Jumat, 05 Maret 2010

Politik Pasca-Century


Jumat, 5 Maret 2010 | 06:30 WIB

Oleh Doty Damayanti

Dinamika politik di Senayan dua hari terakhir baru babak awal drama panjang skandal Bank Century. Gemuruh sorak-sorai para anggota fraksi partai politik yang berhasil mengegolkan keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat baru perayaan awal kemenangan.

Meskipun Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum memberi selamat bahwa akhirnya perbedaan bisa diselesaikan tanpa permusuhan, aroma perseteruan di antara parpol-parpol yang sebelumnya berada di barisan koalisi pemerintah begitu kental. Pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono bakal menghadapi ujian berat dari implikasi lanjutan keputusan DPR yang menyalahkan kebijakan penyelamatan Bank Century dan menyerahkan pada proses hukum.

Pertama, implikasi dari proses hukum. Keputusan paripurna DPR tidak menjelaskan secara rinci proses hukum seperti apa yang akan diambil untuk menyelesaikan kasus Century.

Ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin dalam perbincangan di salah satu stasiun televisi mengemukakan, DPR bisa melimpahkan ke proses hukum pidana melalui Komisi Pemberantasan Korupsi atau karena melibatkan orang yang saat ini posisinya ada di dalam lembaga kepresidenan, hasil pansus seharusnya bisa didorong untuk dilanjutkan ke hak mengajukan pendapat. Sesuai Pasal 7 A Undang-Undang Dasar 1945, presiden dan wakil presiden bisa diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum melalui proses di Mahkamah Konstitusi.

Namun, DPR sudah memberi sinyal tak akan mengambil jalur penyelesaian hukum konstitusi. Sebagaimana yang dikemukakan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, pembuktian bahwa wakil presiden bersalah akan sulit dilakukan. ”Daripada buang energi pada usaha yang sulit dilakukan, lebih baik tidak masuk ke wilayah itu,” ujarnya.

Disebutnya dua nama pembantu terdekat dan penting presiden, yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden Boediono, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengambilan kebijakan penyelamatan Century, akan berdampak pada stabilitas pemerintahan.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Negeri Andalas, Saldi Isra, dengan tegas mengatakan, posisi pemerintahan SBY tak aman. Desakan untuk menonaktifkan Sri Mulyani dan Boediono akan semakin kuat dan terus menggerogoti kerja pemerintah. Ia menilai jika proses hukum berjalan pada akhirnya SBY tidak bisa mengelak dari tanggung jawab. Ia mengatakan, presiden sudah merusak logika sistem presidensial dengan pernyataan bertanggung jawab penuh sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan, dalam kasus Century.

”Sementara, dalam pemerintahan, tidak ada kebijakan strategis yang diambil menteri tanpa ada sinyal persetujuan dari presiden sebagai kepala pemerintah,” ujar Saldi.

Perubahan peta

Implikasi kedua dari proses politik yang terjadi selama Pansus Century adalah perubahan peta koalisi. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Bonni Hargens, mengatakan, perubahan koalisi itu bahkan sudah mengarah pada terbentuknya koalisi baru. ”Sekarang terbalik, yang sebelumnya pusat koalisi ada di Cikeas, sekarang di kubu oposisi,” ujarnya.

Koalisi baru itu sebagaimana tergambarkan pada posisi fraksi-fraksi dalam voting pengambilan keputusan kasus Century. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang pada pandangan akhirnya semula tidak memilih opsi A maupun C, akhirnya memilih opsi C. F-PPP bergabung dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Fraksi Partai Golkar— dua partai yang juga tergabung dalam koalisi pemerintahan SBY, untuk menyalahkan kebijakan menyelamatkan Century.

Balik arahnya partai-partai yang sebelumnya menjadi mitra Demokrat itu, menurut Bonni, harus menjadi pelajaran bagi presiden. ”PKS sudah lama memendam kekecewaan karena tak mendapat hasil setimpal dari kemitraannya dengan Demokrat. Demikian juga mayoritas faksi di PPP yang sudah lama menginginkan keluar dari koalisi. Adapun Golkar targetnya sederhana, kalau Sri Mulyani lengser, satu virus yang mengganjal bisnis elitenya bisa dihilangkan,” jelas Saldi.

Wakil Sekjen PPP Romahurmuzy mengatakan, dari aspek demokrasi, gengsi institusi saat ini memang tidak dapat dihindari, termasuk mengalahkan Demokrat. Mengapa? Selama ini pola komunikasi Demokrat tidak kunjung diperbaiki. Mereka enggan melakukan komunikasi berbasis dialog setara. Partai Demokrat yang merasa menjadi pemenang pemilu lebih memilih membangun pola komunikasi bersifat hierarkis sehingga terkesan semua partai menjadi bawahannya. Pola ini tidak bisa diterima partai-partai yang sudah berkoalisi.

Bonni menilai, kalau mau pemerintahannya selamat, SBY harus membuat keputusan bijak yang bisa menurunkan ketegangan politik yang terjadi. ”SBY harus menunjukkan bahwa dia adalah presiden semua orang, bukan hanya Partai Demokrat. Kalaupun dia mau merombak kabinet, tempatkan orang-orang yang benar-benar profesional di bidangnya,” katanya.

Pilihan keputusan yang berat termasuk sampai pada titik meminta maaf kepada publik lalu meminta kesediaan Wapres Boediono untuk mengundurkan diri. Bukan dengan alasan dia bersalah, tetapi sebagai bentuk etika politik. ”Sekarang bola ada di tangan presiden, bagaimana manajemen risiko yang dilakukan pascaparipurna Century,” ujar Bonni.

Ia khawatir cara pandang SBY yang mempersonifikasikan kekuasaan dengan pribadinya akan membuat presiden kehilangan obyektivitas melihat keseluruhan masalah dengan lebih bijak. Jika itu yang terjadi, ketegangan politik akan semakin menebal dan bukan tak mungkin berujung pada pemakzulan.

Investasi 2014

Bonni tidak menampik bahwa keseluruhan drama dalam kasus Century akhirnya akan bermuara pada investasi parpol untuk memenangi pertarungan pada 2014. ”Politik pascaparipurna tentang Century itu sejatinya kampanye menuju 2014,” ujarnya.

Indikasi parpol-parpol yang mengusung isu Century hanya berorientasi pada kekuasaan juga terlihat dari tidak disebutnya soal membuka aliran dana. Saldi Isra mengatakan, justru di situlah titik krusial manfaat bagi masyarakat dari kasus Century.

”Yang menjadi pertanyaan kan kenapa harus ada bail out, uangnya lari ke mana, digunakan untuk apa, siapa yang menikmati. Kalau masalah aliran dana itu dibuka, bisa menjadi pintu masuk bagi kita untuk mempersoalkan kejelasan dana pemilu. Sekarang ini masyarakat tak mendapat apa- apa dari ribut-ribut soal Century,” kata Saldi.

Hal senada disampaikan Syamsuddin Haris. Menurut dia, meskipun fenomena Pansus di satu pihak positif bagi perkembangan demokrasi karena prosesnya berlangsung terbuka, dari sisi substansi tak banyak manfaatnya bagi masyarakat.

”Yang acap kali dilupakan publik, parpol menjadikan Senayan itu sebagai panggung politik. Parpol berlaku seolah- olah wakil rakyat yang punya komitmen, tetapi apakah isu yang mereka bawa itu signifikan dengan kesejahteraan dan keadilan, bisa sangat diperdebatkan,” kata Syamsuddin.

Begitulah. Kasus Bank Century hendaknya membuka mata kita bahwa dalam politik tak ada koalisi yang abadi. Kepentingan dan kekuasaanlah yang menjadi tujuan, maka rakyat silakan menjadi penonton di pinggir arena.

Tidak ada komentar: