Rabu, 15 Juli 2009

"Quo Vadis" Golkar?


Rabu, 15 Juli 2009 | 03:34 WIB

Oleh Kacung Marijan

Merosotnya perolehan suara Partai Golkar secara tajam pada Pemilu 1999 tidak serta-merta menjadikan Golkar kehilangan jati diri sebagai bagian the ruling party.

Meski tak lagi bisa menempatkan kadernya sebagai presiden dan wakil presiden, elite Golkar masih bisa menduduki jabatan ketua DPR dan sejumlah kementerian.

Aroma sebagai the ruling party juga terjadi pada Pemilu 2004. Perolehan suara yang tidak berbeda jauh dari Pemilu 1999 dan kegagalan memenangi pilpres tetap menghantarkan Golkar sebagai bagian kekuasaan. Kursi ketua DPR masih didapat, posisi wakil presiden diraih, dan ”portofolio” sejumlah kementerian didapat.

Pemilu 2009 menorehkan kekalahan beruntun Golkar. Perolehan suara pada pemilu legislatif merosot cukup tajam. Yang terbaru, persentase perolehan suara pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, yang diusung Golkar-Hanura, jauh di bawah persentase perolehan suara gabungan Golkar-Hanura.

Apakah kekalahan beruntun itu menjadikan Golkar berganti posisi, dari sebelumnya selalu menjadi bagian the ruling party menjadi bagian kelompok oposisi?

Kultur berkuasa

Tidak sedikit orang, termasuk elite Golkar sendiri, yang berpandangan, kultur the ruling party di tubuh Golkar telah tertanam kuat. Hal ini tidak saja berimplikasi pada adanya energi cukup besar untuk mempertahankan diri sebagai bagian kekuasaan. Ketika mendapati realitas bahwa perolehan suaranya menurun dan jatuh pun, Golkar berusaha menjadi bagian kekuasaan yang ada.

Upaya untuk mengubah kultur demikian sudah pernah dilakukan, tetapi gagal. Setelah kalah dalam Pilpres 2004, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung bertekad keluar dari kultur the ruling party, melalui komitmen bersama dengan PDI-P sebagai kekuatan oposisi.

Namun, komitmen itu hanya berumur beberapa bulan. SBY-JK menjadikan sejumlah elite Golkar sebagai bagian gerbong pemerintahan, duduk dalam kabinet yang dibentuk. Perlahan-lahan, posisi oposisi Golkar tergerus, dan puncaknya ketika JK terpilih sebagai Ketua Umum Golkar.

Memang, godaan menjadi bagian dari kekuasaan itu bukan hanya karena kultur the ruling party yang tertanam kuat. Kebutuhan JK untuk memperoleh basis dukungan kuat di DPR menjadi rabuk bagi lebih suburnya kultur semacam itu.

Oposisi... tidak... oposisi...

Konteks Pilpres 2009 berbeda dengan Pilpres 2004. Pada Pemilu 2004, SBY menggandeng JK, di antaranya, didasari keinginan untuk merebut sebagian pemilih Golkar. Selain itu juga ada kebutuhan untuk meraih dukungan dari parlemen.

Pilpres 2009 lain lagi situasinya. SBY berangkat dengan modal dukungan ”diri sendiri” yang cukup kuat, melalui kemenangan dan perolehan suara cukup dari Partai Demokrat. Selain itu, SBY juga didukung partai-partai tengahan sehingga total perolehan suara kursi partai-partai pendukung SBY mencapai 56 persen.

Sebagai presiden yang ingin membangun pemerintahan yang kuat dan mendapat dukungan meyakinkan dari parlemen, SBY bisa jadi akan senang ketika Golkar juga menjadi bagian kekuatan yang mendukungnya di parlemen. Namun menjadikan Golkar sebagai bagian pemerintahan dengan ”portofolio” kementerian yang memadai adalah sesuatu yang lain.

Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa SBY juga menginginkan adanya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Pemerintahan semacam ini lebih sulit diwujudkan jika koalisi yang dibangun terlalu gemuk.

Dalam situasi seperti itu, SBY bisa saja tetap membuka diri bagi Golkar untuk bergabung di dalamnya, tetapi dengan persyaratan bahwa ”portofolio” kementerian yang didapat tidak lagi proporsional dan SBY memiliki keleluasaan memilih orang-orang Golkar yang duduk di dalam pemerintahan.

Di sisi yang lain, dalam tubuh Golkar sendiri ada arus untuk membawa Golkar ke arah lain, seperti pernah dicoba oleh Akbar Tandjung, yaitu menjadikan Golkar sebagai bagian kekuatan oposisi.

Arus semacam itu lebih kuat dari apa yang terjadi pada 2004 karena tidak ada lagi magnet yang begitu kuat untuk menarik Golkar sebagai bagian the ruling party kembali. Selain sebagai bagian dari langkah membangun kultur baru, hal ini juga sebagai bagian strategi untuk Pemilu 2014. Menjadi bagian dari oposisi akan menjadikan jenis kelamin lebih jelas.

Kepemimpinan baru

Namun, apa pun langkah yang akan diambil akan amat bergantung pada hasil munas yang akan dilakukan. Pergantian kepemimpinan di tubuh Golkar hampir pasti tidak bisa dihindari. Selain usianya yang tidak muda lagi, JK juga tahu diri bahwa di bawah kepemimpinannya Golkar mengalami kekalahan beruntun.

Ketika Golkar dikendalikan oleh kelompok yang ingin membangun kultur baru di tubuh Golkar, kemungkinan menjadikan Golkar sebagai bagian oposisi akan amat terbuka lebar. Kelompok ini merupakan akumulasi dari orang-orang yang merasa tersinggung dengan SBY yang dianggap jual mahal dan orang-orang yang ingin melakukan berbagai perubahan lebih besar di Golkar.

Meski demikian, sejak awal, dalam tubuh Golkar juga ada kelompok yang lebih suka membawa Golkar berkoalisi dengan Partai Demokrat. Orang-orang ini tak hanya melihat pilihan seperti ini lebih realistis. Mereka juga memahami betapa tidak mudah mengubah Golkar dari yang berkultur penguasa ke yang berkultur oposisi.

Pertarungan untuk memperebutkan kepemimpinan Golkar dari dua arus besar itu akan menarik dan seru. Kedua kelompok sama-sama didukung basis akar rumput. Di kalangan pemilih Golkar, yang memilih SBY-Boediono tidak kalah besar ketimbang yang memilih JK-Wiranto.

Selain itu, hasil dari pertarungan itu akan mewarnai bangunan pemerintahan yang akan dibentuk SBY-Boediono. Saat Golkar dipimpin oleh orang-orang yang cenderung ke SBY, pemerintahan yang terbangun akan amat kuat dan efektif.

Sementara itu, manakala Golkar dikendalikan oleh orang-orang yang ingin membangun kultur baru dan membawa Golkar ke orbit oposisi, pemerintahan yang dibangun SBY masih cukup kuat tetapi mendapat imbangan memadai.

Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Tidak ada komentar: