Jumat, 27 Februari 2009

Orang Desa dan Dramaturgi Politik


Kamis, 26 Februari 2009 | 00:29 WIB

Aniek Nurhayati

Ingar-bingar politik menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 sebenarnya jauh dari ”jangkauan” masyarakat desa.

Di tengah melonjaknya harga pangan dan alam yang sedang tidak bersahabat, orang desa bergulat untuk tetap survive memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Data menunjukkan, simpul kemiskinan banyak terdapat di pedesaan yang notabene merupakan daerah pertanian.

Hal itu bisa dipahami karena mayoritas petani adalah net comsumer (mengonsumsi lebih banyak daripada yang dihasilkan). Sekitar 75 persen petani hanya sebagai buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar.

Namun, masyarakat pedesaan yang menjadi mayoritas populasi di Indonesia terlalu besar untuk diabaikan politik. Pada masa Orde Baru, reformasi, hingga Pemilu 2004, partai politik dan calon presiden berlomba menarik simpati orang desa agar memilih mereka.

Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon anggota legislatif dengan suara terbanyak yang berhak memperoleh kursi, dapat dipastikan pada tahun 2009, selain capres dan parpol, para caleg juga akan berebut simpati untuk mendapatkan suara orang desa.

Pertanyaannya, apa yang diperoleh masyarakat desa dari proses ini?

Michael Lipton dalam Why Poor People Stay Poor (1985) melihat fenomena masyarakat pedesaan yang sementara jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, juga lebih miskin, tidak jelas, dan tidak teratur.

Secara nasional, mereka berusaha untuk bergabung dengan politik dan kekuasaan, tetapi kolaborasi itu tidak dimaksudkan oleh orang desa untuk kekuasaan dan pendapatan bagi kemajuan sektor pedesaan. Dengan kata lain, para politisi yang notabene banyak berasal dari kalangan perkotaan sebenarnya tidak banyak melakukan kontribusi bagi pembangunan di pedesaan.

Namun, sekali lagi, suara orang desa amatlah besar untuk diabaikan. Maka, politisi menciptakan panggung teater untuk meraih suara itu.

Panggung teater

Pendeknya, para politisi menampilkan apa yang disebut Erfing Goffman sebagai ”manajemen kesan”, yaitu fenomena dramaturgi tentang bagaimana individu menyatakan tindakannya dalam suatu setting yang melibatkan panggung dan pelaku.

Goffman membagi wilayah sosial individu menjadi panggung depan, panggung belakang, dan wilayah yang ada di luar keduanya, yang disebutnya sebagai the outside.

Perspektif dramaturgi Goffman yang ”menantang” adalah tesisnya tentang panggung depan, yaitu wilayah ekspresi sosial yang selalu melekat pada individu atau aktor di manapun ia pergi, misalnya jenis kelamin, umur, status sosial, gaya bicara, dan gerak tubuh (Zeitlin, 1995).

Dalam penampilan itu, aktor cenderung membimbing dirinya dengan nilai resmi yang ada pada masyarakat dan melangkah dengan menghadirkan versi yang telah diidealisasikan terhadap dirinya sendiri.

Dalam menyajikan gambaran ideal dirinya itu, aktor harus menyembunyikan berbagai hal di panggung depan yang mungkin dimilikinya, seperti: kesenangan rahasia yang menjadi kebiasaan, kekeliruan pada masa lalu, serta kemungkinan ”kerja kotor” yang dilakukan dalam proses menampilkan ”pentas”. Kerja kotor ini meliputi tugas-tugas yang semilegal, kejam, maupun tindakan yang merendahkan martabat (Ritzer, 2008).

Sementara itu, panggung belakang merujuk pada wilayah sosial aktor yang lepas dari panggung depan dan para penonton. Aktor menggunakan topengnya di panggung depan dan melepasnya di panggung belakang. Di panggung belakang inilah dunia nyata aktor dan Goffman menyebut di panggung inilah sesungguhnya seseorang dapat mendeteksi karakter yang mengesankan atau tersembunyi dari aktor tersebut.

Teater orang desa

Dengan berbagai macam persoalan yang melingkupinya, seperti kemiskinan, buruknya infrastruktur, kompleksitas permasalahan pertanian, maupun rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, semua bisa menjadi ”komoditas yang bisa dijual” oleh politisi untuk mendapatkan suara orang desa.

Karena itu, tidak heran bila sejumlah politisi dan parpol telah menggelar ”panggung teater” di mana alam pedesaan dan orang-orangnya terlibat dalam tutur dan gambar.

Di era komunikasi, media adalah sarana efektif bagi politisi untuk membuat manajemen kesan dalam rangka menunjukkan panggung depan mereka. Ini bisa dilihat dari gambar yang tersaji di iklan politik yang menyajikan eksotisme desa yang berbalut wajah-wajah tidak berdaya karena tersingkir dari pembangunan.

Dengan nilai resmi di masyarakat bahwa politisi ideal adalah mereka yang dekat dan peduli dengan rakyat, politisi menciptakan panggung depannya untuk menunjukkan kepedulian bahwa mereka siap mengentaskan segala problem itu. Tampilan para politisi di poster, spanduk, dan baliho yang bertebaran di desa-desa juga bagian dari manajemen kesan itu.

Bagaimana dengan tampilan iklan dari parpol yang menjadi pemegang kendali pemerintah? Panggung yang diciptakan adalah suksesnya pembangunan dengan wajah para petani desa yang riang serta anak-anak yang menikmati pendidikan murah. Maka, panggung depan yang diciptakan adalah bagaimana kepuasan orang- orang desa agar bisa dilanjutkan dan ditingkatkan.

Bagaimana dengan panggung belakang politisi? Wilayah yang disebut Goffman sebagai wilayah di mana aktor membuka topengnya ini tentu tidak banyak diketahui orang desa. Ini disebabkan mayoritas politisi adalah orang kota dan orang desa akan menikmati saja panggung teater politik 2009 atau mereka acuh saja. Dan, ketika pemilu selesai, akankah teater pemilu ini menjadi kenyataan?

Orang-orang desa menunggu.

ANIEK NURHAYATI Mahasiswi S-3 Sosiologi Pedesaan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang

Tidak ada komentar: