Jumat, 08 Mei 2009

Wakil Rakyat dan Politik "Lookism"

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

Komisi Pemilihan Umum baru hari Sabtu mengumumkan calon legislatif yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi beberapa perkiraan sudah muncul tentang jumlah perempuan di lembaga tersebut.

Centre for Electoral Reform, misalnya, memperkirakan, 59 perempuan akan lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat atau tak sampai 11 persen dari 560 kursi yang tersedia. Pengajar politik di FISIP Universitas Indonesia yang aktif terlibat dalam memperjuangkan tindakan afirmasi untuk perempuan di DPR, Ani Soetjipto, sedikit lebih optimistis dengan memperkirakan maksimum ada 70 perempuan menjadi wakil rakyat di DPR atau 12,5 persen dari total kursi.

Meskipun perhitungan optimistis memperkirakan jumlah wakil perempuan naik, dari sisi kualitas muncul tanda tanya besar karena di antara yang lolos banyak muka baru dan juga artis. Di sisi lain, banyak perempuan kader partai politik maupun perempuan yang sudah terbukti komitmennya memperjuangkan isu perempuan dan jelas keberpihakannya pada kesejahteraan rakyat tidak lolos ke DPR.

Persoalan menyangkut perempuan dan anak masih jauh dari selesai. Kebijakan banyak yang masih menggunakan pendekatan yang netral jender, mengandaikan persoalan yang dihadapi perempuan dan laki-laki sama. Sampai hari ini masih banyak perempuan diperdagangkan sebagai pekerja domestik atau dilacurkan. Gubernur Kalimantan Barat Cornelis, misalnya, mengakui masih ada penyelundupan TKI ke Malaysia melalui Entikong, terutama perempuan (Kompas, 29/4).

Kekerasan masih terus dialami pekerja domestik di luar negeri karena negara lambat melindungi, sementara remiten mereka menjadi penggerak ekonomi negara. Kiriman buruh migran ke wilayah Yogyakarta selama Januari-Maret 2009, misalnya, besarnya Rp 14,4 miliar.

Di bidang kesehatan, layanan kesehatan reproduksi belum memuaskan akibat pandangan yang masih mengagungkan ”kesucian” perempuan. Film dokumenter Pertaruhan memperlihatkan bagaimana perempuan muda tidak memiliki pengetahuan dan layanan memadai tentang kesehatan reproduksi.

Usulan perubahan Undang-Undang Kesehatan melalui DPR belum juga berhasil. Kenyataannya, banyak perempuan membutuhkan layanan aborsi, sebagian besar ibu rumah tangga, akhirnya pergi ke pihak tidak bertanggung jawab dan tidak kompeten dengan risiko kehilangan nyawa, cacat permanen, dan menderita kesakitan.

Jumlah orang dengan HIV/AIDS dari waktu ke waktu bertambah, dengan korban paling rentan ibu dan anak karena negara ikut melanggengkan relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki.

Kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, secara fisik, ekonomi, psikologi, maupun seksual, di ruang domestik maupun publik. Kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen oleh sebagian besar media massa, misalnya, digeser menjadi mengintip kehidupan Rani Juliani dan istri Antasari Azhar.

Bulan Mei kembali mengingatkan kekerasan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Komnas Perempuan melaporkan, mereka mengalami kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 dan sampai sekarang negara tidak mengungkap pelakunya.

Saat ini sedang berlangsung upaya uji materi Undang-Undang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat, memperlihatkan ada anggota masyarakat yang justru merasa undang-undang itu mendiskriminasi perempuan.

Pelajaran ke depan

Caleg Partai Golkar yang lolos ke DPR, Nurul Arifin, menyadari sikap skeptis masyarakat tersebut. Dia mengatakan, para artis yang lolos harus bekerja keras meningkatkan kapasitas diri agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat.

Ani Soetjipto menyebut, tidak bertambahnya jumlah perempuan di DPR dan turunnya jumlah kader parpol yang lolos ke DPR di sisi lain mendorong gerakan perempuan melakukan introspeksi.

”Beberapa teman perempuan mengatakan, ternyata gerakan akar rumput perempuan tidak semengakar yang diduga semula,” papar Ani.

Hal ini juga dibenarkan caleg Daerah Pemilihan 3 Jawa Timur dari PKB, Nursyahbani Katjasungkana. Ada sosok perempuan yang sudah mendapat pendampingan untuk menjadi penggerak gerakan perempuan akar rumput ternyata tidak tertarik pada isu politik. Ada pula sosok yang sudah mendapat pelatihan pendidikan politik, ternyata tidak mengakar.

Keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa caleg dipilih berdasar suara terbanyak pada 22 Desember 2008, kurang empat bulan dari pelaksanaan pemilu 9 April 2009, disebut Nursyahbani sebagai ”membunuh” perempuan. ”Keputusan itu tidak kompatibel dengan UU Pemilu yang memakai sistem proporsional dengan akibat caleg bertarung dengan teman sendiri dalam satu parpol. Parpol tidak siap menentukan calegnya karena nama sudah harus masuk ke Komisi Pemilihan Umum sebelum jatuh keputusan MK itu,” kata Nursyahbani.

Dengan sistem suara terbanyak yang diberlakukan tiba-tiba itu akibatnya sudah tampak. Politik uang pun terjadi atau sosok yang ”populer” yang akan dipilih. Ini menjelaskan mengapa artis mendapat tempat karena wajah mereka dikenal publik.

Pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Rocky Gerung, menyebut apa yang terjadi adalah cerminan masyarakat kita. Politik sedang terseret oleh kultur lookism yang lebih mengandalkan sensasi daripada konsepsi. ”Politik tidak lagi dipahami sebagai urusan publik, tetapi sekadar bagian dari sensasi personal,” jelas Rocky.

Akibatnya, debat gagasan dan kompetensi teknis caleg cukup ditukar dengan daya pikat visualnya. ”Ini yang disebut fantasmagoria dalam politik, politik yang sekadar mengeksploitasi fantasi massa,” tambah Rocky.

Di sini parpol seharusnya dimintai tanggung jawabnya karena, menurut Rocky, parpol tidak menyediakan filter berupa ”kaderisasi ideologi”. Akibatnya, rakyat tidak punya referensi politik dan melihat politik bukan perjuangan ideologis melainkan hanya popularitas.

Tidak ada komentar: