Kamis, 02 Juli 2009

Menuju Perpolisian Hijau

SATJIPTO RAHARDJO

Pada tahun 1989 di Giardini-Naxos, Messina, Sisilia, Italia, diselenggarakan sebuah seminar kepolisian internasional bertema ”Policing in the 21st Century: Interfaces with the Social, Cultural, and Private Security Services”. 

Dalam seminar itu, William Tafoya dari Amerika Serikat tampil dengan makalah yang memikat, Changes of Police Functions towards the End of the Century: Integration of the Social; Network. Tafoya mengatakan, pekerjaan polisi terimbas oleh pesatnya perkembangan teknologi yang telah mengubah dunia menjadi a global village. Polisi berada di tengah-tengah transformasi itu dan perlu mengubah fungsi polisi tradisional yang dijalankan selama ini.

Memimpin bangsa

Beberapa pokok pikiran Tafoya antara lain, pertama, polisi harus belajar untuk berbagi informasi, yang berarti menguasai ilmu pengetahuan mutakhir dengan baik. Kedua, polisi hendaknya tidak melihat dirinya sebagai sebuah angkatan kerja saja, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari lingkungannya serta menjadikan dirinya sebagai badan (agent) yang selalu dicari lingkungannya. Ketiga, untuk dapat menjalankan fungsi itu dengan baik, polisi hendaknya melakukan refleksi terhadap hakikat perubahan sosial yang terjadi. Keempat, polisi hendaknya menjadi fasilitator perubahan.

Hal itu akan sulit dilakukan jika polisi masih memfungsikan diri sebagai penjaga status quo. Kelima, polisi harus memimpin bangsanya agar berhasil melewati masa perubahan dengan baik. Untuk itu, ia harus berada satu langkah di depan.

Pikiran-pikiran Tafoya yang muncul hampir 20 tahun lalu masih relevan untuk keadaan sekarang. Kini dunia masih dalam suasana perubahan dan transformasi kendati masalah yang dihadapi tidak persis sama dengan keadaan 20 tahun lalu.

Berbagai masalah yang mencekam dunia (burning issues) saat ini sudah berkembang sedemikian rupa sehingga berkualitas ”masalah planet”. Babak tentang perkembangan teknologi, seperti dikedepankan Tafoya, yang mengubah gaya hidup manusia, sudah memasuki babak baru, yaitu kerusakan bumi akibat eksploitasi alam yang dilakukan teknologi tinggi.

Etika hidup baru

Masalah pemanasan global sudah mengambil alih ”kepemimpinan” teknologi tinggi itu. The Club of Rome (1970) kini disusul The Club of Budapest (1998) yang makin mempertajam masalah tentang kerusakan bumi kita dengan mengeluarkan Manifesto on Planetary Consciousness. Kalau umat manusia ingin hidup dengan selamat (sustainable), tidak ada jalan lain kecuali mengubah gaya hidup dengan mengembangkan kesadaran beretika hidup baru, yaitu planetary ethics.

Jika mengikuti dan mencermati pikiran Tafoya, dengan adanya perubahan yang bertubi-tubi, kepolisian adalah badan yang seharusnya paling sibuk. Kini polisi memiliki tugas baru, yaitu memimpin bangsanya melewati krisis yang sudah berdimensi planet itu dengan baik.

Memang dalam banyak hal, polisi selalu menjadi etalase pamer (show window) dari perubahan di masyarakat. Pada waktu Indonesia memasuki era HAM tahun 1980-an, perilaku perpolisian menjadi tolok ukur sejauh mana HAM benar-benar dimajukan di negeri ini.

Berbagai hubungan yang harus dijaga oleh polisi sekarang tidak lagi hanya berupa hubungan harmoni antarmanusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. Polisi dan perpolisian harus mengamankan suatu etika baru, yaitu planetary ethics itu. Kalau diikuti pikiran Tafoya, jauh sebelum bangsa kita dihadapkan kepada etika planet tersebut, polisi seharusnya sudah memahami seluk-beluk masalah lingkungan dan biosfer agar mampu membimbing bangsanya.

Polisi berada di barisan paling depan untuk mewujudkan etika baru tentang hidup dalam planet dewasa ini. Kini masih banyak gaya hidup manusia yang bertentangan dengan tuntutan etika baru terkait dengan hubungan antara manusia dan alam. Polisi ada di tengah gejolak perubahan yang baru ini.

Pekerjaan mulia

Menurut informasi, Indonesia belum memiliki divisi polisi yang menjaga harmoni antara manusia dan alam atau polisi lingkungan. (Mudah-mudahan informasi saya keliru.) Di negara lain, kita dapat menyaksikan kehadiran divisi polisi lingkungan. Di Belanda, misalnya, bisa ditemukan polisi dengan selempang Millieu Politie sibuk mengangkat barang-barang dari kanal, seperti rongsokan sepeda yang dibuang orang begitu saja.

Pekerjaan polisi seharusnya merupakan pekerjaan mulia karena menjaga kualitas kehidupan manusia. Polisi Belanda bersemboyan ”Kita bekerja agar orang dapat tidur dengan nyenyak”. Sungguh kata-kata sederhana yang mengharukan dan melambangkan kemuliaan itu.

Memang masih banyak kekurangan Polri dalam ”melindungi dan melayani” publik. Kini, porsi pekerjaannya menjadi lebih berat lagi dengan tambahan fungsi untuk tidak saja menjaga harmoni hubungan antarmanusia dalam masyarakat, tetapi juga manusia dengan alam.

Hari Bhayangkara adalah saat yang bagus bagi Polri untuk merenungkan perannya dalam ikut menjaga keberlangsungan (sustainability) hidup manusia di planet ini. Pemanasan global sudah nyata-nyata terjadi. Apakah Polri belum tergerak untuk menjadikan kepolisian Indonesia berada di barisan terdepan dalam mengimplementasikan planetary ethics itu? Pikiran untuk membuat Green Constitution sudah mulai muncul di Indonesia. Penjagaan keamanan hidup di bumi sudah amat mendesak untuk dilaksanakan.

Polri sudah seharusnya berada di depan untuk ikut mengubah dan memandu gaya hidup manusia sesuai dengan tuntutan etika hidup yang baru itu. Untuk itulah, pada hemat saya, kehadiran the Green Police dinantikan di negeri ini.

Selamat Hari Bhayangkara.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang

Tidak ada komentar: