Minggu, 24 Mei 2009

Demokrasi Liberal 1

Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945

ADA sebuah revolusi di bulan Agustus 1945—meskipun tak ada pemberontakan. Di Jakarta hari itu tak ada gelombang massa yang menghancurkan sebuah penjara, tak ada tentara rakyat yang menjebol sebuah kekuasaan yang mencoba terus tegak. Di seberang sana, tak ada barikade, juga tak ada takhta yang bisa memberikan titah agar revolusi dipadamkan.

Pada pagi hari 62 tahun yang lalu itu yang tampak hanya sejumlah orang yang mendengarkan Bung Karno membacakan sebuah teks, yang kemudian disebut ”Naskah Proklamasi”. Pada pagi hari itu juga bendera Merah Putih dikibarkan, tapi tak di mana-mana, hanya di depan sebuah gedung tak begitu besar di Jalan Pegangsaan, Jakarta, tempat para pelopor kemerdekaan itu berkumpul.

Namun sesuatu berubah. Terutama dalam diri mereka yang mengalaminya. Setelah bertahun-tahun tertekan dan tersisih dalam proses menentukan sejarah tempat mereka hidup, hari itu orang bisa menyebut diri ”Indonesia” dan jadi ”merdeka”.

Revolusi memang sebuah transformasi: sejak saat itu sesuatu yang dialami segera jadi sesuatu yang dihayati—ketika orang mengartikulasikan apa yang terjadi dengan kata, lambang, mitos. Mereka memberi makna kepada semua itu, dan mendapatkan makna dari sana. ”Indonesia” waktu itu wujud politik dan geografi yang sebenarnya belum ada; tapi ia telah begitu berarti hingga kelak orang akan mempertaruhkan nyawa buat mempertahankannya.

Tak berarti semua itu serta-merta muncul pada 17 Agustus 1945. ”Indonesia” sebagai sebuah komunitas telah dianggit, diartikulasikan, dipaparkan, dan diberi makna sejak awal abad ke-20. Pada bulan Juni dan Juli 1945, di sebuah gedung lain di daerah Menteng di Jakarta, sebuah panitia bahkan telah bekerja berdasarkan anggitan itu. Tugasnya menyiapkan bentuk negara dan konstitusi bagi sebuah ”Indonesia” yang akan lahir.

Meskipun demikian, tak semua bisa dipersiapkan. Ada yang tak terduga-duga, ketika tiba-tiba sebuah kekosongan terjadi: di wilayah yang semula dikuasai Jepang ini tak ada lagi kuasa apa pun yang berdaulat.

Sejarah akhirnya memang bukan sebuah lorong lempang. Selalu ada kelokan mendadak. Revolusi sering ditulis sebagai ujung yang logis dari sebuah sebab sosial politik, tapi bahkan Revolusi Rusia—yang mengartikulasikan diri sebagai revolusi Marxis, bagian dari ramalan ”sosialisme ilmiah”—sebenarnya juga sebuah kejutan: perubahan besar di bulan Oktober 1917 itu dilakukan sejumput minoritas, sebuah partai atas nama kelas buruh di sebuah negeri yang masih agraris, dipimpin Lenin yang baru saja kembali dari hidup di pengasingan. Tapi sejak itu, Rusia tak pernah kembali seperti dulu, dan ”Revolusi Oktober” mengandung getaran yang menggugah.

Juga di bulan Agustus 1945 itu. Di Indonesia, sesuatu yang serba-mungkin telah berubah: revolusi itu jadi sebuah kata sakti yang kemudian membayangi terus politik Indonesia.

l l l

KETIKA Bung Karno membubarkan sistem demokrasi parlementer pada tahun 1958, ia membenarkan tindakannya sebagai ”penemuan kembali Revolusi kita”. Itulah judul pidato pentingnya yang kemudian dikenal juga sebagai ”Manifesto Politik”.

Tampak bahwa ”Revolusi”—karena getarannya yang dahsyat—tak dilihat sebagai sesuatu yang lahir dari keadaan serba-mungkin, sesuatu yang bisa jadi tapi bisa juga tidak. Dalam bahasa politik yang dipakai, ”Revolusi” adalah tuah. Ia sesuatu yang dapat berulang, dilanjutkan melintasi waktu. Dalam beberapa kalimatnya, Bung Karno bahkan membandingkannya dengan revolusi Amerika dan revolusi Rusia—sebuah klaim bahwa yang terjadi di Indonesia bisa jadi standar baru dalam sejarah dunia.

Saya tak menganggap Bung Karno berlebihan. Tapi ia tak melakukan sesuatu yang baru. Ia mengulangi cara memandang sejarah yang lazim pada masa itu: menafsirkan revolusi sebagai totalitas, juga sebagai sebuah jalan universal, kerja para pelaku yang kompak karena semua berdasarkan nalar atau mengikuti hukum sejarah.

Namun revolusi tidaklah sesederhana itu. Waktu itu agaknya dialami tapi tak disadari, bahwa hasil penting Revolusi Agustus 1945 adalah penegasan tentang peran apa yang disebut Claude Lefort ”tempat kosong” dalam revolusi itu—sebuah pembuka bagi kehidupan demokrasi.

Ketika orang Indonesia melihat Hindia Belanda runtuh dan kemudian Jepang jatuh, jelas bahwa di posisi pemegang kedaulatan itu ada sesuatu yang sudah seharusnya terbuka, kosong, untuk diisi oleh yang lain. Revolusi Indonesia, ditandai dengan Proklamasi Soekarno-Hatta, adalah sebuah langkah merebut tempat yang kosong itu—satu hal yang agaknya bukan bagian dari sejarah kemerdekaan India, Singapura, atau Malaysia. Kejadian itu membuat pengertian ”politik”, la politique, punya sifat yang lebih radikal.

Ada heroisme dalam Revolusi Agustus, ada yang transformatif dalam kejadian itu—dan sebab itu ada sesuatu yang layak untuk dianggap indah dan dikenang terus. Tapi tiap revolusi nasional—yang jadi ciri perlawanan terhadap kolonialisme—mengandaikan sebuah bangunan bangsa yang pasti. Ketika pemerintah kolonial tak ada lagi, ”tempat yang kosong” yang ditinggalkan seakan-akan sudah dipesan selama-lamanya untuk sebuah himpunan politik tanpa konflik, tanpa kongkurensi. Dan revolusi, sebagai sesuatu yang transformatif, dibayangkan akan sanggup menghilangkan endapan masa lalu dan membentuk manusia baru: manusia yang bisa dipastikan seia-sekata.

Dengan kata lain, revolusi, sebagai mitos, justru menggarisbawahi sebuah citra-diri yang tanpa-konflik. Pada pertengahan tahun 1960-an Bung Karno berkali-kali menyeru ”penggalangan yang padu semua kekuatan revolusioner”, samenbundeling van all revolutionaire krachten. Tapi mereka yang hendak dibuat bersatu padu—PNI, NU, PKI, dan dapat dibilang juga ABRI—sebenarnya juga mereka yang bersaing, saling mengintai, dan saling menerkam. Pada dasarnya mereka tahu, siapa pun di antara mereka sah untuk mengisi ”tempat yang kosong” itu. Pada dasarnya mereka juga tahu, Bung Karno, sang ”Pemimpin Besar Revolusi”, tak akan dapat terus-menerus berada di sana.

Tak urung, revolusi Agustus yang ”ditemukan kembali” itu pun terbentang antara la politique—yang membuka terus-menerus sifat radikal, agar perubahan selalu terjadi dan kian demokratis—dan le politique, yang mengandaikan keutuhan bentuk sebuah bangunan kebersamaan—yang tak jarang akhirnya mandek, buntu, bahkan represif.

Akhirnya ”demokrasi terpimpin” pun gagal menggantikan demokrasi parlementer yang dicoba diterapkan di antara tahun 1946 dan 1958. Bagi saya, kegagalan ini bermula dari tafsiran yang salah atas revolusi. Revolusi ternyata bukan sesuatu yang punya ”rel” atau garis lurus. Revolusi ternyata tak sepenuhnya bisa melintasi waktu. Sebagian besar dari dirinya terjadi sebagai sebuah aksiden sejarah. Banyak elemennya yang tak bisa diulangi. Ia juga tak pernah bisa melintasi perbedaan dan sengketa yang timbul dalam perjalanan sebuah bangsa.

Di bawah ”Orde Baru”, antara 1966-1998, kata ”revolusi” memang telah ditanggalkan. Tapi di sini juga tampak usaha meniadakan la politique dari kehidupan masyarakat—sebuah lanjutan kecenderungan represif ”demokrasi terpimpin”, tapi dijalankan Presiden Soeharto dengan lebih luas dan lebih lama. Sebuah mis-en-scène disusun untuk memanggungkan Indonesia sebuah kesatuan yang stabil dan serba selaras.

Tapi tak ada sebuah bangsa yang serba selaras. Pemanggungan itu pun gagal memberikan makna bagi para pelaku politik dan orang ramai. Mis-en-scène itu akhirnya tak mampu lagi menampakkan mis-en-sense.

l l l

PEMANGGUNGAN—itu juga yang bisa dikatakan tentang demokrasi parlementer pada dasawarsa pertama setelah kemerdekaan. Sebagian pemimpin Indonesia, terutama Sjahrir, konon menyarankan sistem itu diterapkan agar Indonesia dilihat— tentu saja oleh Eropa dan Amerika—sebagai sebuah negara demokratis, yang tak merupakan kelanjutan model fasisme Jepang.

Tapi sebenarnya masih jadi pertanyaan, adakah para pelaku kegiatan politik dan orang banyak mendapatkan makna dalam panggung itu. Di tengah kesulitan ekonomi dan keterbatasan alokasi sumber kekayaan ke daerah, dibayang-bayangi Perang Dingin yang merasuk ke dalam politik dalam negeri, diintai ambisi militer yang menampik kepemimpinan sipil, demokrasi parlementer dengan segera kehilangan kemampuannya untuk jadi artikulasi rakyat.

Bung Karno—selamanya curiga kepada apa yang berbau ”Barat”—dengan segera menganggap sistem ini sebuah cangkokan.

Saya kira di sini kita menyaksikan bagaimana para pendukung demokrasi parlementer lebih memperhatikan adanya bentuk institusional—parlemen, mahkamah yang mandiri, dan pers yang bebas—sebagai formula. Hak seakan-akan diberikan, bukan hasil sebuah perjuangan yang melibatkan orang banyak. Sangat menarik, misalnya, bahwa di awal Oktober 1945 ada ketentuan dari Menteri Penerangan bahwa pers ”harus” merdeka. Dalam formula semacam itu, tak ada pengalaman transformatif seperti yang terjadi dalam sebuah revolusi.

Dengan kata lain, hak-hak asasi hanya mendapatkan makna jika direbut dari kondisi pengingkaran akan hak-hak itu—sebuah proses yang memang membutuhkan pengalaman sejarah yang pahit. Dalam dasawarsa awal kemerdekaan, pengalaman semacam itu tak cukup tebal dan melekat dalam ingatan. Ketika jauh di awal persiapan kemerdekaan Bung Hatta memperingatkan akan perlunya hak-hak asasi karena khawatir akan kesewenang-wenangan negara, orang mengatakan bahwa dia ”curiga” kepada negara. Orang tak mengira, beberapa dasawarsa kemudian kecurigaan itu memang beralasan.

Sebuah bagian yang sedih dari sejarah Indonesia kemudian memang terbentang. Tapi mungkin dengan itu kita bisa mendapatkan makna dari apa yang dulu dikatakan tapi tak begitu dihayati: kemerdekaan.

Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar: