Sabtu, 09 Januari 2010

Kerja dan Kinerja Kabinet


Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:44 WIB

Oleh ANDI SURUJI

Di kalangan ilmuwan, praktisi, dan pelaku usaha, telah muncul bisik-bisik bernada sangsi setelah mereka dalam sekali-dua kali kesempatan bertemu dengan menteri-menteri di bidangnya masing-masing. Sejak pengumuman menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, penilaian skeptis itu pun sudah muncul. Ada yang kurang layak dan belum pantas.

Soal kelayakan dan kepantasan menteri, bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono bersama timnya telah menggelar tes kelayakan dan kepatutan?

Layak dan pantas memang bisa diperdebatkan. Bagi satu pihak, seseorang sudah layak dan pantas diangkat sebagai menteri, tetapi belum tentu bagi pihak lain. Yang pasti, kelayakan dan kepantasan mesti diukur dari kapasitas dan kemampuannya melakukan terobosan untuk mencapai percepatan pembangunan dan menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan yang macet karena penuh karat di sana-sini.

Maaf kepada para birokrat, mohon jangan tersinggung! Soalnya, sejak periode Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama, pemerintah telah menggulirkan program reformasi birokrasi.

Kembali ke soal kabinet, hari Selasa lalu, Presiden Yudhoyono menegaskan, tidak logis kalau mengukur keberhasilan pemerintah masa bakti 2009-2014 hanya dari program 100 hari. Lho...! Bukankah telah menjadi konsensus di mana-mana bahwa kinerja presiden dan kabinetnya dalam 100 hari sangat menentukan performa selanjutnya.

Michael Watkins, Associate Professor di Harvard Business School, memberi waktu lebih singkat, hanya 90 hari, bagi manajer bisnis untuk membuktikan prestasinya. ”Tindakan yang Anda ambil selama tiga bulan pertama menduduki posisi baru biasanya memberi gambaran apakah Anda akan sukses atau gagal. Transisi adalah masa kesempatan, peluang untuk memulai dari awal dan melakukan perubahan yang diperlukan dalam organisasi,” papar Watkins dalam bukunya 90 Hari Pertama.

Ia melanjutkan, ”Tetapi transisi juga masa yang sangat rentan karena Anda tidak memiliki hubungan kerja yang mantap dan belum pula memahami peran baru Anda secara mendalam. Jika Anda gagal membangun momentum selama masa transisi Anda, maka Anda akan menghadapi tantangan berat sejak itu.”

Petuah ini perlu dicamkan para menteri. Bagaimanapun, 100 hari usia kabinet dan program yang dilahirkannya tetaplah ditunggu dan akan dinilai masyarakat.

Kita tunggu. Pada saat dipaparkan, program 100 hari kabinet itu pasti akan berisi daftar program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan para menteri melalui kementerian yang dipimpinnya. Konon, sudah sekitar 90 persen selesai. Katanya, program itu kelak disertai rencana aksi dan waktu pelaksanaannya sehingga jelas tahapan pelaksanaan serta ukuran keberhasilan dan kegagalannya. Wah, bagus sekali dong!

Nah, dalam hal ini, ternyata banyak orang yang salah kaprah. Yang kita pahami adalah, dalam seratus hari sejak dilantik, kabinet atau menteri baru sedang sibuk menyusun program kerja yang akan dilaksanakannya. Sementara menurut versi kaum awam, program 100 hari kabinet itu adalah apa saja yang akan dilakukan kabinet dalam seratus hari sejak dilantiknya. Seharusnya, begitu dilantik, para menteri sudah mengumumkan apa saja yang akan dikerjakannya dalam seratus hari ke depan. Toh, sebelum dilantik, Presiden sudah memberikan arahan apa yang harus dilakukan. Apalagi, presidennya tetap, programnya tinggal dilanjutkan, bukan?

Jadi, ada kesenjangan pemahaman antara elite dan awam. Lebih parah kalau kesenjangan itu terjadi antara apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang dilakukan pemerintah.

Persoalan lain adalah sering kali terjadi orang pandai membuat konsep, tetapi implementasinya nol besar. Kalau sesuatu sudah diomongkan, seolah otomatis jadi. Memangnya negeri sulap?

Lantas, kalau gagal, sibuk cari kambing hitam. mencari pembenaran, dan sebagainya, tetapi tidak pernah mengintrospeksi kekurangan sendiri. Apakah memang punya kapasitas menjadi menteri, memimpin kementerian? Sayangnya, sangat sedikit orang yang tahu diri dan sangat tipis keberanian menolak; bahkan berlomba-lomba mempromosikan diri, terkadang lobi sana-sini, kirim riwayat hidup melalui berbagai saluran dan koneksi. Jangankan menolak, mengundurkan diri manakala performa jauh di bawah rata-rata juga tidak ada.

Ah, belum lagi program 100 hari kabinet diumumkan, yang berarti rakyat belum tahu apa yang telah dan akan dikerjakan menteri, mereka sudah dapat mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar.

Dalam perkembangan lain, sejumlah kementerian sudah ditambah pejabatnya dengan pengangkatan wakil menteri. Ini juga lucu. Orangnya sudah diumumkan, tetapi tidak jadi dilantik karena persyaratannya belum dipenuhi oleh yang bersangkutan. Ah, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah Presiden dikelilingi staf yang jago-jago, intelijen yang andal. Kalau urusan persyaratan administrasi saja kecolongan, bagaimana informasi yang akurat bisa sampai ke Presiden? Apa pun alasannya, sungguh kacau prosedur seleksi dan administrasi di lingkungan kepresidenan.

Sampai saat ini sudah ada 10 wakil menteri untuk memperkuat 34 menteri yang sudah diangkat sebelumnya. Ada yang mengatakan kemungkinan jumlah wakil menteri bakal setengah dari jumlah menteri. Tujuannya, untuk menyukseskan tugas menteri agar kinerja terbaik kementerian tercapai.

Kalau begitu, betapa ambisius program kerja kabinet sehingga harus menambah demikian banyak wakil menteri. Asumsinya, standar kinerja atau pencapaian pemerintahan dalam lima tahun tentu harus jauh lebih tinggi dari rata-rata lima tahun silam ketika hanya satu kementerian yang memiliki wakil menteri.

Kita tunggulah, seambisius apa target program para menteri? Rasionalkah program itu dan masuk akalkah cara implementasinya?

Berikut ini catatan yang harus menjadi muara sasaran semua program kabinet. Ada 35 juta orang miskin, 22 juta penganggur, dan 13 juta keluarga tidak memiliki rumah/tunawisma. Anak-anak yang putus sekolah 11,7 juta orang, kematian ibu dan anak sekitar 230 kematian per 100.000 orang. Ah, panjang sekali, tambah pusing nanti.

Tidak ada komentar: