Selasa, 17 Februari 2009

Konsolidasi Demokrasi Setelah Tahun 2009


Demokratisasi Saat Ini Masih Bersifat Prosedural

Kompas/Totok Wijayanto
Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung menjadi salah satu pembicara dalam Rapat Pimpinan Nasional III Partai Pemuda Indonesia (PPI) di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (15/2). Rapimnas yang antara lain membahas strategi partai dalam menghadapi pemilu legislatif itu berlangsung hingga hari Senin ini.
Senin, 16 Februari 2009 | 00:15 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah tahun 2009 diharapkan Indonesia memasuki era untuk mengonsolidasikan demokrasi yang berjalan 10 tahun terakhir. Untuk itu, pelembagaan partai politik sebagai pilar utama demokrasi harus lebih diperkuat.

”Saat itu demokrasi harus lebih menjadi substansial, yaitu menghasilkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Untuk itu, demokrasi harus didasarkan pada semangat kesetaraan, menghormati kemajemukan dan hak asasi manusia,” kata Ketua DPR periode 1999-2004 Akbar Tandjung dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Partai Pemuda Indonesia (PPI) di Jakarta, Minggu (15/2).

Demokrasi saat ini, kata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, masih lebih bersifat prosedural. Demokrasi masih lebih ditandai oleh kehadiran parpol, pemilihan umum, dan adanya kesempatan rakyat untuk memilih.

Agar dapat menjadi pilar pada era konsolidasi demokrasi, menurut Akbar, parpol harus dapat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mewujudkan tujuan nasional seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, mengembangkan kehidupan demokrasi, dan ikut serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sudah dimulai

Secara terpisah, pengajar Sosiologi Politik di Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa menuturkan, era konsolidasi demokrasi justru sudah dimulai sejak 10 tahun terakhir. ”Konsolidasi sama dengan masa transisi yang, menurut ukuran progresif, berlangsung dua tahun. Adapun dalam ukuran konservatif lamanya sekitar 10 tahun,” tutur dia.

Dengan perhitungan tersebut, setelah tahun 2009 Indonesia seharusnya sudah dapat memetik buah dari demokrasi yang dijalankan selama ini. Namun, hal itu sepertinya belum dapat terwujud karena parpol masih butuh waktu lebih lama lagi untuk mengonsolidasikan dirinya.

Masih belum berhasilnya konsolidasi parpol selama ini, antara lain terlihat dari kualitas parlemen di Indonesia.

”Parlemen dibangun dari dua unsur, yaitu pemilu dan parpol. Dalam 10 tahun terakhir, pemilu sudah berjalan demokratis. Namun, representasi dan akuntabilitas parlemen masih jauh dari harapan, yang antara lain terlihat dari maraknya korupsi dan lemahnya penegakan hukum di lembaga itu. Salah satu sumber masalah tersebut tentunya ada di parpol,” ujar Daniel Sparinga lebih lanjut.

Kondisi itu semakin diperparah oleh tiadanya pemimpin nasional yang kuat.

Untuk segera mengakhiri era transisi ini, lanjut Daniel, Indonesia membutuhkan pemimpin yang dapat bekerja melampaui batas-batas identitas etnis, ideologi, serta menghargai pluralisme, toleransi, dan kesetaraan. Model kepemimpinan seperti itu, dapat dijawab dengan membangun kepemimpinan kolektif.

”Untuk itu, perlu dibangun etika serta kemampuan dalam bernegosiasi dan membangun konsensus. Olok-olok dan perbedaan pendapat memang diperbolehkan dalam demokrasi. Namun, hal itu jangan sampai membingungkan rakyat dan apalagi menggagalkan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,” tutur Daniel.

Rapimnas III PPI berlangsung hingga hari Senin ini serta dihadiri Ketua Umum Hasanuddin Yusuf. (NWO)

Tidak ada komentar: