Kamis, 02 Juli 2009

Polisi, "Bajik"dan "Bijak"

Robert Bala

I’m not against the police; I’m just afraid of them (Alfred Hitchcock).


Kata-kata American filmmaker (1899-1980) ini bisa ada benarnya. Polisi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya, mengapa polisi yang dirindu itu sekaligus dibenci?

Membangun sebuah image positif bukanlah hal mudah. Ia memerlukan proses perjuangan yang melelahkan. Aneka elemen konstitutif sebagai core values diciptakan untuk menyatukan perjuangan, menggugah keteladanan internal, dan menuai dukungan eksternal masyarakat.

Masalahnya, mengapa harapan itu tidak mudah terwujud? Atas pertanyaan ini, Saturla J dalam Vulnerabilidad, Dignidad y Justicia: Valores éticos Fundamentales en un Mundo Globalizado, 2003 membuka rahasianya. Ia mudah sirna karena kebijakan dalam bentuk aturan yang seharusnya dibuat secara bijak sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur dibuat seadanya. Akibatnya, pribadi yang terbentuk tidak utuh. Hal-hal internal yang lahir sebagai kebajikan diri menjadi langka.

Pemikiran yang sama diamini Dino Pasini dalam Problemi di Filosofia della Politica 1977. Ia melihat, politik sering menjenuhkan karena tidak dilihat secara utuh. Ia hanya medium untuk mencapai kepentingan jangka pendek, yakni kekuasaan. Padahal, inti kekuasaan timbul akibat pengakuan akan kualitas diri yang dimiliki seseorang. Martabat diri pun kian terbentuk karena dalam diri seseorang sudah ditemukan dimensi bajik dan bijak (virtuous and wise).

Lurus dan jujur

Perpaduan antara bajik dan bijak bukan hal baru dalam Polri. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sosok Hoegeng Iman Santoso, Kapolri 1968-1971. Dalam buku Pak Hoegeng, Polisi Profesional dan Bermartabat (Aris Santoso, dkk, 2003), terbitan Adrianus Noe Center, terungkap secara jelas.

Martabat kepribadian Hoegeng memulainya dari hal yang kelihatan sederhana. Saat menjabat Dirjen Imigrasi, tidak ada alasan hukum yang melarangnya untuk menutup Toko Kembang yang sudah lama diretas. Namun, nuraninya berkata lain. Pelanggan ”siluman” akan muncul secara gaib memborong bunganya.

Tidak hanya itu. Demi martabat, kerinduan putranya, Aditya, untuk menjadi tentara terkubur. Izin dari Hoegeng sebagai orangtua, sebagai prasyarat untuk seorang putra tunggal, sengaja diundur-undur. Baginya, bagaimanapun, izin itu merupakan ”katebelece” karena ditandatangani orangtua anak Kapolri.

Aditya begitu kecewa, tetapi kini ia sadar, itu adalah buah dari komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar. Ia adalah contoh bahwa kalau Hoegeng masih hidup, pasti ia tidak akan mengizinkan anaknya jadi caleg seperti yang lazim dibuat pejabat.

Citra diri

HUT Polri perlu sekaligus menjadi momen aktualitatif terhadap nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki negeri ini sekaligus menjadi acuan untuk membangun pamor Polri agar semakin baik.

Pertama, citra diri Polri tidak merupakan buah dari peraturan eksternal, tetapi dibentuk melalui proses penanaman nilai-nilai. Dalam bahasa John F Kennedy, a police state finds that it cannot command the grain to grow. Itu berarti, proses itu harus dimulai dari hal-hal keseharian.

Sambil tidak melupakan kemajuan yang telah dicapai, fenomena harian masih menunjukkan praksis yang kontradiktif. Polisi nakal yang bisa diajak ”berdamai” di jalan, hingga jajaran petinggi yang kelihatan masih belum independen dalam menyelesaikan kasus seperti pemilu, menunjukkan bahwa keseharian kita masih tersendat.

Kedua, perlu kemauan untuk membangun kepercayaan. Sebagai aparat penegak hukum, Polri (semestinya) menyadari bahwa kepincangan reformasi yang kini dirasakan juga disebabkan oleh memudarnya kepercayaan rakyat terhadapnya. Rakyat sudah bosan dan muak oleh kesaksian tidak sedikit anggota Polri yang jauh dari harapan.

Sebaliknya, perubahan bangsa ke arah yang lebih positif akan terwujud saat Polri menyadari bahwa kepercayaan pada korpsnya akan menjadi langkah bijak ke arah pembaruan bangsa.

Meminjam Jacques Prevet (1900-1977), penyair asal Perancis, When truth is no longer free, freedom is no longer real: the truths of the police are the truths of today.

Ketiga, perlu menanamkan kebajikan dalam kebijakan. Aturan perundangan demi mereformasi tubuh Polri amat penting. Tetapi, ia akan lengkap ketika reformasi itu dibuat di atas pijakan yang kuat, yakni sikap penuh kebajikan. Itu berarti, ia harus berawal dari diri sendiri sebelum dilansirkan keluar, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Hoegeng.

Bila kita memulai dari sini, niscaya tahun depan Polri sudah selangkah lebih maju. Rakyat tidak lagi takut kepada Polri, melainkan kian mengaguminya.

Dirgahayu Polisi Republik Indonesia.

Robert Bala Diploma Resolusi Konflik dan Perdamaian di Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol; Bekerja pada Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng

Tidak ada komentar: