Minggu, 07 Desember 2008

Menilai Sistem Bikameral Indonesia


Akhir-akhir ini muncul desakan untuk kembali mengamandemen UUD terutama yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jika upaya ini berhasil diharapkan bisa memperkuat kewenangan DPD dalam rangka sistem bikameral murni.

Bikameralisme mengacu pada pembagian kekuasaan di lembaga legislatif ke dalam dua kamar, yakni majelis rendah (lower chamber) di Indonesia tecermin dalam DPR dan majelis tinggi (upper chamber) yang direpresentasikan dalam DPD. Sistem bikameral telah dianut oleh tidak kurang dari 2/3 (dua pertiga) lembaga legislatif negara-negara demokrasi di dunia.

Asumsinya, semakin besar dan semakin federal suatu negara, semakin besar kemungkinannya menganut sistem bikameral. Meski begitu, tidak ada kesamaan model dalam praktik bikameralisme di setiap negara yang menganutnya, termasuk seberapa besar kewenangan majelis tinggi. Demikian juga teori tentang bikameralisme tidaklah tunggal, karena masih kurangnya perhatian para akademisi terhadapnya.

Dapat dikatakan bahwa bikameralisme merupakan konsep yang secara teoretis masih dalam pencarian (DE Smith, 2003). Di Indonesia, bikameralisme sejatinya tidak hanya terkait dengan ada atau tidaknya lembaga DPD, tetapi maksimal atau tidaknya fungsi dan peran DPD, yang ditandai dengan adanya pembagian kekuasaan yang berimbang secara proporsional.

Faktanya, meski ia sudah mencerminkan perimbangan representasi politik, yakni lembaga DPR sebagai representasi penduduk dan DPD sebagai perwakilan daerah, namun selama ini berkembang anggapan bahwa DPD merupakan lembaga legislatif kelas dua. Anggapan ini tidak terlepas dari wewenang DPD yang terbatas dan masih bersifat nominal, berbeda dengan di beberapa negara seperti lembaga senat di Amerika Serikat.

Memang bikameralisme juga tidak lepas dari kritik, misalnya asumsi bahwa "ia merupakan institusi yang efektif untuk memperkuat kekuasaan liberalisme pasar" (A Vatter, 2005). Demikian juga pandangan yang mengatakan "Sistem bikameral bisa menjadi penghambat bagi demokrasi sosial dan menghalangi intervensi pemerintah untuk mewujudkan negara kesejahteraan (walfare state)".

Itulah sebabnya banyak negara lebih memilih sistem unikameral atau semula bikameral lalu kembali ke sistem unikameral seperti Selandia Baru, Denmark, Swedia, Peru, dan Skotlandia. Apakah karena pertimbangan ini di Indonesia DPD masih dipandang sebelah mata, sejarahlah yang nantinya akan mencatat.

Bikameralisme sebagai Teori Redundancy

Teori redundancy berasumsi bahwa bikameralisme merupakan sistem kelembagaan politik yang berlapis dan saling menguatkan. Jika salah satu komponen kelembagaan kurang berfungsi, maka komponen lain dapat bekerja secara positif sehingga mekanisme tetap berjalan normal. Dari sinilah lalu dipersoalkan mengenai status keberadaan majelis tinggi, apakah sebagai bentuk "pemisahan" atau "pelipatgandaan" bagi representasi politik dalam lembaga legislatif.

Karena eksistensi dan kewenangan majelis tinggi yang sering lebih bersifat nominal, maka muncul kesan adanya pemborosan kelembagaan. Sisi positifnya, menganut teori redundancy mengandaikan adanya sistem pengendalian (braking system) dengan dua subsistem yang paralel di lembaga legislatif, di mana satu subsistem dapat bertindak secara independen dari subsistem lain.

Misalnya, majelis tinggi berpotensi sebagai kekuatan politik ketiga dalam kasus terjadinya kebuntuan komunikasi politik antara majelis rendah dan eksekutif. Di Prancis, sebagai negara yang menganut sistem semipresidensial, kasus ini pernah terjadi pada 1970-an, ketika majelis tinggi di sana menjadi kekuatan mendukung Presiden Giscard yang berselisih dengan pihak majelis rendah.

Sesungguhnya dengan sistem bikameral proses pengambilan keputusan di legislatif akan relatif lebih stabil. Karena sistem bikameral dapat menjadi satu mekanisme pengendalian untuk mengurangi "cost" eksternal yang digerakkan oleh fungsi-fungsi politik yang terorganisir dengan baik (S Levmore,1992). Lagipula, dalam perspektif perimbangan kekuasaan, bikameralisme menunjukkan dinamika politik yang berbeda antara sistem presidensial dan parlementer.

Dalam sistem presidensial, ketegangan sering terjadi antara eksekutif dan legislatif mengenai suatu kebijakan. Sebaliknya dalam sistem parlementer, yang muncul adalah persaingan antara majelis tinggi dan majelis rendah sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Karenanya, kajian mutakhir tentang bikameralisme lebih menekankan pada dimensi manajemen hubungan kelembagaan daripada norma-norma yang mendasari bangunan konstitusi modern.

Bikameralisme: Kasus Indonesia

Dalam sejarahnya, semacam praktik bikameralisme pernah terjadi di Indonesia dalam bentuk badan perwakilan RIS pada periode Januari sampai Agustus 1950, yang ditandai dengan adanya parlemen dan senat. Masa itu cukup membingungkan karena begitu banyak tokoh-tokoh daerah atau negara bagian yang pindah ke Jakarta dengan ideologi dan pandangan politik yang beragam.

Kaum republik bercampur dengan federalis. Faktanya, sistem ini tidak bertahan lama, kabinet pemerintahan tidak stabil dan berjalan sangat singkat. Indonesia adalah negara besar yang terbentuk dari banyak pulau dengan keberagaman budaya dan etnis. Walaupun Indonesia tidak menganut sistem federal, melainkan negara kesatuan, pilihan pada bikameralisme tetaplah relevan.Yang menjadi soal adalah seberapa besar wewenang yang diberikan pada DPD dan seberapa besar yang diberikan kepada DPR.

Dengan catatan: seberapa kecil pun, bikameralisme tetap menyimpan kekhawatiran akan terjebak pada praktik bikameralisme federal yang pernah terjadi tahun 1950-an, dan berekses pada sangat kuatnya kekuasaan liberalisme pasar di Indonesia.

Kekhawatiran inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi reformasi sistem politik ke depan. Hal itu karena pada prinsipnya seberapa besar kekuasaan yang diberikan pada DPD maupun pada DPR, haruslah berjalan paralel dengan seberapa besar legitimasi publik dan politik terhadap keduanya. (*)

Arief Mudatsir Mandan
Anggota FPPP DPR RI Doktor Sosiologi UI

Tidak ada komentar: