Selasa, 19 Januari 2010

Menimbun Lubang


Selasa, 19 Januari 2010 | 02:53 WIB

SUKARDI RINAKIT

Demi masa, peserta seminar itu sekali lagi bertanya mengenai prediksi saya untuk tahun 2010. Dengan tegas penulis mengatakan, optimistis.

Meski situasi politik sedikit memanas karena kasus Bank Century, perlakuan istimewa kepada Artalyta Suryani, dan pernyataan Presiden untuk melakukan evaluasi koalisi partai, tetapi secara hipotesis semua itu tidak akan mengganggu ranah ekonomi. Banyak pihak percaya tahun ini ekonomi akan tumbuh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Situasi itu diduga akan berlaku hingga lima tahun mendatang.

Penulis jauh-jauh hari menyatakan, jika pemerintah tidur saja, kinerja ekonomi akan sama dengan periode tahun 2004-2009. Jika pemerintah tidak tidur dan bekerja ala kadarnya, keadaan akan lebih baik dibandingkan dengan lima tahun lalu. Keadaan akan mengalami lompatan signifikan, bahkan akan mengejar Bric (Brasil, India, dan China), jika Presiden melakukan resume power dan berani keluar dari kerangkeng rasa aman dan pencitraannya.

Pendeknya, pintu peluang bagi Indonesia untuk merangsek maju terbuka lebar. Namun, sekali lagi, pemerintah terjebak pada pencitraan semu. Belum apa-apa, pemerintah sudah mengklaim program 100 harinya sukses hampir 100 persen. Ini seperti mimpi yang tidak bisa dikonfirmasi. Ini justru menimbulkan pesimisme publik. Jangan heran, jika secara diam-diam rakyat yang melek politik mencemooh pernyataan itu.

Menyimak keadaan itu, penulis teringat Johann Christoph Friedrich von Schiller. Ia pernah menyatakan, Eine grosse Epochas Jahrhundert geboren, Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht (Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil). Sejujurnya, kita tidak memiliki pemimpin berkarakter kuat sekarang ini. Padahal, tatanan dunia bergerak semakin cepat, ekstrem, dan penuh risiko.

Menjadi orang

Sejak awal saya sudah mengkritisi program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Prioritasnya terlalu banyak, mencakup 15 program, mulai dari pertahanan, penegakan hukum, reformasi birokrasi, dan lain-lain. Karena tak ada program yang dijadikan maskot, keberhasilannya menjadi sulit diukur. Semua abu-abu.

Idealnya, pemerintah memilih tiga program saja sebagai panglima, yaitu mencabut peraturan perundang-undangan yang membatasi pendirian tempat ibadah, menciptakan sejuta lapangan kerja melalui program padat karya, serta membangun laboratorium modern untuk mengembangkan nanoteknologi, bioteknologi, neurosains, dan teknologi informasi. Program lain, meski tetap dijalankan, tidak perlu dikibar-kibarkan seperti ketiga maskot itu.

Dengan demikian, realisasi program itu bisa diukur langsung oleh publik. Jika program pertama dan kedua berhasil, optimisme rakyat pasti meningkat. Perasaan satu bangsa dipastikan menghebat. Semua akan merasa tidak sia-sia menjadi warga negara Republik Indonesia. Akan tetapi, dengan klaim sepihak dari pemerintah, optimisme publik menjadi kempis kembali.

Suka atau tidak, sikap pemerintah yang gampang mengklaim kesuksesan tanpa menyodorkan bukti memadai adalah cermin bening dari karakter kepemimpinan yang lemah jika tidak boleh disebut kerdil seperti kata Von Schiller. Sebab itu, jika kepada mereka ditanyakan apa cita-citanya dulu, mereka pasti menjawab, ”Mau jadi orang.” Maksudnya, menjadi pejabat.

Mereka tak pernah bercita-cita mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, membuka lapangan kerja, dan lain-lain. Tak mengherankan, setelah menjadi ”orang”, mereka tidak bekerja keras untuk rakyat. Cita-citanya memang hanya menjadi pejabat. Cita-cita itu telah terwujud kini.

Dalam perspektif budaya politik, pemimpin seperti itu telah gagal membentuk dirinya menjadi figur berkarakter kuat yang mampu mapras barang kang mbrenjul (meratakan sesuatu yang menonjol). Mereka bisa saja mengabaikan praktik ketidakadilan asal posisi politik dan sumber ekonominya aman.

Mencoba menimbun

Oleh karena tidak bisa tegak sebagai pemimpin yang berani mapras barang kang mbrenjul, mereka pun tidak akan mati-matian ngurug barang kang ledhok (menutup sesuatu yang berlubang). Pembelaan kepada yang lemah, miskin, tidak berpendidikan bukan merupakan ledakan energi pengabdian mereka. Petani, nelayan, dan buruh terpinggirkan begitu saja.

Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini gelombang demonstrasi mahasiswa dan aktivis bangkit lagi. Sesuai fitrahnya, mereka sedang memainkan peran sebagai patriot yang berusaha menimbun sesuatu yang ledhok (pembela yang lemah). Mereka juga sedang mencoba membunuh kultur pejabat yang tak sepenuh hati bekerja untuk rakyat.

Namun, apakah perlawanan mereka itu akan berubah menjadi ombak besar sehingga mampu menggulung kekuasaan sekarang ini? Dengan prihatin saya harus menjawab ”belum”. Sampai hari ini belum ada pengusaha dan militer yang mendukung gerakan aktivis itu. Pada umumnya mereka masih merasa nyaman dengan komposisi kekuasaan sekarang. Akibatnya, demonstrasi akan kempis, para demonstran kelelahan, dan jaringan pergerakan menjadi kendur.

Namun, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur). Jika hari ini gagal, masih ada hari esok.

Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Tidak ada komentar: