Rabu, 28 Januari 2009

Afirmatif Akan Diperjuangkan


KPU Tidak Berhak Atur Pembagian Kursi

Jakarta, Kompas - Kebijakan afirmatif untuk perempuan harus diperjuangkan. Kelompok Kerja Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Jakarta, Selasa (27/1), berpandangan perlu ditetapkan regulasi penetapan calon terpilih yang memuat substansi roh kebijakan afirmatif pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR/DPRD lewat suara terbanyak.

Masruchah dan Yuda Irlang dari kelompok kerja (pokja) menyebutkan, putusan MK yang menyatakan penetapan calon terpilih mesti dengan suara terbanyak adalah wajah muram bagi gerakan perempuan. Roh kebijakan afirmatif terhadap perempuan menjadi hilang. Pokja berharap agar peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) ataupun peraturan KPU bisa mengembalikan roh itu.

KPU diharapkan bisa berperan aktif dan mengambil tindakan nyata dalam menegakkan semangat afirmasi. Yuda juga menyatakan, Pokja Keterwakilan Perempuan berencana menemui Presiden. ”Kami tidak yakin apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memahami secara jelas kebijakan afirmatif untuk perempuan,” kata Yuda.

KPU berencana memasukkan kebijakan afirmatif untuk perempuan dalam penetapan calon anggota DPR/DPRD terpilih. Jika satu partai politik meraih tiga kursi di sebuah daerah pemilihan (dapil), kursi ketiga diserahkan kepada calon anggota legislatif (caleg) perempuan.

Tidak mendukung

Di Jakarta, Selasa, Sekjen Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Samuel Samson menegaskan, partainya tak mendukung langkah KPU membuat kebijakan afirmatif bagi caleg perempuan. Kebijakan afirmatif itu sebaiknya dilakukan secara internal oleh partai politik.

Menurut Samuel, PKPI yang memiliki caleg perempuan terbanyak dengan persentase 45,8 persen, secara internal memberikan keistimewaan di setiap dapil, meskipun tak seperti direncanakan KPU. Posisi yang strategis diberikan kepada caleg perempuan.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR Lukman Hakim Saifuddin juga mempertanyakan kesesuaian kebijakan afirmatif ala KPU dengan putusan MK. Otoritas KPU dalam membuat regulasi seperti itu pun layak diperdebatkan. Jika nantinya peraturan KPU diuji ke Mahkamah Agung (MA), ketidakpastian bakal berlarut-larut.

”Yang berhak memutus sengketa hasil pemilu adalah MK. Adapun kewenangan menguji peraturan KPU adalah MA, bukan di MK. Tambah ruwet kan?” ujar Lukman.

Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu Yasonna H Laoly (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) menyebutkan, KPU tak memiliki hak mengatur pemberian kursi untuk caleg perempuan. Putusan MK yang bersifat negative legislation tak bisa menciptakan norma. Penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak harus melalui norma UU. Ketentuan menyangkut pemberian kursi bukanlah sekadar aturan teknis karena punya implikasi institusional dan konstitusional sehingga sama sekali berada di luar kewenangan KPU.

Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyebutkan, PKB belum menyikapi dan memilih menunggu keputusan akhir KPU soal kebijakan afirmatif. Yang terpenting adalah kejelasan dasar hukum bagi KPU untuk membuat kebijakan afirmatif untuk caleg perempuan itu. (dik/inu/eki/mhf/ang)

Tidak ada komentar: