Jumat, 05 Maret 2010

EKSTRAPARLEMENTER Berunjuk Rasa, Menimbang Demokrasi

KOMPAS/DANU KUSWORO
Sejumlah polisi dikerahkan untuk mengangkat paksa pengunjuk rasa dari Bendera yang bertahan melebihi ketentuan batasan unjuk rasa di depan gerbang Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (3/3).

Jumat, 5 Maret 2010 | 05:50 WIB

Oleh B Josie Susilo Hardianto

Lawan penindasan… Raih perdamaian… Dan pagar besi kokoh itu bergoyang-goyang karena dorongan. Nyanyian terus membahana di udara yang basah oleh sisa uap air dan bau keringat. Teriakan para pengunjuk rasa yang berisi gugatan agar para wakil rakyat peduli terhadap suara masyarakat berseling dengan denting bunyi kayu beradu besi pagar gerbang kompleks kantor DPR. Sore pun berlalu dengan seruan perjuangan, nyanyian harapan, juga serapah.

Umumnya mereka adalah mahasiswa. Ada pula buruh dan warga lain. Mereka tergabung dalam berbagai massa aksi seperti GMNI, PMKRI, HMI, serta kesatuan massa aksi dari berbagai kampus seperti Trisakti hingga kelompok masyarakat seperti Bendera.

”Kehadiran kami untuk memberikan dukungan moral agar para wakil rakyat konsisten dan tetap berpihak kepada kepentingan rakyat,” kata Abdul Gofar, Ketua Badan Koordinator Jawa Bagian Barat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Gofar mengatakan, dukungan seperti itu perlu ditunjukkan kepada para anggota parlemen agar mereka tidak berbalik arah dan terjebak dalam politik transaksional. Melemahnya berbagai panitia khusus yang pernah dibentuk DPR, seperti dalam kasus kenaikan harga bahan bakar minyak, membuat mereka merasa perlu untuk menunjukkan dukungan itu.

Efektif

Tak bisa diabaikan, gerak perubahan dalam sejarah Indonesia kerap ditandai gerakan massa yang masif. Sebut saja aksi massa yang menuntut pembubaran PKI, lalu ada Malari, hingga gerakan mahasiswa tahun 1998 yang mengiringi runtuhnya rezim pemerintahan Soeharto.

Memasuki era demokrasi yang lebih modern dan maju dengan berbagai komponen dan prosedurnya—misalnya pemilihan langsung—tetap saja tidak menyurutkan gerakan massa itu.

Bahkan, pada satu titik, gerakan massa itu dinilai lebih efektif memengaruhi terjadinya perubahan dan lahirnya sebuah kebijakan yang lagi-lagi dianggap lebih berpihak kepada rakyat. Dalam konteks itu sebut saja gerakan Cicak melawan Buaya serta gerakan satu juta facebookers untuk mendukung dua komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Dalam ruang demokrasi, di mana hak dan kebebasan seseorang sungguh dihormati, keberadaan pengunjuk rasa seperti itu sangat dimungkinkan, apalagi ketika saluran-saluran formal bagi suara rakyat dinilai telah tersumbat. Yang berunjuk rasa pun dari beragam kelompok, mulai dari mahasiswa, organisasi profesi, hingga intelektual. Hal ini tampak jelas terjadi di negara berkembang.

Ketika kinerja parlemen tidak efektif dan kekuasaan partai politik menjadi sangat dominan terhadap anggota parlemen, koreksi dan kontrol yang efektif dari masyarakat diperlukan. Dosen Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Haryatmoko, mengatakan, itu terjadi agar kedaulatan rakyat tidak disita oleh para wakil mereka yang notabene dikendalikan oleh elite partai atau pemodal.

”Bagaimanapun, proses demokrasi harus dikoreksi karena ada semacam mitos bahwa wakil rakyat adalah representasi suara publik. Padahal, yang kerap terjadi adalah setelah terpilih mereka lebih banyak tidak peduli kepada suara masyarakat. Kepentingan-kepentingan partai politik, kelompok, bahkan pribadi justru lebih diutamakan,” kata Haryatmoko.

Dalam kondisi wakil rakyat lebih berposisi sebagai mesin kepentingan partai daripada memfasilitasi kepentingan publik disitulah kehadiran pengunjuk rasa atau kekuatan ekstraparlementer lainnya menjadi penting. Mereka memberikan tekanan pada pentingnya memerhatikan rasa keadilan publik.

Mewajah

Keberadaan kekuatan ekstraparlementer menunjukkan apa yang disebut Claude Lefort dalam Democracy and Political Theory sebagai proses untuk ambil bagian dalam upacara-upacara untuk memberi wajah. Gagasan itu menjelaskan bagaimana masyarakat mengambil bagian dalam mesin-mesin sosial untuk mengorganisasi diri.

Haryatmoko mengatakan, masyarakat keluar dari posisi anonimitasnya. Mereka keluar dari posisi yang dalam gagasan Satre disebut manusia seri. Sebagai kekuatan ekstraparlementer, masyarakat mencoba menunjukkan diri dan kekuatan. Mereka tidak lagi hanya realitas angka-angka yang tidak berdaya, tak terorganisasi, dan hilang dalam kerumunan.

Kehadirannya menjadi bagian dari proses mengoreksi dan memodifikasi demokrasi. ”Karena pada prinsipnya demokrasi bukan final,” kata Haryatmoko menambahkan.

Sistem

Di sisi lain, pengamat politik Arbi Sanit mengatakan, gerakan ekstraparlementer perlu juga disikapi kritis. ”Apalagi jika sudah menggunakan kekerasan. Karena apa pun bentuknya, tidak ada argumentasi apa pun yang membenarkan adanya kekerasan. Kalau mau demo, harus jelas argumentasinya,” kata Arbi Sanit.

Ia sependapat, adanya kekuatan ekstraparlementer menunjukkan adanya persoalan dalam semesta politik di Indonesia. Pemerintah, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, belum ada dalam posisi stabil dan efektif. Basis demokrasi, yaitu hak dan kebebasan, dimaknai dan bisa jadi dihidupi secara keliru.

Aturan main yang telah disepakati tidak dilaksanakan dengan baik. ”Contohnya, kita memilih sistem presidensial, tetapi cara mainnya parlementer. Ini menjadi persoalan karena demokrasi yang sederhana saja tidak dijalani,” kata Arbi Sanit.

Konsistensi pada pilihan sistem bernegara ternyata diabaikan. Kegagalan pada masa lalu tidak cukup dijadikan pelajaran sehingga rentan untuk kembali gagal. Akibatnya stabilitas politik goyang dan terabaikan.

Kasus Century, tutur Arbi Sanit, menjadi contoh betapa pilihan sistem tidak dihidupi dengan benar dan itu justru melemahkan demokrasi. Baik Haryatmoko maupun Arbi Sanit berpendapat senada, yaitu jika supremasi hukum benar hidup di Indonesia, sejak awal sebenarnya kasus Century didekati melalui hukum dan itu menandai satu indikasi sehatnya demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar: