Jumat, 19 Maret 2010

Fundamentalisme di Jantung NU


Jumat, 19 Maret 2010 | 03:23 WIB

Oleh Ahmad Arif

ideologi Pemahaman Islam yang puritan dan cenderung radikal telah merangsek ke kantong-kantong Nahdlatul Ulama. Tak hanya di wilayah pinggiran, pemahaman itu juga telah menusuk ke jantung NU dengan terjadinya pergeseran pemahaman terhadap Islam di pesantren- pesantren yang menjadi basis gerakan organisasi massa ini.

eberapa pesantren NU, yang sebelumnya menjadi titik pusat penyebaran Islam berwajah damai dan kontekstual dengan lokalitas, telah berubah menjadi tempat penyebaran ideologi garis keras, kaku, dan berpandangan ekstrem karena memahami teks kitab suci secara harfiah. Bahkan, beberapa pesantren NU disebut telah menyuarakan penolakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.

Pergeseran ini, menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, harus dipandang sangat serius karena pesantren adalah roh NU. ”Roh NU, ya, pesantren. Dari pesantren yang kemudian berekspansi ke wilayah-wilayah lain,” katanya.

Nusron Wahid, peserta diskusi, menyebut perubahan ideologi di pesantren itu terjadi karena adanya tradisi menyekolahkan anak-anak kiai untuk belajar tentang Islam ke Haromain, yaitu Mekkah dan Madinah. Tradisi ini sudah ada sejak awal berdirinya NU. Dari sana tersemai tokoh-tokoh kunci di NU. Hampir tak ada pesantren besar NU, misalnya Lirboyo, Ploso, atau Sarang, yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke Haromain. Tradisi itu tidak putus dan berlanjut sampai sekarang.

Masalahnya, faham keagamaan di Haromain telah didominasi Wahabi yang menekankan ”pemurnian” Islam dengan wadah ”negara Islam”. Akibatnya, banyak ”gus” atau anak kiai sekembali ke Indonesia meninggalkan faham yang dianut sejak kecil dan faham orangtuanya. ”Perubahan ini sudah masuk ke jantung NU,” kata Nusron.

Sedangkan Ketua PBNU Masdar F Mas’udi mengatakan, pergeseran pemikiran di beberapa pesantren ini terjadi karena perhatian sebagian nahdliyin (warga NU) terjebak pada aspek fikih dalam artian legal formal, misalnya bagaimana cara beribadah, keagamaan ketimbang nonfikih. ”Saya kira generasi belakangan yang terdidik di Timur Tengah kurang lebih berkutat di wilayah itu,” katanya.

Akibatnya mereka melihat masalah lebih hitam-putih secara diametral dan ini membikin pandangan dunia lebih kaku dan hitam-putih: haram vs halal, sunah vs bidah (sesat), dan sebagainya. ”Padahal, syariah dalam tradisi pemikiran fikih sebenarnya sangat bergantung pada bagaimana menalar teks, dan teks itu sebenarnya sangat lentur. Satu teks yang sama bisa dipahami berbeda, bahkan bisa bertentangan, tergantung dari mana sudut pandangannya,” kata Masdar.

Masdar menyarankan, ke depan harus didorong munculnya cara pandang baru di tubuh nahdliyin, bahwa Islam itu dasarnya bukan pada aspek legal formal, tetapi pada akhlak, yaitu sisi etika dan moralitas. ”Ini yang harus lebih dikembangkan supaya orang Islam tidak selalu berpikir mesti punya negara sendiri, yaitu negara eksklusif karena pemahaman hukum yang eksklusif,” ujarnya.

Azyumardi Azra tak menampik adanya pergeseran pemahaman keagamaan itu. Bahkan, dia menyebut adanya usaha sistematis menguasai, menginfiltrasi, dan menguasai lembaga-lembaga NU. ”Di dalam lingkungan NU muncul tarik-menarik antara kekuatan yang dianggap liberal dan kekuatan yang lebih dianggap konservatif, bahkan mungkin ultrakonservatif,” katanya.

Hal itu, menurut Azyumardi, menyebabkan organisasi lamban merespons masalah-masalah mendasar, khususnya terkait radikalisme dan terorisme. ”Kadang-kadang NU terlalu meremehkan dan tidak mau tegas menghadapinya. Mungkin takut tidak populer, takut sebagian umat Islam tidak akan suka ketika NU berbicara terlalu tegas mengutuk tindakan-tindakan radikal dan teroristik,” ujarnya.

Mengingkari sejarah

Fenomena ini bukan saja menunjukkan ajaran NU mulai kehilangan pengaruh di mata umatnya, tetapi juga pengingkaran terhadap sejarah kelahiran organisasi ini. Pendirian organisasi ini pada 1926 adalah respons terhadap pemahaman Islam garis keras yang muncul dari berkuasanya kelompok Wahabi di Arab Saudi yang menekankan pada ”pemurnian” Islam dengan wadah ”negara Islam”. Ulama NU kemudian menyerukan ajaran yang berbasis pada konteks lokal, lebih lembut, damai, dan menghormati keberagaman.

Kacung Marijan mengatakan, salah satu sumbangan terbesar NU adalah mengembangkan ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah yang kontekstual dengan kondisi lokal. Di dalam ajaran demikian, Islam yang diemban bukan saja ”Islam tengah”, melainkan juga ajaran Islam yang dianut orang Indonesia. Adanya penghormatan terhadap kultur lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam telah menjadi karakteristik penting gerakan NU.

Sejak awal NU berusaha menampilkan wajah Islam di Indonesia sebagai Islam yang dianut orang Indonesia, bukan oleh orang Arab yang menganut Islam. ”Karena pemahaman ini, konteks lokal Islam menjadi sangat kuat,” kata Kacung.

Dialog Islam dengan lokalitas yang dianut NU, menurut mantan Ketua PWNU Jawa Timur Ali Maschan Moesa, diwarisi NU dari ajaran para wali yang sukses menyebarkan Islam di Nusantara secara massal dan damai pada tahun 1400-an. ”Hampir tanpa setetes darah pun mengalir dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara ketika itu,” katanya.

Selain itu, menurut Kacung, berdirinya NU juga didasari semangat nasionalisme untuk keluar dari kolonialisme. ”Ketika lahir, NU bukan bagian dari gerakan Pan-Islamisme karena NU tidak mempertentangkan Islam dengan kebangsaan,” ucapnya.

Inilah yang menjadi dasar penolakan para tokoh NU terhadap negara Islam dan lebih memilih negara Indonesia yang berdasar keragaman atau Pancasila. ”Sejak menjadi pengendali lokomotif NU, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) telah berusaha membawa spirit 1926. Salah satunya membawa NU sebagai gerakan moderat Islam dan kebangsaan,” katanya.

Upaya ini, menurut Kacung, terlihat dari kegigihan Gus Dur untuk menegaskan negara Pancasila merupakan wujud final negara Indonesia, juga peneguhan bahwa negara-bangsa Indonesia merupakan negara-negara plural yang terdiri dari berbagai kelompok. ”Gus Dur dan NU telah menjadi garda depan di dalam peneguhan Islam moderat dan pluralisme,” kata Kacung.

Ruang dialog

Menjadi salah satu tantangan terbesar NU pasca-Gus Dur adalah mempertahankan penyatuan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.

”Bagi Gus Dur, keislaman haruslah selalu terkontekstualisasi dengan realitas lokal melalui proses pribumisasi Islam,” kata Azyumardi.

Warisan NU, khususnya pada era pasca-Gus Dur, menurut Azyumardi, menjadi penting di tengah meningkatnya transnasionalisme gagasan dan gerakan, gejala menguatnya dua bentuk fundamentalisme, yaitu fundamentalisme literal dan fundamentalisme liberal.

Dalam bahasa Zuhairi Misrawi, peserta diskusi, ”Bagaimana mengawal kebinekaan inilah yang menjadi kegelisahan saya saat ini. Apakah ke depan NU akan mengawal kebinekaan ini.”

Azyumardi mengingatkan, peran penting NU ke depan adalah meneguhkan kembali organisasi ini sebagai ”Islam washatiyyah” atau Islam jalan tengah (Islam middle way); tidak ke kanan maupun ke kiri—yang sering disebut sebagian kalangan sebagai fundamentalisme literal pada satu pihak dan fundamentalisme liberal pada pihak lain.

”Meningkatnya transnasionalisme gagasan dan gerakan, serta menguatnya kedua bentuk fundamentalisme dapat menimbulkan perpecahan dan guncangan di tubuh NU,” katanya.

Karena itu, menurut Azyumardi, pimpinan NU di berbagai level seyogianya melakukan pendekatan dan dialog intens dengan kedua belah pihak. Mengalienasi, memarjinalkan, atau menyingkirkan kedua gejala ini dapat kontraproduktif bagi NU dan Khittah 1926.

Tidak ada komentar: