Selasa, 24 Maret 2009

ANALISIS POLITIK


"Suara Kosong" dan Absennya Mandat
Selasa, 24 Maret 2009 | 05:51 WIB

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Di tengah ingar-bingar kampanye Pemilu 2009 hari-hari ini, ada baiknya kita mengingat kembali bahwa pemilu bukanlah tujuan, melainkan alat atau sarana. Bahwa dalam demokrasi merayakan hari pencontrengan bisa saja penting, tetapi yang sejatinya jauh lebih penting adalah menimbang hasil-hasil pemilu beserta implikasinya yang luas terhadap kehidupan kita.

Maka, alih-alih berkomentar tentang hiruk-pikuk adu janji selama kampanye ini, saya lebih senang membayangkan wajah Dewan Perwakilan Rakyat kita selepas Pemilu 2009.

Yang saya khawatirkan: hiruk-pikuk politik dan besarnya dana pemilu tak mampu mengantar kita mendekat ke tujuan-tujuan berdemokrasi.

”Suara kosong”

Semestinya Pemilu 2009 menandai perubahan penting dalam sistem pemilu kita. Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubah mekanisme penentuan anggota legislatif (dari mekanisme nomor urut menjadi suara terbanyak), sistem pemilu proporsional yang kita gunakan bergeser dari model tertutup (memilih partai) menjadi terbuka (memilih kandidat).

Karena dalam model terbuka ini pemilih memilih kandidat dan bukan partai, hubungan mandat, akuntabilitas, dan keterwakilan antara publik dan pejabat publik pun potensial terbangun lebih tegas. Sebab, penentuan sang pejabat publik benar-benar secara langsung berada di tangan publik.

Celakanya, inkonsistensi segera terbangun manakala Komisi Pemilihan Umum memutuskan bahwa ”hanya mencontreng partai” (tanpa mencontreng nama kandidat) pun dipandang sebagai cara memilih yang sah. Jadilah kita memiliki sistem proporsional terbuka yang inkonsisten dan bisa jadi mengidap masalah lebih serius dari sistem tertutup (Pemilu 1999) dan semitertutup (Pemilu 2004).

Di satu sisi, suara terbanyak menjadi penentu nasib calon anggota legislatif. Di sisi lain, mudah berdasarkan pengalaman 2004 dan keterbatasan sosialisasi Pemilu 2009, mudah diduga bahwa pencontrengan hanya partai (tanpa pencontrengan nama kandidat) akan marak. Sebab, cara ini jauh lebih sederhana dan tak butuh kerja pikir yang keras.

Konsekuensinya, akan merebak fenomena ”pilihan kosong” atau ”suara kosong,” yakni pilihan para pemilih yang tak bisa digunakan untuk menentukan keterpilihan kandidat. Suara untuk satu partai akan jauh lebih besar dari akumulasi suara untuk para kandidat dari partai itu.

Jika ini terjadi, akan banyak anggota DPR dan DPRD yang melenggang ke Senayan tanpa mendulang suara yang memadai dari para pemilih di daerah pemilihannya.

Demokrasi tanpa mandat

”Suara kosong” adalah salah satu fenomena penting Pemilu 2009. Para pemilih partai yang tak memilih kandidat seperti ”membuang suara” mereka dalam pemilu. Suara mereka bisa disebut ”terbuang” karena tak memiliki kaitan dengan keterwakilan politik yang terbangun.

Alhasil, bisa terbentuk apa yang disebut Susan C Stokes sebagai ”demokrasi tanpa mandat”. Demokrasi berkembang dengan tata caranya yang rumit, kompleks, dan merepotkan. Namun, mandat tak terjaga.

Dalam studinya mengenai pemilihan-pemilihan presiden di Amerika Latin, Susan C Stokes (Mandates and Democracy, 2001) mendefinisikan mandat sebagai ”harapan yang dipatok oleh para politisi ketika berkampanye mengenai tindakan-tindakan yang mereka akan ambil jika memenangi pemilu”.

Dalam gejala ”demokrasi tanpa mandat”, janji-janji kampanye yang ditawarkan para kandidat seperti menguap di udara. Janji-janji itu tak berujung pada realisasi kebijakan. Gejala ini umumnya terbangun sebagai kombinasi mematikan dua faktor pokok: tak adanya daya dukung struktur politik bagi penegakan mandat dan tak tersedianya para penagih janji.

Di satu sisi, struktur politik memberi keleluasaan kepada para pelanggar janji kampanye untuk bertahan dalam jabatan publik yang diembannya dengan tenang. Struktur politik tak mampu memaksa—misalnya melalui mekanisme pemberian sanksi yang layak—para pejabat publik untuk menepati janji mereka.

Di sisi lain, para pemilih salah kaprah. Mereka merasa tugasnya selesai setelah keluar dari bilik pencontrengan atau ketika hari pemilu sudah lewat. Padahal, sejatinya tugas dan peranan sebagai warga negara—antara lain sebagai penagih janji—justru baru saja dimulai ketika pesta pencontrengan usai.

Dalam kerangka itulah, Pemilu 2009, dengan fenomena ”suara kosong”-nya, memperkeruh situasi ”demokrasi tanpa mandat”. Bukan hanya absennya struktur politik yang layak dan belum kuatnya para penagih janji yang berpotensi mencederai demokrasi, melainkan juga tak ”nyambung”-nya pilihan yang diambil pemilih dengan perwakilan politik yang terbangun kemudian.

Ada baiknya di tengah kampanye pemilu legislatif yang begitu ingar-bingar hari-hari ini kita mengingat ancaman ”suara kosong” dan ”absennya mandat” di atas.

Dengan begitu, setidaknya kita terus terjaga agar tak membikin demokrasi jadi sekadar kerepotan berbiaya mahal. Alih-alih, tugas sejarah terpenting kita hari-hari ini justru membuktikan bahwa sebagai sebuah sarana atau alat, demokrasi adalah yang paling mujarab menggapai hasil-hasil terbaik.

EEP SAEFULLOH FATAH Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: