Rabu, 28 Januari 2009

Kutu Politik

Max Regus

Dua artikel dari dua aktivis prodemokrasi diturunkan Kompas secara bersamaan. Pertama, Boni Hargens, dengan artikel Paradoks Demokrasi Permukaan, kedua, Febri Diansyah, dengan artikel Parlemen ”Tukang Bolos”.

Pada artikel pertama, ada pesan teoretik amat kuat untuk membaca politik kontemporer Indonesia. Dan, pada artikel kedua, ada penjelasan signifikan merujuk pada kerangka konseptual sebelumnya.

Singkatnya, kedua artikel itu ingin mengatakan, demokrasi di Indonesia masih ”artifisial”, tidak pernah matang. Kondisi demokrasi demikian memperkuat posisi wakil rakyat yang lebih suka ”bolos” dari gedung terhormat itu. Demokrasi kita memberi keleluasaan bagi para ”tukang bolos” di parlemen. Sebaliknya, parlemen ”tukang bolos” memiliki peran mengucilkan demokrasi dari kematangan.

Amoral

Kedua artikel itu amat benar pengungkapannya. Dan, tidak ada bantahan saat dikatakan, jejak kaki para elite politik kekuasaan di Indonesia tidak pernah meninggalkan ”keadilan” untuk masyarakat, selain parade kehancuran yang menggumpal sebagai ”beban historis”.

David Low dari Centre for the Study of Cartoon and Caricature, University of Kent, Canterbury, pada tahun 1933 membuat sebuah kartun politik menarik. Ia melukiskan demokrasi dengan seekor kuda kurus yang ditunggangi tiga pria gemuk dan seorang lainnya menarik ekor kuda itu. Sementara itu, pada jarak satu meter di depan, ada seekor anjing sedang menyalak. Gonggongan anjing itu ditujukan kepada ketiga pria yang tidak tahu malu menunggangi kuda kurus itu.

Low mengungkapkan, kartun jenaka itu menggambarkan demokrasi yang terlalu dibebani perilaku keji para politikus. Mereka menunggangi demokrasi demi memenangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka tidak peduli ”teriakan” publik. Mereka mengendalikan ”demokrasi” untuk mewadahi keperluan sempitnya.

Amat jelas, pada keadaan seperti ini, yang ada tidak lebih dari sekadar konstruksi kekuasaan tanpa moralitas (sosial-politik) yang produktif untuk kesejahteraan umum. Demokrasi telah dibajak ”korporat politik amoral”. Parlemen ”tukang bolos” adalah kekejian kelompok elite politik dengan karakter seperti ini.

Perusak

Para penunggang demokrasi yang tidak tahu diri ini akhirnya menghancurkan tesis-tesis fundamental demokrasi itu sendiri, seperti kesetaraan, keterbukaan, keadilan, dan kemanusiaan. Tanpa moralitas, mereka hanya menjadi penjagal publik melalui kebijakan prokorupsi masif.

Para penghancur ini berkeliaran di medan politik yang sengaja dibuat tidak untuk mengimplementasikan pendirian asasi demokrasi. Tak dapat disangkal, demokrasi pada gilirannya dianggap sebagai ”aib” bagi rakyat karena hanya menjadi arena perselingkuhan kepentingan antikesejahteraan bersama.

Tidak ada kebanggaan yang bisa diungkapkan dari kenyataan bahwa wakil rakyat suka ”membolos”, padahal seharusnya mereka ”hadir” untuk serius membincangkan nasib rakyat dan masa depan bangsa.

Adalah kesialan besar menyerahkan hak-hak politik kepada mereka yang tidak mampu mendefinisikan jabatan sebagai totalitas dedikasi pada kepentingan rakyat. Demokrasi yang bermain pada permukaan, menyembunyikan dan membesarkan politikus dan calon pemimpin, akhirnya menjadi penghancur bangsa.

Kutu loncat

David Miller (2003) menulis, ”one way to invigorate democracy: Politician Beware!” Politikus harus menunjukkan kearifan dalam seluruh pola hidupnya sehingga menumbuhkan demokrasi yang sehat. Kita tahu, tesis penting ini belum terjadi di Indonesia. Bahkan pada sesi kritis konsolidasi demokrasi pascareformasi satu dekade ini. Politikus kita belum menunjukkan peran yang benar untuk membesarkan demokrasi.

Yang lebih sering terjadi adalah perpindahan elite politik dari rel perjuangan propublik menuju penyesatan antirakyat. Mereka tidak memiliki intensitas politik mengedepankan hasrat publik pada capaian kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan.

Sejauh ini, kita harus membangun proses politik demokratis yang tidak lagi memberi ruang kepada kawanan ”kutu loncat” yang hanya membombardir ladang demokrasi dengan keangkaraannya. Sebaliknya, kita membutuhkan politikus dan calon pemimpin yang tampil seperti ”kutu buku”, yang menekuni buku demi kearifan, kecerdasan, serta kematangan personal dan sosial.

Kita memerlukan sosok ”kutu politik” yang mengakrabi politik demi kebaikan bersama. Yang mengabdikan hidupnya bagi rakyat paling miskin dan melarat. Sosok politikus seperti ini hanya muncul dari ruang ”demokrasi substansial”, bukan ”permukaan” atau artifisial. Barulah kita yakin pasukan ”kutu politik” tidak bakal menjadi ”tukang bolos”.

Max Regus Direktur Parrhesia Institute Jakarta

Tidak ada komentar: