Sabtu, 03 Januari 2009

Politik Asketik

Oleh Abdul M Mulkhan

Keserakahan atau ekonomi gelembung menjadi biang kebangkrutan dunia dan rantai krisis Amerika, Eropa, dan Jepang yang kemudian mendera negeri miskin dan berkembang. Kapitalisme (neoliberalisme) yang tumbuh dari etika Protestan dituduh mendorong keserakahan ekonomi gelembung.

Keserakahan juga menjebak praktik demokrasi di Tanah Air yang bisa membuat negeri ini bangkrut. Pertanyaannya, bagaimana memilih caleg, capres, dan birokrat yang bebas syahwat kuasa dan keserakahan sehingga lebih mendahulukan kepentingan rakyat? Akan lahirkah pelaku ekonomi, intelektual, pemimpin gerakan keagamaan yang lebih memihak mereka yang terpinggir oleh gelombang dahsyat modernisasi?

Politik citra (saat seseorang yang tak dikenal didandani sesuai hasil survei tentang gambaran ideal seorang pemimpin, bukan kemampuan aktualnya) bisa membuat praktik demokrasi kehilangan moral asketiknya. Iklan partai, calon presiden/wakil presiden, dan calon legislatif di setiap jengkal waktu semua stasiun televisi dan baliho terpampang di sepanjang jalan kota hingga desa miskin dengan sekolah yang hampir roboh.

Sayangnya, elite gerakan keagamaan secara sadar ikut menjebakkan diri dalam ritual citra, larut dalam jaring kekuasaan hedonis. Muncul berbagai model gerakan spiritual yang unik, seperti Kerajaan Tuhan Lia Eden, peramal nasib, dan dukun politik.

Berbagai situasi kritis di atas memunculkan ide ”pemurnian” atau penyadaran nilai autentik asketisme dalam ekonomi dan politik, juga keagamaan. Suatu tafsir baru fungsi sejarah agama-agama dalam praktik kehidupan sosial seperti pengemban lahirnya etika Protestan pada masa lalu. Banyak orang memandang usaha demikian sebagai utopia atau katarsis saat banyak orang kehilangan harapan akan lahirnya kehidupan yang lebih etis dan humanis.

Paradoksal

Triliunan rupiah yang dihabiskan partai, capres, cawapres, dan caleg untuk belanja berbagai jenis iklan menjelang Pemilu 2009 bak sinterklas paradoksal dengan PHK besar seperti diramalkan para ahli yang bakal berlangsung pada awal tahun. Pesta artis bisa menghabiskan miliaran rupiah. Wakil rakyat dan penegak hukum mengorupsi miliaran rupiah. Namun, petani masih berebut pupuk, ibu-ibu antre minyak tanah atau gas, tewas berebut santunan puluhan ribu rupiah, bunuh diri bersama anak atau suami akibat impitan ekonomi tak tertanggungkan.

Seperti pesan Natal Sri Paus bahwa sikap keserakahan manusia akan menjatuhkan dunia (Kompas, 26/12/2008), asketisme dalam etika Protestan, embrio peradaban Barat modern, perlu diaktualkan kembali dalam formula berbeda. Asketisme politik saat suatu tindakan politik dilakukan untuk meraih cita-cita ideal pada masa depan harus diukur dengan prestasi riil yang bisa dinikmati rakyat banyak. Perilaku demikian berlawanan dengan kecenderungan anggota DPR(D)/DPD, pejabat, dan penegak hukum yang lebih mendahulukan terpenuhinya fasilitas jabatannya, mengabaikan kepentingan publik warga yang harus dilayani.

Ironisnya, elite keagamaan yang mestinya menjadi penjaga moral, tergoda syahwat kekuasaan atau terjebak ”keserakahan surgawi”. Semakin jarang intelektual (ulama kampus, meminjam istilah teman) yang mampu bertahan pada penderitaan ”suci”, malah larut dalam ritual hasrat kekuasaan. Muncul kecenderungan pengingkaran peran negara dan keagamaan ketika doktrin perlindungan, pemenuhan, atau pelayanan kepentingan warga menjadi barang asing. Capres, cawapres, caleg, dan elite partai sibuk membujuk rakyat pemilih dengan segala cara, menebar pesona dan janji yang dilupakan begitu pemilu usai.

Kontrak politik

Banyak pihak yang khawatir pembengkakan jumlah pemilih yang tak menggunakan hak pilih (golput) kemudian mengusulkan agar MUI mengeluarkan fatwa haram bagi tindakan golput itu. Situasi demikian bersama krisis ekonomi dunia semestinya menyadarkan semua pihak mengkaji ulang dan menyusun kontrak politik guna memulai tahun 2009 berbasis nilai baru yang lebih asketik. Perdebatan klasik kelahiran teori etika Protestan Max Weber, khususnya tentang aspek asketik penempatan dunia kini yang riil sebagai ajang karya surgawi, penting diingat kembali.

Di sisi lain, konflik pilkada di berbagai daerah mudah disulut sentimen SARA yang bisa menyebabkan kekacauan sosial yang lebih rumit menjelang atau pasca-Pemilu 2009. Kini dibutuhkan kehadiran sesosok pemimpin yang bersedia jadi semacam ”martir” bangsa dan rakyatnya. Pemimpin yang mau berkorban dengan tak mengambil fasilitas jabatan yang menjadi haknya agar bisa mendahulukan kepentingan orang (ke)banyak(an) dan kesejahteraan wong cilik. Dunia merindukan kehadiran pelaku politik asketis yang mampu mengendalikan syahwat keserakahan material. Mereka adalah politisi bernapas panjang yang bekerja keras bukan bagi keuntungan material jangka pendek, tapi keuntungan spiritual dan universal kemanusiaan yang mungkin baru bisa dinikmati generasi berikut.

Kita rancang ”takdir” 2009 sebagai sejarah kelahiran ketuhanan baru yang bebas hasrat kuasa dalam asketisme politik.

Abdul M Mulkhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar: