Kamis, 01 Januari 2009

Tahun 2008, 2009, dan Bagaimana Selanjutnya?

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Tahun 2008 telah kita lalui dengan susah payah, terutama oleh rakyat kecil yang nasibnya masih terombang-ambing antara kepastian dan ketidakpastian masa depan. Jumlah TKI/TKW kita sebagai dampak dari krisis global, puluhan ribu yang harus pulang ke Tanah Air dalam tempo yang sangat dekat ini, sementara lapangan kerja yang tersedia tidak mungkin dapat menampung mereka.

Dengan demikian, kedatangan mereka akan menambah tingkat pengangguran yang memang sudah tinggi. Pengangguran, di mana pun, pasti mengguncangkan pilar-pilar kehidupan sosial secara luas karena orang lapar adalah di antara makhluk yang paling rentan secara fisik dan mental. Pengangguran adalah beban kultur kita. Pelaksanaan bantuan langsung tunai sama sekali tidak akan meringankan beban itu.

Dari kajian saya, sejak kita merdeka sampai hari ini, belum ada sebuah pemerintahan pun yang berhasil menekan angka pengangguran ini secara permanen. Kemerdekaan lebih banyak punya makna bagi mereka yang diuntungkan oleh proses pembangunan, sedangkan bilangannya sangatlah kecil yang bertengger di puncak piramida kelas sosial di Indonesia. Di bawahnya berbarislah rakyat banyak yang pada era terdahulu diminta sabar menantikan rahmat dari trickle down effect (tetesan belas kasihan dari mereka yang ada di puncak piramida).

Pendewasaan politik

Kemudian, tanpa mengaitkannya dengan kualitas politisi kita yang masih jauh dari harapan, ada satu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang patut dicatat pada akhir tahun 2008: membatalkan ketentuan nomor urut caleg sebagai pemenang dalam pemilihan legislatif dan menetapkan prinsip suara terbanyak sebagai gantinya. Ini sebuah keberanian luar biasa dalam upaya mencairkan kebekuan kultur politik selama ini dan akan membuka era baru bagi Pemilu 2009. Keputusan MK ini pasti punya sisi positif-negatif, tetapi bagi perjalanan demokrasi ke depan, sisi positifnya jauh lebih besar. Sisi negatif terutama harus dipikul oleh kader yang tidak populer, sekalipun misalnya telah bekerja siang-malam untuk kepentingan partainya. Pemilu dengan sistem baru ini, yang akan beruntung adalah mereka yang mendapat dukungan luas.

Melalui sistem ini, dinamika persaingan internal dalam partai akan menguat. Di sinilah perlunya proses pendewasaan politik setiap caleg yang untuk Indonesia masih berada pada tahap awal yang mungkin akan memicu ketidakharmonisan internal. Gesekan-gesekan bakal terjadi, tetapi untuk jangka panjang akan mendidik orang untuk semakin sportif dalam menerima kemenangan atau kekalahan. Sportivitas dalam politik sangat diperlukan bagi tegaknya sebuah demokrasi yang kuat dan sehat.

Pengalaman berdemokrasi kita sekian lama, kultur sportif ini masih harus diperjuangkan. Yang biasa berlaku selama ini bukan sportivitas, tetapi kebiasaan hengkang dari partai jika terjadi gesekan, kemudian membentuk partai sempalan baru yang sulit sekali menjadi besar. Ujungnya, atas nama demokrasi, partai-partai tumbuh seperti jamur yang dapat menyedot energi bangsa ini untuk sesuatu yang tidak mendasar. Jargon demokrasi biasa dipakai untuk menutupi nafsu politik kaum elite yang baru hengkang atau pendatang baru yang bersemangat zealot.

Namun, kita tidak boleh menyamaratakan perilaku politik hengkang itu karena ada yang melakukannya dengan pertimbangan dan alasan idealisme perjuangan untuk kepentingan yang lebih besar. Untuk kelompok ini saya sepenuhnya dapat memahami. Kepada mereka, saya sebagai orang tua mengucapkan, ”Selamat berjuang, jangan biarkan stamina spiritual mengendur. Kita telah semakin kehilangan idealisme kebangsaan, padahal itu adalah modal utama kita untuk membawa bangsa ini ke masa depan yang lebih berdaulat dan bermartabat.”

Adapun mereka yang hengkang karena alasan lain, tentu kita ucapkan juga selamat sampai merasakan sendiri betapa kejam dan berlikunya politik itu, lalu merenung untuk introspeksi diri dalam menata karier yang lain. Namun, itu semua adalah risiko politik yang tidak selalu mudah dikalkulasi, bukan?

Dilema demokrasi

Bagaimana dengan tahun 2009, baik dalam kaitannya dengan ranah nasional ataupun ranah global? Untuk masalah domestik, ada dua catatan yang ingin saya turunkan. Pertama, bangsa ini harus selalu diingatkan akan kemungkinan terjadinya bencana alam berupa gempa dan tsunami dahsyat yang dapat menghantam puluhan kota berpenduduk rapat di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Indonesia timur.

Sebagai negara kepulauan yang terbesar di dunia, kita memang sangat rentan terhadap bencana-bencana itu, baik karena dipicu oleh kelakuan rakus manusia maupun karena kehendak alam. Alat peringatan dini untuk menghadapi serba kemungkinan itu masih sangat minim tersedia. Menurut para ahli, jika bencana itu berlaku, jumlah korbannya bisa menjadi lima kali lipat lebih besar daripada korban tsunami Aceh yang telah menelan sekitar 200.000 anak bangsa.

Kedua, pada tahun 2009 kita akan mengadakan pemilu legislatif pada April dan pilpres pada Juli. Bagaimanapun kualitas pemilu itu nanti, masa depan demokrasi Indonesia akan ditentukan oleh hasil kedua peristiwa politik itu. Bagi saya, partai mana pun dan siapa pun nanti yang menjadi pemenangnya, mohon parameter di bawah ini dijadikan bahan pertimbangan. Seperti telah disebut di atas, demokrasi yang kita bangun antara lain adalah untuk menghalau kemiskinan yang masih mendera bangsa ini. Sekiranya dalam jangka waktu lima tahun yang akan datang, kemiskinan itu masih saja ”setia” bersama kita. Berarti, kaum elite kita gagal untuk sekian kalinya menjadikan demokrasi sebagai sistem politik untuk mendekati tujuan kemerdekaan, berupa tegaknya keadilan dan terciptanya kemakmuran yang merata untuk rakyat.

Pemilu dengan biaya tinggi itu jangan dibiarkan gagal lagi dalam membangun demokrasi sebagai alat efektif bagi upaya mencapai tujuan bersama yang telah dirumuskan. Demokrasi yang gagal akan menjadi bumerang yang dapat menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem itu, padahal kita tidak punya sistem lain yang lebih baik. Di sinilah dilema demokrasi itu terletak.

Terakhir, untuk masalah global, saya batasi saja pada perkembangan politik Amerika Serikat dengan kemenangan fenomenal Barack Obama sebagai presiden ke-44. Tak ada pilpres mana pun yang begitu kuat menyedot perhatian publik dunia, kecuali yang baru saja terjadi di sana. Untuk meminjam pendapat Richard Falk, Amerika adalah sebagai satu-satunya negara global pertama sepanjang sejarah. Kekuatan militernya hadir di berbagai pojok Bumi yang strategis. Dengan kemenangan Obama, dimensi global itu semakin dikukuhkan.

Namun, apakah Obama akan berhasil memenuhi janjinya untuk sebuah perubahan fundamental, sikap kita yang terbaik adalah tunggu dan saksikan, sekalipun suara-suara miring akan keberhasilannya mulai bermunculan, terutama dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah Palestina, Afghanistan, dan Irak yang telah cukup menderita akibat ketidakadilan global.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar: