Jumat, 19 Maret 2010

POLITIK KEKUASAAN Rahmat bagi Semua

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Pelantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 1999. Dukungan Partai Kebangkitan Bangsa kepada Gus Dur menandai keterlibatan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dalam politik praktis.

Jumat, 19 Maret 2010 | 03:33 WIB

Oleh Josie Susilo Hardianto

Riuh tempik sorak terdengar ketika Lili Wahid, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, berdiri sendirian menyatakan pendapat yang berbeda dari semua anggota fraksinya dalam rapat paripurna pengambilan keputusan DPR atas kasus Bank Century, Rabu (3/3). Ia mendukung opsi C, yang menyatakan ada kekeliruan dalam proses pengucuran dana bagi Bank Century.

ak kurang Maruarar Sirait dan Budiman Sudjatmiko dari Fraksi PDI-P datang menyalami. Sampai-sampai Rieke Dyah Pitaloka yang juga dari Fraksi PDI-P memberi gantungan bergambar banteng bermoncong putih. Walau sendirian, suara Lili sangat berpengaruh bagi kemenangan mutlak kubu pendukung opsi C itu.

Meski ancaman penggantian antarwaktu menunggu, toh, Lili tidak surut. Bahkan, mengomentari sikap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang akan memecatnya, Lili tetap tenang. Posisinya tetap kukuh meski partainya sejak awal menyatakan dukungan dan terlibat dalam koalisi partai-partai pemerintah.

Di mata publik, pilihan Lili dinilai menyuarakan nurani rakyat. Berbeda dari pandangan PKB yang dianggap mendukung kebijakan pemerintah dalam kasus Bank Century.

Hubungan Lili dan Muhaimin adalah fenomena menarik. Meski secara biologis Muhaimin Iskandar dan Lili Wahid berkerabat, toh, di ranah politik mereka berseberangan. Hal seperti ini seolah melambangkan relasi antara warga Nahdlatul Ulama (NU) dan pemerintah.

Sebagai kekuatan politik, NU sesungguhnya raksasa. Ia ormas Islam terbesar di Indonesia. Survei Lembaga Survei Indonesia tahun 2009 menyebutkan, jemaah NU mencapai 38 persen dari total jumlah umat Islam di Indonesia.

Namun, sebagaimana dikemukakan Salahuddin Wahid, NU juga amat cair dan karena itu tidak mungkin menggumpalkannya dalam satu tubuh partai politik. Kacung Marijan, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, menyebutkan, sebagai entitas antara jamiyah dan jamaah, NU memiliki nilai-nilai bersama yang mempertautkan semua warga NU, yaitu ahlussunnah waljama’ah. Tetapi, secara kultural NU merupakan entitas yang terdiri atas komunitas-komunitas lokal (baca: pesantren) yang memiliki otonomi sendiri.

Sebagai nilai besar, NU adalah homogen. Akan tetapi, pada sisi praksis, kepentingan di dalam NU sangat beragam. ”Karena itu, ketika Pengurus Besar NU membuat jabaran saluran politik warga NU boleh beragam, secara ’alamiah’ membuat warga NU begitu mudah terpisah-pisah afiliasi politiknya,” kata Kacung.

Panggilan dasar

Lahir sebagai bagian dari dinamika politik nasional dan internasional pada tahun 1926, NU sejak awal memang tidak memosisikan diri sebagai partai politik. Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU lebih menjadi kekuatan politik kebangsaan daripada kekuatan politik praktis.

Di tengah aneka tarikan kepentingan politik pada tiap-tiap masa, para tokoh NU, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Machfudz Siddiq, KH Wahid Hasyim, hingga KH Abdurrahman Wahid, sebenarnya lebih tampil sebagai guru bangsa daripada politisi.

Meski beberapa kali terpikat dan masuk dalam gemerlap kontestasi politik praktis nasional, NU tetaplah organisasi yang sejak awal berdiri memang memosisikan diri pada pembaruan yang mendudukkan nilai-nilai Islam dan kultur setempat.

Sebagaimana dikemukakan H Soeleiman dan Mohammad Subhan dalam Antologi NU, mengikuti faham ahlussunnah waljama’ah dan memandang Islam sebagai agama fitri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia menjadikan NU sangat toleran, terbuka, dan membasis pada masyarakat dan kultur setempat. Dakwahnya mengikuti model Wali Songo, menyesuaikan dengan budaya setempat dan tidak mengandalkan kekerasan.

Dengan disposisi dasar seperti itu—moderat, toleran, dan seimbang antarsesama umat manusia dan manusia-Allah—NU seolah dilahirkan atau ditakdirkan menjadi perekat bangsa yang masyarakatnya sangat beragam ini.

Itulah yang disebut Kacung sebagai karakteristik penting dari gerakan yang dibawa NU. Ia lahir lebih sebagai gerakan kebangsaan daripada bagian dari gerakan Pan-Islamisme. Dan NU, yang basisnya masyarakat pedesaan, merupakan gerakan ekonomi rakyat.

Ketika tergelincir dalam sejarah politik praktis sejak tahun 1950-an, para tokoh NU mengajak warga NU kembali ke Khittah 1926, khitah dasar NU. Demikian juga ketika NU kembali masuk ke dalam arena politik praktis era Orde Baru melalui Partai Persatuan Pembangunan, NU diajak Abdurrahman Wahid kembali melihat nilai-nilai dasar itu melalui Muktamar Ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984.

Bersama Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, NU berkembang menjadi sosok ormas yang giat mempromosikan demokrasi, nilai-nilai kesetaraan sebagai warga negara dan kebangsaan. Posisi itu pula yang kembali diteguhkan pada Muktamar Ke-31 di Donohudan, Solo, pada 2004, setelah terseret masuk kembali ke kancah politik praktis pasca-kejatuhan Presiden Soeharto.

Kali ini, menjelang muktamar di Makassar, para calon ketua umum PBNU kembali mengajak warganya kembali pada semangat dasar 1926 tadi. Tampaknya mereka, antara lain Salahuddin Wahid, Masdar F Mas’udi, dan Ali Maschan Moesa, sadar betul di mana posisi sebenarnya NU dalam jagat keindonesiaan.

Pencerahan

Dengan jumlah warganya yang besar dan dengan sikap dasar terbuka, NU lebih tepat hadir sebagai kekuatan pencerah daripada kekuatan politik praktis. NU akan mampu mengemban idealisme politik justru jika ia mampu menghidupi tegangan antara politik praktis dan perjuangan kebangsaan.

Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra mengemukakan, salah satu warisan terpenting Gus Dur bagi Indonesia adalah integrasi antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.

Pada saat Gus Dur menduduki kursi kepresidenan, kiai itu mengubah banyak wajah Indonesia. Bagi semua warga negara, Indonesia hadir dengan wajah yang ramah. Bendera bintang kejora di tanah Papua diakui sebagai simbol kultural, Konghucu diterima sebagai agama, korban pelanggaran hak asasi manusia dibuka peluangnya memperoleh keadilan melalui pengadilan HAM ad hoc, dan dwifungsi ABRI ditiadakan.

Peran pembaru itu sejak awal memang terwariskan ke dalam tubuh NU. Mungkin saja, kesadaran bahwa meskipun memiliki massa besar tetapi cair, dan karena itu tidak dapat menjadikan NU sebagai satu kekuatan politik praktis melalui parpol, adalah pintu kesadaran penting tentang perannya sebagai motor pencerahan bangsa.

Artinya, bukan sekadar soal Lili Wahid memilih apa dan PKB mengambil sikap apa, tetapi sebagai sesama warga NU mereka sebenarnya tengah mengemban misi lain, yaitu menjadikan politik sebagai bagian dari rahmat bagi semua.

Tidak ada komentar: