Sabtu, 04 April 2009

Obesitas Demokrasi

Yasraf Amir Piliang

Setiap kampiun demokrasi selalu percaya bahwa pemilihan umum adalah sebuah ”pesta demokrasi”. Dalam pesta itu, rakyat mengekspresikan segala kebebasan, keinginan, dan aspirasi politiknya.

Namun, pesta demokrasi dapat berubah menjadi pesta ”hiperdemokrasi”, saat praktik demokrasi ”melampaui” batas alami: partai terlalu banyak, caleg terlalu populer, simbol politik terlalu ramai, dan slogan politik terlalu heboh.

Inilah ruang politik yang terlalu sarat informasi, terlalu banyak pilihan, terlalu ramai repertoire, terlalu populer penampilan, terlalu padat jargon, terlalu semrawut simbol, terlalu mahal biaya, terlalu banyak pekerjaan, terlalu rumit prosedur, dan terlalu kompleks aturan. Yang tercipta adalah kondisi ”obesitas demokrasi”, yaitu saat demokrasi ”melampaui” apa yang dapat diterima kapasitas kognitif, afektif, dan simbolis masyarakat politik sendiri—the obesity of democracy.

Nihilisme demokrasi

Demokrasi yang ”melampaui” dapat menggiring pada ”nihilisme”, saat sistem komunikasinya didominasi ”jargon-jargon” tentang ’perubahan’, ’kemajuan’, ’nasionalisme’, ’kerakyatan’, ’transformasi’, sementara tak mampu mengembangkan penjelasan rasional tentang kompleksitas kenyataan sosio-politik yang sebenarnya. Problematika sosial direduksi menjadi jutaan citra manipulatif, yang melaluinya dilukiskan seakan-akan semua persoalan bangsa dengan instan dapat diselesaikan.

Cornel West dalam Democracy Matter (2004) menggunakan istilah ’nihilisme sentimental’ (sentimental nihilism) untuk menjelaskan kondisi demokrasi, di mana aneka polesan citra politik yang menyilaukan mata, bahwa seakan-akan kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan, dengan mudah dapat dipecahkan, melalui retorika komunikasi politik yang gemerlap, dengan mengabaikan ’nalar’ atau ’argumen ilmiah’.

Apa yang terjadi adalah semacam ’desubstansialitas demokrasi’, di mana masalah-masalah nyata negara-bangsa direduksi menjadi ’solusi citra’ (imaginary solution) melalui strategi ’imagologi politik’, yaitu aneka strategi, trik, dan teknik rekayasa (baca: manipulasi) citra politik dalam aneka media komunikasi politik (iklan, poster, pamflet). Di sini, substansi sosial diambil alih jargon sosial; realitas sosial digantikan ’layar sosial’, saat wacana politik dikendalikan oleh ’teknologisasi pencitraan’—the political imagineering.

Desubstansialitas demokrasi menggiring pada ’ketercabutan politik’ (political detachment), di mana citra-citra politik terlepas dari realitas sosio-politik yang sesungguhnya. Gemerlap citra-citra itu membentuk semacam ’orbit citra politik’, yaitu perputaran citra politik yang tanpa henti dan dengan intensitas tinggi dalam orbitnya, dengan muatan informasi padat jargon, tetapi mempunyai relasi minimalis dengan realitas sosial sebenarnya.

Politik obesitas

Saat wacana politik tidak dibangun oleh batas-batas formal yang pasti, maka tiap komponen politik-partai, caleg, komunikasi, simbol, bahasa, citra, bertumbuh melampaui batas sehingga menciptakan kondisi ’obesitas’ (obesity). Obesitas politik adalah kondisi tubuh politik yang tumbuh melampaui batas-batas ’ideal’ karena terlalu banyak tumpukan ekses di dalamnya yang mengakibatkan kelebihan beban.

Jean Baudrillard, dalam Fatal Strategies (1990), melukiskan obesitas sebagai kondisi saat sesuatu bertumbuh ’melampaui’ batas alamiahnya sehingga kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri. ’Obesitas demokrasi’ adalah kondisi pertumbuhan demokrasi yang menuju sifat ekses, redundansi, dan banalitas, yaitu ketika pertumbuhan organisasi, komunikasi, citra, dan informasi politik telah ’melampaui batas ideal’, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan oleh ’fragmentasi melampaui’ (over fragmentation), yaitu terlalu mikronya diferensiasi partai sehingga menciptakan fragmen-fragmen partai yang menyulitkan pembedaan (micro difference). Overfragmentasi menciptakan kondisi ’fatalis-nihilis’: lenyapnya batas-batas di antara elemen politik sehingga batas ideologis antara partai ’nasionalis’ satu dan lainnya, partai ’demokratis’ satu dan lainnya, atau partai ’keagamaan’ satu dan lainnya menjadi kabur—defragmentation of ideology.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan oleh ’pertandaan melampaui’ (over signification), yaitu terlalu banyak gambar, lambang, simbol, tanda, foto, maskot, figur yang ditampilkan, sehingga menimbulkan turbulensi pada tingkat kognitif, afektif, dan semiotik. Pada tingkat kognitif citra yang terlalu banyak menyebabkan kesulitan membedakan satu citra dan lainnya. Pada tingkat semiotik, tanda-tanda yang terlalu masif menimbulkan kesulitan menangkap makna tanda itu sendiri.

’Obesitas demokrasi’ ditunjukkan pula oleh ’komunikasi melampaui’ (over communication), yaitu terbentangnya medan komunikasi politik terbuka lintas ruang dan waktu. Melalui kekuatan teknologi informasi (internet dan layanan pesan singkat), kampanye seorang calon anggota legislatif di sebuah daerah didiseminasi ke wilayah lain sehingga terjadi komunikasi trans-spatial yang chaotic, serta penumpukan acak informasi pada seorang individu, yang menciptakan ruang komunikasi politik chaotic.

Pendulum liberalisme

Perkembangan liberalisme sebagai ideologi politik ’demokratis’, menurut Immanuel Wallerstein dalam After Liberalism (1995), ditandai oleh ’pendulum’ yang bergerak di antara kekuatan negara (state) sebagai pengatur dan pembuat regulasi dan komunitas politik (political party) sebagai pelaku dan aktor-aktor politik. Ayunan pendulum itu menentukan tingkat ’kebebasan’ politik dan otoritas ’pengaturan’ (regulation) negara.

Pada fase awal liberalisme, kekuatan negara sebagai regulator dibuat minimal sehingga memaksimalkan ’kebebasan’ politik. Tetapi, pada fase akhir liberalisme, justru kekuatan negara sebagai regulator membesar sehingga mampu ’membatasi’ kebebasan aktor-aktor politik, agar tidak berkembang ke arah demokrasi yang ’melampaui’, seperti dilakukan AS sebagai kampiun liberalisme akhir-akhir ini.

Fenomena demokrasi di atas tubuh bangsa ini, ironisnya, menunjukkan ayunan pendulum yang mengarah pada ’kebebasan politik’ maksimal seperti liberalisme klasik sehingga menciptakan overfragmentasi, overkomunikasi, dan oversignifikasi politik. Akibatnya, pikiran, kesadaran, dan energi elite politik dihabiskan untuk mengurusi kerumitan ’kebebasan demokratis’ biaya tinggi, dengan segala ekses dan redundansinya, sambil melupakan tujuan akhir demokrasi, yaitu kesejahteraan rakyat.

Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung

Tidak ada komentar: