Senin, 27 Juli 2009

Terorisme: Konstruksi Opini itu Gugur Sudah


Daniel Rudi Hariyanto dan Anab Afifi
Mahasiswa Kajian Media, IKJ dan Praktisi Komunikasi dan Alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki

Sejak terjadinya aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, seluruh perhatian media massa terpusat pada pemberitaan peristiwa tersebut. Sebuah model pemberitaan berhasil mengonstruksi opini publik sekaligus mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi objektif berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik investigatif.

Jika dikaji tayangan audio visual beberapa stasiun televisi swasta, dapat kita temukan kemasan pemberitaan yang padat dan berulang pada setiap konten berita. Kemasan tersebut dibumbui dengan thriller-thriller dan bumper yang sangat cepat. Diambil dari potongan-potongan visual dan audio, diedit dengan ritme yang cepat, disertai scoring musik yang menarik.

Media televisi komersial menunjukkan perlombaan dalam menampilkan berita terbaru. Konten berita yang berulang-ulang dan selalu sama bagaikan cerita yang selalu ditutup dengan open ending yang membuka interpretasi dan persepsi yang berlebihan di mata pemirsa. Maka, konsumen berita terus-menerus digiring dalam ruang informasi yang samar-samar.

Konstruksi berita
Teknologi informasi telah melahirkan konsekuensi percepatan penyiaran berita. Berita tidak lagi berbatas ruang dan waktu. Media televisi dengan sangat praktis dapat segera menyiarkan liputan lapangan secara langsung kepada publik. Demikian yang dapat kita saksikan jam demi jam. Sejak 17 Juli, dalam satu hari, stasiun penyiaran terkesan berlomba dan bersaing merebut segmen pemirsa dengan melansir berita terbaru di lapangan.

Pada jam-jam awal peristiwa, dapat disaksikan rekaman beberapa video amatir yang diambil oleh saksi mata di lapangan. Jam-jam berikutnya, para saksi sudah masuk studio untuk memberikan keterangan peristiwa. Berikutnya konten diisi oleh analisis beberapa pengamat.

Situasi hari pertama adalah situasi yang gamang. Belum adanya titik terang dari hasil investigasi Polri membawa konsekuensi munculnya spekulasi media peyiaran. Informasi yang tumpang tindih berkutat sekitar koran dan lokasi pengeboman. Dimunculkannya pengamat intelijen dan pengamat terorisme menambah spekulasi bertambah kuat.

Tiga hari libur panjang merupakan masa yang sangat efektif untuk pembentukan opini publik. Hari-hari berikutnya, analis-analis memberikan pernyataan yang memfokuskan aksi peledakan kepada jaringan Jamaah Islamiyah. Jaringan ini memang menjadi langganan pemberitaan setelah peledakan bom Bali 1. Noordin M Top dan kelompoknya menjadi sorotan, manakala muncul inisial N. Media menerjemahkannya sebagai satu di antara dua pelaku peledakan bom bunuh diri.

Nur Sahid alias Nur Hasbi adalah santri Ngruki seangkatan Asmar Latin Sani. Fotonya dilansir dalam setiap pemberitaan, berulang-ulang kali. Foto lelaki dengan kacamata hitam itu sangat jauh dari wajah teroris. Ia seperti wajah pemuda-pemuda desa berkacamata hitam lainnya. Warga Dusun Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung Jawa Tengah itu menjadi headline setiap berita.

Sementara berita itu telah dilansir media massa, pihak kepolisian yang menangani investigasi belum memberikan keterangan apa pun. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa media massa menjadikan keterangan sekunder sebagai berita yang primer. Keberadaan keluarga Nur Sahid khususnya dan warga Temanggung pada umumnya merasa terganggu dengan adanya pemberitaan tersebut.

Televisi menyiarkan gambar rumah keluarga Nur Sahid yang tertutup rapat. Tayangan visual yang ditambah dengan narasi reportase tersebut semakin menambah dramatis berita yang belum tentu memiliki kekuatan data tersebut.

Munculnya video kedatangan laki-laki bertopi yang menjinjing tas beroda telah membangun opini yang sangat kuat terhadap Nur Sahid. Tayangan video rekaman itu berasal dari rekaman kamera pemantau keamanan JW Marriott. Tayangan ini menambah kekuatan drama berkaitan dengan pengembangan informasi yang telah dikonstruksikan sejak awal peristiwa.

Ketika tayangan berikutnya didapatkan dari kamera pemantau Hotel Ritz Carlton yang menyampaikan adanya pengeboman ke dua, tampak seorang lelaki berjalan tergesa-gesa ke arah restoran Airlagga. Beberapa saat kemudian, ledakan terjadi. Penonton tidak disuguhkan detail kedatangan pelaku, seperti video dari Hotel Marriott.

Kedua tayangan tersebut semestinya dikaji lebih mendalam, terkait dengan sistem pengamanan yang diberlakukan pada kedua hotel.

Tayangan kedua video tersebut disertai narasi berita yang difokuskan pada pelaku bom bunuh diri Nur Sahid, alumni Ngruki, bagian dari Jamaah Islamiyah kelompok Noordin M Top dan konstruksi paling atas adalah pondok pesantren asuhan Ustaz Abu Bakar Baasyir.

Gugurnya konstruksi opini
Enam hari setelah peritiwa peledakan, Polri memberikan keterangan bahwa inisial N yang disebut sebagai penghuni kamar 1808 Hotel JW Marriott ternyata tidak sesuai dengan DNA yang diambil dari anggota keluarganya. Tentunya, keterangan resmi Polri tersebut membawa dampak berantai pada konstruksi opini yang telah hampir satu minggu ini dibentuk oleh media massa elektronik dan cetak.

Gugur sudah konstruksi opini yang telah dibangun media massa, terutama media televisi selama enam hari ini. Sebuah stasiun televisi swasta, pagi-pagi benar di segmen acara editorial, mencoba membangun konstruksi baru dengan menyampaikan narasi yang menciptakan respek terhadap kerja-kerja lembaga kepolisian yang independen dan profesional. Munculnya keterangan mengenai satu di antara dua pelaku yang masih berusia antara 16 atau 17 tahun menjadi fokus baru. Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan perekrutan anak-anak sebagai pelaku pengeboman sebagai cara baru. Ada pembahasan dari pengamat psikologi anak yang menyampaikan statement gugatan terhadap praktik teror bom bunuh diri yang menggunakan anak-anak sebagai pelaku.

Berita berikutnya adalah pembahasan lembaga intelijen. Pengungkapan teorisme tidak hanya menjadi tugas kepolisian, melainkan juga tugas semua aaparat keamanan negara.

Hari keenam setelah peledakan, media massa, khususnya televisi komersial, terkesan berbalik dan mencari arah serta fokus pemberitaan. Dalam hal ini, terdapat satu hal penting yang harus disadari oleh semua pihak. Perlunya langkah-langkah dari media massa.

Pertama, mesti ada sikap baik untuk menyampaikan klarifikasi terhadap pemberitaan sebelumnya. Kedua, menyampaikan permintaan maaf kepada segenap masyarakat, korban, keluarga di Desa Ketekan Temanggung, Pesantren Al Mukmin Ngruki, serta Ustaz Abu Bakar Baasyir disebabkan berita-berita yang selama ini dilansir telah merugikan moralias sosial pihak-pihak tertentu.

Ketiga, media massa semestinya melakukan perbaikan dalam teknik investigasi berita, bukan mengedepankan kuantitas berita tanpa memedulikan kualitas berita. Penyiaran langsung memiliki potensi kesalahan data dan penyataan narasumber. Pakem-pakem investigasi semestinya dipegang teguh para jurnalis dalam menyampaikan fakta di lapangan.

Gugurnya konstruksi opini yang terbangun selama enam hari ini, jika tidak segera disikapi dengan baik, akan melahirkan pola dan bentuk terorisme baru yang dilakukan media massa. Kamera, perekam suara, pena, dan berita akan menjadi bom-bom baru yang menciptakan ketakutan dan membahayakan kelangsungan negara serta kemanusiaan secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: