Rabu, 15 Juli 2009

Rakyat Masih Jadi Obyek

Jakarta, Kompas - Meski partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum presiden tinggi, bukan berarti pendidikan politik di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Hal ini terbukti bahwa rakyat masih menjadi obyek suara saja bagi partai politik dalam pemilihan umum lalu.

Hal itu disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Daniel Zuchron di Jakarta, Selasa (14/7). Dari hasil pemantauan JPPR, partisipasi masyarakat di tiap TPS selama pelaksanaan pilpres sangat tinggi, bahkan ada yang 100 persen.

”Pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, masih membuktikan bahwa rakyat masih menjadi obyek suara saja. Masyarakat hanya dikonversi hak politiknya menjadi suara saja,” kata Daniel.

Menurut dia, persoalan partisipasi luar biasa. Akan tetapi, kalau bicara kualitas, partisipasi politik yang tinggi ini tidak berbanding lurus dengan pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai-partai politik.

Partisipasi pemilih tinggi bukan hasil dari pendidikan politik jangka panjang yang dilakukan partai-partai politik, melainkan baru sebatas pencitraan, media kampanye, dan penggunaan-penggunaan kapital. ”Secara substansial bukan menjadi ajang pendidikan politik masyarakat, masyarakat secara substansial tidak dapat menagih janji politik dari partai politik atau capres dan cawapres,” jelas Daniel.

Relasi lemah

Daniel mengatakan, relasi masyarakat dengan anggota DPR yang dipilih ataupun presiden yang dipilihnya akan lemah. Sebab, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk memilihnya. Saat ditanya adanya kontrak politik dari calon presiden tertentu, Daniel mengatakan, itu hanya euforia politik dan strategi kampanye saja. ”Situasi ini kalau diteruskan akan berbahaya sebab rakyat selalu hanya dijadikan sasaran suaranya setiap lima tahun sekali,” kata Daniel.

Yang ideal, menurut Daniel, tugas melakukan pendidikan politik seharusnya dilakukan oleh partai politik. ”Partai politik harus bekerja dengan baik mendidik masyarakat. Pendidikan politik ini adalah investasi jangka panjang partai politik, jangan melihat rakyat hanya untuk kepentingan pemilu lima tahunan,” ujar Daniel.

Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi mengatakan, tingginya angka pemilih yang datang ke TPS bukan berarti partisipasi pemilih tinggi dalam pilpres.

”Kami melihatnya sebagai mobilisasi pemilih. Ini kami temukan di daerah-daerah yang pola patronnya kuat, seperti di Madura. Tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh agama mengerahkan masyarakat untuk memilih,” jelas Jojo.

Jojo mengatakan, selain di Madura, KIPP juga menemukan di beberapa daerah lain, seperti di Lampung, Nias, dan Riau. ”Dari TPS yang kami pantau, pemilih yang datang ke TPS di Pulau Jawa sekitar 80-90 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa sekitar 70-80 persen,” jelas Jojo.

Jojo mengatakan, dari hasil temuan KIPP di lapangan, KIPP menemukan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif. Yang menonjol adalah keragaman dalam menyikapi penggunaan KTP dan kartu keluarga.

Menurut Jojo, di beberapa daerah banyak yang meminta fotokopi KTP untuk ditinggalkan. ”Padahal, saat itu kondisinya libur, susah sekali mencari tempat fotokopi, belum lagi kalau lokasinya itu di pelosok yang jauh dari mana-mana, bagaimana bisa mencari tempat fotokopi. Akhirnya hak pilih masyarakat menjadi terabaikan,” ujar Jojo. (VIN)

Tidak ada komentar: