Minggu, 24 Mei 2009

Demokrasi Liberal 2

Menimbang Demokrasi Liberal

Dari Ithaca, New York, pada 1958, Herbert Feith menumpahkan pemikirannya dalam sebuah monografi yang kelak dianggap sebagai ”nujum”. Monografi itu dikenal bernama The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia.

Monografi itu ia persiapkan selama 1951-1956 di Jakarta, saat Feith menjabat sebagai staf Volunteer Graduate Scheme for Indonesia di Kementerian Penerangan Indonesia. Dalam monografi itu, terlihat bagaimana Feith terpikat dengan kenyataan sebuah negara muda bernama Indonesia memilih demokrasi liberal yang mengambil model demokrasi Barat. Sebuah demokrasi yang menghormati kebebasan individu dan didasari prinsip-prinsip rule of law.

Pada 1950-an, Feith melihat suasana politik di Indonesia yang masih meneruskan tradisi intelektual Sjahrir-Hatta. Harapannya akan masa depan Indonesia menyala. Apalagi kemudian Wilopo yang masih berusia 40 tahun menjadi perdana menteri. Perdana menteri ini dibantu oleh kabinetnya yang terdiri atas orang-orang muda, seperti Dr J. Leimena, Dr Bahder Johan, Mukarto Notowidagdo, Mt. Sumanang, dan Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo, yang saat itu masih berusia 34 tahun.

Tapi kemudian terjadilah titik balik itu. Pada 1952, Wilopo memberhentikan A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Angkatan Darat kemudian mengorganisasi pengerahan massa di seantero Jakarta. Sebuah peristiwa dramatik terjadi, yang kelak dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952: dua tank menghadap ke Istana. Adapun kedua tank ini menekan Soekarno untuk membubarkan parlemen. Meski usaha ”kudeta” itu gagal, menurut Feith, peristiwa ini memiliki dampak yang luas.

Tempo kali ini melahirkan edisi khusus 17 Agustus yang berniat membaca ulang Indonesia pada 1950-an itu. Sebuah era demokrasi parlementer yang lazim disebut sebagai demokrasi liberal. Saat itu tanggung jawab pemerintahan terletak pada perdana menteri, sementara presiden hanya simbol. Perdana menteri dapat jatuh bila kebijakannya tidak didukung parlemen. Bila terjadi kemelut, presiden berwenang membentuk formatur untuk menyusun kabinet baru.

Sejarah telah menulis: kabinet Wilopo jatuh setelah masa pengabdian selama 14 bulan. Sejak itu, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan. Jika dihitung sejak pertama kali Natsir menjadi perdana menteri pada 1950, terjadi tujuh kali pergantian kabinet sepanjang demokrasi parlementer, antara lain kabinet Natsir-Sukiman, Wilopo-Ali Sastroamidjojo, dan Burhanuddin Harahap-Ali Sastroamidjojo-Djuanda.

Mengapa di ulang tahun Republik yang ke-62 ini kami merasa perlu menengok ke masa penuh pancaroba itu? Sebab, buku-buku pelajaran telah telanjur memberi cap kepada era demokrasi liberal itu sebagai era yang tak cocok dengan kepribadian bangsa kita. Paham demokrasi liberal dianggap sebagai sebuah paham yang diimpor dari Barat dan hanya diinginkan oleh sekelompok intelektual, bukan oleh mayoritas rakyat. Padahal banyak yang sesungguhnya belum diketahui dari era itu.

Pada 1962, empat tahun setelah mengeluarkan monografinya, Herbert Feith menerbitkan buku The Decline of Constitutional Democracy, yang kelak lahir sebagai sebuah buku klasik dan pegangan bagi mahasiswa yang belajar politik Indonesia. Feith menganggap rongrongan terhadap cita-cita demokrasi liberal itu diluncurkan dari dua sisi: dari militer dan jenis pemimpin orator. Dalam disertasi itu, ia menyebut pembagian tipe pemimpin di Indonesia. Menurut dia, pada 1950-an terdapat dua tipe pemimpin di Indonesia, yaitu administrator (ahli pemerintahan) dan solidarity maker (pemimpin massa).

Mereka yang masuk kategori administrator adalah orang yang memiliki kemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan kecakapan bahasa asing yang diperlukan untuk menjalankan negara modern. Mereka sangat mengutamakan pembangunan ekonomi, mengingat kondisi Indonesia, dan mereka bersedia menerima tenaga dan modal asing. Sedangkan tipe solidarity maker adalah mereka yang memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa. Mereka pandai memberikan harapan yang muluk tentang masa depan Indonesia, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya. Menurut Feith, semakin lama Indonesia dikuasai oleh para pemimpin pengorganisasi massa yang pemikirannya sentimental dan kebijakan pemerintahannya tak rasional.

Tentu saja Tempo tak ingin menelan pendapat Feith dengan mentah. Edisi ini ingin membahas era demokrasi liberal lantaran kami ingin membaca masa itu dengan sikap yang lebih berimbang. Selain itu, kami ingin mencari tahu mengapa sampai sekarang pengertian liberal selalu bercitra negatif.

Bukankah di zaman itu pemimpin Partai Katolik seperti I.J. Kasimo mendukung demokrasi liberal? Kasimo sangat aktif menolak ide Soekarno yang semenjak Pemilu 1955 mulai meremehkan demokrasi liberal. Kasimo mengkritik ketidakpedulian Soekarno terhadap prosedur dan aturan permainan. Selain itu, bukankah sosok seperti M. Natsir, sahabat Kasimo, mengecam SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau keadaan darurat perang yang ditekan Soekarno dan militer pada 1958?

Satu hal penting lain yang hendak kami paparkan adalah potret dunia hukum pada 1950-an. Untuk hal ini, Daniel S. Lev (almarhum) memberikan gambaran bahwa pada 1950-an dunia hukum Indonesia masih memiliki integritas. Profesi advokat penuh dengan ahli hukum yang juga dikenal sebagai intelektual. Para jaksa saat itu sangat kukuh dan tidak sedikit pun menyediakan ruang untuk kompromi. Siapa saja, tak peduli pejabat atau petinggi militer, sama di muka hukum. Bagi mereka, rule is rule. Menurut Lev, saat itu lembaga Mahkamah Agung masih sehat. Ketua Mahkamah Agung memiliki kewibawaan tinggi dan menempatkan dirinya sederajat dengan presiden.

Menurut Lev, begitu memasuki era Demokrasi Terpimpin, pamor lembaga tinggi Mahkamah Agung menurun. Hakim, yang semula merupakan profesi yang sangat dihormati, mengalami degradasi profesi luar biasa. Dalam sebuah percakapannya dengan kami di masa lalu, Lev mengatakan, ”Lembaga MA mulai dihancurkan saat Bung Karno mengangkat Ketua MA Wirjono Prodjodikoro sebagai Menteri Penasihat Hukum (18 Februari 1960 sampai 6 Maret 1962). Pengangkatan ini membuat kedudukan Mahkamah Agung, yang seharusnya sejajar dengan lembaga eksekutif, berada di bawah Presiden. Saya melihat sendiri saat itu banyak hakim pengadilan tinggi dan negeri merasa depresi betul. Mereka kehilangan kebanggaan.”

Karena itulah potret dunia hukum tahun 1950-an menjadi bagian tulisan tersendiri. Kami melihat penegakan bidang hukum saat itu bisa menjadi cermin masa kini. Bila kini banyak mantan menteri dan pejabat yang diseret ke pengadilan lantaran korupsi, itu bukannya tanpa preseden di republik ini. Pada 1950-an, tanpa pandang bulu, Jaksa Agung Suprapto berhasil menyeret mantan pejabat, termasuk perwira seperti A.H Nasution, yang berada di balik Peristiwa Oktober 1952.

Toh, kami tetap tidak membabi-buta mengagumi dunia hukum saat itu. Di arsip nasional, kami menemukan dokumen-dokumen kebijakan kejaksaan yang tak sesuai dengan parameter hak asasi manusia, misalnya serangkaian penangkapan pemberontak di daerah yang dilakukan tanpa pengadilan. Kami juga mempertimbangkan kritik yang menyatakan bahwa ketegasan para hakim pada 1950-an yang berpendidikan Belanda sesungguhnya mencerminkan kekakuan mereka yang tak menangkap dinamika revolusi.

Cara pertama untuk menyelami atmosfer tahun 1950-an adalah dengan mengumpulkan memoar yang ditulis tokoh-tokoh saat itu, antara lain Jenderal A.H. Nasution, M. Natsir, Mohammad Roem, Kasimo, Wilopo, dan Ali Sastroamidjojo. Memoar tersebut tentu saja subyektif, tapi dari hasil silang baca ini kiranya dapat direka-reka suasana saat itu. Dari memoar T.B. Simatupang, misalnya, kita dapat membaca perdebatan antara dirinya dan Soekarno beberapa hari menjelang militer menekan Istana. Setelah selama berminggu-minggu di parlemen terjadi perdebatan yang mempersoalkan korupsi di tubuh militer, terjadi pengerahan massa yang dilakukan Angkatan Darat untuk membubarkan parlemen. Massa yang terdiri atas kelompok-kelompok di Jakarta seperti Kobra (Komando Organisasi Barisan Rakyat), dipimpin oleh Kolonel Dr Mustopo, berkeliling Jakarta menekan parlemen.

Simatupang menceritakan bagaimana beberapa hari menjelang demonstrasi itu ia bertamu dan berbincang dengan Soekarno mempertanyakan isu penggantian Nasution. Pembicaraan antara dirinya dan Soekarno berlangsung panas. Dalam bahasa Belanda, Soekarno memaki Simatupang: ”Hij poept op mij” (”Dia memberaki saya”). Dan Simatupang? Ketika keluar, ia membanting pintu dengan keras.

Memoar Wilopo banyak menceritakan kebijakan politik industri yang berpihak pada pemasukan modal asing sepanjang pemilik modal bersedia mematuhi persyaratan tertentu. Ini adalah sebuah pilihan yang tidak disukai Soekarno dan kemudian mengakibatkan munculnya sentimen antimodal asing.

Yang menarik dari memoar Ali Sastroamidjojo adalah kritiknya terhadap pendapat Herbert Feith yang mengatakan bahwa kegagalan demokrasi liberal disebabkan oleh para pemimpin berwatak solidarity maker. Dari pengalamannya sebagai perdana menteri, Ali beranggapan bahwa saat itu prioritas yang mendesak adalah menuntaskan persoalan partai yang banyak sangkut-pautnya dengan kehidupan orang banyak, dibanding memperbaiki struktur kenegaraan dan administrasi. ”Feith kurang memperhatikan kenyataan bahwa bangsa Indonesia masih di dalam taraf peralihan. Masih diperlukan pemimpin yang memiliki karisma,” demikian tulisnya. Ali juga berkisah bahwa sebagai perdana menteri, meski sudah demisioner, pada 14 Maret 1957, ia bersama Soekarno dan gabungan kepala staf seperti Mayor Jenderal Nasution, Laksamana Subiyakto, dan Komodor Suryadarma menandatangani Indonesia dalam keadaan darurat (SOB). Ia menanggapi kritik Ketua Umum Masyumi Mohammad Natsir yang tidak menyetujui hal itu. ”Dalam keadaan genting, seorang menteri demisioner pun harus bertindak menyelamatkan negara,” demikian tulis Ali.

Sejarah menunjukkan SOB adalah pengubur demokrasi liberal. Bila 17 Oktober 1952 adalah sebuah ”kudeta” yang tumpul, SOB adalah paspor untuk menuju era Demokrasi Terpimpin. Banyak pengamat yang berpendapat bahwa sesungguhnya demokrasi liberal bukan eksperimen yang gagal secara alamiah, melainkan eksperimen yang digagalkan oleh SOB. Demokrasi Terpimpin toh kemudian terbukti kinerjanya lebih buruk daripada demokrasi liberal. Natsir pernah mengatakan, apabila demokrasi parlementer diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, demokrasi ini dapat membawa Indonesia selamat mengatasi berbagai kesulitan.

Dengan seluruh pemahaman itu, kami mengundang pakar-pakar untuk berdiskusi, di antaranya Dr R.Z. Leirissa, Dr Adnan Buyung Nasution, dan Prof Mohammad Sadli (baca Surat dari Redaksi). Seperti yang sudah diduga, tentu saja terjadi silang pendapat. Sadli memaparkan bahwa struktur sosial saat itu sangat berbeda dengan masa kini. ”Belanda masih di atas, di tengah ada kaum Tionghoa, dan paling bawah adalah pribumi.” Ini yang memberikan pemahaman bahwa mengapa ide seperti nasionalisasi perusahaan asing menjadi populer saat itu.

Adnan Buyung, yang menulis disertasi tentang konstituante, masih meluap-meluap bahwa era itu adalah praktek demokrasi yang terbaik. Menurut Adnan, perdebatan di konstituante sangat dewasa. Draf undang-undang saat itu lebih lengkap daripada UUD 1945, terutama soal hak asasi manusia.

Lalu apa kata Nono Anwar Makarim? ”Era tahun 1950-an sebuah golden age dalam demokrasi kita adalah mitos,” tuturnya.

Pembaca dapat menarik kesimpulan sendiri: apakah dari demokrasi liberal ada yang bisa menjadi cermin bagi penegakan hukum dan demokrasi di masa kini atau tidak.

Tidak ada komentar: