Kamis, 01 Januari 2009

Belajar dari Reformasi China

Oleh I Wibowo

Pada 1994 Shenzhen memang sudah menjelma menjadi sebuah ”keajaiban”. Empat belas tahun kemudian (2008) keajaiban itu semakin membuat orang terkesima. Kota yang berpenduduk 12 juta orang itu menempati peringkat tertinggi dalam pendapatan per kapita (3.000 dollar AS).

Fasilitas kotanya aduhai. Dalam 14 tahun, Shenzhen membangun kereta api bawah tanah, gedung konser yang anggun, perpustakaan umum yang megah, tentu saja gedung dan jalan yang serba mulus. Kota itu bersih, tak ada sampah, tak ada baliho iklan yang berceceran di mana-mana dan mencemari pemandangan. Jangan lupa dua taman kebudayaan yang luas dan indah, Window of the World dan Zhongguo minyu wenhua cun, Taman Kebudayaan Suku-suku China.

Shenzhen memang pantas dipakai sebagai ujung tombak reformasi China karena mulai dari Shenzhen-lah kapitalisme masuk China. Sekaligus juga Shenzhen merupakan model pembangunan China yang berciri state-led. Tentu saja Shenzhen adalah eksperimen sukses China mengadakan ”zona ekonomi khusus”. Kalau Shanghai sering dianggap sebagai ikon keberhasilan pembangunan China, Shenzhen benar-benar adalah ”legenda” model pembangunan China. Sebab, berbeda dari Shanghai yang punya sejarah gemilang pada tahun 1930-an, Shenzhen mulai dari sebuah desa nelayan berpenduduk 3.000 orang. Tak salah kalau KBRI di China pada 12-13 Desember mengadakan seminar ”30 Tahun Reformasi China” di kota yang amat historis itu.

Selama diskusi untuk menguak keberhasilan China, orang cenderung menunjuk kepada keberanian Deng Xiaoping memasukkan sistem pasar dan dengan demikian memasukkan kapitalisme. Tanggal yang biasa ditunjuk adalah 30 Desember 1978, ketika Sidang Pleno III Komite Sentral Partai Ke-11 berakhir dan mengesahkan rencana ”reformasi dan keterbukaan”. Walaupun tak eksplisit, sidang ini diingat sebagai tonggak sejarah yang memberi sinyal dipakainya sistem ekonomi pasar. Tak heran kalau orang segera menyatakan bahwa keberhasilan reformasi China dikaitkan dengan sistem kapitalisme! Seolah-olah kapitalisme telah menyelamatkan China!

Yang banyak orang lupa adalah bahwa reformasi China tidaklah dimulai dari nol. Antara tahun 1949 dan 1978 (30 tahun) China telah mengadakan pembangunan fisik yang mengagumkan. Meskipun mengikuti model Uni Soviet, industri berat ataupun ringan di China telah terjadi.

Namun, yang lebih penting adalah pendidikan. Wajib belajar telah diterapkan sejak tahun 1950-an. Maka, tingkat buta huruf di China pada masa Mao sangat rendah, kurang dari 7 persen. Untuk mendukung usaha ini, Pemerintah China memperkenalkan aksara yang sudah disederhanakan, dalam arti mengurangi jumlah guratan dibandingkan dengan yang dipakai pada masa sebelum 1949.

Kecuali pendidikan, Pemerintah Mao mampu meningkatkan kualitas hidup. Angka harapan hidup meningkat dari 35 tahun (sebelum 1949) sampai ke 70 tahun (1978). Ini berkat sistem kesejahteraan sosial yang diterapkan di China—juga sejak 1950-an—yang menyediakan secara amat murah pelayanan kesehatan, perumahan, listrik, dan air.

Dari sudut sumber daya manusia, China pada awal reformasi 30 tahun lalu sudah memiliki modal yang amat besar. Ketika universitas membuka pintu lagi pada 1979, tak banyak pemuda China yang terhambat dalam proses belajarnya karena buta huruf. Lulusan universitas ini pada gilirannya dapat mengisi kebutuhan produksi ketika investor asing masuk ke China.

Pertumbuhan ekonomi China pada masa Mao (1952-1978) sebenarnya cukup bagus, sekitar 6 persen (Barry Naughton, 1995). Masalah utama yang dihadapi di China pada awal masa reformasi adalah inefisiensi dan bahwa tenaga produktif di China terkekang oleh sistem ekonomi komando. Lulusan universitas, misalnya, ditempatkan oleh negara dan sangat sering tak sesuai dengan bakat ataupun keinginan si mahasiswa. Sistem ekonomi komando dibubarkan dalam arti sesungguhnya ”membebaskan” tenaga produktif itu. Terjadilah semacam ”ledakan” energi yang dengan tepat disalurkan sehingga proses produksi di China mengalami percepatan luar biasa.

Bukan sumber daya alam

China pada hakikatnya adalah negara yang miskin sumber daya alam.

Duta Besar RI untuk China Sudradjat dengan tepat menunjuk kepada keberhasilan China di bidang pendidikan sebagai kunci terpenting reformasi China, terutama pada tahap awalnya. Soal kekurangan sumber daya alam, China dapat menutupnya dengan memperolehnya (impor) dari negara lain.

Yang terjadi di Indonesia justru kebalikannya. Kekayaan alam dieksploitasi sampai habis, sementara pengembangan sumber daya manusia diabaikan. Mungkin ini dapat menjelaskan mengapa reformasi Indonesia selama 30 tahun (selama Orde Baru) tak berkelanjutan. Ketika reformasi kedua diadakan setelah 1998 juga terlihat kecenderungan yang sama.

I Wibowo Ketua Centre for Chinese Studies FIB UI

Tidak ada komentar: