Selasa, 19 Januari 2010

Kepak Sayap Sang Raja Jawa


Selasa, 19 Januari 2010 | 02:55 WIB

Oleh THOMAS PUDJOWIDIJANTO

Beberapa waktu lalu muncul surat edaran dari Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tri Harjun yang intinya meminta agar setiap pegawai negeri sipil menjadi abdi dalem keraton Yogyakarta. Edaran yang sifatnya imbauan tidak mengikat itu bertujuan melestarikan kebudayaan dan melestarikan kelembagaan Kesultanan Yogyakarta.

Meski Keraton tidak enak hati dengan imbauan itu, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo selaku Pengageng Kawedanan Ageng Panitipura Keraton Yogyakarta menyatakan, dalam sejarahnya sampai pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta terbagi dua, eksekutif dan kebudayaan. Pemerintahan eksekutif yang dikelola Patih Dalem disebut abdi dalem kaprajan. Adapun abdi dalem yang bekerja di lingkungan keraton disebut abdi dalem punokawan,

”Sejak pemerintahan Sultan HB X memang tak ada keharusan lagi pegawai negeri sipil (PNS) menjadi abdi dalem. Tidak usah ada imbauan saja, sekarang ini sekitar 1.400 PNS yang menjadi abdi dalem. PNS yang menjadi abdi dalem keraton harus memiliki kualitas kultural tertentu,” kata Joyokusumo.

Jika surat edaran itu mengundang pro-kontra, bagi Tri Harjun, semata-mata hanya ingin mengembalikan kekhasan Yogyakarta. Bahkan, sekaligus akan dijadikan salah satu ciri dari keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Menggali berbagai kekayaan budaya semacam itu senantiasa dilakukan masyarakat atau Pemerintah DIY. Ini menunjukkan soal keistimewaan DI Yogyakarta hal mutlak bagi warga. Ini senada dengan apa yang muncul dalam diskusi tentang RUU Keistimewaan (RUUK) DIY, semua panelis menyatakan, DIY memang memiliki keistimewaan yang harus dipertahankan.

Kekuatan kebudayaan banyak ditekankan panelis sebagai kekuatan untuk keistimewaan Yogyakarta. Nilai kebersamaan, gotong royong, saling menghormati, penuh kepedulian, pemufakatan, dan musyawarah adalah roh yang mendasari terbentuknya sebuah kerajaan Ngayogyakartahadiningrat. Bahkan, pemerintahan di Yogyakarta disebut sebagai artifact, socifact, dan mentifact dari kebudayaan Nusantara yang berkelanjutan menjadi kebudayaan Indonesia yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dari masa kolonial sampai masa Indonesia modern.

Kekuatan budaya yang melahirkan demokrasi yang diilhami kearifan lokal itulah basis keistimewaan DIY, di bawah pimpinan Kesultanan Yogyakarta. Itu terbukti dari sistem pemerintahan yang mampu melangsungkan kehidupannya dalam pergeseran dari bentuk vosten landen (praja kejawen-zaman kolonial) menjadi daerah istimewa sejak masa kemerdekaan Indonesia.

Beberapa panelis juga berharap, jangan sampai kekayaan dan kekhasan budaya Yogyakarta terhapuskan oleh konsep politik. Artinya, biarlah struktur pemerintahan di bawah kepemimpinan keraton. Kekhasan pemerintahan di Yogyakarta adalah kerajaan. Otonomi dengan keraton sebagai pusatnya jangan sampai terperangkap dalam konsep otonomi yang seragam. Dengan memandang otonomi tak hanya dari konsep politik, tetapi juga dari sisi budaya, kekhasan, atau keistimewaan, Yogyakarta akan terselamatkan. Keraton adalah kekayaan dan keindahan sejarah.

Bahkan, keberadaan Keraton Yogyakarta sudah ada sebelum pemerintahan Indonesia ada. Kehadiran pemerintahan Keraton Yogyakarta diakui dunia. Karena itu, pernyataan Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pernyataan cerdas dan pemahaman kenegarawanan Sultan HB IX waktu itu. Ini menunjukkan pula Keraton bukanlah feodal. Namun, punya sikap demokratis dengan visi ke depan.

Pengakuan tentang kemerdekaan Indonesia oleh Keraton memiliki makna historis yang besar dalam memberikan jaminan konkret berupa legitimasi terhadap eksistensi republik yang saat itu masih bayi. Tanpa itu, Belanda pasti akan mengklaim kembali atas wilayah Nusantara setelah berakhirnya pendudukan Jepang.

Kepak sayap raja Jawa itu semakin teruji ketika bersama Paku Alam VIII menjadi jaminan bagi Republik Indonesia ketika Ibu Kota harus pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.

Jiwa demokratis Sultan HB IX tecermin dalam pemerintahan Yogyakarta, yang sudah memiliki lembaga perwakilan daerah. Visi ke depan ditunjukkan secara konkret dengan menyediakan Keraton Yogyakarta sebagai tempat pendidikan tinggi. Dari Pagelaran Keraton Yogyakarta lahirlah Universitas Gadjah Mada, yang menjadikan wilayah Yogyakarta sebagai wilayah multikultural dengan hadirnya mahasiswa dari berbagai daerah di Tanah Air.

Kebudayaan

Sampai saat ini keberadaan Keraton Yogyakarta tetap kokoh sebagai artefak yang hidup di tengah arus zaman. Keraton masih menyimpan kekayaan budaya yang unik. Di dalamnya ada empat museum yang mencatat perjalanan sejarah kerajaan trah Mataram itu. Buku kuno, serat, babad, dan tembang tersimpan di sana. Berbagai jenis tari, bedaya, srimpi, golek, Maeso Lawung adalah bukti suara kebudayaan Keraton masih menggema.

Keraton masih menyimpan berbagai tradisi, adat istiadat yang kuat. Misalnya, saat Lebaran, semua PNS dan bupati berbaur dengan abdi dalem datang ke Keraton untuk sungkeman kepada Raja. Tradisi jumenengan, tingalan dalem, labuhan laut, dan upacara di Gunung Merapi adalah warna budaya keraton yang masih tetap terjaga hingga sekarang.

Keraton adalah sejarah panjang dari pemerintahan sejak pendirinya, Pangeran Mangkubumi (1755-1792). Sebuah pemerintahan yang terus berjalan dengan dinamika politik, sosial, budaya, yang tentu saja melahirkan proses pendewasaan yang terus-menerus. Itu berjalan sampai sekarang. Putra mahkotanya masih tetap memberikan sumbangsih untuk negeri yang bernama Indonesia ini. Sebagai keturunan Mangkubumi, Sultan HB IX, dan kini Sultan HB X, masih terus bisa memberikan nilai sejarah bagi leluhur dan bangsanya.

Secara empiris, posisi Sultan HB dan Paku Alam sebagai kepala daerah sudah terpelihara sepanjang perjalanan Republik Indonesia, termasuk proses suksesinya berlangsung stabil. Selama 11 tahun terakhir dalam pemerintahan Sultan HB X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY juga tidak terjadi suatu yang aneh, apalagi sesuatu yang buruk.

Barangkali pendiri Kerajaan Yogyakarta tidak mengira kekuasaan yang tinggal sakmegaring payung (seluas payung terbuka) yang sekarang dipimpin Sultan HB X, pada saat ini harus menghadapi persoalan kepemimpinan. Memang semua mengakui ada keistimewaan di DIY. Namun, kepemimpinan kepala daerahnya ditetapkan atau dipilih itu yang kini membuat berlarut-larutnya pembahasan payung hukum kepemimpinan di DIY.

Ada panelis yang menyatakan, masa pemerintahan mulai Sultan HB IX sampai HB X berjalan mulus tanpa ada gejolak yang berarti. Pemerintahan dan Keraton Yogyakarta menyatu. Penetapan bukan menjadi masalah. Sebab, demokrasi muaranya adalah kesejahteraan rakyat.

Menimbun Lubang


Selasa, 19 Januari 2010 | 02:53 WIB

SUKARDI RINAKIT

Demi masa, peserta seminar itu sekali lagi bertanya mengenai prediksi saya untuk tahun 2010. Dengan tegas penulis mengatakan, optimistis.

Meski situasi politik sedikit memanas karena kasus Bank Century, perlakuan istimewa kepada Artalyta Suryani, dan pernyataan Presiden untuk melakukan evaluasi koalisi partai, tetapi secara hipotesis semua itu tidak akan mengganggu ranah ekonomi. Banyak pihak percaya tahun ini ekonomi akan tumbuh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Situasi itu diduga akan berlaku hingga lima tahun mendatang.

Penulis jauh-jauh hari menyatakan, jika pemerintah tidur saja, kinerja ekonomi akan sama dengan periode tahun 2004-2009. Jika pemerintah tidak tidur dan bekerja ala kadarnya, keadaan akan lebih baik dibandingkan dengan lima tahun lalu. Keadaan akan mengalami lompatan signifikan, bahkan akan mengejar Bric (Brasil, India, dan China), jika Presiden melakukan resume power dan berani keluar dari kerangkeng rasa aman dan pencitraannya.

Pendeknya, pintu peluang bagi Indonesia untuk merangsek maju terbuka lebar. Namun, sekali lagi, pemerintah terjebak pada pencitraan semu. Belum apa-apa, pemerintah sudah mengklaim program 100 harinya sukses hampir 100 persen. Ini seperti mimpi yang tidak bisa dikonfirmasi. Ini justru menimbulkan pesimisme publik. Jangan heran, jika secara diam-diam rakyat yang melek politik mencemooh pernyataan itu.

Menyimak keadaan itu, penulis teringat Johann Christoph Friedrich von Schiller. Ia pernah menyatakan, Eine grosse Epochas Jahrhundert geboren, Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht (Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil). Sejujurnya, kita tidak memiliki pemimpin berkarakter kuat sekarang ini. Padahal, tatanan dunia bergerak semakin cepat, ekstrem, dan penuh risiko.

Menjadi orang

Sejak awal saya sudah mengkritisi program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Prioritasnya terlalu banyak, mencakup 15 program, mulai dari pertahanan, penegakan hukum, reformasi birokrasi, dan lain-lain. Karena tak ada program yang dijadikan maskot, keberhasilannya menjadi sulit diukur. Semua abu-abu.

Idealnya, pemerintah memilih tiga program saja sebagai panglima, yaitu mencabut peraturan perundang-undangan yang membatasi pendirian tempat ibadah, menciptakan sejuta lapangan kerja melalui program padat karya, serta membangun laboratorium modern untuk mengembangkan nanoteknologi, bioteknologi, neurosains, dan teknologi informasi. Program lain, meski tetap dijalankan, tidak perlu dikibar-kibarkan seperti ketiga maskot itu.

Dengan demikian, realisasi program itu bisa diukur langsung oleh publik. Jika program pertama dan kedua berhasil, optimisme rakyat pasti meningkat. Perasaan satu bangsa dipastikan menghebat. Semua akan merasa tidak sia-sia menjadi warga negara Republik Indonesia. Akan tetapi, dengan klaim sepihak dari pemerintah, optimisme publik menjadi kempis kembali.

Suka atau tidak, sikap pemerintah yang gampang mengklaim kesuksesan tanpa menyodorkan bukti memadai adalah cermin bening dari karakter kepemimpinan yang lemah jika tidak boleh disebut kerdil seperti kata Von Schiller. Sebab itu, jika kepada mereka ditanyakan apa cita-citanya dulu, mereka pasti menjawab, ”Mau jadi orang.” Maksudnya, menjadi pejabat.

Mereka tak pernah bercita-cita mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, membuka lapangan kerja, dan lain-lain. Tak mengherankan, setelah menjadi ”orang”, mereka tidak bekerja keras untuk rakyat. Cita-citanya memang hanya menjadi pejabat. Cita-cita itu telah terwujud kini.

Dalam perspektif budaya politik, pemimpin seperti itu telah gagal membentuk dirinya menjadi figur berkarakter kuat yang mampu mapras barang kang mbrenjul (meratakan sesuatu yang menonjol). Mereka bisa saja mengabaikan praktik ketidakadilan asal posisi politik dan sumber ekonominya aman.

Mencoba menimbun

Oleh karena tidak bisa tegak sebagai pemimpin yang berani mapras barang kang mbrenjul, mereka pun tidak akan mati-matian ngurug barang kang ledhok (menutup sesuatu yang berlubang). Pembelaan kepada yang lemah, miskin, tidak berpendidikan bukan merupakan ledakan energi pengabdian mereka. Petani, nelayan, dan buruh terpinggirkan begitu saja.

Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini gelombang demonstrasi mahasiswa dan aktivis bangkit lagi. Sesuai fitrahnya, mereka sedang memainkan peran sebagai patriot yang berusaha menimbun sesuatu yang ledhok (pembela yang lemah). Mereka juga sedang mencoba membunuh kultur pejabat yang tak sepenuh hati bekerja untuk rakyat.

Namun, apakah perlawanan mereka itu akan berubah menjadi ombak besar sehingga mampu menggulung kekuasaan sekarang ini? Dengan prihatin saya harus menjawab ”belum”. Sampai hari ini belum ada pengusaha dan militer yang mendukung gerakan aktivis itu. Pada umumnya mereka masih merasa nyaman dengan komposisi kekuasaan sekarang. Akibatnya, demonstrasi akan kempis, para demonstran kelelahan, dan jaringan pergerakan menjadi kendur.

Namun, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur). Jika hari ini gagal, masih ada hari esok.

Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sabtu, 09 Januari 2010

Kerja dan Kinerja Kabinet


Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:44 WIB

Oleh ANDI SURUJI

Di kalangan ilmuwan, praktisi, dan pelaku usaha, telah muncul bisik-bisik bernada sangsi setelah mereka dalam sekali-dua kali kesempatan bertemu dengan menteri-menteri di bidangnya masing-masing. Sejak pengumuman menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, penilaian skeptis itu pun sudah muncul. Ada yang kurang layak dan belum pantas.

Soal kelayakan dan kepantasan menteri, bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono bersama timnya telah menggelar tes kelayakan dan kepatutan?

Layak dan pantas memang bisa diperdebatkan. Bagi satu pihak, seseorang sudah layak dan pantas diangkat sebagai menteri, tetapi belum tentu bagi pihak lain. Yang pasti, kelayakan dan kepantasan mesti diukur dari kapasitas dan kemampuannya melakukan terobosan untuk mencapai percepatan pembangunan dan menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan yang macet karena penuh karat di sana-sini.

Maaf kepada para birokrat, mohon jangan tersinggung! Soalnya, sejak periode Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama, pemerintah telah menggulirkan program reformasi birokrasi.

Kembali ke soal kabinet, hari Selasa lalu, Presiden Yudhoyono menegaskan, tidak logis kalau mengukur keberhasilan pemerintah masa bakti 2009-2014 hanya dari program 100 hari. Lho...! Bukankah telah menjadi konsensus di mana-mana bahwa kinerja presiden dan kabinetnya dalam 100 hari sangat menentukan performa selanjutnya.

Michael Watkins, Associate Professor di Harvard Business School, memberi waktu lebih singkat, hanya 90 hari, bagi manajer bisnis untuk membuktikan prestasinya. ”Tindakan yang Anda ambil selama tiga bulan pertama menduduki posisi baru biasanya memberi gambaran apakah Anda akan sukses atau gagal. Transisi adalah masa kesempatan, peluang untuk memulai dari awal dan melakukan perubahan yang diperlukan dalam organisasi,” papar Watkins dalam bukunya 90 Hari Pertama.

Ia melanjutkan, ”Tetapi transisi juga masa yang sangat rentan karena Anda tidak memiliki hubungan kerja yang mantap dan belum pula memahami peran baru Anda secara mendalam. Jika Anda gagal membangun momentum selama masa transisi Anda, maka Anda akan menghadapi tantangan berat sejak itu.”

Petuah ini perlu dicamkan para menteri. Bagaimanapun, 100 hari usia kabinet dan program yang dilahirkannya tetaplah ditunggu dan akan dinilai masyarakat.

Kita tunggu. Pada saat dipaparkan, program 100 hari kabinet itu pasti akan berisi daftar program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan para menteri melalui kementerian yang dipimpinnya. Konon, sudah sekitar 90 persen selesai. Katanya, program itu kelak disertai rencana aksi dan waktu pelaksanaannya sehingga jelas tahapan pelaksanaan serta ukuran keberhasilan dan kegagalannya. Wah, bagus sekali dong!

Nah, dalam hal ini, ternyata banyak orang yang salah kaprah. Yang kita pahami adalah, dalam seratus hari sejak dilantik, kabinet atau menteri baru sedang sibuk menyusun program kerja yang akan dilaksanakannya. Sementara menurut versi kaum awam, program 100 hari kabinet itu adalah apa saja yang akan dilakukan kabinet dalam seratus hari sejak dilantiknya. Seharusnya, begitu dilantik, para menteri sudah mengumumkan apa saja yang akan dikerjakannya dalam seratus hari ke depan. Toh, sebelum dilantik, Presiden sudah memberikan arahan apa yang harus dilakukan. Apalagi, presidennya tetap, programnya tinggal dilanjutkan, bukan?

Jadi, ada kesenjangan pemahaman antara elite dan awam. Lebih parah kalau kesenjangan itu terjadi antara apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang dilakukan pemerintah.

Persoalan lain adalah sering kali terjadi orang pandai membuat konsep, tetapi implementasinya nol besar. Kalau sesuatu sudah diomongkan, seolah otomatis jadi. Memangnya negeri sulap?

Lantas, kalau gagal, sibuk cari kambing hitam. mencari pembenaran, dan sebagainya, tetapi tidak pernah mengintrospeksi kekurangan sendiri. Apakah memang punya kapasitas menjadi menteri, memimpin kementerian? Sayangnya, sangat sedikit orang yang tahu diri dan sangat tipis keberanian menolak; bahkan berlomba-lomba mempromosikan diri, terkadang lobi sana-sini, kirim riwayat hidup melalui berbagai saluran dan koneksi. Jangankan menolak, mengundurkan diri manakala performa jauh di bawah rata-rata juga tidak ada.

Ah, belum lagi program 100 hari kabinet diumumkan, yang berarti rakyat belum tahu apa yang telah dan akan dikerjakan menteri, mereka sudah dapat mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar.

Dalam perkembangan lain, sejumlah kementerian sudah ditambah pejabatnya dengan pengangkatan wakil menteri. Ini juga lucu. Orangnya sudah diumumkan, tetapi tidak jadi dilantik karena persyaratannya belum dipenuhi oleh yang bersangkutan. Ah, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah Presiden dikelilingi staf yang jago-jago, intelijen yang andal. Kalau urusan persyaratan administrasi saja kecolongan, bagaimana informasi yang akurat bisa sampai ke Presiden? Apa pun alasannya, sungguh kacau prosedur seleksi dan administrasi di lingkungan kepresidenan.

Sampai saat ini sudah ada 10 wakil menteri untuk memperkuat 34 menteri yang sudah diangkat sebelumnya. Ada yang mengatakan kemungkinan jumlah wakil menteri bakal setengah dari jumlah menteri. Tujuannya, untuk menyukseskan tugas menteri agar kinerja terbaik kementerian tercapai.

Kalau begitu, betapa ambisius program kerja kabinet sehingga harus menambah demikian banyak wakil menteri. Asumsinya, standar kinerja atau pencapaian pemerintahan dalam lima tahun tentu harus jauh lebih tinggi dari rata-rata lima tahun silam ketika hanya satu kementerian yang memiliki wakil menteri.

Kita tunggulah, seambisius apa target program para menteri? Rasionalkah program itu dan masuk akalkah cara implementasinya?

Berikut ini catatan yang harus menjadi muara sasaran semua program kabinet. Ada 35 juta orang miskin, 22 juta penganggur, dan 13 juta keluarga tidak memiliki rumah/tunawisma. Anak-anak yang putus sekolah 11,7 juta orang, kematian ibu dan anak sekitar 230 kematian per 100.000 orang. Ah, panjang sekali, tambah pusing nanti.

Catatan (Pernah) Jadi Ketua Partai


Sabtu, 9 Januari 2010 | 03:19 WIB

Soetrisno Bachir

Lima tahun bukanlah waktu yang pendek, bukan juga waktu yang lama untuk dijalani. Tak terasa lima tahun terakhir ini saya pernah menjadi ketua sebuah partai. Energi kehidupan saya secara total larut dalam hiruk-pikuk kehidupan yang bernama politik.

Sebelumnya, saya orang biasa, tiba-tiba memimpin sebuah Partai Amanat Nasional yang sebelumnya dipimpin oleh tokoh Reformasi. Banyak cibiran datang menanyakan kualitas saya. Bahkan, ada yang meramal PAN akan habis di bawah kepemimpinan saya. Saya tak peduli dan justru cibiran tersebut memacu saya bekerja lebih serius mengabdikan diri untuk membesarkan partai.

Saya tidak menyangka sebelumnya kalau ketua partai politik mempunyai kekuasaan dan daya tawar. Sejak saat itu, saya jadi mengerti dan paham kenapa jabatan ketua partai diperebutkan. Saya pun menjadi mafhum mengapa banyak orang berlomba-lomba membuat partai dan bertarung memperebutkan kursi kepemimpinannya.

Saya sudah berkomitmen sampai lima tahun menjalankan peran sebagai ketua umum partai karena ingin berkontribusi memperbaiki keadaan. Kenyataannya tak mudah. Kegamangan sempat menyelimuti hati saya, apakah ijtihad saya ini benar? Namun, saya tetap mempertahankan sampai jabatan tersebut selesai. Bukan untuk kejumawaan, hanya ingin meninggalkan rekam jejak ketika seseorang memilih menjadi ketua partai sebaiknya mempunyai komitmen penuh menjalankan amanah sampai selesai.

Partai politik yang semestinya dimaknai sebagai ladang tanggung jawab sosial menjadi lebih sempit dimaknai sebagai bagian dari partisan sehingga menolak pihak atau kelompok lain yang bukan partisannya. Adalah wajar apabila selalu ada kasak-kusuk dan permusuhan. Dalam satu partai pun saya harus menyelesaikan masalah yang menurut kami bisa diselesaikan dengan pembicaraan, tetapi diselesaikan dengan amoral, melanggar etika, dan kekerasan.

Pentingnya pencitraan

Saya baru sadar ketika terjun ke dunia politik pentingnya dunia pencitraan bagi politisi. Itulah keputusan saya waktu itu. Belakangan saya lebih senang mengistilahkan dunia pencitraan dengan dunia seolah-olah. Semua dibalut dengan topeng. Dunia yang sebenarnya bukan dunia saya.

Inilah salah satu episode hidup saya. Saya tidak menyesal ketika membuat keputusan untuk menyudahi dan tidak berminat untuk mencalonkan kembali menjadi Ketua Umum PAN. Bukan karena sakit hati atau kecewa, melainkan waktu lima tahun memang sudah cukup untuk mengabdikan diri di partai. Inilah saat yang tepat bagi saya untuk mencerabutkan diri dari hiruk-pikuk kepartaian dan kembali ke habitat sebelumnya di dunia wirausaha dan sosial kemasyarakatan.

Ini merupakan salah satu keputusan saya memasuki episode baru dalam kehidupan saya, yaitu babak spiritualitas. Babak tempat banyak menjumpai kebahagiaan, kehidupan yang harmonis, dan ketenangan. Ini sebagai sebuah perjalanan (suluk) untuk menemukan hakikat yang selama ini mungkin saya biarkan tak terawat sehingga hati sebagai sebuah cermin menjadi kotor dan kusam, yang akhirnya tidak mampu merefleksikan nilai-nilai ketuhanan. Menekuni dunia spiritualitas bukan lari dari tanggung jawab, melainkan upaya untuk melihat segala permasalahan dengan pandangan yang jernih tanpa tendensi apa pun selain nilai kebenaran itu sendiri.

Untuk berkontribusi terhadap bangsa, tidak selalu melalui partai. Ketika seseorang sudah memutuskan mengabdikan diri di partai, hendaknya itu merupakan keputusan yang diambil secara sadar. Bukan karena kepepet, karena memang sudah tidak ada pekerjaan lain, sehingga partai dijadikan pelarian, bahkan untuk penghidupan. Pasalnya, memang di partai banyak tersedia jalan pintas untuk menuju ke kekuasaan.

Kontribusi sosial

Berkhidmat di dunia kepartaian lebih baik apabila diniatkan sebagai kontribusi sosial; merasa sebagai sekrup kecil dari sebuah mesin besar yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Di partai bukan untuk membangun dinasti turun-temurun yang ”ujug-ujug” dan perkoncoan yang seolah-olah hanya dari golongan atau keturunan mereka saja yang berhak mengelola negara ini dan menafikan yang lain.

Alangkah eloknya apabila pribadi yang berasal dari partai ketika menjadi penjabat publik rela meninggalkan sikap partisan dan total melayani masyarakat. Tidak mencampuradukkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan diri dan partainya.

Saya ingin mengakhiri peran saya sebagai ketua umum dengan khusnul qotimah sehingga saya hanya berharap permohonan maaf apabila selama kepemimpinan saya ada hal-hal yang mengecewakan, mencederai perasaan, dan tidak bisa memuaskan keinginan banyak orang; terutama buat masyarakat yang dalam Pemilu 2009 telah memilih PAN sebagai harapan perubahan bangsa.

Doa saya, siapa pun ketua umum yang terpilih, semoga mampu membawa Partai Amanat Nasional ke arah yang lebih baik.

Soetrisno Bachir Ketua Umum Partai Amanat Nasional Periode 2005-2010