kembali mentalitas dan kedewasaan berpolitik.


Konsistensi


Politik adalah salah satu jalan untuk menegakkan kemaslahatan publik (al-maslahah al-íammah), sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles dan menancap sangat kuat dalam kaidah politik Islam (qawaidu al-siyasah al-islamiyah). Santri harus tetap berjuang dengan konsisten terus bereksperimentasi. Nabi Muhammad juga ”politikus” ulung yang selalu kreatif mencipta strategi dalam mengimbangi ”lawan politik”. Demikian juga para sahabat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.


Jalan politik santri, kalau mengikuti tata nilai yang diteladankan Nabi dan sahabatnya, pastilah akan terus berevaluasi dalam sekian eksperimentasi sehingga akan lahir kedewasaan berpolitik. Konflik, intrik, dan geger bernegosiasi memang akan selalu terjadi dalam dunia politik. Tetapi islah, komitmen, dan kemaslahatan publik akan menjadi jalan utama dalam berpentas politik. (80)

—Muhammadun AS, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Patafisika Politik

Yasraf Amir Piliang

Beberapa hari ke depan, iklim politik di atas tubuh bangsa kembali diramaikan gemerlap citra politik, mengiringi hiruk pikuk kampanye pemilihan umum presiden yang makin dekat.

Citra-citra itu mungkin menggoda, menghipnotis, bahkan meneror perhatian dan kesadaran melalui aneka media: koran, televisi, handphone, internet, dan Facebook. Citra yang semula merupakan cara komunikasi politik, mungkin akan menjadi ”roh” politik itu sendiri. Citra politik seakan menjadi pilar arsitektur politik, yang tanpanya tak ada kekuatan politik.

Panggung politik menjelma menjadi ”panggung citra” dengan peran citra yang kian dominan dalam membangun kekuatan politik. Dominasi citra macam ini dapat dilihat sebagai peralihan dari ”politik fisik” (physical politics) ke arah ”politik citra” (politics of image). Pengerahan kekuatan fisik (massa, alat, senjata) yang menjadi ciri politik masa lalu kini diambil alih oleh pengerahan ”kekuatan citra”. Tubuh politik yang sebelumnya digerakkan ”mesin konkret” (concrete machine) kini bersandar pada kekuatan ”mesin semiotik” (semiotic machine).

Fisika politik

Politik adalah upaya sistematis-pragmatis mendapatkan ”kekuasaan”, dengan mengerahkan segala ”kekuatan”, baik kekuatan material, modal, ekonomi, sosial, kultural, simbolik, bahasa spiritual, bahkan mistik. Tetapi, pada tingkat rasionalitas tertentu, politik lebih merayakan kekuatan fisik-konkret-material (individu, kelompok, massa, teknologi, infrastruktur), dengan menolak segala kekuatan ”irasional” (mistik, ketuhanan).

Relasi kekuatan politik macam ini disebut John Protevi dalam Political Physics (2002) sebagai ”fisika politik” (political physics). Tubuh politik dibangun oleh totalitas kekuatan—dalam aneka skala: perorangan, keluarga, kelompok, partai, geng, korporasi, sekte, bangsa; aneka jenis: kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana, infrastruktur), kekuatan paramiliter (sayap partai), kekuatan geng (premanisme), kekuatan umat (partai berbasis agama), kekuatan militer (Orde Baru), kekuatan teknologi (negara adidaya)—yang semuanya dikerahkan membangun kekuasaan politik.

Totalitas kekuatan fisik, tubuh, dan material inilah yang disebut Felix Guattari dalam Molecular Revolution (1984) sebagai ”mesin konkret” (concrete machine). Aneka ”mesin konkret politik” (mesin massa, mesin perang, mesin ekonomi, mesin industri, mesin uang) dikerahkan sebagai cara mendapatkan kekuasaan. Pengerahan massa, pawai kampanye, money politics, hadiah (kaus, topi, jaket), bantuan sosial (pembangunan jalan, masjid, sekolah), dapat dilihat sebagai elemen ”mesin konkret politik” dalam membangun kekuasaan.

Namun, tubuh politik bangsa juga dibangun oleh kekuatan ”metafisika politik” (political metaphysics), yaitu segala kekuatan ”melampaui fisik”: mistik, paranormal, kekuatan gaib, arwah leluhur, wangsit, jin, gunung, kuburan, yang dianggap dapat menganugerahkan kekuasaan. Di sini, tafsir nomor urut pemilihan umum oleh capres-cawapres sebagai ”tanda kemenangan”, ”angka Tuhan” atau ”angka berkah” menunjukkan hidupnya ”metafisika politik” dalam panggung politik bangsa.

Patafisika politik

Perkembangan politik abad virtual telah menciptakan watak politik, yang tidak lagi didominasi kekuatan fisik dan metafisik, tetapi ”kekuatan citra”. Inilah politik yang menjadikan seduksi imagologis sebagai pilar kekuasaan, bukan kekuatan riil individu dan kelompok. Citra yang awalnya menjadi ”medium” untuk penyampaian ”pesan”, kini malah menjadi pesan itu sendiri. Citra politik seakan-akan menjadi bagian dari ”tubuh politik”, yang tanpanya tidak ada kekuatan politik.

Dunia politik yang didominasi kekuatan citra disebut Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1981) sebagai dunia ”patafisika” (pataphysics). Melemahnya kekuatan fisik dan metafisik menjadikan ”mesin citra” sebagai mesin penggerak utama politik. Citra-citra politik tak saja muncul dalam intensitas tinggi, tetapi juga sarat manipulasi, seduksi, dan ilusi. Citra-citra itu berpretensi seakan lukisan realitas, padahal sebuah ”topeng” untuk menutupi ”ketiadaan realitas”.

”Patafisika politik” membawa pada sebuah ”absurditas politik” di mana penyelewengan realitas melalui ”citra realitas” merupakan sebuah cara kerja politik yang dianggap legitimated. Dominasi citra atas realitas menggiring pada ”derealisasi politik” (derealisation of politic) di mana kekuatan politik dibangun bukan oleh relasi-relasi konkret, riil, dan substansial pada tingkat realitas sosial harian, tetapi oleh ”kekuatan citra manipulatif” pada tingkat semiotik. ”Semiotika politik” kini mengambil alih ”sosiologi politik”.

Dalam perayaan politik citra, ”kekuatan citra” mengooptasi ”kekuatan demos” (rakyat) itu sendiri karena demos kini hidup dalam bayang-bayang ”seduksi citra”. Kekuatan citra itu kini yang (diasumsikan) membentuk demos, bukan kekuatan dari dalam diri demos sendiri. Di sini ”demokrasi” (kekuasaan di tangan rakyat) mendapat makna baru sebagai ”imagokrasi” (imagocracy) di mana kekuasaan ada di tangan gemerlap citra dan pencitraan. ”Seduksi politik” lalu menggantikan ”program politik”.

Politik ilusi

Ketiga kekuatan yang dikembangkan dalam arsitektur politik bangsa—fisika, metafisika, dan patafisika—bermuara pada hasrat akan kekuasaan, yaitu sepenuhnya memegang bola panas kekuasaan. Tetapi, ketiga kekuatan itu tidak merupakan lukisan real politic karena ketiganya dibangun bukan oleh kekuatan realitas, tetapi oleh ”ilusi-ilusi”, baik yang berkarakter fisik, metafisik, maupun patafisik. Bangunan tubuh politik dengan demikian dibangun oleh ”kekuatan ilusi” ini.

Tampaknya, beberapa hari ke depan ruang politik akan didominasi kekuatan ”patafisika politik” meski secara sporadis diwarnai unjuk fisik dan metafisik. Politik yang didominasi permainan citra akan menjadi ”fantasmagoria politik” (phantasmagoria), yaitu ilusi-ilusi politik yang membombardir ruang-ruang kesadaran dan perhatian masyarakat melalui seduksi politik. Dalam jagat seduksi politik, beberapa hari ke depan, pakaian, gaya rambut, gaya berbicara, gesture, dan body language capres-cawapres menjadi amat penting dalam membangun kekuasaan politik.

Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, ITB; Direktur YAP Institute

Kamis, 04 Juni 2009

DPR Paling Korup

Jakarta, Kompas - Untuk ketiga kalinya sejak tahun 2004, lembaga legislatif dipersepsikan sebagai institusi terkorup di Indonesia. Hal serupa pernah disandang lembaga legislatif pada 2004 bersama dengan partai politik serta tahun 2006 bersama dengan kepolisian dan lembaga peradilan.

Demikian hasil survei Barometer Korupsi Global yang dilakukan Transparency International (TI) di Indonesia. Survei yang dipublikasikan pada Rabu (3/6) di Jakarta ini dilakukan pada 11-20 November 2008 terhadap 500 responden yang berumur di atas 16 tahun.

Dengan skor antara 1 untuk sama sekali tidak korupsi dan 5 untuk sangat korup, pada survei tahun 2008 ini lembaga legislatif mendapat skor 4,4. Skor yang sama juga diraih lembaga itu pada tahun 2004. Lembaga peradilan, yang dipersepsikan sebagai institusi terkorup kedua, mendapat skor 4,1. Parpol sebagai institusi terkorup ketiga mendapat skor 4.

Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis menuturkan, survei ini rutin dilakukan Transparency International di Indonesia sejak tahun 2004. Hasil survei 2008 turut dipengaruhi oleh terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan sejumlah anggota DPR, seperti Al Amien Nur Nasution, Bulyan Royan, hingga Hamka Yandhu.

Namun, lanjut Todung, juga ada sisi positif dalam hasil survei ini, yaitu masyarakat melihat usaha pemerintah dalam pemberantasan korupsi sudah berjalan efektif. Ini terkait dengan kinerja positif sejumlah lembaga, seperti KPK, Pengadilan Tipikor, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

”DPR perlu berusaha keras membersihkan citra institusinya, antara lain dengan tidak menunjukkan sikap yang dapat dilihat sebagai resistensi terhadap institusi pemberantasan korupsi, misalnya mewacanakan pembubaran KPK,” ujar Todung.

Anggota DPR, Gayus Lumbuun menyatakan tidak mempermasalahkan hasil survei tersebut. Yang penting, bagaimana menunjukkan jika perbaikan sudah mulai dilakukan.

Adapun pengajar Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, melihat hasil survei itu menunjukkan telah terjadinya defisit etika yang luar biasa di Indonesia. ”DPR itu kartel korupsi. Politik itu tidak transparan dan lobi merupakan pasar gelap kekuasaan,” kata dia.

Dalam korupsi di DPR, yang penting dilihat tidak hanya jumlah yang mereka korupsi. Namun, perlu dilihat misi atau tujuan mereka yang menjadi anggota DPR. ”Untuk apa orang menjadi anggota DPR jika tidak memiliki pengetahuan memadai dalam bernegara dan berpolitik. Ini yang membuat terjadinya korupsi,” ujar Rocky. (NWO)

"Psefologi" (untuk) Demokrasi

Aloys Budi Purnomo

Kampanye calon presiden-calon wakil presiden dimulai. Kampanye adalah cara menjual citra! Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto sudah menjual citra secara simbolik melalui interpretasi atas nomor urut mereka.

Sebagai pemilik nomor urut 1, Megawati-Prabowo yakin itu tanda-tanda kemenangan. SBY-Boediono menafsirkan nomor urut 2 sebagai nomor pilihan Tuhan. Bagi JK-Wiranto, nomor urut 3 adalah berkah.

”Psefologi” demokrasi

Benarkah nomor urut 1 merupakan tanda kemenangan, nomor 2 pilihan Tuhan, dan nomor 3 berkah? Penentuannya di tangan rakyat pemilih!

Cara rakyat menentukan pilihan itulah yang akan disebut psefologi (untuk) demokrasi. Dalam bahasa Yunani, psefologi berakar pada kata psephos: batu-batu kerikil atau koral. Kata itu muncul dari kebiasaan masyarakat Yunani Kuno saat mereka memberikan suara dalam konteks kehidupan demokrasi paling asli.

Dalam memilih pemimpin atau menentukan suatu keputusan penting, mereka memberikan suara dengan menjatuhkan batu- batu kerikil berwarna ke satu tempat sebagai kotak suara. Sebelum menentukan suara, mereka berpikir tentang para kandidat sambil mengajukan tiga pertanyaan pokok.

Pertama, untuk siapa kerikil akan dijatuhkan? Kedua, mengapa kerikil dijatuhkan? Ketiga, bagaimana kerikil itu dijatuhkan demi masa depan mereka?

Dengan demikian, proses menentukan pilihan didasari pada rasionalitas yang bertanggung jawab, bukan asal menjatuhkan kerikil. Dari praktik itulah muncul istilah psefologi, proses pembelajaran berbagai pemilihan yang menentukan masa depan kehidupan bersama, bukan atas dasar emosionalitas irasional.

Psefologi lantas bermakna untuk demokrasi. Menurut Richard M Scammon dan Ben J Watternberg, dalam konteks kehidupan demokrasi di Amerika Serikat, psefologi bahkan merupakan an extraordinary examination of the American electorate! Artinya, pemberian suara merupakan bagian proses memilih guna menentukan masa depan yang memerlukan kecerdasan untuk mewiweka (examination) sepak terjang kehidupan para kandidat.

Masa kampanye merupakan masa psefologi demokrasi, proses democratic discernment; mengasah kecermatan mendeteksi gerakan hati sehingga tidak salah mengambil keputusan dalam menentukan pilihan.

Bukan sekadar konsumen

Menurut Arnold Steinberg, dalam Political Campaign Management (1981:261), psefologi demokrasi merupakan respons atas kampanye politik. Memang tujuan utama dari kampanye politik adalah cara menarik hati rakyat dan menjadikan sang kandidat terpilih dan menang.

Dalam kampanye, sama seperti iklan, produk ditawarkan! Kampanye juga suatu pemasaran. Produknya adalah sang kandidat dengan segala keunggulan dan sedikit kelemahannya; ibarat kecap selalu nomor satu!

Namun, rakyat pemilih harus tetap waspada. Kriteria kewaspadaan bisa dicermati dari kualifikasi sang kandidat. Penampilannya secara fisik lahiriah, citra pribadinya, rekam jejak karier politiknya, serta pendiriannya tentang berbagai persoalan dan cara menyikapi serta mengatasinya. Termasuk yang harus dicermati adalah afiliasi atau koalisi kepartaiannya, bahkan ideologi terkait dengan masa depan bangsa!

Rakyat pemilih bebas mendukung sang kandidat, menolak, atau bahkan tidak mendukung siapa pun! Tergantung dari apakah produk itu cocok dan berguna untuk keutuhan masa depan bangsa, kesehatan demokrasi, dan kesejahteraan rakyatnya!

Maka, rakyat Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu presiden 8 Juli 2009 memang laksana konsumen yang harus jeli untuk membeli produk terbaik dari ketiga capres- cawapres: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, atau JK-Wiranto.

Harus disadari, rakyat pemilih jangan menjadi konsumen yang konsumeristis, terbuai politik uang, janji palsu, habis manis sepah dibuang! Jangan terkelabui manuver politik nafsu berkuasa kandidat yang mengakibatkan proses demokratisasi kita sarat dengan intrik dan kompromi politik pragmatis dan oportunistis, tebar pesona dan janji kosong, serta perselingkuhan politik manifestasi keserakahan demi mengejar nikmat kekuasaan! Di sinilah pentingnya psefologi demokrasi.

Karena itu, masa kampanye bukan saja penting bagi para kandidat dalam menjual produknya, tetapi terutama juga penting bagi rakyat sebagai konsumen untuk memperoleh pemahaman sebanyak mungkin yang akan menjadi bekal dan alasan untuk memutuskan apakah nomor 1 memang tanda-tanda kemenangan, nomor 2 pilihan Tuhan, dan nomor 3 adalah berkah.

Kemenangan, pilihan Tuhan, dan berkah bukan saja untuk para capres-cawapres, tetapi juga untuk rakyat dan bangsa Indonesia yang tetap berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan menjadikan NKRI sebagai harga mati!

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan; Pemred Majalah Inspirasi, Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang

Rabu, 03 Juni 2009

Kongres Pancasila Minus Soekarno

Oleh Slamet Sutrisno

Kita perlu menyebut Soekarno manakala Pancasila hendak dibincangkan. Dialah paling pas disebut sebagai penggali dasar negara itu saat pada 1 Juni 1945 berpidato meneduhkan pertentangan keras antara opsi liberalisme Barat atau Islam yang diusulkan sebagai dasar negara. Bung Hatta menyebut pidato Bung Karno sebagai modus yang disepakati para pendiri negara dalam penutup sidang 1 Juni 1945, disempurnakan dalam rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Rumusan 22 Juni inilah merupakan rancangan mukadimah konstitusi yang lantas berubah sedikit dalam frasa sila pertama. Dari Sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Soekarno dalam kursus Pancasila selama seminggu tahun 1964 menegaskan dia menolak penilaian seorang politikus Islam bahwa dia kurang "dalam" menggali mutiara sejarah budaya yang terpendam di Tanah Air kita. Menurut sang kritikus, jika saja digali lebih dalam, bukan Pancasila munculnya melainkan Islam.

Menurut Soekarno, penggalian khazanah sejarah dan budaya bangsa itu sudah berlangsung sejak tahun 1918 menukik sampai jauh sebelum Islam datang ke Indonesia. Pikirannya merefleksikan kekayaan religio-kultural merambahi saf-saf budaya kebangsaan sejak era Proto Indonesia sebelum datang pengaruh asing.

Agama dan budaya Hindu, Buddha, Siwa. Islam masuk Indonesia bukan dalam kekosongan berhubung bangsa kita menjalani peri kehidupan yang bermartabat dengan peradaban yang tak perlu disebut primitif. Kebudayaan Indonesia sebelum era modern sama sekali bukan "jahiliyah" seperti pernah diduga oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam polemiknya bersama dr Soetomo, Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, Tjindarbumi, M Amir, dan Purbatjaraka.

Menyitir Prof Brandes, Soekarno menyebutkan bahwa sejak sebelum tahun Masehi, Jawa sudah mengenal 10 kecakapan budaya. Kecakapan itu mencakup: wayang, gamelan, seni batik, cor logam, pertanian, ilmu falak, mata uang, tata negara, kawruh, dan huruf abjad (ha na ca ra ka).

Dengan bacaannya yang luas melahap buku-buku berbagai bahasa Eropa, Soekarno mengolah khazanah mutiara keindonesiaan itu dalam kristalisasi dan sublimasi ke dalam Pancasila: Nasionalisme; Internasionalisme (cq Humanisme); Demokrasi; Sosialisme (Kesejahteraan); dan Teisme (Ketuhanan). Rumusan dalam Pembukaan UUD 1945 pasca-Piagam Jakarta menurut Bung Hatta tetap sama dalam ideologi awal yang dipidatokan Soekarno 1 Juni 1945. Dasar moral (Ketuhanan) ditarik ke atas; demikian Hatta. Tidak disebut

Namun, setelah 33 tahun berselang dari mainstream desoekarnoisme selama Soeharto berkuasa, Soekarno tetap tak disebut-sebut manakala orang berbincang dan berwacana tentang Pancasila.

Pertama, masih kuat ketakutan bahwa kembali membincangkan Soekarno dalam wacana Pancasila hanya akan membuka pintu kultus individu dan sosialisme marxistik. Kedua, membincangkan Soekarno akan amat memberi laba politik bagi sebuah partai di mana anak Soekarno menjadi tokoh sentral.

Dengan demikianlah maka kebebalan intelektual elite negara-bangsa malahan mencungulkan sosoknya tatkala kaidah elementer berpikir logis tidak pernah dimengerti. Pemikiran logis adalah menyamakan hal-ihwal yang memang sama dan memperbedakan hal ihwal yang memang berbeda.

Nilai-nilai dasar

Berbicara tentang Soekarno dalam konteks Pancasila tidak mungkin dinafikan kecuali bangsa ini secara kolektif membiarkan diri terjerembab dalam lembah kepengecutan. Pengamalan nilai-nilai Pancasila tidak mungkin tanpa pemahaman nilai-nilai dasar (intrinsic values) yang menopangnya.

Dan sistem nilai kepancasilaan itu niscaya memiliki pula akar raison d'etre sebagai basis komitmen yang secara ideologis diperjuangkan demi terpenuhkannya kepentingan kebangsaan: merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Inilah raison d'etre kebangsaan sebagaimana mewujud dalam "tanah-air mental", pancasila (Daoed-Joesoef, 1986).

Empat komitmen ini dielaborasi ke dalam tujuan kemerdekaan menyangkut: perlindungan kebangsaan dan ketumpahdarahan, kesejahteraan umum, kecerdasan kehidupan bangsa, dan keterlibatan terhadap perdamaian dunia.

Raison d'etre kebangsaan itu, sebagai akar-akar nasion, menghunjam dalam pulau keindonesiaan berupa pulau nilai dasar gotong royong atau kekeluargaan; berpohon antipenjajahan dan penindasan, yang mengejawantah dalam tiga dahan pokok Trisakti, yakni berdaulat politik, berdikari ekonomi, dan berjati diri dalam kebudayaan bangsa.

Pulau gotong royong/kekeluargaan itu pun menumbuhkan gunung-gunung besar resources-nya, yakni: Sosio-Nasionalisme; Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Gunung pertama mencegah chauvinisme, kosmopolitanisme, dan primordialisme; gunung kedua mencegah "mayorokrasi" dan "minorokrasi" yang notabene kini dipraktikkan secara telanjang; gunug ketiga adalah kerukunan keberagamaan yang kini banyak dilukai dan dikhianati.

Jika mau memahami dan menghayati Pancasila, kita mesti bertanya kepada Soekarno dengan cara membaca habis buku-bukunya. Pernik-pernik yang dikutip itu meminta kita generasi baru untuk menafsirkan secara dinamis kontekstual namun tetap merawat statika kejatidirian dan keindonesiaan baik di bidang ketatanegaraan, hukum, politik, ekonomi, dan hidup keberagamaan.

Akan tetapi, sudah empat puluh tahun lebih sejak awal Orba Indonesia meninggalkan (ajaran) Soekarno sehingga UGM pun menyelenggarakan Kongres Pancasila minus Soekarno. UGM entah sadar atau tidak menjauhi pendiriannya sendiri saat 19 Desember 1951 menganugerahkan Doktor HC kepada Soekarno atas jasanya telah "menciptakan Pancasila", demikian pidato promotornya Prof Mr Drs Notonagoro.

Slamet Sutrisno Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta