Jumat, 29 Mei 2009

Marginalitas Politik NU


Dr Ali Masykur Musa
(Penulis adalah Anggota F-PKB DPR RI dan Warga NU)

Di manakah rumah politik warga NU kini? Pertanyaan itu patut dikemukakan seiring kian terpuruknya politik NU di pentas politik tanah air. Tulisan ini ditujukan untuk mengomentari opini Umar Syadat Hasibuan berjudul 'Masa Depan Politik NU' (Republika, 28/4). Meski demikian, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengcounter eksplorasi penulisnya tentang pelbagai kemandulan politik NU, melainkan akan memberikan agenda alternatif bagi tumpulnya peran NU di belantika politik tanah air. Walapun memang benar dalam tataran politik praktis, misalnya dalam percaturan pilpres gaung politik NU sungguh kurang diperhitungkan. Secara tak langsung, tulisan Umar mempermasalahkan efektivitas simbol kultural sebagai alat politik dan memosisikan NU sebagai bagian langsung dari arus politik praktis.

Tarik-Tolak Politik
Memang NU tak mampu lepas dari genetika historisnya yang selalu bersinggungan dengan ruang politik praktis. Bahkan dapat dikatakan secara historis NU berpolitik semenjak kelahirannya. Ketika NU terlibat dalam pelbagai perjuangan menuju kemerdekaan, baik di MIAI maupun Masyumi, NU telah berpolitik. Pada Pemilu 1955, NU secara tegas bermetamorfosa menjadi parpol dan masuk gelanggang politik praktis.

Pada masa itu, upaya NU berjuang lewat politik memang tidak sia-sia, karena ia berhasil menduduki peringkat ketiga dalam perolehannya. Tapi, keberhasilan ini berkonsekuensi pada tersedotnya seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan ke bidang yang satu ini.

Timbul penilaian dari beberapa aktivis dan para ulama NU bahwa NU semakin jauh meninggalkan bidang-bidang garapan hakikinya yang tidak kalah potensial, pendidikan dan sosial (Attarbiyyah wal Mabarot). Pendidikan yang menjadi garapan utama NU, misalnya, seolah ditinggalkan, kepedulian sosial juga mulai luntur. Kekecewaan yang muncul di kalangan para ulama NU makin membesar, karena di samping banyak garapan yang terbengkalai, juga karena para aktivis politik NU seolah kurang menjiwai kultur NU.

Di masa Orde Baru berkuasa, hal itu telah diperparah oleh tidak sehatnya kondisi politik yang ada, karena pemerintah telah melakukan political engineering sebagai mekanisme menjaga kekuasaannya. Politik otoriter pemerintah lantas memaksa empat partai Islam menjadi satu, yaitu menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai-partai yang berideologi nasionalis dan non Islam menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Situasi ini dirasakan oleh NU sebagai atmosfir yang tidak kondusif bagi pembangunan politik bangsa. Terlebih NU sendiri telah dijadikan sasaran penggembosan oleh Orde Baru. Dengan situasi seperti ini memang berat untuk berjuang lewat kancah politik, karena dua partai yang ada, yakni PPP dan PDI menjadi tidak berdaya. Dihadapkan pada situasi ini, di kalangan ulama dan aktivis NU muncul pikiran-pikiran untuk kembali ke Khittah NU, yakni NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Gagasan ini memuncak pada khittah NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo. Semenjak itu, NU dikembalikan kepada habitatnya yaitu dunia pendidikan, dakwah, pengembangan ekonomi, serta pelayanan masyarakat.

Tampaknya, semenjak awal keikutsertaan NU dalam politik selalu diwarnai oleh penzaliman dan marginalisasi. Karena itu, sepertinya NU musti dikembalikan menjadi sebuah sub sistem bangsa dalam koridor yang mandiri, kritis dan senantiasa menjaga jarak dengan kekuasaan: sebagai civil society. Paling tidak, ini bisa menjadi pilihan dalam satu dasawarsa ke depan. Dalam konteks ini, pengambilan jarak dengan ruang politik bukan dimaksudkan menjauhkan diri dari kekuasaan, sebaliknya mempersiapkan serangkaian amunisi merebut kekuasaan. NU membutuhkan terapi sistemik, kultural dan mental untuk berbenah. Diaspora kekuasaan yang kini ada di jagat politik NU, musti dikembalikan ke rahimnya. Lantas apakah pelbagai perceraian politik, fragmentasi antara "NU cultural" dan "NU politik" serta besarnya pragmatisme di internal NU bisa diakurkan?

Politik Kultural
Musti disadari bahwa kini, NU sebagai organisasi kerap diseret-seret ke arus politik praktis. Meski tidak verbal untuk melakukan politik "dukung-mendukung", tetapi fakta di lapangan NU kerap "bermain mata" dengan calon kepala daerah dalam pelbagai perhelatan pilkada.

Tentu saja, perilaku ini dapat dipahami sebagai pola kontra-khittah. Sebab politik NU dengan kembali ke khittah adalah politik moral. Pengarusutamaan aktivitas politik NU, dengan demikian, harus lebih banyak bersentuhan dengan proses pematangan kerja-kerja sosial yang meliputi perbaikan hidup masyarakat, baik pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan sosial.

Memang mustahil memisahkan NU dari pusaran politik praktis. Tetapi paling tidak, muncul semangat dan kesadaran bersama bahwa politik praktis adalah satu bagian dari pelbagai sisi agenda jama'ah NU yang masih butuh dipertajam. Sedangkan secara jam'iyah politik NU adalah high politics yang memfungsikan segenap sumber daya manusianya untuk ikut serta membangun demokrasi.

Dengan demikian, akan muncul pemahaman tentang positioning NU di tengah kepentingan parpol. Artinya, peran serta NU secara organisatoris harus diposisikan secara lebih holistik, yaitu orientasi kebangsaan, sebagaimana yang telah diperankan NU dalam mengayomi serangkaian perbedaan hidup bangsa yang plural semenjak puluhan tahun silam. Dalam konteks politik moral ini, maka terdapat beberapa agenda yang musti dijalankan:

Pertama, mengakurkan benturan corak dan cara pandang antara NU politik dan NU kultural. Tak sedikit pengurus dan warga NU yang berposisi penting di parpol dan menjadi wakil rakyat. Sebagai politisi, tentu pola pikir mereka lebih dipengaruhi oleh serangkaian kepentingan politik. Hal berbeda terjadi di tingkat NU kultural. Mayoritas faksi ini memandang politik sebagai perilaku yang penuh intrik. Hingga pada gilirannya mereka alergi dengan politik. Fragmentasi ini harus disadari sebagai salah satu faktor membiasnya perjuangan NU sesuai khittah. Karena itu, masing-masing diharapkan memahami posisinya. Sehingga terjalin pola kerjasama yang sinergi antar keduanya, tidak terlalu condong ke domain politik sekaligus tidak alergi dengan pelbagai persoalan politik. Muncullah sikap apresiatif dan kritis dari keduanya.

Kedua, mempertajam visi sosial dan keagamaan melalui pelbagai strategi dan jalur berbeda-beda. Kesatuan vis dan kepentingan bersama atas nama pemberdayaan masyarakat ini diharapkan dapat menjadi titik temu pelbagai elemen NU yang tersebar di bidang masing-masing.

Ketiga, mengkritisi pelbagai kebijakan publik yang dirasa merugikan bagi masyarakat banyak. Hal itu dapat dilakukan, baik melalui infiltrasi di internal kebijakan dengan mengambil posisi dan peran-peran birokratis dan politis, maupun melalui perjuangan di luar lembaga negara, dalam bentuk LSM. Konsistensi pada khittah 1926 akan menjadikan politik moral NU kian berperan besar dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Karena pada dasarnya politik moral NU disemangati oleh substansi nilai-nilai Islam dalam rangka mengimplementasi bahasa tasamuh, tawasuth, tawazun dan I'tidal.

Buah dari politik kultural NU ini memang tidak dapat dipetik secara instan, tetapi untuk jangka panjang. Manfaat politik kultural NU memang bukan hanya untuk warga Nahdliyin belaka, melainkan untuk Maslahat al Ammah (kepentingan bangsa). Dalam konteks pilpres 8 Juli 2009, siapapun dan dari partai manapun yang memerintah negeri ini akan selalu membutuhkan legitimasi moral dari NU. Memang pilihan politik kultural membutuhkan kesabaran.

Tidak ada komentar: