Jumat, 19 Maret 2010

Kembali ke Khittah 1926


Jumat, 19 Maret 2010 | 03:40 WIB

• Nahdlatul Ulama berdiri pada 31 Januari 1926 di Surabaya untuk memberi ruang bersuara secara organisasi bagi Islam tradisionalis, terutama pesantren. Pada tahun 1920-an, banyak kiai tradisionalis khawatir dengan datangnya gerakan modernisme Islam yang menarik minat banyak umat sehingga meninggalkan cara pendidikan tradisional pesantren (Greg Fealy dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, 1996).

• NU memosisikan diri sebagai organisasi sosial keagamaan dengan fokus program adalah sosial, pendidikan, dan ekonomi. Dalam kegiatan sosial, NU berusaha membuat masyarakat Islam nyaman menjalani ritual keagamaan. Dalam bidang pendidikan berupaya meningkatkan kualitas pesantren dan pembaruan dengan mendirikan madrasah (sekolah) di lingkungan pesantren dan masyarakat umum. Dalam bidang ekonomi berupaya memodernisasi pertanian, perdagangan, dan industri antara lain melalui koperasi (Jejak Langkah NU dari Masa ke Masa, Endang Turmudi, editor, 2008).

• Tokoh penting yang membidani lahirnya NU adalah KH Wahab Chasbullah dan KH Hasjim Ashari. Wahab Chasbullah lahir di Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur; kakeknya pendiri pesantren tersebut. Dia belajar hingga ke Mekkah dan kemudian menetap di Surabaya; selain saudagar yang berhasil juga aktif dalam berbagai kelompok keagamaan dan politik. KH Hasjim Ashari berasal dari Tebuireng, Jombang, sebagai santri KH Cholil dari Kademangan, Madura; dikenal cerdas, saleh, dan pengetahuannya mendalam tentang hukum Islam dan hadis. Hasjim Ashari menjadi guru yang berpengaruh pada Wahab Chasbullah (Fealy, 1996).

• Wahab Chasbullah menjadi penggerak konsep dan kemampuan mengorganisasi dan Hasjim Ashari memberi legitimasi keagamaan sehingga peran keduanya tak dapat dipisahkan (Fealy, 1996).

• NU mengikuti ajaran ahlussunnah waljam’ah (aswaja), yaitu mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya yang termaktub dalam Al Quran dan sunah. Ajaran ini mengambil garis tengah antara ekstrem rasio (aqli) dan teks (naqli). (Slamet Effendy Yusuf, makalah diskusi).

• Khittah NU mencakup antara lain: membangun masyarakat dalam bingkai Islam dan Islam adalah agama yang menjanjikan kedamaian dan kesejahteraan; warga NU sebagai bagian dari masyarakat yang beragam; pelaksanaan program NU sebagai organisasi sosial keagamaan, meliputi dakwah, pendidikan, dan perekonomian; tidak terikat dengan partai politik mana pun; serta ikut melakukan pendidikan politik masyarakat dan mendorong demokratisasi (musyawarah) (Jejak Langkah NU). (NMP/bur)

84 TAHUN NU Mewujudkan Cita-cita Kemandirian Umat

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP
Sejumlah bendera Nahdlatul Ulama (NU) mulai dipasang di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (17/3). Hal ini menandai pelaksanaan Muktamar Ke-32 NU yang akan berlangsung di Celebes Convention Centre, Makassar, 23-28 Maret 2010.

Jumat, 19 Maret 2010 | 03:38 WIB

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

84 Tahun NU Hingga usianya mencapai 84 tahun pada 31 Januari 2010, Nahdlalatul Ulama sebagai organisasi berbasis Islam yang mengakui keberagaman dan berada di jalur tengah yang moderat telah ikut mewarnai perjalanan menjadi Indonesia.

e depan, NU menghadapi tantangan multidimensi. Globalisasi bukan hanya meliberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke desa sebagai basis warga NU, tetapi juga membawa masuk pengaruh aliran transnasional yang tarik-menarik dengan ajaran dasar NU yang tradisional dan mengakomodasi kelokalan.

Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, dan Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, dalam diskusi mengatakan, peran NU yang ikut meneguhkan bahwa negara- bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok dan Pancasila adalah final bagi Indonesia saat ini adalah warisan penting Gus Dur.

Di sisi lain, salah satu khitah penting NU, yaitu kemandirian ekonomi dan kesejahteraan warga NU, sampai kini belum memberi hasil memuaskan. Padahal, kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU agar dapat berperan sebagai organisasi masyarakat sipil yang mengontrol pemerintah.

Salah satu kritik muncul dari peserta diskusi harian Kompas yang menghadirkan sejumlah kandidat Ketua PBNU dan peneliti NU, menyambut Muktamar Ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, 22-27 Maret 2010. Alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Zuhairi Misrawi, berpendapat, NU tidak dapat menjadi organisasi masyarakat sipil selama belum mandiri dan masih mengandalkan proposal pada pemerintah atau pihak lain.

Ketua I PBNU Masdar F Mas’udi mengakui hingga saat ini basis ekonomi sebagian besar warga NU (nahdliyin) masih lemah, bahkan masih di tingkat dasar, yaitu memenuhi kebutuhan rutin sehari-hari. Lemahnya basis ekonomi menyebabkan nahdliyin mudah kehilangan jati diri dalam aras individu hingga kolektif organisasi. Padahal, tanpa kemandirian, NU dapat kehilangan martabatnya sebagai kekuatan moral dan etika. Tanpa kemandirian ekonomi, akan sulit NU menyumbang pada demokrasi substansial, bukan prosedural seperti adanya pemilu, DPR, dan pemerintahan yang lengkap. Misalnya, ikut mengontrol apakah undang-undang dan kebijakan publik yang dihasilkan benar-benar memenuhi aspirasi rakyat dan memenuhi asas keadilan.

Masalah mendasar

Setelah pernyataan kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984, upaya kemandirian ekonomi kurang dibicarakan daripada menjadikan NU wahana politik kebangsaan.

Bila melihat kembali sejarah berdirinya NU, unsur ekonomi penting dalam membangun komunitas pesantren yang merupakan basis NU. Hubungan patron klien antara kiai pemilik pondok dan santrinya basisnya juga ekonomi. Karena banyak di antara santri dari keluarga miskin, kiai menjadi harapan santri hidup dan belajar agama (Greg Barton, Biografi Gus Dur, 2002). Maka, kiai dituntut juga mampu secara ekonomi dan bagi kiai menjadi kaya bukanlah tabu, melainkan rahmat dari Tuhan. Karena itu, hal biasa bila kiai juga mengembangkan bisnis di pesantrennya.

Pada 1918 KH Wahab Chasbullah bersama KH Hasjim Ashari mendirikan koperasi Nahdlaatul Tujjar (kebangkitan para usahawan) yang meskipun usianya tak panjang berhasil menghimpun dana besar. Begitu juga pada tahun-tahun awal berdirinya, NU mendirikan beberapa koperasi (Jejak Langkah NU dari Masa ke Masa, Endang Turmudi, editor, 2008).

Kacung Marijan menegaskan, hal mendasar dalam berbagai persoalan NU adalah kemandirian ekonomi. Ketika pertanian on farm yang merupakan basis ekonomi awal NU berubah menjadi industri manufaktur dan jasa, sumbangan pesantren dari sektor pertanian juga berkurang.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah di tingkat nasional juga tidak berpihak kepada rakyat kecil. Kacung mencontohkan, kebijakan bebas pajak bagi kulit ekspor menyebabkan UKM kesulitan mendapat bahan baku dalam negeri yang bagus sehingga memakai kulit asal China yang lebih kurang mutunya.

Peserta diskusi, Ketua Al-Maun Institute Moeslim Abdurrahman, menuturkan, Gus Dur juga belum berhasil membangun ekonomi warga NU karena berkali-kali gagal di pasar. Upaya mendirikan lembaga keuangan untuk umat, antara lain Bank Nusuma, juga gagal.

Pelemahan lain adalah landreform di pedesaan, yang menurut Moeslim Abdurrahman seraya mengutip hasil penelitian Sydney Jones, menyebabkan tanah milik para kiai menyusut sehingga tidak bisa menjadi pilar pesantren. Pada gilirannya, hubungan patron klien yang merupakan pilar kekuatan NU pun terpengaruh.

Pengorganisasian

Upaya mengorganisasi warga NU, diakui pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid, bukan hal mudah. Dia mengaku kesulitan mengumpulkan dana dari warga Ponpes Tebuireng untuk lembaga sosial, sementara banyak organisasi keagamaan lain dapat dengan mudah mengumpulkan dana dari anggotanya.

Menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin, persoalannya adalah pengorganisasian. Dia menolak mitos warga NU sulit diorganisasi karena banyak contoh pengorganisasian yang berhasil membangun kemandirian ekonomi, antara lain badan otonom Muslimat dan Ponpes Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur. Bila dalam lima tahun ke depan lahir 5.000 wirausaha baru, Gus Solah optimistis NU dapat mandiri.

Contoh lain disebut Suhairi, yaitu GP Ansor di Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, dengan modal awal Rp 600.000, kini usaha perdagangan garam dan pengolahan ikannya beromzet Rp 2 miliar. Ponpes Sunan Drajat di Lamongan, Jawa Timur, menanami lahan kritis sekitar pondok dengan mengkudu lalu membotolkan jusnya serta membuat air minum kemasan, dan di Tayu, Pati, Ponpes Darul Rohmat bersama LP2NU mengembangkan usaha pupuk fosfat.

Tidak berlebihan bila Gus Solah melihat pengorganisasian nahdliyin sebagai peluang mencapai kemandirian. Seperti ditekankan Kacung Marijan, tantangan NU ke depan bukan lagi ada tidaknya kaitan antara nilai-nilai tradisional dan modern dalam artian luas, melainkan pada praksis dan operasional.

Dengan kata lain, bila NU dapat menjadi organisasi masyarakat sipil mandiri, dia dapat lebih memengaruhi kebijakan publik untuk kemajuan nahdliyin dan bangsa Indonesia.

Fundamentalisme di Jantung NU


Jumat, 19 Maret 2010 | 03:23 WIB

Oleh Ahmad Arif

ideologi Pemahaman Islam yang puritan dan cenderung radikal telah merangsek ke kantong-kantong Nahdlatul Ulama. Tak hanya di wilayah pinggiran, pemahaman itu juga telah menusuk ke jantung NU dengan terjadinya pergeseran pemahaman terhadap Islam di pesantren- pesantren yang menjadi basis gerakan organisasi massa ini.

eberapa pesantren NU, yang sebelumnya menjadi titik pusat penyebaran Islam berwajah damai dan kontekstual dengan lokalitas, telah berubah menjadi tempat penyebaran ideologi garis keras, kaku, dan berpandangan ekstrem karena memahami teks kitab suci secara harfiah. Bahkan, beberapa pesantren NU disebut telah menyuarakan penolakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.

Pergeseran ini, menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, harus dipandang sangat serius karena pesantren adalah roh NU. ”Roh NU, ya, pesantren. Dari pesantren yang kemudian berekspansi ke wilayah-wilayah lain,” katanya.

Nusron Wahid, peserta diskusi, menyebut perubahan ideologi di pesantren itu terjadi karena adanya tradisi menyekolahkan anak-anak kiai untuk belajar tentang Islam ke Haromain, yaitu Mekkah dan Madinah. Tradisi ini sudah ada sejak awal berdirinya NU. Dari sana tersemai tokoh-tokoh kunci di NU. Hampir tak ada pesantren besar NU, misalnya Lirboyo, Ploso, atau Sarang, yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke Haromain. Tradisi itu tidak putus dan berlanjut sampai sekarang.

Masalahnya, faham keagamaan di Haromain telah didominasi Wahabi yang menekankan ”pemurnian” Islam dengan wadah ”negara Islam”. Akibatnya, banyak ”gus” atau anak kiai sekembali ke Indonesia meninggalkan faham yang dianut sejak kecil dan faham orangtuanya. ”Perubahan ini sudah masuk ke jantung NU,” kata Nusron.

Sedangkan Ketua PBNU Masdar F Mas’udi mengatakan, pergeseran pemikiran di beberapa pesantren ini terjadi karena perhatian sebagian nahdliyin (warga NU) terjebak pada aspek fikih dalam artian legal formal, misalnya bagaimana cara beribadah, keagamaan ketimbang nonfikih. ”Saya kira generasi belakangan yang terdidik di Timur Tengah kurang lebih berkutat di wilayah itu,” katanya.

Akibatnya mereka melihat masalah lebih hitam-putih secara diametral dan ini membikin pandangan dunia lebih kaku dan hitam-putih: haram vs halal, sunah vs bidah (sesat), dan sebagainya. ”Padahal, syariah dalam tradisi pemikiran fikih sebenarnya sangat bergantung pada bagaimana menalar teks, dan teks itu sebenarnya sangat lentur. Satu teks yang sama bisa dipahami berbeda, bahkan bisa bertentangan, tergantung dari mana sudut pandangannya,” kata Masdar.

Masdar menyarankan, ke depan harus didorong munculnya cara pandang baru di tubuh nahdliyin, bahwa Islam itu dasarnya bukan pada aspek legal formal, tetapi pada akhlak, yaitu sisi etika dan moralitas. ”Ini yang harus lebih dikembangkan supaya orang Islam tidak selalu berpikir mesti punya negara sendiri, yaitu negara eksklusif karena pemahaman hukum yang eksklusif,” ujarnya.

Azyumardi Azra tak menampik adanya pergeseran pemahaman keagamaan itu. Bahkan, dia menyebut adanya usaha sistematis menguasai, menginfiltrasi, dan menguasai lembaga-lembaga NU. ”Di dalam lingkungan NU muncul tarik-menarik antara kekuatan yang dianggap liberal dan kekuatan yang lebih dianggap konservatif, bahkan mungkin ultrakonservatif,” katanya.

Hal itu, menurut Azyumardi, menyebabkan organisasi lamban merespons masalah-masalah mendasar, khususnya terkait radikalisme dan terorisme. ”Kadang-kadang NU terlalu meremehkan dan tidak mau tegas menghadapinya. Mungkin takut tidak populer, takut sebagian umat Islam tidak akan suka ketika NU berbicara terlalu tegas mengutuk tindakan-tindakan radikal dan teroristik,” ujarnya.

Mengingkari sejarah

Fenomena ini bukan saja menunjukkan ajaran NU mulai kehilangan pengaruh di mata umatnya, tetapi juga pengingkaran terhadap sejarah kelahiran organisasi ini. Pendirian organisasi ini pada 1926 adalah respons terhadap pemahaman Islam garis keras yang muncul dari berkuasanya kelompok Wahabi di Arab Saudi yang menekankan pada ”pemurnian” Islam dengan wadah ”negara Islam”. Ulama NU kemudian menyerukan ajaran yang berbasis pada konteks lokal, lebih lembut, damai, dan menghormati keberagaman.

Kacung Marijan mengatakan, salah satu sumbangan terbesar NU adalah mengembangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah yang kontekstual dengan kondisi lokal. Di dalam ajaran demikian, Islam yang diemban bukan saja ”Islam tengah”, melainkan juga ajaran Islam yang dianut orang Indonesia. Adanya penghormatan terhadap kultur lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam telah menjadi karakteristik penting gerakan NU.

Sejak awal NU berusaha menampilkan wajah Islam di Indonesia sebagai Islam yang dianut orang Indonesia, bukan oleh orang Arab yang menganut Islam. ”Karena pemahaman ini, konteks lokal Islam menjadi sangat kuat,” kata Kacung.

Dialog Islam dengan lokalitas yang dianut NU, menurut mantan Ketua PWNU Jawa Timur Ali Maschan Moesa, diwarisi NU dari ajaran para wali yang sukses menyebarkan Islam di Nusantara secara massal dan damai pada tahun 1400-an. ”Hampir tanpa setetes darah pun mengalir dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara ketika itu,” katanya.

Selain itu, menurut Kacung, berdirinya NU juga didasari semangat nasionalisme untuk keluar dari kolonialisme. ”Ketika lahir, NU bukan bagian dari gerakan Pan-Islamisme karena NU tidak mempertentangkan Islam dengan kebangsaan,” ucapnya.

Inilah yang menjadi dasar penolakan para tokoh NU terhadap negara Islam dan lebih memilih negara Indonesia yang berdasar keragaman atau Pancasila. ”Sejak menjadi pengendali lokomotif NU, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) telah berusaha membawa spirit 1926. Salah satunya membawa NU sebagai gerakan moderat Islam dan kebangsaan,” katanya.

Upaya ini, menurut Kacung, terlihat dari kegigihan Gus Dur untuk menegaskan negara Pancasila merupakan wujud final negara Indonesia, juga peneguhan bahwa negara-bangsa Indonesia merupakan negara-negara plural yang terdiri dari berbagai kelompok. ”Gus Dur dan NU telah menjadi garda depan di dalam peneguhan Islam moderat dan pluralisme,” kata Kacung.

Ruang dialog

Menjadi salah satu tantangan terbesar NU pasca-Gus Dur adalah mempertahankan penyatuan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.

”Bagi Gus Dur, keislaman haruslah selalu terkontekstualisasi dengan realitas lokal melalui proses pribumisasi Islam,” kata Azyumardi.

Warisan NU, khususnya pada era pasca-Gus Dur, menurut Azyumardi, menjadi penting di tengah meningkatnya transnasionalisme gagasan dan gerakan, gejala menguatnya dua bentuk fundamentalisme, yaitu fundamentalisme literal dan fundamentalisme liberal.

Dalam bahasa Zuhairi Misrawi, peserta diskusi, ”Bagaimana mengawal kebinekaan inilah yang menjadi kegelisahan saya saat ini. Apakah ke depan NU akan mengawal kebinekaan ini.”

Azyumardi mengingatkan, peran penting NU ke depan adalah meneguhkan kembali organisasi ini sebagai ”Islam washatiyyah” atau Islam jalan tengah (Islam middle way); tidak ke kanan maupun ke kiri—yang sering disebut sebagian kalangan sebagai fundamentalisme literal pada satu pihak dan fundamentalisme liberal pada pihak lain.

”Meningkatnya transnasionalisme gagasan dan gerakan, serta menguatnya kedua bentuk fundamentalisme dapat menimbulkan perpecahan dan guncangan di tubuh NU,” katanya.

Karena itu, menurut Azyumardi, pimpinan NU di berbagai level seyogianya melakukan pendekatan dan dialog intens dengan kedua belah pihak. Mengalienasi, memarjinalkan, atau menyingkirkan kedua gejala ini dapat kontraproduktif bagi NU dan Khittah 1926.

Kultur Pesantren, Kekuatan NU

KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI
Salah satu kegiatan wajib yang dilakukan santri di Pondok Modern Darussalam Gontor adalah menjalankan shalat lima waktu secara bersama-sama di masjid.
BASIS

Jumat, 19 Maret 2010 | 03:30 WIB

Oleh DOTY DAMAYANTI

Di tengah kegalauan akan masa depan Nahdlatul Ulama, muncul kesamaan pendapat di kalangan orang dalam dan para pengamat bahwa NU harus kembali berorientasi pada pemberdayaan umat. Pemberdayaan yang mencakup bukan hanya politik, tetapi juga konteks sosial ekonomi.

uru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Dr Kacung Marijan, mengemukakan, ada tiga spirit yang mengiringi pembentukan NU. Pertama, spirit keagamaan. NU berdiri sebagai gerakan keagamaan yang memahami Islam dalam konteks lokal. Islam dalam konteks Indonesia sangat dipengaruhi kultur.

Kedua, spirit kebangsaan. NU merupakan gerakan yang bersama-sama dengan gerakan-gerakan lain pada masa didirikan melakukan perlawanan kepada Belanda. Ketiga, spirit kemandirian ekonomi. Meskipun jarang disinggung, berdirinya organisasi NU tidak lepas dari upaya mengembangkan ekonomi kerakyatan.

Namun, ketiga spirit ini ternyata tidak dipahami seluruhnya oleh kalangan nahdliyin (warga NU).

Jika menengok jauh ke belakang, NU, yang sekarang berdiri sebagai organisasi keagamaan yang besar, sebenarnya bermula dari kegiatan kecil di lembaga pengajaran bernama pesantren.

Pesantren-pesantren di Jawa muncul sebagai sarana untuk menyebarkan Islam. Biasanya dipilih daerah terpencil yang masyarakatnya miskin karena kemiskinan dekat dengan kekufuran. Pesantren menawarkan pengajaran agama melalui pengajian kepada mereka yang tidak mampu, sesuatu yang mewah bagi masyarakat desa.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam bukunya, Islam Kosmopolitan, menyebutkan, semua mata pelajaran dalam pengajian bersifat aplikatif yang berarti harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak tersentuh aplikasi pengajian, mulai dari ibadat ritual sampai ke cara berdagang yang dibolehkan agama. Oleh karena itu, proses ”pengajian” yang dilakukan kiai kepada santrinya sama artinya dengan proses pembentukan tata nilai yang lengkap.

Tidak heran, dari yang awalnya hanya belajar agama dengan keluasan wawasan kiai pimpinannya, diajarkan pula pendidikan pertanian dan perdagangan yang sangat terkait dengan kehidupan masyarakat.

Perkembangan pesantren memang sangat bergantung kepada kiai pendiri yang membiayai sebagian besar kegiatan pesantren dengan sedikit sumbangan masyarakat. Hal ini membuat pola patron klien antara santri dan kiai semakin kuat. Penghormatan kepada kiai bukan hanya sebagai guru, tetapi juga penopang hidup. Apalagi jika ilmu dan karisma gurunya sebesar dua kakek Gus Dur, yaitu Hasyim Asyari dan Bisri Syansuri.

Subkultur

Ketaatan sukarela datang bukan hanya dari santri, tetapi juga masyarakat yang pernah mendengar khotbah sang kiai. Oleh karena itu, ketika sejumlah kiai berpengaruh, termasuk Wahab Chasbullah dan Cholil yang didukung Hasyim Asyari membentuk Nahdlatul Ulama, para santri dan masyarakat sekitar pesantren sukarela masuk menjadi umat. Ketika NU menjadi partai, ketaatan atas kebesaran dan keluasan pengaruh karisma para kiai itu tecermin dari perolehan suara yang menempati urutan ketiga terbanyak pada Pemilihan Umum 1955.

Cara hidup pesantren yang unik ini, di mana ada tata nilai yang diikuti dan hierarki kekuasaan internal tersendiri, membuat pesantren bisa bertahan berabad-abad. Pesantren menjadi sebuah subkultur. Gus Dur berkeyakinan, pesantren bahkan bisa mentransformasi total sikap hidup masyarakat sekitar tanpa harus mengorbankan identitas diri.

Namun, Nurcholish Madjid pada salah satu tulisan yang terangkum dalam buku Pergulatan Pesantren Membangun dari Bawah mencatat ada beberapa kekurangan pesantren yang mengakibatkan ia gagal memainkan peran besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional. Kekurangan itu, antara lain, kurang jelasnya tujuan pendidikan pesantren. Nurcholish mencatat pada sebagian kasus, keterbatasan pemahaman pemimpin pesantren dalam membawa pesantrennya untuk merespons perkembangan zaman membuat pesantren tidak mampu membawa peran penting dalam keseluruhan sistem masyarakat.

Posisi ulama dan pesantren itu, menurut Salahuddin Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, merupakan bagian tidak terlepaskan dari keberadaan NU. ”Kalau kita bicara NU, ada empat hal terkait, yaitu ajaran agama, warga NU dalam konteks sosial ekonomi, ulama dan pesantren, serta NU sebagai organisasi,” ujar Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin Wahid.

Gus Solah mengakui, banyak pesantren mengalami pergeseran dalam titik berat kegiatannya, dari pesantren tradisional menjadi pesantren modern. Sayangnya, pesantren modern ini mutunya kurang baik. Ia mencatat, NU yang memiliki sejarah panjang dengan tokoh-tokohnya yang menonjol saat ini menghadapi beberapa kelemahan. Ia melihat NU sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) justru cenderung memakai paradigma organisasi politik (orpol) yang kental nuansa pragmatisme dan kurang berorientasi amal usaha sosial. Hal itu ditambah lagi dengan mutu organisasi yang kurang baik di mana tidak ada transparansi, tidak ada standar dalam mengukur kinerja, dan kurang mampu bekerja sama.

”Akibat kurang mampu menggali potensi, amal usaha sosial NU ketinggalan jika dibandingkan dengan Muhammadiyah,” kata Gus Solah.

Meneguhkan posisi

Organisasi NU tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan lebih dari 400 cabang, tetapi tercatat hanya ada pengurus wilayah NU yang kegiatan usahanya cukup nyata antara lain di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.

Kenyataan tersebut diamini anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Ali Maschan Moesa. Menurut Ali, potensi pemberdayaan umat melalui NU sebenarnya sangat luar biasa. Ia memberi satu contoh kecil gerakan mengumpulkan beras (jimpitan) di sejumlah ranting NU di Jawa Timur yang hasilnya di luar dugaan. ”Dalam sebulan ada ranting yang bisa dapat Rp 700.000. Itu kan sudah ngalah-ngalahi BLT (bantuan langsung tunai), langsung saja dibagikan ke anak yatim dan keluarga tidak mampu,” kata Ali.

Menurut Ali, masih ada masalah yang belum selesai antara NU sebagai struktur dan NU sebagai kultur. ”Orang tahu NU sebenarnya kultur yang kemudian diwadahi dalam struktur. Antara struktur dan kultur ini yang harus seimbang,” kata Ali.

Ketua PBNU KH Masdar F Mas’udi menilai konsep sosial keagamaan yang diajarkan Islam dan diusung NU tak dipahami sepenuhnya oleh kalangan umat Islam umumnya dan nahdliyin khususnya. Ini yang membuat tujuan membangun masyarakat adil sejahtera, egaliter, dan demokratis sulit diwujudkan karena NU sebagai organisasi menjadi sulit berjalan.

”Tetap saja yang populer di mata mereka adalah agama sebagai agenda personal dan ritual,” kata Masdar.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra mengemukakan, dengan sejarahnya sebagai ormas yang mandiri dalam pembiayaan dan pengelolaan, penting untuk kembali meneguhkan posisi NU dalam memperkuat integrasi keislaman di Indonesia.

”Dalam konteks ini, hal-hal yang sudah dirintis Gus Dur tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan itu serius untuk dilanjutkan. Masalahnya warisan Gus Dur itu akan menghadapi tantangan serius. Saat ini saja banyak tokoh-tokoh NU yang menolak menggunakan istilah pluralisme,” kata Azyumardi.

Dalam kaitan itu, Azyumardi menilai pengurus NU perlu mewaspadai usaha-usaha sistematis yang dilakukan pihak tertentu untuk menguasai dan menginfiltrasi lembaga-lembaga terkait NU, termasuk lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan.

POLITIK KEKUASAAN Rahmat bagi Semua

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Pelantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 1999. Dukungan Partai Kebangkitan Bangsa kepada Gus Dur menandai keterlibatan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dalam politik praktis.

Jumat, 19 Maret 2010 | 03:33 WIB

Oleh Josie Susilo Hardianto

Riuh tempik sorak terdengar ketika Lili Wahid, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, berdiri sendirian menyatakan pendapat yang berbeda dari semua anggota fraksinya dalam rapat paripurna pengambilan keputusan DPR atas kasus Bank Century, Rabu (3/3). Ia mendukung opsi C, yang menyatakan ada kekeliruan dalam proses pengucuran dana bagi Bank Century.

ak kurang Maruarar Sirait dan Budiman Sudjatmiko dari Fraksi PDI-P datang menyalami. Sampai-sampai Rieke Dyah Pitaloka yang juga dari Fraksi PDI-P memberi gantungan bergambar banteng bermoncong putih. Walau sendirian, suara Lili sangat berpengaruh bagi kemenangan mutlak kubu pendukung opsi C itu.

Meski ancaman penggantian antarwaktu menunggu, toh, Lili tidak surut. Bahkan, mengomentari sikap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang akan memecatnya, Lili tetap tenang. Posisinya tetap kukuh meski partainya sejak awal menyatakan dukungan dan terlibat dalam koalisi partai-partai pemerintah.

Di mata publik, pilihan Lili dinilai menyuarakan nurani rakyat. Berbeda dari pandangan PKB yang dianggap mendukung kebijakan pemerintah dalam kasus Bank Century.

Hubungan Lili dan Muhaimin adalah fenomena menarik. Meski secara biologis Muhaimin Iskandar dan Lili Wahid berkerabat, toh, di ranah politik mereka berseberangan. Hal seperti ini seolah melambangkan relasi antara warga Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah.

Sebagai kekuatan politik, NU sesungguhnya raksasa. Ia ormas Islam terbesar di Indonesia. Survei Lembaga Survei Indonesia tahun 2009 menyebutkan, jemaah NU mencapai 38 persen dari total jumlah umat Islam di Indonesia.

Namun, sebagaimana dikemukakan Salahuddin Wahid, NU juga amat cair dan karena itu tidak mungkin menggumpalkannya dalam satu tubuh partai politik. Kacung Marijan, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, menyebutkan, sebagai entitas antara jamiyah dan jamaah, NU memiliki nilai-nilai bersama yang mempertautkan semua warga NU, yaitu ahlussunnah waljama’ah. Tetapi, secara kultural NU merupakan entitas yang terdiri atas komunitas-komunitas lokal (baca: pesantren) yang memiliki otonomi sendiri.

Sebagai nilai besar, NU adalah homogen. Akan tetapi, pada sisi praksis, kepentingan di dalam NU sangat beragam. ”Karena itu, ketika Pengurus Besar NU membuat jabaran saluran politik warga NU boleh beragam, secara ’alamiah’ membuat warga NU begitu mudah terpisah-pisah afiliasi politiknya,” kata Kacung.

Panggilan dasar

Lahir sebagai bagian dari dinamika politik nasional dan internasional pada tahun 1926, NU sejak awal memang tidak memosisikan diri sebagai partai politik. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU lebih menjadi kekuatan politik kebangsaan daripada kekuatan politik praktis.

Di tengah aneka tarikan kepentingan politik pada tiap-tiap masa, para tokoh NU, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Machfudz Siddiq, KH Wahid Hasyim, hingga KH Abdurrahman Wahid, sebenarnya lebih tampil sebagai guru bangsa daripada politisi.

Meski beberapa kali terpikat dan masuk dalam gemerlap kontestasi politik praktis nasional, NU tetaplah organisasi yang sejak awal berdiri memang memosisikan diri pada pembaruan yang mendudukkan nilai-nilai Islam dan kultur setempat.

Sebagaimana dikemukakan H Soeleiman dan Mohammad Subhan dalam Antologi NU, mengikuti faham ahlussunnah waljama’ah dan memandang Islam sebagai agama fitri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia menjadikan NU sangat toleran, terbuka, dan membasis pada masyarakat dan kultur setempat. Dakwahnya mengikuti model Wali Songo, menyesuaikan dengan budaya setempat dan tidak mengandalkan kekerasan.

Dengan disposisi dasar seperti itu—moderat, toleran, dan seimbang antarsesama umat manusia dan manusia-Allah—NU seolah dilahirkan atau ditakdirkan menjadi perekat bangsa yang masyarakatnya sangat beragam ini.

Itulah yang disebut Kacung sebagai karakteristik penting dari gerakan yang dibawa NU. Ia lahir lebih sebagai gerakan kebangsaan daripada bagian dari gerakan Pan-Islamisme. Dan NU, yang basisnya masyarakat pedesaan, merupakan gerakan ekonomi rakyat.

Ketika tergelincir dalam sejarah politik praktis sejak tahun 1950-an, para tokoh NU mengajak warga NU kembali ke Khittah 1926, khitah dasar NU. Demikian juga ketika NU kembali masuk ke dalam arena politik praktis era Orde Baru melalui Partai Persatuan Pembangunan, NU diajak Abdurrahman Wahid kembali melihat nilai-nilai dasar itu melalui Muktamar Ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984.

Bersama Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, NU berkembang menjadi sosok ormas yang giat mempromosikan demokrasi, nilai-nilai kesetaraan sebagai warga negara dan kebangsaan. Posisi itu pula yang kembali diteguhkan pada Muktamar Ke-31 di Donohudan, Solo, pada 2004, setelah terseret masuk kembali ke kancah politik praktis pasca-kejatuhan Presiden Soeharto.

Kali ini, menjelang muktamar di Makassar, para calon ketua umum PBNU kembali mengajak warganya kembali pada semangat dasar 1926 tadi. Tampaknya mereka, antara lain Salahuddin Wahid, Masdar F Mas’udi, dan Ali Maschan Moesa, sadar betul di mana posisi sebenarnya NU dalam jagat keindonesiaan.

Pencerahan

Dengan jumlah warganya yang besar dan dengan sikap dasar terbuka, NU lebih tepat hadir sebagai kekuatan pencerah daripada kekuatan politik praktis. NU akan mampu mengemban idealisme politik justru jika ia mampu menghidupi tegangan antara politik praktis dan perjuangan kebangsaan.

Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra mengemukakan, salah satu warisan terpenting Gus Dur bagi Indonesia adalah integrasi antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.

Pada saat Gus Dur menduduki kursi kepresidenan, kiai itu mengubah banyak wajah Indonesia. Bagi semua warga negara, Indonesia hadir dengan wajah yang ramah. Bendera bintang kejora di tanah Papua diakui sebagai simbol kultural, Konghucu diterima sebagai agama, korban pelanggaran hak asasi manusia dibuka peluangnya memperoleh keadilan melalui pengadilan HAM ad hoc, dan dwifungsi ABRI ditiadakan.

Peran pembaru itu sejak awal memang terwariskan ke dalam tubuh NU. Mungkin saja, kesadaran bahwa meskipun memiliki massa besar tetapi cair, dan karena itu tidak dapat menjadikan NU sebagai satu kekuatan politik praktis melalui parpol, adalah pintu kesadaran penting tentang perannya sebagai motor pencerahan bangsa.

Artinya, bukan sekadar soal Lili Wahid memilih apa dan PKB mengambil sikap apa, tetapi sebagai sesama warga NU mereka sebenarnya tengah mengemban misi lain, yaitu menjadikan politik sebagai bagian dari rahmat bagi semua.

Selasa, 09 Maret 2010

Merenungi Politik Kita


Selasa, 9 Maret 2010 | 02:49 WIB

M Alfan Alfian

Mencermati day to day politik Indonesia, khususnya pasca-menangnya opsi C sebagai rekomendasi Rapat Paripurna DPR, yang kemudian disambut dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Boediono, dan Ketua DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, kita rasanya berada di dalam situasi politik yang semakin konfrontatif.

Telah terjadi quasi—”Bharatayuda” di jagat politik kita. Barangkali berlebihan kesan demikian, tetapi, bukankah yang cukup menonjol belakangan adalah pengertian politik sebagai sebuah adu kekuatan?

Pada tahun 1936 ilmuwan politik Amerika Serikat, Harold Dwight Laswell, menerbitkan buku Politics: Who Gets What, When, How. Judul buku tersebut merupakan definisi politik menurut pengertiannya. Sengaja atau tidak, Laswell telah menanamkan pengertian yang paling pragmatis atas politik, siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana. Apa yang dilontarkannya itu sangat mudah dipahami, bahwa memang demikianlah politik.

Akar konfrontasi, dari kacamata Laswell, terjadi ketika definisi tersebut diterapkan dan mengundang ketidakpuasan dari para pelaku kunci politik. Pengertian ”mendapatkan sesuatu”, bukan berarti yang bersifat fisik, seperti uang atau materi lain, tetapi, tentu juga yang non-material, seperti ideologi, kedudukan, harga diri, dan gengsi. Di dalam ”mendapatkan sesuatu”, semua kekuatan politik saling bersaing di dalam suatu arena permainan politik.

”All my games,” Kata Indira Gandhi, Perdana Menteri perempuan India pada masanya, ”were political games”. Politisi mestinya sadar, sejak awal politik adalah juga merupakan suatu permainan, tak sekadar adu ketangkasan, tetapi lebih dari itu adalah adu kekuatan. Pendekatannya, bisa secara keras (dominatif) atau sebaliknya lembut (soft) atau hegemonik. Dalam menyerang dan bertahan secara politik, politisi bisa bergaya seperti apakah Mohammad Ali ataukah Mike Tyson dalam bertinju.

Akan tetapi, jangan lupa bahwa politik tidak semata-mata identik dengan adu kekuatan. Politik juga banyak dibahas dari sudut pandang filsafatnya. Dari Aristoteles, misalnya, kita mengenal ungkapan zoon politicon, manusia pada dasarnya merupakan ”seekor binatang politik”. Namun, Aristoteles tidak berpandangan negatif pada politik, justru ia mendefinisikannya sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Politik dan moral

Dalam filsafat politik, kita juga mengenal istilah political virtue, di mana virtue itu sendiri bermakna moral excellence. Dalam berpolitik, karena itu, moral jangan dilupakan, mengingat urusan politik itu sejatinya adalah urusan moral. Oleh sebab itulah, kita biasa mendengar ungkapan- ungkapan seperti kesetiaan (loyalitas) dan dedikasi, atau pengkhianatan dan penggerogotan dalam politik, serta banyak istilah ”moral” lain dalam konteks political game.

Wapres Boediono, dalam pidatonya sebagai respons pasca- rekomendasi DPR, menegaskan dirinya tidak akan mundur serta ”tidak akan mengkhianati kepercayaan Presiden dan meninggalkan Beliau”. Kalimat ”tidak akan mengkhianati” adalah ”kalimat moral”, yang biasa diungkapkan para samurai di Jepang pada masanya. Dari sudut pandang pendukung Boediono, kalimat itu bijak. Akan tetapi, tidak demikian bagi para lawan politik yang mengimbau agar dirinya mundur karena telah terdelegitimasi secara politik.

Partai-partai koalisi yang berseberangan pendapat dengan induk koalisi diprotes sebagai ”pengkhianat”. Namun, partai- partai itu berargumentasi bahwa pihaknya tidak mau ”mengkhianati kebenaran”. Dalam konteks mereka, ”kebenaran” yang dibelanya terletak di opsi C. Dalam logika praktis koalisi, konsekuensinya mereka harus dihukum, dengan mengeluarkannya dari barisan koalisi pemerintah. Akan tetapi, tentu saja segera menyusulkan konsekuensinya. Rekalkulasi dan pergeseran peta politik itu biasa di dalam dinamika politik yang demokratis.

Memahami konsekuensi

Demikianlah, kiranya, politik itu tetap merupakan hal yang subyektif. Kebenaran politik tentulah subyektif, di mana pemenuhannya dilakukan dengan cara ”adu kekuatan”. Kebenaran politik bisa merupakan ”kebenaran orang banyak” atau ”kebenaran entitas elite politik”. Dalam demokrasi, politik juga identik dengan dukungan, baik atas mereka yang dipilih langsung maupun tak langsung.

Politik juga identik dengan kebijakan publik. Para penentu kebijakan publik tentu saja adalah pejabat politik. Profesionalitas mereka harus dibarengi dengan kesadaran multiaktor. Pejabat politik akan selalu berhadapan dengan risiko politik. Peristiwa menteri kabinet yang di-reshuffle presiden, misalnya, tentu merupakan peristiwa politik. Karena itu, rancu bila ada pejabat politik yang mengatakan dirinya tak mau berurusan dengan politik.

Politik punya logikanya sendiri. Orang yang dikenal bersih dari kasus hukum, sederhana dan jujur, bisa terkena imbas politik di mana ia tidak bisa mengelak meski bersikukuh mengatakan dirinya tak bersalah. Politik hari ini sering tidak dapat dipahami sekarang, tetapi bisa jadi puluhan tahun lagi. Sejarah akan menilai, mengapa MPRS menolak Pidato Nawaksara Bung Karno. Sejarah juga akan menilai apa-apa yang terjadi di belantara politik kita hari ini.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Jumat, 05 Maret 2010

EKSTRAPARLEMENTER Berunjuk Rasa, Menimbang Demokrasi

KOMPAS/DANU KUSWORO
Sejumlah polisi dikerahkan untuk mengangkat paksa pengunjuk rasa dari Bendera yang bertahan melebihi ketentuan batasan unjuk rasa di depan gerbang Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (3/3).

Jumat, 5 Maret 2010 | 05:50 WIB

Oleh B Josie Susilo Hardianto

Lawan penindasan… Raih perdamaian… Dan pagar besi kokoh itu bergoyang-goyang karena dorongan. Nyanyian terus membahana di udara yang basah oleh sisa uap air dan bau keringat. Teriakan para pengunjuk rasa yang berisi gugatan agar para wakil rakyat peduli terhadap suara masyarakat berseling dengan denting bunyi kayu beradu besi pagar gerbang kompleks kantor DPR. Sore pun berlalu dengan seruan perjuangan, nyanyian harapan, juga serapah.

Umumnya mereka adalah mahasiswa. Ada pula buruh dan warga lain. Mereka tergabung dalam berbagai massa aksi seperti GMNI, PMKRI, HMI, serta kesatuan massa aksi dari berbagai kampus seperti Trisakti hingga kelompok masyarakat seperti Bendera.

”Kehadiran kami untuk memberikan dukungan moral agar para wakil rakyat konsisten dan tetap berpihak kepada kepentingan rakyat,” kata Abdul Gofar, Ketua Badan Koordinator Jawa Bagian Barat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Gofar mengatakan, dukungan seperti itu perlu ditunjukkan kepada para anggota parlemen agar mereka tidak berbalik arah dan terjebak dalam politik transaksional. Melemahnya berbagai panitia khusus yang pernah dibentuk DPR, seperti dalam kasus kenaikan harga bahan bakar minyak, membuat mereka merasa perlu untuk menunjukkan dukungan itu.

Efektif

Tak bisa diabaikan, gerak perubahan dalam sejarah Indonesia kerap ditandai gerakan massa yang masif. Sebut saja aksi massa yang menuntut pembubaran PKI, lalu ada Malari, hingga gerakan mahasiswa tahun 1998 yang mengiringi runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto.

Memasuki era demokrasi yang lebih modern dan maju dengan berbagai komponen dan prosedurnya—misalnya pemilihan langsung—tetap saja tidak menyurutkan gerakan massa itu.

Bahkan, pada satu titik, gerakan massa itu dinilai lebih efektif memengaruhi terjadinya perubahan dan lahirnya sebuah kebijakan yang lagi-lagi dianggap lebih berpihak kepada rakyat. Dalam konteks itu sebut saja gerakan Cicak melawan Buaya serta gerakan satu juta facebookers untuk mendukung dua komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Dalam ruang demokrasi, di mana hak dan kebebasan seseorang sungguh dihormati, keberadaan pengunjuk rasa seperti itu sangat dimungkinkan, apalagi ketika saluran-saluran formal bagi suara rakyat dinilai telah tersumbat. Yang berunjuk rasa pun dari beragam kelompok, mulai dari mahasiswa, organisasi profesi, hingga intelektual. Hal ini tampak jelas terjadi di negara berkembang.

Ketika kinerja parlemen tidak efektif dan kekuasaan partai politik menjadi sangat dominan terhadap anggota parlemen, koreksi dan kontrol yang efektif dari masyarakat diperlukan. Dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Haryatmoko, mengatakan, itu terjadi agar kedaulatan rakyat tidak disita oleh para wakil mereka yang notabene dikendalikan oleh elite partai atau pemodal.

”Bagaimanapun, proses demokrasi harus dikoreksi karena ada semacam mitos bahwa wakil rakyat adalah representasi suara publik. Padahal, yang kerap terjadi adalah setelah terpilih mereka lebih banyak tidak peduli kepada suara masyarakat. Kepentingan-kepentingan partai politik, kelompok, bahkan pribadi justru lebih diutamakan,” kata Haryatmoko.

Dalam kondisi wakil rakyat lebih berposisi sebagai mesin kepentingan partai daripada memfasilitasi kepentingan publik disitulah kehadiran pengunjuk rasa atau kekuatan ekstraparlementer lainnya menjadi penting. Mereka memberikan tekanan pada pentingnya memerhatikan rasa keadilan publik.

Mewajah

Keberadaan kekuatan ekstraparlementer menunjukkan apa yang disebut Claude Lefort dalam Democracy and Political Theory sebagai proses untuk ambil bagian dalam upacara-upacara untuk memberi wajah. Gagasan itu menjelaskan bagaimana masyarakat mengambil bagian dalam mesin-mesin sosial untuk mengorganisasi diri.

Haryatmoko mengatakan, masyarakat keluar dari posisi anonimitasnya. Mereka keluar dari posisi yang dalam gagasan Satre disebut manusia seri. Sebagai kekuatan ekstraparlementer, masyarakat mencoba menunjukkan diri dan kekuatan. Mereka tidak lagi hanya realitas angka-angka yang tidak berdaya, tak terorganisasi, dan hilang dalam kerumunan.

Kehadirannya menjadi bagian dari proses mengoreksi dan memodifikasi demokrasi. ”Karena pada prinsipnya demokrasi bukan final,” kata Haryatmoko menambahkan.

Sistem

Di sisi lain, pengamat politik Arbi Sanit mengatakan, gerakan ekstraparlementer perlu juga disikapi kritis. ”Apalagi jika sudah menggunakan kekerasan. Karena apa pun bentuknya, tidak ada argumentasi apa pun yang membenarkan adanya kekerasan. Kalau mau demo, harus jelas argumentasinya,” kata Arbi Sanit.

Ia sependapat, adanya kekuatan ekstraparlementer menunjukkan adanya persoalan dalam semesta politik di Indonesia. Pemerintah, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, belum ada dalam posisi stabil dan efektif. Basis demokrasi, yaitu hak dan kebebasan, dimaknai dan bisa jadi dihidupi secara keliru.

Aturan main yang telah disepakati tidak dilaksanakan dengan baik. ”Contohnya, kita memilih sistem presidensial, tetapi cara mainnya parlementer. Ini menjadi persoalan karena demokrasi yang sederhana saja tidak dijalani,” kata Arbi Sanit.

Konsistensi pada pilihan sistem bernegara ternyata diabaikan. Kegagalan pada masa lalu tidak cukup dijadikan pelajaran sehingga rentan untuk kembali gagal. Akibatnya stabilitas politik goyang dan terabaikan.

Kasus Century, tutur Arbi Sanit, menjadi contoh betapa pilihan sistem tidak dihidupi dengan benar dan itu justru melemahkan demokrasi. Baik Haryatmoko maupun Arbi Sanit berpendapat senada, yaitu jika supremasi hukum benar hidup di Indonesia, sejak awal sebenarnya kasus Century didekati melalui hukum dan itu menandai satu indikasi sehatnya demokrasi di Indonesia.

BANK CENTURY Agar Demokrasi Tak Sebatas Hak Angket

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Anggota Dewan memberikan aplaus kepada anggota Fraksi PPP yang memilih opsi C dalam voting terbuka Rapat Paripurna DPR yang membahas penanganan skandal Bank Century, Rabu (3/3).

Jumat, 5 Maret 2010 | 05:51 WIB

OlehNinuk Mardiana Pambudy

Pemungutan suara dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat membahas temuan Panitia Khusus DPR tentang Bank Century, Rabu (3/3), dimenangi suara yang menduga ada penyimpangan dalam pemberian dana talangan dan penyalurannya sehingga harus diproses hukum.

Ada pembelajaran penting dari proses demokrasi dalam penyelidikan yang dilakukan Pansus Century DPR. Yang paling mencolok adalah partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya proses penyelidikan kasus Bank Century—dengan terbukanya media—ternyata berhasil mengawal fungsi hak angket DPR hingga tuntas.

Meskipun partai politik di DPR telah membuat tonggak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, harus ada keyakinan bahwa suara dalam Rapat Paripurna DPR, Rabu lalu, adalah murni untuk kepentingan rakyat banyak. Sejarah yang baru harus diukir untuk memaknai demokrasi itu sendiri supaya lebih substansial yang hasilnya secara konkret terasa bagi rakyat banyak. Bukan sekadar demokrasi yang memenuhi prosedur, seperti adanya pemilu dan adanya partai politik.

Demokrasi Indonesia sudah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bukan hanya hak-hak politik dan sipil yang harus dijamin oleh negara, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya.

Bapak bangsa Mohammad Hatta dengan tegas menjelaskan makna demokrasi Indonesia. Bagi Hatta, demokrasi bukan hanya menjamin hak politik warga negara, tetapi negara juga harus menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato III (2002), misalnya, Hatta menyebutkan, penghidupan sosial yang lebih baik harus berdasarkan keadilan sosial untuk mencapai kemakmuran yang merata. Dasarnya sudah diletakkan dalam Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 33 UUD.

Ini berbeda dari demokrasi yang hanya memberikan hak politik. Dalam demokrasi seperti ini, seperti disebut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Robert A Dahl, Demokrasi Ekonomi Sebuah Pengantar, 1992), bila terdapat situasi di mana ada kemungkinan sumber daya ekonomi diubah menjadi sumber daya politik, ketidakmerataan ekonomi yang didukung prinsip hak milik akan dapat menciptakan ancaman terhadap demokrasi, khususnya kebebasan politik. Disebutkan pula, sistem demokrasi tidak serta-merta menghasilkan tatanan ekonomi yang juga bersifat demokratis.

Belajar dari pengalaman kasus Bank Century, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menekankan pentingnya membangun rasa percaya masyarakat kepada pemimpin. Intinya, satunya kata dan perbuatan. Dia mencontohkan, ketika Presiden menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas kerja, yang terjadi adalah penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Contoh lain, bagaimana dapat meyakinkan rakyat telah tercapai kesejahteraan sosial yang adil dan merata bila 45 persen desa masih tergolong tertinggal dan 32,5 juta orang masih miskin, sementara indikator ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan cadangan devisa, positif.

Demokrasi yang ideal, demikian Syafii Maarif, adalah yang berpihak kepada rakyat banyak yang belum terjadi saat ini. ”Baru belajar berdemokrasi karena baru 12 tahun mendapatkan kebebasan berpendapat. Kita harus sabar, tetapi politisi dan pemimpin juga harus mendengarkan sungguh-sungguh pendapat orang banyak yang disuarakan antara lain melalui pers,” kata Syafii Maarif.

Perbaiki asupan

Pembelajaran berharga dari kasus Bank Century, menurut Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Yudi Latif, harus dilihat dari proses demokrasi itu sendiri. Ada keraguan besar di masyarakat tentang kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif dan pasangan SBY-Boediono dalam pemilu presiden tahun lalu karena asupan (input) demokrasinya pun meragukan.

Direktur Eksekutif Reform Institute itu menyebut kekacauan daftar calon, dugaan korupsi dalam pengadaan teknologi informasi, politik uang, serta masa kampanye berkepanjangan dan iklan di media massa yang tidak dibatasi, yang mengakibatkan mahalnya biaya pemilu bagi peserta pemilu, memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang kualitas hasil pemilu.

Kasus Century, demikian Yudi Latif, adalah puncak gunung es dari segala keraguan masyarakat terhadap kandidat parpol yang diduga sebagian besar memanipulasi suara, antara lain menggunakan uang.

”Kasus Century adalah kerugian untuk kita karena sejak awal kita tidak ketat membangun demokrasi dengan soal-soal kesejahteraan rakyat,” kata Yudi. Dia mengingatkan, sila keempat Pancasila mensyaratkan demokrasi politik berada dalam satu tarikan napas dengan demokrasi ekonomi.

Dengan kata lain, ada kesenjangan antara aspirasi untuk melaksanakan yang ideal (demokrasi politik) dan kesejahteraan rakyat banyak (demokrasi ekonomi). Contohnya, pemilihan langsung membebani anggaran pembangunan daerah yang menguras dana untuk pembangunan bagi kesejahteraan rakyat, seperti terjadi di sejumlah kabupaten di Jawa Timur. Begitu juga masa kampanye dan iklan di media massa yang menimbulkan biaya besar dibatasi.

Pembelajaran lain, kebijakan harus memenuhi syarat kemasukakalan (rasionalitas), efisiensi, asas kebebasan, dan asas keadilan. Dalam kasus Century, keputusan, apalagi dalam bidang finansial, tidak dapat diambil hanya bersandar pada alasan psikologis untuk menentukan apakah bail out berdampak sistemik. Dengan demikian, harus ada pengujian bersama semua pemangku kepentingan.

Begitu juga dalam efisiensi, harus ada pengujian bersama semua pemangku kepentingan tentang manfaat dana talangan yang disetujui DPR hanya Rp 1,3 triliun nyatanya menjadi Rp 6,7 triliun.

Dengan keterbukaan tersebut, pemimpin yang dipimpin akan berbagi beban tanggung jawab. Tanpa keterbukaan, rakyat yang akan menanggung beban keputusan para elite. Sejak krisis ekonomi 1998, demikian Yudi, yang diselamatkan hanya sektor perbankan, sementara petani kecil sulit mendapat kredit dan kalau menunggak pinjaman yang sangat kecil nilainya dikejar-kejar petugas.

Kualitas

Ke depan, demokrasi politik dan ekonomi harus berjalan bersama. Syafii Maarif, seperti juga pernah diungkap Hatta, mengingatkan agar para pemimpin dan politisi bersikap jujur, mendukung moral, dan bertanggung jawab kepada rakyat banyak.

Seperti disebutkan Dahl, kriteria bagi demokrasi adalah hak suara yang merata, partisipasi yang efektif agar setiap warga memiliki peluang yang sama dan cukup untuk menentukan pilihannya, pengertian berdasarkan informasi yang sama dan cukup, memiliki kontrol akhir terhadap agenda, dan keinklusifan yang melibatkan semua warga dewasa dan menentukan pilihan.

Dengan demikian, rakyat juga harus belajar untuk tidak lagi memberikan cek kosong kepada pemimpin yang dipilihnya. Karena itu, selama parpol belum mengagendakan perubahan, selama itu juga gerakan jalanan oleh masyarakat sipil, termasuk oleh kelompok intelektual, akan terus terjadi, terutama di negara berkembang yang belum memiliki sistem jaminan sosial yang baik.

Ke depan, Yudi melihat pilihan pada ekonomi kolektif tetap lebih baik bagi Indonesia daripada ekonomi individualistik yang liberal seperti saat ini. Parpol harus menjadi penghubung (interface) antara publik dan kepungan kepentingan individual (bisnis). Bila parpol tidak mampu menjadi instrumen untuk kepentingan kolektif, keputusannya akan bias kepentingan individual.

Karena itu, ke depan asupan demokrasi, yaitu sistem pemilu, seperti pembiayaan untuk kampanye dan iklan, harus dibatasi dengan tegas dan dikaji ulang sistem pilkada langsung. Ketika uang tidak lagi menjadi penentu dalam memenangi suara, dengan sendirinya orang dapat berkompetisi berdasarkan rekam jejak dan prestasinya dan efeknya adalah meningkatkan inisiatif warga.

Kekuasaan Pluralistik dan Arah Demokrasi


Jumat, 5 Maret 2010 | 05:49 WIB

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Fenomena yang terjadi di dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, 2 dan 3 Maret, menyiratkan bahwa selain kekuasaan presiden tidak lagi dominan, kekuasaan lembaga perwakilan juga sangat diwarnai kuatnya desakan masyarakat sipil dan media massa.

Dapat yang memutuskan hasil Panitia Khusus DPR tentang Kasus Bank Century bisa dilihat sebagai ajang kontestasi yang merefleksikan kekuasaan yang saat ini hadir dalam menentukan arah negara. Kekuatan eksekutif (presiden) berhadapan dengan koalisi tiga kekuatan lain, yakni DPR, masyarakat sipil, dan media massa. Kecenderungan tidak terkonsentrasinya kekuasaan politik pada satu organisasi atau individu adalah khas sebuah negara dengan kekuasaan pluralistik. ”Terdapat banyak pusat kekuasaan, tidak ada satu pun yang sepenuhnya berdaulat,” demikian ungkap Robert A Dahl (1967) terhadap ciri negara seperti ini.

Tarik menarik dukungan antara kubu oposisi dan pemerintah sangat tergantung pada tekanan di luar kubu tersebut. Keluaran proses demokrasi sangat ditentukan perimbangan kekuatan dalam organisasi kenegaraan. Perimbangan kekuatan dari organisasilah yang akhirnya membentuk wujud demokrasi. Demokrasi, ungkap Robert Michel (1911), tidak dapat dikonsepsikan tanpa membahas kekuatan-kekuatan organisasi.

Selama kurun waktu 65 tahun sejak kemerdekaan Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan dalam imbangan kekuasaan yang sangat ditentukan oleh bentuk organisasi kenegaraan yang dianut. Antara 1945-1955 bisa dibilang merupakan periode uji coba pembentukan kelembagaan negara. Meskipun sudah terbentuk parlemen, tetapi belum memiliki kekuatan otonom untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Kekuasaan masih terpusat pada sosok proklamator, dwi tunggal Soekarno dan Mohammad Hatta.

Antara tahun 1955-1959, Indonesia langsung masuk ke dalam demokrasi liberal yang, selain dicirikan pemerintahan yang dipegang perdana menteri, juga tumbuhnya kekuatan partai politik dan parlemen. Kekuatan riil yang dihimpun partai dalam pemilu mampu memberi koreksi atas jalannya pemerintahan (perdana menteri) yang berkuasa. Jatuh bangunnya pemerintahan parlementer yang dipimpin perdana menteri sangat ditentukan terbentuknya koalisi-koalisi semu di lembaga perwakilan rakyat. Masyarakat sipil belum menampilkan diri dalam kekuatan terorganisasi.

Periode 1959-1966 menjadi periode fenomenal dalam sejarah kekuasaan di negeri ini setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menghapuskan kekuatan organisasi parlemen, menggantinya dengan atribut baru: ”Demokrasi Terpimpin”. Presiden selain mengembalikan konstitusi pada undang-undang dasar awal (UUD 1945) juga memaklumatkan diri sebagai presiden seumur hidup. Maka, kekuasaan demokratis pun tumbang digantikan rezim otoritarian yang memakai baju demokrasi. Partai-partai politik meskipun sebagian masih bertahan, tetapi tidak memiliki panggung yang bisa ”dimainkan” di parlemen.

Kekuasaan otoritarian ternyata tidak terhenti meski terjadi penggantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Walaupun melaksanakan pemilu lima tahun sekali (sejak 1971) sebagaimana negara-negara demokrasi lain, pembatasan terhadap kekuasaan partai politik dilakukan dengan memangkas jumlahnya dan menggabungkan menjadi tiga partai saja. Berkat kekuatan militer dan birokrasi (yang dikuasai pemerintah), kekuatan massa dapat dihimpun ke dalam satu partai saja (Golkar).

Hasil pemilu yang kemenangannya selalu didominasi Golkar sebetulnya telah mengindikasikan negara menganut partai tunggal, partai lain hanya ornamen demokrasi. Kekuatan dalam parlemen yang didominasi satu partai penguasa membuat kekuasaan tidak terbagi, tetapi makin terpusat ke dalam sosok presiden. Kalau sebelumnya dalam Demokrasi Terpimpin kekuasaan presiden hanya mengandalkan karisma proklamator, pada masa Orde Baru kekuasaan tunggal diperkokoh legalitas parlemen.

Peta berubah

Tumbangnya kekuasaan Orde Baru, yang disimbolkan mundurnya Soeharto pada 1998, mengubah peta kekuasaan dalam ranah kenegaraan. Kekuasaan di tangan presiden diimbangi oleh terbentuknya secara masif kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang membentuk organisasi dan sering kali memengaruhi jalannya kebijakan. Organisasi-organisasi mahasiswa, buruh, ormas, dan lain-lain mengiringi masifnya pertumbuhan partai-partai politik. Sementara, parlemen yang pada masa sebelumnya melempem mulai memiliki pengaruh. Kolaborasinya dengan kekuatan organisasi ”parlemen jalanan” menumbuhkan kepercayaan diri yang sulit dibayangkan terjadi sebelumnya. Keluarnya keputusan mengadili Soeharto beserta kroninya bisa dikatakan wujud paling nyata koalisi parlemen dengan kekuatan organisasi di luar lembaga legislatif.

Lewat Pemilu 1999, Indonesia memasuki babak baru yang makin mengukuhkan kekuatan parlemen. Parlemen menjadi kekuatan paling riil yang memenuhi pentas politik, mengimbangi kekuasaan presiden yang dipilih fraksi-fraksi partai politik dalam lembaga ini. Rasa percaya diri presiden yang diwujudkan dalam kebijakan kontroversial kerap mendapat tentangan kuat di parlemen. Bahkan, dalam drama politik yang cukup tragis, parlemen bisa menggulingkan Abdurrahman Wahid yang baru menduduki kursi presiden satu setengah tahun. Sejak itu, kekuatan parlemen menjadi entitas organisasi kekuatan politik riil yang sangat tangguh sampai kemudian Indonesia melaksanakan pemilihan langsung presiden pada tahun 2004.

Tonggak baru

Pemilihan presiden secara langsung dapat disebut menjadi tonggak baru yang menentukan arah bandul kekuasaan politik di negeri ini. Lewat pemilu ini kekuasaan parlemen tidak lagi dominan, tetapi terbagi kepada masyarakat warga. Parlemen tidak bisa lagi dengan mudah menurunkan presiden. Kekuasaan presiden dan lembaga eksekutif menjadi lebih kuat.

Namun, implikasi pemilihan langsung juga membuat kedudukan warga negara semakin kuat dalam menentukan arah politik. Kekuatan bertambah setelah pada pertengahan 2005 Indonesia melaksanakan pemilihan kepala-kepala daerah secara langsung. Bukan saja kekuasaan pusat terdistribusi ke daerah, tetapi otonomi warga juga kian kuat. Nilai yang diwujudkan dalam hak suara dalam pemilu menjadi kekuatan menentukan yang kini bisa dilihat sebagai satu otoritas yang tidak bisa diabaikan dalam pembuatan kebijakan.

Kalau dominasi kekuasaan di lembaga eksekutif makin lemah, hal yang sama juga terjadi dalam kekuatan partai politik. Pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat menjadikan elite partai politik tidak lagi sepenuhnya bisa mengendalikan aktor yang bersuara di parlemen.

Sebaliknya, arah demokrasi yang dipertunjukkan akhirnya lebih banyak merupakan gabungan antara kepentingan pribadi atau kelompok dengan kecenderungan yang dikehendaki masyarakat sipil. Koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun pada akhirnya benar-benar sebatas koalisi semu. Presiden tidak mempunyai kekuatan memaksa anggota parpol di parlemen mendukung opsi yang diingini penguasa pemerintahan dalam kasus Bank Century.

Jika kekuasaan menjadi demikian pluralistik, ke mana arah demokrasi Indonesia ke depan? Ini tentu menjadi substansi yang saat ini menjadi sangat penting sebelum hasil keputusan DPR tentang kasus Bank Century berujung pada pemakzulan presiden atau wakil presiden.

(Bambang Setiawan, Litbang Kompas)

Politik Pasca-Century


Jumat, 5 Maret 2010 | 06:30 WIB

Oleh Doty Damayanti

Dinamika politik di Senayan dua hari terakhir baru babak awal drama panjang skandal Bank Century. Gemuruh sorak-sorai para anggota fraksi partai politik yang berhasil mengegolkan keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat baru perayaan awal kemenangan.

Meskipun Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum memberi selamat bahwa akhirnya perbedaan bisa diselesaikan tanpa permusuhan, aroma perseteruan di antara parpol-parpol yang sebelumnya berada di barisan koalisi pemerintah begitu kental. Pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono bakal menghadapi ujian berat dari implikasi lanjutan keputusan DPR yang menyalahkan kebijakan penyelamatan Bank Century dan menyerahkan pada proses hukum.

Pertama, implikasi dari proses hukum. Keputusan paripurna DPR tidak menjelaskan secara rinci proses hukum seperti apa yang akan diambil untuk menyelesaikan kasus Century.

Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin dalam perbincangan di salah satu stasiun televisi mengemukakan, DPR bisa melimpahkan ke proses hukum pidana melalui Komisi Pemberantasan Korupsi atau karena melibatkan orang yang saat ini posisinya ada di dalam lembaga kepresidenan, hasil pansus seharusnya bisa didorong untuk dilanjutkan ke hak mengajukan pendapat. Sesuai Pasal 7 A Undang-Undang Dasar 1945, presiden dan wakil presiden bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum melalui proses di Mahkamah Konstitusi.

Namun, DPR sudah memberi sinyal tak akan mengambil jalur penyelesaian hukum konstitusi. Sebagaimana yang dikemukakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, pembuktian bahwa wakil presiden bersalah akan sulit dilakukan. ”Daripada buang energi pada usaha yang sulit dilakukan, lebih baik tidak masuk ke wilayah itu,” ujarnya.

Disebutnya dua nama pembantu terdekat dan penting presiden, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden Boediono, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengambilan kebijakan penyelamatan Century, akan berdampak pada stabilitas pemerintahan.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Negeri Andalas, Saldi Isra, dengan tegas mengatakan, posisi pemerintahan SBY tak aman. Desakan untuk menonaktifkan Sri Mulyani dan Boediono akan semakin kuat dan terus menggerogoti kerja pemerintah. Ia menilai jika proses hukum berjalan pada akhirnya SBY tidak bisa mengelak dari tanggung jawab. Ia mengatakan, presiden sudah merusak logika sistem presidensial dengan pernyataan bertanggung jawab penuh sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan, dalam kasus Century.

”Sementara, dalam pemerintahan, tidak ada kebijakan strategis yang diambil menteri tanpa ada sinyal persetujuan dari presiden sebagai kepala pemerintah,” ujar Saldi.

Perubahan peta

Implikasi kedua dari proses politik yang terjadi selama Pansus Century adalah perubahan peta koalisi. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Bonni Hargens, mengatakan, perubahan koalisi itu bahkan sudah mengarah pada terbentuknya koalisi baru. ”Sekarang terbalik, yang sebelumnya pusat koalisi ada di Cikeas, sekarang di kubu oposisi,” ujarnya.

Koalisi baru itu sebagaimana tergambarkan pada posisi fraksi-fraksi dalam voting pengambilan keputusan kasus Century. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang pada pandangan akhirnya semula tidak memilih opsi A maupun C, akhirnya memilih opsi C. F-PPP bergabung dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Golkar— dua partai yang juga tergabung dalam koalisi pemerintahan SBY, untuk menyalahkan kebijakan menyelamatkan Century.

Balik arahnya partai-partai yang sebelumnya menjadi mitra Demokrat itu, menurut Bonni, harus menjadi pelajaran bagi presiden. ”PKS sudah lama memendam kekecewaan karena tak mendapat hasil setimpal dari kemitraannya dengan Demokrat. Demikian juga mayoritas faksi di PPP yang sudah lama menginginkan keluar dari koalisi. Adapun Golkar targetnya sederhana, kalau Sri Mulyani lengser, satu virus yang mengganjal bisnis elitenya bisa dihilangkan,” jelas Saldi.

Wakil Sekjen PPP Romahurmuzy mengatakan, dari aspek demokrasi, gengsi institusi saat ini memang tidak dapat dihindari, termasuk mengalahkan Demokrat. Mengapa? Selama ini pola komunikasi Demokrat tidak kunjung diperbaiki. Mereka enggan melakukan komunikasi berbasis dialog setara. Partai Demokrat yang merasa menjadi pemenang pemilu lebih memilih membangun pola komunikasi bersifat hierarkis sehingga terkesan semua partai menjadi bawahannya. Pola ini tidak bisa diterima partai-partai yang sudah berkoalisi.

Bonni menilai, kalau mau pemerintahannya selamat, SBY harus membuat keputusan bijak yang bisa menurunkan ketegangan politik yang terjadi. ”SBY harus menunjukkan bahwa dia adalah presiden semua orang, bukan hanya Partai Demokrat. Kalaupun dia mau merombak kabinet, tempatkan orang-orang yang benar-benar profesional di bidangnya,” katanya.

Pilihan keputusan yang berat termasuk sampai pada titik meminta maaf kepada publik lalu meminta kesediaan Wapres Boediono untuk mengundurkan diri. Bukan dengan alasan dia bersalah, tetapi sebagai bentuk etika politik. ”Sekarang bola ada di tangan presiden, bagaimana manajemen risiko yang dilakukan pascaparipurna Century,” ujar Bonni.

Ia khawatir cara pandang SBY yang mempersonifikasikan kekuasaan dengan pribadinya akan membuat presiden kehilangan obyektivitas melihat keseluruhan masalah dengan lebih bijak. Jika itu yang terjadi, ketegangan politik akan semakin menebal dan bukan tak mungkin berujung pada pemakzulan.

Investasi 2014

Bonni tidak menampik bahwa keseluruhan drama dalam kasus Century akhirnya akan bermuara pada investasi parpol untuk memenangi pertarungan pada 2014. ”Politik pascaparipurna tentang Century itu sejatinya kampanye menuju 2014,” ujarnya.

Indikasi parpol-parpol yang mengusung isu Century hanya berorientasi pada kekuasaan juga terlihat dari tidak disebutnya soal membuka aliran dana. Saldi Isra mengatakan, justru di situlah titik krusial manfaat bagi masyarakat dari kasus Century.

”Yang menjadi pertanyaan kan kenapa harus ada bail out, uangnya lari ke mana, digunakan untuk apa, siapa yang menikmati. Kalau masalah aliran dana itu dibuka, bisa menjadi pintu masuk bagi kita untuk mempersoalkan kejelasan dana pemilu. Sekarang ini masyarakat tak mendapat apa- apa dari ribut-ribut soal Century,” kata Saldi.

Hal senada disampaikan Syamsuddin Haris. Menurut dia, meskipun fenomena Pansus di satu pihak positif bagi perkembangan demokrasi karena prosesnya berlangsung terbuka, dari sisi substansi tak banyak manfaatnya bagi masyarakat.

”Yang acap kali dilupakan publik, parpol menjadikan Senayan itu sebagai panggung politik. Parpol berlaku seolah- olah wakil rakyat yang punya komitmen, tetapi apakah isu yang mereka bawa itu signifikan dengan kesejahteraan dan keadilan, bisa sangat diperdebatkan,” kata Syamsuddin.

Begitulah. Kasus Bank Century hendaknya membuka mata kita bahwa dalam politik tak ada koalisi yang abadi. Kepentingan dan kekuasaanlah yang menjadi tujuan, maka rakyat silakan menjadi penonton di pinggir arena.