Jumat, 19 Maret 2010

84 TAHUN NU Mewujudkan Cita-cita Kemandirian Umat

KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP
Sejumlah bendera Nahdlatul Ulama (NU) mulai dipasang di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (17/3). Hal ini menandai pelaksanaan Muktamar Ke-32 NU yang akan berlangsung di Celebes Convention Centre, Makassar, 23-28 Maret 2010.

Jumat, 19 Maret 2010 | 03:38 WIB

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

84 Tahun NU Hingga usianya mencapai 84 tahun pada 31 Januari 2010, Nahdlalatul Ulama sebagai organisasi berbasis Islam yang mengakui keberagaman dan berada di jalur tengah yang moderat telah ikut mewarnai perjalanan menjadi Indonesia.

e depan, NU menghadapi tantangan multidimensi. Globalisasi bukan hanya meliberalisasi ekonomi Indonesia yang pengaruhnya terasa hingga ke desa sebagai basis warga NU, tetapi juga membawa masuk pengaruh aliran transnasional yang tarik-menarik dengan ajaran dasar NU yang tradisional dan mengakomodasi kelokalan.

Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, dan Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, dalam diskusi mengatakan, peran NU yang ikut meneguhkan bahwa negara- bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok dan Pancasila adalah final bagi Indonesia saat ini adalah warisan penting Gus Dur.

Di sisi lain, salah satu khitah penting NU, yaitu kemandirian ekonomi dan kesejahteraan warga NU, sampai kini belum memberi hasil memuaskan. Padahal, kemandirian ekonomi merupakan prasyarat bagi kemandirian politik kebangsaan NU agar dapat berperan sebagai organisasi masyarakat sipil yang mengontrol pemerintah.

Salah satu kritik muncul dari peserta diskusi harian Kompas yang menghadirkan sejumlah kandidat Ketua PBNU dan peneliti NU, menyambut Muktamar Ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, 22-27 Maret 2010. Alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Zuhairi Misrawi, berpendapat, NU tidak dapat menjadi organisasi masyarakat sipil selama belum mandiri dan masih mengandalkan proposal pada pemerintah atau pihak lain.

Ketua I PBNU Masdar F Mas’udi mengakui hingga saat ini basis ekonomi sebagian besar warga NU (nahdliyin) masih lemah, bahkan masih di tingkat dasar, yaitu memenuhi kebutuhan rutin sehari-hari. Lemahnya basis ekonomi menyebabkan nahdliyin mudah kehilangan jati diri dalam aras individu hingga kolektif organisasi. Padahal, tanpa kemandirian, NU dapat kehilangan martabatnya sebagai kekuatan moral dan etika. Tanpa kemandirian ekonomi, akan sulit NU menyumbang pada demokrasi substansial, bukan prosedural seperti adanya pemilu, DPR, dan pemerintahan yang lengkap. Misalnya, ikut mengontrol apakah undang-undang dan kebijakan publik yang dihasilkan benar-benar memenuhi aspirasi rakyat dan memenuhi asas keadilan.

Masalah mendasar

Setelah pernyataan kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984, upaya kemandirian ekonomi kurang dibicarakan daripada menjadikan NU wahana politik kebangsaan.

Bila melihat kembali sejarah berdirinya NU, unsur ekonomi penting dalam membangun komunitas pesantren yang merupakan basis NU. Hubungan patron klien antara kiai pemilik pondok dan santrinya basisnya juga ekonomi. Karena banyak di antara santri dari keluarga miskin, kiai menjadi harapan santri hidup dan belajar agama (Greg Barton, Biografi Gus Dur, 2002). Maka, kiai dituntut juga mampu secara ekonomi dan bagi kiai menjadi kaya bukanlah tabu, melainkan rahmat dari Tuhan. Karena itu, hal biasa bila kiai juga mengembangkan bisnis di pesantrennya.

Pada 1918 KH Wahab Chasbullah bersama KH Hasjim Ashari mendirikan koperasi Nahdlaatul Tujjar (kebangkitan para usahawan) yang meskipun usianya tak panjang berhasil menghimpun dana besar. Begitu juga pada tahun-tahun awal berdirinya, NU mendirikan beberapa koperasi (Jejak Langkah NU dari Masa ke Masa, Endang Turmudi, editor, 2008).

Kacung Marijan menegaskan, hal mendasar dalam berbagai persoalan NU adalah kemandirian ekonomi. Ketika pertanian on farm yang merupakan basis ekonomi awal NU berubah menjadi industri manufaktur dan jasa, sumbangan pesantren dari sektor pertanian juga berkurang.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah di tingkat nasional juga tidak berpihak kepada rakyat kecil. Kacung mencontohkan, kebijakan bebas pajak bagi kulit ekspor menyebabkan UKM kesulitan mendapat bahan baku dalam negeri yang bagus sehingga memakai kulit asal China yang lebih kurang mutunya.

Peserta diskusi, Ketua Al-Maun Institute Moeslim Abdurrahman, menuturkan, Gus Dur juga belum berhasil membangun ekonomi warga NU karena berkali-kali gagal di pasar. Upaya mendirikan lembaga keuangan untuk umat, antara lain Bank Nusuma, juga gagal.

Pelemahan lain adalah landreform di pedesaan, yang menurut Moeslim Abdurrahman seraya mengutip hasil penelitian Sydney Jones, menyebabkan tanah milik para kiai menyusut sehingga tidak bisa menjadi pilar pesantren. Pada gilirannya, hubungan patron klien yang merupakan pilar kekuatan NU pun terpengaruh.

Pengorganisasian

Upaya mengorganisasi warga NU, diakui pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid, bukan hal mudah. Dia mengaku kesulitan mengumpulkan dana dari warga Ponpes Tebuireng untuk lembaga sosial, sementara banyak organisasi keagamaan lain dapat dengan mudah mengumpulkan dana dari anggotanya.

Menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin, persoalannya adalah pengorganisasian. Dia menolak mitos warga NU sulit diorganisasi karena banyak contoh pengorganisasian yang berhasil membangun kemandirian ekonomi, antara lain badan otonom Muslimat dan Ponpes Sidogiri di Pasuruan, Jawa Timur. Bila dalam lima tahun ke depan lahir 5.000 wirausaha baru, Gus Solah optimistis NU dapat mandiri.

Contoh lain disebut Suhairi, yaitu GP Ansor di Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, dengan modal awal Rp 600.000, kini usaha perdagangan garam dan pengolahan ikannya beromzet Rp 2 miliar. Ponpes Sunan Drajat di Lamongan, Jawa Timur, menanami lahan kritis sekitar pondok dengan mengkudu lalu membotolkan jusnya serta membuat air minum kemasan, dan di Tayu, Pati, Ponpes Darul Rohmat bersama LP2NU mengembangkan usaha pupuk fosfat.

Tidak berlebihan bila Gus Solah melihat pengorganisasian nahdliyin sebagai peluang mencapai kemandirian. Seperti ditekankan Kacung Marijan, tantangan NU ke depan bukan lagi ada tidaknya kaitan antara nilai-nilai tradisional dan modern dalam artian luas, melainkan pada praksis dan operasional.

Dengan kata lain, bila NU dapat menjadi organisasi masyarakat sipil mandiri, dia dapat lebih memengaruhi kebijakan publik untuk kemajuan nahdliyin dan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar: