Sabtu, 03 Januari 2009

Politik Uang Akan Dominan

Caleg Berlomba Raih Suara
Sabtu, 3 Januari 2009 | 02:05 WIB 

JAKARTA, KOMPAS - Pada Pemilihan Umum 2009 calon anggota legislatif akan berlomba-lomba meraih suara terbanyak. Hal ini sebagai dampak putusan uji materi Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dengan putusan itu, calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2009 harus meraih suara terbanyak.

Di sisi lain, pemilih masih bingung dengan tata cara pemungutan suara, apakah memilih partai politik atau calon anggota legislatif. Akibatnya, caleg akan kesulitan meyakinkan pemilih untuk memilih mereka.

Hal itu disampaikan anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch, Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh, Jumat (2/1). ”Yang terjadi kemudian, politik uang menjadi dominan. Diperkirakan, jumlah uang yang digunakan untuk hal ini bisa tiga kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2004,” katanya.

Politik uang ini merupakan cara yang digunakan caleg untuk memengaruhi pemilih. Namun, praktik politik uang ini sulit dibuktikan. ”Mungkin memang ada, tetapi kalau diusut sebagai perkara pidana pemilu, sulit dibuktikan,” kata Fahmi.

Sebaliknya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, berpendapat, putusan MK itu tidak akan meningkatkan politik uang. Namun, berpengaruh pada sumber uang yang dibagikan kepada pemilih.

Jika anggota legislatif terpilih berdasarkan nomor urut, uang akan disebarkan dari partai politik kepada pemilih. ”Saat ini dengan suara terbanyak, sebaran uang akan berasal dari caleg. Mereka akan berlomba secara pribadi membagikan uang kepada rakyat,” kata Topo.

Dengan demikian, pelaku politik uang bergeser. Pada Pemilu 2004 pelakunya adalah parpol. Pada Pemilu 2009 pelakunya caleg. Akan tetapi, lanjut Topo, sama seperti pemilu sebelumnya, pidana pemilu semacam ini akan sulit dijerat hukum.

”Problemnya bukan pada koordinasi penanganan perkaranya. Namun, karena klasifikasinya yang tidak jelas. Seperti apa politik uang itu? Apakah caleg yang memberi barang ke sekolah tertentu bisa dibilang sebagai politik uang?” ujar Topo.

Apalagi UU Nomor 10 Tahun 2008 tidak menjelaskan politik uang dengan gamblang. Pasal 286, misalnya, hanya menyebutkan perbuatan pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilih atau memilih peserta pemilu tertentu. (IDR)

Tidak ada komentar: