Selasa, 17 Februari 2009

Periksa Anggota Legislatif Tak Perlu Izin Presiden

Jakarta, Kompas - Pemeriksaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (pusat dan daerah) dalam perkara tindak pidana pemilihan umum tidak memerlukan izin Presiden. Pemeriksaan dapat langsung dilakukan tim penyidik, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, bahkan tanpa menunggu fatwa Mahkamah Agung.

”Semangat Undang-Undang Pemilu itu kan semuanya serba cepat dan dibatasi, maka aturan khusus kita ke sampingkan,” ujar Djoko Sarwoko, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung, Senin (16/2).

Seperti diketahui, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD mengatur, setiap anggota legislatif yang diperiksa atau dimintai keterangan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Presiden, Menteri Dalam Negeri, ataupun Gubernur.

Menurut Djoko, pihaknya mengartikan filosofi serba cepat dalam UU Pemilu dengan tidak melaksanakan semua aturan yang bertentangan.

”Seperti jika ada anggota legislatif yang melanggar ketentuan UU Pemilu. Kalau harus izin Presiden, kan lama. Kalau begitu, UU tidak ada maknanya. Makanya, supaya UU ini bermakna harus kita tegakkan sesuai UU,” ujar Djoko.

Djoko menjelaskan, pemeriksaan anggota legislatif itu dapat langsung dilakukan dengan mendasarkan pada UU Pemilu. UU Pemilu tidak mengatur perlunya izin Presiden untuk pemeriksaan anggota legislatif. Meskipun UU No 4/1999 mensyaratkan izin Presiden, dengan adanya UU yang lebih baru (UU No 10/2008), ketentuan yang lebih baru yang diterapkan (lex posteriori deroga legi priori).

Hingga saat ini sejumlah pengadilan sudah mulai menangani kasus pidana pemilu. Misalnya, Pengadilan Negeri Bondowoso (satu perkara), PN Blora (satu perkara), dan PN Jakarta Barat (satu perkara).

Seperti diwartakan sejumlah media massa, Badan Pengawas Pemilu dan Sentra Pelayanan Terpadu (kerja sama kepolisian dan kejaksaan) akan meminta fatwa MA terkait perlunya izin Presiden untuk pemeriksaan anggota legislatif. Birokrasi semacam ini dinilai menghambat penyidikan mengingat tenggat waktu penyidikan kasus pidana pemilu hanya 14 hari (Pasal 235 UU No 10/2008).

Anak-anak

Selain masalah izin pemeriksaan, Djoko mengakui adanya sejumlah persoalan yang tidak diatur dalam UU Pemilu. Misalnya, pidana pemilu yang melibatkan anak-anak. ”Misalnya, bagaimana kalau anak-anak melakukan pelanggaran bersama orang dewasa. Kita sepakat bahwa untuk anak di bawah 18 tahun, kita akan menggunakan UU Pengadilan Anak,” ujarnya.

Ia juga mempertanyakan rencana polisi menyerahkan penyidikan anggota TNI yang melakukan pelanggaran pidana pemilu ke POM TNI.

”Seharusnya polisi tetap menangani penyidikan itu karena jika diserahkan ke POM TNI, pengadilan tak dapat memeriksa perkaranya,” kata Djoko. (ana)

Tidak ada komentar: