Jumat, 05 Maret 2010

BANK CENTURY Agar Demokrasi Tak Sebatas Hak Angket

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Anggota Dewan memberikan aplaus kepada anggota Fraksi PPP yang memilih opsi C dalam voting terbuka Rapat Paripurna DPR yang membahas penanganan skandal Bank Century, Rabu (3/3).

Jumat, 5 Maret 2010 | 05:51 WIB

OlehNinuk Mardiana Pambudy

Pemungutan suara dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat membahas temuan Panitia Khusus DPR tentang Bank Century, Rabu (3/3), dimenangi suara yang menduga ada penyimpangan dalam pemberian dana talangan dan penyalurannya sehingga harus diproses hukum.

Ada pembelajaran penting dari proses demokrasi dalam penyelidikan yang dilakukan Pansus Century DPR. Yang paling mencolok adalah partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya proses penyelidikan kasus Bank Century—dengan terbukanya media—ternyata berhasil mengawal fungsi hak angket DPR hingga tuntas.

Meskipun partai politik di DPR telah membuat tonggak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia, harus ada keyakinan bahwa suara dalam Rapat Paripurna DPR, Rabu lalu, adalah murni untuk kepentingan rakyat banyak. Sejarah yang baru harus diukir untuk memaknai demokrasi itu sendiri supaya lebih substansial yang hasilnya secara konkret terasa bagi rakyat banyak. Bukan sekadar demokrasi yang memenuhi prosedur, seperti adanya pemilu dan adanya partai politik.

Demokrasi Indonesia sudah dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bukan hanya hak-hak politik dan sipil yang harus dijamin oleh negara, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya.

Bapak bangsa Mohammad Hatta dengan tegas menjelaskan makna demokrasi Indonesia. Bagi Hatta, demokrasi bukan hanya menjamin hak politik warga negara, tetapi negara juga harus menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato III (2002), misalnya, Hatta menyebutkan, penghidupan sosial yang lebih baik harus berdasarkan keadilan sosial untuk mencapai kemakmuran yang merata. Dasarnya sudah diletakkan dalam Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 33 UUD.

Ini berbeda dari demokrasi yang hanya memberikan hak politik. Dalam demokrasi seperti ini, seperti disebut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Robert A Dahl, Demokrasi Ekonomi Sebuah Pengantar, 1992), bila terdapat situasi di mana ada kemungkinan sumber daya ekonomi diubah menjadi sumber daya politik, ketidakmerataan ekonomi yang didukung prinsip hak milik akan dapat menciptakan ancaman terhadap demokrasi, khususnya kebebasan politik. Disebutkan pula, sistem demokrasi tidak serta-merta menghasilkan tatanan ekonomi yang juga bersifat demokratis.

Belajar dari pengalaman kasus Bank Century, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menekankan pentingnya membangun rasa percaya masyarakat kepada pemimpin. Intinya, satunya kata dan perbuatan. Dia mencontohkan, ketika Presiden menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas kerja, yang terjadi adalah penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Contoh lain, bagaimana dapat meyakinkan rakyat telah tercapai kesejahteraan sosial yang adil dan merata bila 45 persen desa masih tergolong tertinggal dan 32,5 juta orang masih miskin, sementara indikator ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan cadangan devisa, positif.

Demokrasi yang ideal, demikian Syafii Maarif, adalah yang berpihak kepada rakyat banyak yang belum terjadi saat ini. ”Baru belajar berdemokrasi karena baru 12 tahun mendapatkan kebebasan berpendapat. Kita harus sabar, tetapi politisi dan pemimpin juga harus mendengarkan sungguh-sungguh pendapat orang banyak yang disuarakan antara lain melalui pers,” kata Syafii Maarif.

Perbaiki asupan

Pembelajaran berharga dari kasus Bank Century, menurut Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Yudi Latif, harus dilihat dari proses demokrasi itu sendiri. Ada keraguan besar di masyarakat tentang kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif dan pasangan SBY-Boediono dalam pemilu presiden tahun lalu karena asupan (input) demokrasinya pun meragukan.

Direktur Eksekutif Reform Institute itu menyebut kekacauan daftar calon, dugaan korupsi dalam pengadaan teknologi informasi, politik uang, serta masa kampanye berkepanjangan dan iklan di media massa yang tidak dibatasi, yang mengakibatkan mahalnya biaya pemilu bagi peserta pemilu, memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang kualitas hasil pemilu.

Kasus Century, demikian Yudi Latif, adalah puncak gunung es dari segala keraguan masyarakat terhadap kandidat parpol yang diduga sebagian besar memanipulasi suara, antara lain menggunakan uang.

”Kasus Century adalah kerugian untuk kita karena sejak awal kita tidak ketat membangun demokrasi dengan soal-soal kesejahteraan rakyat,” kata Yudi. Dia mengingatkan, sila keempat Pancasila mensyaratkan demokrasi politik berada dalam satu tarikan napas dengan demokrasi ekonomi.

Dengan kata lain, ada kesenjangan antara aspirasi untuk melaksanakan yang ideal (demokrasi politik) dan kesejahteraan rakyat banyak (demokrasi ekonomi). Contohnya, pemilihan langsung membebani anggaran pembangunan daerah yang menguras dana untuk pembangunan bagi kesejahteraan rakyat, seperti terjadi di sejumlah kabupaten di Jawa Timur. Begitu juga masa kampanye dan iklan di media massa yang menimbulkan biaya besar dibatasi.

Pembelajaran lain, kebijakan harus memenuhi syarat kemasukakalan (rasionalitas), efisiensi, asas kebebasan, dan asas keadilan. Dalam kasus Century, keputusan, apalagi dalam bidang finansial, tidak dapat diambil hanya bersandar pada alasan psikologis untuk menentukan apakah bail out berdampak sistemik. Dengan demikian, harus ada pengujian bersama semua pemangku kepentingan.

Begitu juga dalam efisiensi, harus ada pengujian bersama semua pemangku kepentingan tentang manfaat dana talangan yang disetujui DPR hanya Rp 1,3 triliun nyatanya menjadi Rp 6,7 triliun.

Dengan keterbukaan tersebut, pemimpin yang dipimpin akan berbagi beban tanggung jawab. Tanpa keterbukaan, rakyat yang akan menanggung beban keputusan para elite. Sejak krisis ekonomi 1998, demikian Yudi, yang diselamatkan hanya sektor perbankan, sementara petani kecil sulit mendapat kredit dan kalau menunggak pinjaman yang sangat kecil nilainya dikejar-kejar petugas.

Kualitas

Ke depan, demokrasi politik dan ekonomi harus berjalan bersama. Syafii Maarif, seperti juga pernah diungkap Hatta, mengingatkan agar para pemimpin dan politisi bersikap jujur, mendukung moral, dan bertanggung jawab kepada rakyat banyak.

Seperti disebutkan Dahl, kriteria bagi demokrasi adalah hak suara yang merata, partisipasi yang efektif agar setiap warga memiliki peluang yang sama dan cukup untuk menentukan pilihannya, pengertian berdasarkan informasi yang sama dan cukup, memiliki kontrol akhir terhadap agenda, dan keinklusifan yang melibatkan semua warga dewasa dan menentukan pilihan.

Dengan demikian, rakyat juga harus belajar untuk tidak lagi memberikan cek kosong kepada pemimpin yang dipilihnya. Karena itu, selama parpol belum mengagendakan perubahan, selama itu juga gerakan jalanan oleh masyarakat sipil, termasuk oleh kelompok intelektual, akan terus terjadi, terutama di negara berkembang yang belum memiliki sistem jaminan sosial yang baik.

Ke depan, Yudi melihat pilihan pada ekonomi kolektif tetap lebih baik bagi Indonesia daripada ekonomi individualistik yang liberal seperti saat ini. Parpol harus menjadi penghubung (interface) antara publik dan kepungan kepentingan individual (bisnis). Bila parpol tidak mampu menjadi instrumen untuk kepentingan kolektif, keputusannya akan bias kepentingan individual.

Karena itu, ke depan asupan demokrasi, yaitu sistem pemilu, seperti pembiayaan untuk kampanye dan iklan, harus dibatasi dengan tegas dan dikaji ulang sistem pilkada langsung. Ketika uang tidak lagi menjadi penentu dalam memenangi suara, dengan sendirinya orang dapat berkompetisi berdasarkan rekam jejak dan prestasinya dan efeknya adalah meningkatkan inisiatif warga.

Tidak ada komentar: