Senin, 29 Juni 2009

Menimbang Demokrasi, Merajut Optimisme

SYAMSUDDIN HARIS

Karut-marut politik pasca-pemilu legislatif dan menjelang Pilpres 2009 terus mewarnai perjalanan negeri ini. Kampanye yang seharusnya menjadi momentum untuk menawarkan gagasan terbaik bagi pembenahan negeri ini ke depan, terperangkap sebagai ajang saling menyindir antarcalon presiden, adu citra, serta unjuk kekuatan.

Bagaimana seharusnya kita menimbang semua haru biru politik dan dinamika demokrasi yang berlangsung satu dekade terakhir?

Harus diakui bahwa kinerja para politikus, partai politik, caleg dan capres, serta parlemen dan pemerintah yang dihasilkan pemilu masih mengecewakan. Para aktor dan institusi demokrasi tersebut relatif gagal memanfaatkan kesempatan emas satu dekade reformasi bagi kejayaan Ibu Pertiwi. Seperti dikemukakan dalam ulasan saya sebelumnya, para aktor demokrasi terperangkap pada pendangkalan politik tak berkesudahan yang berujung pada salah urus negara dan daerah.

Meski demikian, saya berpendapat, tidak cukup adil bagi kita menyalahkan mereka yang mau mewakafkan dirinya untuk kerja politik yang potensial dicerca publik. Kita perlu memberi apresiasi atas apa yang telah dicapai negeri serta menilai secara jujur, yakni dengan melihat realitas politik dalam konteks perjalanan bangsa ini secara utuh.

Tahap belajar

Tak satu negara pun yang bisa dijadikan model demokrasi terbaik di dunia ini. Amerika Serikat yang sering menjadi rujukan demokrasi termaju, ternyata tak hanya menghasilkan Barack Obama yang cerdas dan brilian, tetapi juga George W Bush Jr yang buruk mengelola negerinya. Selain itu, tak pernah ada sistem demokrasi yang benar-benar final. Demokrasi adalah kerja dan perjuangan kolektif yang tak pernah selesai, termasuk bagi negeri kita.

Kita baru mulai merajut kembali demokrasi sejak 1998-1999 setelah sempat mekar pada periode 1950-an. Sesudahnya, bangsa ini didera pengalaman pahit sistem otoriter yang panjang selama hampir empat dekade, di bawah Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Seperti diketahui, sistem otoriter tak hanya membelenggu hak-hak politik dan kebebasan sipil serta melembagakan prasangka dan saling curiga antargolongan masyarakat, melainkan juga membunuh segenap potensi kreatif negeri ini, termasuk kepemimpinan, karakter, etika, dan keberadaban.

Oleh karena itu, wajah buruk para aktor dan institusi demokrasi untuk sebagian harus dipandang sebagai tahap belajar bagi negeri ini pasca-rezim otoriter. Apalagi para elite politik sipil tidak pernah memiliki agenda yang benar-benar genuine mengenai arah bangsa ketika Soeharto benar-benar lengser dari kekuasaannya. Tak mengherankan jika Deklarasi Ciganjur (1998) yang dihasilkan Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan HB X, misalnya, gagal melandasi kerja sama dan konsolidasi antarelemen reformasi.

Wajah Kita

Apa yang hendak saya garis bawahi adalah bahwa wajah demokrasi kita pada dasarnya merupakan potret kita juga, potret diri bangsa ini. Artinya, apa boleh buat, kualitas demokrasi dan kualitas para aktor semacam itulah yang bisa dihasilkan negeri kita saat ini. Potret diri itu akan berangsur-angsur membaik bersamaan dengan meningkatnya kualitas pendidikan dan kesejahteraan mayoritas bangsa ini.

Kalau mau jujur, dengan tingkat pendidikan mayoritas bangsa kita yang masih sekolah dasar, dan pendapatan per kapita sekitar 2.200 dollar AS, pencapaian demokrasi harus dikatakan sangat signifikan. Meski masih prosedural, pemilu-pemilu dalam 10 tahun terakhir (1999-2009), serta ratusan pemilihan kepala daerah sejak 2005, berlangsung relatif damai dan hampir tanpa gejolak politik yang berarti. Apalagi jika dikaitkan dengan rumitnya sistem dan manajemen pemilu karena harus melayani lebih dari 100 juta pemilih dengan tingkat kesulitan antarpulau yang sangat beragam, serta format surat suara yang berbeda-beda dari ribuan daerah pemilihan dan puluhan ribu caleg.

Merajut optimisme

Ada beberapa argumen mengapa kita perlu merajut optimisme. Pertama, bangsa ini pernah melahirkan Soekarno, Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangunkusumo yang memiliki komitmen luar biasa bagi keindonesiaan, bukan sekadar ”mengambil” seperti para politikus partai dewasa ini. Setelah merdeka, keteladanan serupa diberikan oleh Mohammad Natsir, Sjahrir, dan J Kasimo. Mereka rela hidup menderita demi komitmen kebangsaan dan keindonesiaan. Realitas historis ini adalah aset untuk merajut harapan bahwa pemimpin serupa dapat dilahirkan negeri ini di masa depan.

Kedua, meski konflik komunal pernah mengguncang beberapa wilayah, seperti Kalbar, Kalteng, Maluku, dan Poso di Sulteng, tetapi relatif tidak berdampak pada dinamika pemilu. Konflik- konflik tersebut lebih bersumber pada ketimpangan struktur ekonomi penduduk asli dan pendatang ketimbang pada perbedaan pandangan dan afiliasi politik. Itu artinya, terbuka peluang bagi tegaknya demokrasi atas dasar pluralitas politik di negeri ini.

Ketiga, beberapa studi menggarisbawahi bahwa institusionalisasi demokrasi selama satu dekade terakhir cukup menjanjikan. Andreas Ufen (2008), misalnya, mengatakan, sebagian besar partai di Indonesia lebih terinstitusionalisasi ketimbang sebagian besar partai di Filipina dan Thailand. Penilaian serupa diberikan Marcus Mietzner (2008), bahkan juga apabila dibandingkan partai-partai di Korea Selatan. Sementara itu, studi Bappenas dan UNDP (2008) menemukan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia dewasa ini berada pada skala ”kinerja sedang”.

Keempat, kendati didera berbagai bencana, korupsi belum berkurang, salah urus negara terus berlangsung, dan krisis finansial global menghantam kita, ekonomi ternyata bisa tumbuh cukup signifikan, diperkirakan di atas 4 persen pada 2009 ini. Ada peluang bagi negeri besar ini untuk menyejahterakan rakyat jika berbagai distorsi salah urus negara bisa dibenahi.

Kelima, seyogianya kita bersyukur, berbagai elemen masyarakat madani memiliki komitmen besar untuk mengawal demokrasi dan HAM, menegakkan pemerintahan bersih, serta menyuarakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua anak negeri. Begitu tingginya komitmen itu sehingga sejumlah mahasiswa (tragedi Mei, Semanggi I dan II), aktivis pers (Fuad M Syafruddin alias Udin), buruh (Marsinah), HAM (Munir), dan banyak lagi, berkorban demi Indonesia yang lebih baik.

Walaupun demikian, tidak pada tempatnya pula jika kita cepat puas dengan semua itu. Sebaliknya, para aktor yang dihasilkan pemilu justru harus terus-menerus diingatkan, bahkan jauh lebih keras, agar mereka benar-benar bertanggung jawab atas mandat rakyat di pundaknya. (Syamsuddin Haris)

 

Tidak ada komentar: