Jumat, 05 Maret 2010

Kekuasaan Pluralistik dan Arah Demokrasi


Jumat, 5 Maret 2010 | 05:49 WIB

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Fenomena yang terjadi di dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, 2 dan 3 Maret, menyiratkan bahwa selain kekuasaan presiden tidak lagi dominan, kekuasaan lembaga perwakilan juga sangat diwarnai kuatnya desakan masyarakat sipil dan media massa.

Dapat yang memutuskan hasil Panitia Khusus DPR tentang Kasus Bank Century bisa dilihat sebagai ajang kontestasi yang merefleksikan kekuasaan yang saat ini hadir dalam menentukan arah negara. Kekuatan eksekutif (presiden) berhadapan dengan koalisi tiga kekuatan lain, yakni DPR, masyarakat sipil, dan media massa. Kecenderungan tidak terkonsentrasinya kekuasaan politik pada satu organisasi atau individu adalah khas sebuah negara dengan kekuasaan pluralistik. ”Terdapat banyak pusat kekuasaan, tidak ada satu pun yang sepenuhnya berdaulat,” demikian ungkap Robert A Dahl (1967) terhadap ciri negara seperti ini.

Tarik menarik dukungan antara kubu oposisi dan pemerintah sangat tergantung pada tekanan di luar kubu tersebut. Keluaran proses demokrasi sangat ditentukan perimbangan kekuatan dalam organisasi kenegaraan. Perimbangan kekuatan dari organisasilah yang akhirnya membentuk wujud demokrasi. Demokrasi, ungkap Robert Michel (1911), tidak dapat dikonsepsikan tanpa membahas kekuatan-kekuatan organisasi.

Selama kurun waktu 65 tahun sejak kemerdekaan Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan dalam imbangan kekuasaan yang sangat ditentukan oleh bentuk organisasi kenegaraan yang dianut. Antara 1945-1955 bisa dibilang merupakan periode uji coba pembentukan kelembagaan negara. Meskipun sudah terbentuk parlemen, tetapi belum memiliki kekuatan otonom untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Kekuasaan masih terpusat pada sosok proklamator, dwi tunggal Soekarno dan Mohammad Hatta.

Antara tahun 1955-1959, Indonesia langsung masuk ke dalam demokrasi liberal yang, selain dicirikan pemerintahan yang dipegang perdana menteri, juga tumbuhnya kekuatan partai politik dan parlemen. Kekuatan riil yang dihimpun partai dalam pemilu mampu memberi koreksi atas jalannya pemerintahan (perdana menteri) yang berkuasa. Jatuh bangunnya pemerintahan parlementer yang dipimpin perdana menteri sangat ditentukan terbentuknya koalisi-koalisi semu di lembaga perwakilan rakyat. Masyarakat sipil belum menampilkan diri dalam kekuatan terorganisasi.

Periode 1959-1966 menjadi periode fenomenal dalam sejarah kekuasaan di negeri ini setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menghapuskan kekuatan organisasi parlemen, menggantinya dengan atribut baru: ”Demokrasi Terpimpin”. Presiden selain mengembalikan konstitusi pada undang-undang dasar awal (UUD 1945) juga memaklumatkan diri sebagai presiden seumur hidup. Maka, kekuasaan demokratis pun tumbang digantikan rezim otoritarian yang memakai baju demokrasi. Partai-partai politik meskipun sebagian masih bertahan, tetapi tidak memiliki panggung yang bisa ”dimainkan” di parlemen.

Kekuasaan otoritarian ternyata tidak terhenti meski terjadi penggantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Walaupun melaksanakan pemilu lima tahun sekali (sejak 1971) sebagaimana negara-negara demokrasi lain, pembatasan terhadap kekuasaan partai politik dilakukan dengan memangkas jumlahnya dan menggabungkan menjadi tiga partai saja. Berkat kekuatan militer dan birokrasi (yang dikuasai pemerintah), kekuatan massa dapat dihimpun ke dalam satu partai saja (Golkar).

Hasil pemilu yang kemenangannya selalu didominasi Golkar sebetulnya telah mengindikasikan negara menganut partai tunggal, partai lain hanya ornamen demokrasi. Kekuatan dalam parlemen yang didominasi satu partai penguasa membuat kekuasaan tidak terbagi, tetapi makin terpusat ke dalam sosok presiden. Kalau sebelumnya dalam Demokrasi Terpimpin kekuasaan presiden hanya mengandalkan karisma proklamator, pada masa Orde Baru kekuasaan tunggal diperkokoh legalitas parlemen.

Peta berubah

Tumbangnya kekuasaan Orde Baru, yang disimbolkan mundurnya Soeharto pada 1998, mengubah peta kekuasaan dalam ranah kenegaraan. Kekuasaan di tangan presiden diimbangi oleh terbentuknya secara masif kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang membentuk organisasi dan sering kali memengaruhi jalannya kebijakan. Organisasi-organisasi mahasiswa, buruh, ormas, dan lain-lain mengiringi masifnya pertumbuhan partai-partai politik. Sementara, parlemen yang pada masa sebelumnya melempem mulai memiliki pengaruh. Kolaborasinya dengan kekuatan organisasi ”parlemen jalanan” menumbuhkan kepercayaan diri yang sulit dibayangkan terjadi sebelumnya. Keluarnya keputusan mengadili Soeharto beserta kroninya bisa dikatakan wujud paling nyata koalisi parlemen dengan kekuatan organisasi di luar lembaga legislatif.

Lewat Pemilu 1999, Indonesia memasuki babak baru yang makin mengukuhkan kekuatan parlemen. Parlemen menjadi kekuatan paling riil yang memenuhi pentas politik, mengimbangi kekuasaan presiden yang dipilih fraksi-fraksi partai politik dalam lembaga ini. Rasa percaya diri presiden yang diwujudkan dalam kebijakan kontroversial kerap mendapat tentangan kuat di parlemen. Bahkan, dalam drama politik yang cukup tragis, parlemen bisa menggulingkan Abdurrahman Wahid yang baru menduduki kursi presiden satu setengah tahun. Sejak itu, kekuatan parlemen menjadi entitas organisasi kekuatan politik riil yang sangat tangguh sampai kemudian Indonesia melaksanakan pemilihan langsung presiden pada tahun 2004.

Tonggak baru

Pemilihan presiden secara langsung dapat disebut menjadi tonggak baru yang menentukan arah bandul kekuasaan politik di negeri ini. Lewat pemilu ini kekuasaan parlemen tidak lagi dominan, tetapi terbagi kepada masyarakat warga. Parlemen tidak bisa lagi dengan mudah menurunkan presiden. Kekuasaan presiden dan lembaga eksekutif menjadi lebih kuat.

Namun, implikasi pemilihan langsung juga membuat kedudukan warga negara semakin kuat dalam menentukan arah politik. Kekuatan bertambah setelah pada pertengahan 2005 Indonesia melaksanakan pemilihan kepala-kepala daerah secara langsung. Bukan saja kekuasaan pusat terdistribusi ke daerah, tetapi otonomi warga juga kian kuat. Nilai yang diwujudkan dalam hak suara dalam pemilu menjadi kekuatan menentukan yang kini bisa dilihat sebagai satu otoritas yang tidak bisa diabaikan dalam pembuatan kebijakan.

Kalau dominasi kekuasaan di lembaga eksekutif makin lemah, hal yang sama juga terjadi dalam kekuatan partai politik. Pemilihan langsung terhadap wakil-wakil rakyat menjadikan elite partai politik tidak lagi sepenuhnya bisa mengendalikan aktor yang bersuara di parlemen.

Sebaliknya, arah demokrasi yang dipertunjukkan akhirnya lebih banyak merupakan gabungan antara kepentingan pribadi atau kelompok dengan kecenderungan yang dikehendaki masyarakat sipil. Koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun pada akhirnya benar-benar sebatas koalisi semu. Presiden tidak mempunyai kekuatan memaksa anggota parpol di parlemen mendukung opsi yang diingini penguasa pemerintahan dalam kasus Bank Century.

Jika kekuasaan menjadi demikian pluralistik, ke mana arah demokrasi Indonesia ke depan? Ini tentu menjadi substansi yang saat ini menjadi sangat penting sebelum hasil keputusan DPR tentang kasus Bank Century berujung pada pemakzulan presiden atau wakil presiden.

(Bambang Setiawan, Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: