Rabu, 23 September 2009

Menakar Keyakinan pada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Baru


Rabu, 23 September 2009 | 02:53 WIB

Suwardiman

Beban berat menanti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru. Tugas yang dipikul sebagai representasi rakyat di lembaga perwakilan kian berat di tengah citra buruk yang telanjur melekat pada lembaga legislatif itu. Keyakinan publik terhadap kiprah anggota Dewan yang baru pun cenderung lemah menjelang pelantikannya pekan depan.

Tingkat keyakinan publik yang rendah terhadap anggota legislatif yang terpilih untuk periode 2009-2014 ini mencerminkan lemahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga itu. Berbagai sorotan atas sejumlah kasus yang melibatkan anggota DPR selama lima tahun terakhir tampaknya memberi dampak bernuansa pesimistis pada anggota DPR baru yang akan dilantik pada 1 Oktober 2009.

Lebih dari separuh responden yang dijajaki pendapatnya, 15-16 September lalu, menyatakan kegamangannya pada elite politik yang akan menduduki kursi di Senayan bulan depan. Sebagian besar responden meragukan anggota Dewan baru akan bekerja lebih baik daripada anggota sebelumnya.

Sikap apatis pada anggota DPR baru juga ditunjukkan lewat ketidakpedulian mereka pada latar belakang wakil rakyat yang terpilih untuk masa lima tahun ke depan itu. Tingkat pengenalan publik terhadap anggota legislatif yang baru cenderung rendah. Lebih dari 60 persen responden menyatakan tak tahu latar belakang anggota legislatif yang mereka kenal, baik dari sisi pendidikan, pekerjaan, atau organisasinya. Rendahnya pengenalan publik ini bisa jadi merupakan faktor yang menggiring rendahnya tingkat keyakinan publik terhadap mereka.

Respons pesimistis publik terhadap anggota Dewan periode mendatang sebenarnya tak jauh berbeda dengan respons yang diberikan publik lima tahun lalu saat anggota DPR periode 2004-2009 akan dilantik. Hasil jajak pendapat yang dilakukan September 2004 menyimpulkan lemahnya tingkat keyakinan publik pada anggota DPR yang baru terpilih.

Lemahnya harapan publik saat itu terutama ditujukan pada aspek moral dan mentalitas anggota Dewan. Sebanyak 58 persen responden saat itu menyatakan ragu anggota DPR yang baru akan mampu menghindarkan diri dari perilaku korupsi. Hanya 28 persen yang yakin anggota DPR yang baru akan mampu menahan diri dari korupsi.

Keraguan publik itu terbukti. Deretan panjang korupsi hingga skandal moral, seperti beredarnya video perselingkuhan yang melibatkan anggota Dewan, memperburuk citra DPR di mata publik. Publik pun menunjukkan sikap apatisnya dengan tak menaruh banyak harapan pada anggota Dewan.

Belum lagi soal kedisiplinan anggota parlemen dalam mengikuti sidang yang membahas masalah strategis di negeri ini. Seperti banyak disiarkan berbagai media, bangku kosong dalam sejumlah rapat di DPR sepanjang periode 2004-2009 kerap terjadi. Pada rapat sidang paripurna pertama pada awal tahun ini, 19 Januari lalu misalnya, pembukaan masa sidang setelah reses sebulan hanya dihadiri 351 orang. Ini berarti 199 orang tak hadir alias mangkir.

Di penghujung masa jabatannya, aksi mangkir anggota DPR pun semakin menjadi-jadi. Rapat paripurna dalam rangka ulang tahun ke-64 MPR/DPR akhir Agustus lalu jadi fakta paling mutakhir. Pada kesempatan itu, anggota DPR yang hadir sejak awal sidang hanya sekitar 160 orang atau kurang dari 30 persen dari total 550 anggota. Demikian juga saat digelar rapat panitia khusus yang membahas Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer, hanya 13 dari 50 anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU itu yang hadir.

Menjelang akhir masa jabatan bulan depan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja DPR periode 2004-2009 justru mencapai titik paling rendah. Dalam jajak pendapat sebelumnya yang diselenggarakan pada 2-3 September 2009, sebanyak 70 persen responden menyatakan kekecewaannya pada kinerja DPR dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Sebanyak 63 persen mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja DPR dalam mengontrol kerja pemerintah. Sementara 60 persen juga menyatakan kekecewaan atas kinerja DPR dalam membuat dan mengesahkan UU.

Meskipun tetap menaruh harapan besar pada mereka, reaksi pesimistis lebih kuat mewarnai penilaian publik. Menyambut anggota Dewan yang akan segera dilantik, misalnya, sebanyak 55,9 persen responden meragukan perilaku anggota Dewan yang baru nanti akan semakin disiplin.

Makin pesimistis

Anggota Dewan yang baru dipaksa bekerja dalam situasi buruknya citra lembaga saat ini. Padahal, di antara anggota legislatif pilihan rakyat itu, mayoritas adalah wajah baru (74 persen). Anggota Dewan lama yang terpilih kembali untuk periode lima tahun ke depan sekitar 26 persen dari total 560 wakil rakyat itu.

Respons pesimistis publik menyambut lembaga legislatif periode 2009-2014 ini cenderung kuat. Padahal, kualifikasi anggota DPR periode yang baru ini lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Proporsi anggota Dewan berusia muda dan berpendidikan tinggi menguasai kursi DPR kali ini. Sebanyak 66 persen dari anggota Dewan periode mendatang adalah berusia kurang dari 50 tahun.

Latar belakang pendidikan mayoritas anggota Dewan periode 2009-2014 juga lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Anggota Dewan separuhnya (50 persen) berpendidikan sarjana (S-1), 41 persen lainnya berpendidikan pascasarjana (S-2/S-3). Hanya kurang dari 10 persen yang berpendidikan SLTA atau diploma.

Komposisi anggota Dewan berdasar latar belakang pendidikan dan usia itu tidak cukup untuk meyakinkan publik bahwa elite politik itu akan bekerja lebih baik dari pendahulunya.

Publik berpendapat, kualitas pendidikan anggota Dewan tak berbanding lurus dengan mentalitas mereka. Sebanyak 69,8 persen responden menganggap tingkat pendidikan anggota Dewan tidak akan menjamin semangat dalam menghindari suap dan korupsi. Demikian juga soal kejujuran dalam mengemban tugas sebagai wakil rakyat, menurut 63,7 persen responden tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan responden.

Meningkatnya penilaian negatif terhadap kiprah anggota Dewan selama ini adalah artikulasi dari kekecewaan publik terhadap elite politik yang kian hari seolah semakin meninggalkan rakyat. Sepak terjang sebagian anggota Dewan selama ini, yang seharusnya mampu menjadi representasi rakyat, justru sebaliknya, mempertontonkan kebobrokan elite di negeri ini.

Menggantang kinerja DPR sesungguhnya tidak hanya sebatas mengukur bekerjanya fungsi dalam setiap instrumen yang ada di lembaga itu. Lebih dari itu, apa yang dihasilkan dan dilakukan anggota DPR seharusnya adalah cerminan dari kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Sayangnya, harapan itu sudah dipupus dengan kemegahan rencana pelantikan wakil rakyat yang akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 11 miliar pekan depan. (LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar: