Minggu, 27 Desember 2009

nilah Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas (3)

INILAH.COM, Jakarta - Inilah cuplikan halaman 3 dari buku Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century, yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, diterbitkan oleh Galang Pers, dilaunching Hari Rabu (23/12) di Yogya dan ditarik dari peredaran hari Sabtu (26/12).

Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.

Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta.

Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Explo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai-maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.

Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM.

Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis,“PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).

Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.

Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis.

Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab.

Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya

Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Explo.

Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama.

Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center.

Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat,

mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009).[bersambung/iaf/ims

Inilah Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas (2)


INILAH.COM, Jakarta - Inilah cuplikan halaman 2 dan 3 dari buku Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century, yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, diterbitkan oleh Galang Pers, dilaunching Hari Rabu (23/12) di Yogya dan ditarik dari peredaran hari Sabtu (26/12).

Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998.

Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar.

Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: Haque, 2009; Inilah.com, 25 Febr 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).

BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS

Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas?

Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48).

Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009).

Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun.

Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49).

Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara.

Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101).[bersambung/iaf/ims

Inilah Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas (1)



(istimewa)

INILAH.COM, Jakarta - Buku ini ditulis oleh George Junus Aditjondro. Judul lengkapnya: Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century. Dilaunching hari Rabu (23/12) di Yogya. Hari Sabtu (26/12), buku yang diedarkan melalui jaringan Toko Buku Gramedia ini ditarik dari peredaran. Inilah cuplikan halaman pertama buku ini.

“Apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus,rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan….

Sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S Ryanto dan Chandra M Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya.

Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI.

Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009.[bersambung/ims]

Rabu, 23 September 2009

Menakar Keyakinan pada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang Baru


Rabu, 23 September 2009 | 02:53 WIB

Suwardiman

Beban berat menanti anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang baru. Tugas yang dipikul sebagai representasi rakyat di lembaga perwakilan kian berat di tengah citra buruk yang telanjur melekat pada lembaga legislatif itu. Keyakinan publik terhadap kiprah anggota Dewan yang baru pun cenderung lemah menjelang pelantikannya pekan depan.

Tingkat keyakinan publik yang rendah terhadap anggota legislatif yang terpilih untuk periode 2009-2014 ini mencerminkan lemahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga itu. Berbagai sorotan atas sejumlah kasus yang melibatkan anggota DPR selama lima tahun terakhir tampaknya memberi dampak bernuansa pesimistis pada anggota DPR baru yang akan dilantik pada 1 Oktober 2009.

Lebih dari separuh responden yang dijajaki pendapatnya, 15-16 September lalu, menyatakan kegamangannya pada elite politik yang akan menduduki kursi di Senayan bulan depan. Sebagian besar responden meragukan anggota Dewan baru akan bekerja lebih baik daripada anggota sebelumnya.

Sikap apatis pada anggota DPR baru juga ditunjukkan lewat ketidakpedulian mereka pada latar belakang wakil rakyat yang terpilih untuk masa lima tahun ke depan itu. Tingkat pengenalan publik terhadap anggota legislatif yang baru cenderung rendah. Lebih dari 60 persen responden menyatakan tak tahu latar belakang anggota legislatif yang mereka kenal, baik dari sisi pendidikan, pekerjaan, atau organisasinya. Rendahnya pengenalan publik ini bisa jadi merupakan faktor yang menggiring rendahnya tingkat keyakinan publik terhadap mereka.

Respons pesimistis publik terhadap anggota Dewan periode mendatang sebenarnya tak jauh berbeda dengan respons yang diberikan publik lima tahun lalu saat anggota DPR periode 2004-2009 akan dilantik. Hasil jajak pendapat yang dilakukan September 2004 menyimpulkan lemahnya tingkat keyakinan publik pada anggota DPR yang baru terpilih.

Lemahnya harapan publik saat itu terutama ditujukan pada aspek moral dan mentalitas anggota Dewan. Sebanyak 58 persen responden saat itu menyatakan ragu anggota DPR yang baru akan mampu menghindarkan diri dari perilaku korupsi. Hanya 28 persen yang yakin anggota DPR yang baru akan mampu menahan diri dari korupsi.

Keraguan publik itu terbukti. Deretan panjang korupsi hingga skandal moral, seperti beredarnya video perselingkuhan yang melibatkan anggota Dewan, memperburuk citra DPR di mata publik. Publik pun menunjukkan sikap apatisnya dengan tak menaruh banyak harapan pada anggota Dewan.

Belum lagi soal kedisiplinan anggota parlemen dalam mengikuti sidang yang membahas masalah strategis di negeri ini. Seperti banyak disiarkan berbagai media, bangku kosong dalam sejumlah rapat di DPR sepanjang periode 2004-2009 kerap terjadi. Pada rapat sidang paripurna pertama pada awal tahun ini, 19 Januari lalu misalnya, pembukaan masa sidang setelah reses sebulan hanya dihadiri 351 orang. Ini berarti 199 orang tak hadir alias mangkir.

Di penghujung masa jabatannya, aksi mangkir anggota DPR pun semakin menjadi-jadi. Rapat paripurna dalam rangka ulang tahun ke-64 MPR/DPR akhir Agustus lalu jadi fakta paling mutakhir. Pada kesempatan itu, anggota DPR yang hadir sejak awal sidang hanya sekitar 160 orang atau kurang dari 30 persen dari total 550 anggota. Demikian juga saat digelar rapat panitia khusus yang membahas Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer, hanya 13 dari 50 anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU itu yang hadir.

Menjelang akhir masa jabatan bulan depan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja DPR periode 2004-2009 justru mencapai titik paling rendah. Dalam jajak pendapat sebelumnya yang diselenggarakan pada 2-3 September 2009, sebanyak 70 persen responden menyatakan kekecewaannya pada kinerja DPR dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Sebanyak 63 persen mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja DPR dalam mengontrol kerja pemerintah. Sementara 60 persen juga menyatakan kekecewaan atas kinerja DPR dalam membuat dan mengesahkan UU.

Meskipun tetap menaruh harapan besar pada mereka, reaksi pesimistis lebih kuat mewarnai penilaian publik. Menyambut anggota Dewan yang akan segera dilantik, misalnya, sebanyak 55,9 persen responden meragukan perilaku anggota Dewan yang baru nanti akan semakin disiplin.

Makin pesimistis

Anggota Dewan yang baru dipaksa bekerja dalam situasi buruknya citra lembaga saat ini. Padahal, di antara anggota legislatif pilihan rakyat itu, mayoritas adalah wajah baru (74 persen). Anggota Dewan lama yang terpilih kembali untuk periode lima tahun ke depan sekitar 26 persen dari total 560 wakil rakyat itu.

Respons pesimistis publik menyambut lembaga legislatif periode 2009-2014 ini cenderung kuat. Padahal, kualifikasi anggota DPR periode yang baru ini lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Proporsi anggota Dewan berusia muda dan berpendidikan tinggi menguasai kursi DPR kali ini. Sebanyak 66 persen dari anggota Dewan periode mendatang adalah berusia kurang dari 50 tahun.

Latar belakang pendidikan mayoritas anggota Dewan periode 2009-2014 juga lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Anggota Dewan separuhnya (50 persen) berpendidikan sarjana (S-1), 41 persen lainnya berpendidikan pascasarjana (S-2/S-3). Hanya kurang dari 10 persen yang berpendidikan SLTA atau diploma.

Komposisi anggota Dewan berdasar latar belakang pendidikan dan usia itu tidak cukup untuk meyakinkan publik bahwa elite politik itu akan bekerja lebih baik dari pendahulunya.

Publik berpendapat, kualitas pendidikan anggota Dewan tak berbanding lurus dengan mentalitas mereka. Sebanyak 69,8 persen responden menganggap tingkat pendidikan anggota Dewan tidak akan menjamin semangat dalam menghindari suap dan korupsi. Demikian juga soal kejujuran dalam mengemban tugas sebagai wakil rakyat, menurut 63,7 persen responden tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan responden.

Meningkatnya penilaian negatif terhadap kiprah anggota Dewan selama ini adalah artikulasi dari kekecewaan publik terhadap elite politik yang kian hari seolah semakin meninggalkan rakyat. Sepak terjang sebagian anggota Dewan selama ini, yang seharusnya mampu menjadi representasi rakyat, justru sebaliknya, mempertontonkan kebobrokan elite di negeri ini.

Menggantang kinerja DPR sesungguhnya tidak hanya sebatas mengukur bekerjanya fungsi dalam setiap instrumen yang ada di lembaga itu. Lebih dari itu, apa yang dihasilkan dan dilakukan anggota DPR seharusnya adalah cerminan dari kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Sayangnya, harapan itu sudah dipupus dengan kemegahan rencana pelantikan wakil rakyat yang akan menghabiskan anggaran sekitar Rp 11 miliar pekan depan. (LITBANG KOMPAS)

Demokrasi Krisis Kontemplasi


Rabu, 23 September 2009 | 02:59 WIB

Boni Hargens

Di awal bukunya, Deepening Democracy in Indonesia? (2009), Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto mengajukan pertanyaan kritis, apakah pemilu langsung langkah menuju konsolidasi demokrasi? Apakah suara yang didapat langsung dalam pemilu menjamin demokrasi berkembang?

Keduanya juga mengutip skeptisisme Donald Emmerson (2001) terkait demokrasi di Asia, apakah kehendak mayoritas dalam pemilu mencerminkan demokrasi atau apakah ”aturan hukum” menentukan demokrasi.

Kesimpulan mereka, mekanisme pemilu langsung secara efektif tidak mendorong upaya konsolidasi demokratisasi, tetapi malah menambah kerumitan dalam pelaksanaan kekuasaan dari tingkat pusat hingga daerah. Legitimasi yang didapat langsung digunakan secara keliru. Maka, benar tesis Taylor (1996) tentang dua kemungkinan makna pemilu. Selain institusi esensial demokrasi, pemilu juga sebuah pertunjukan. Pemilu sebetulnya dimenangkan oleh para sponsor yang bermain di balik layar dan rakyat hanya penonton pasif. Poin terakhir Taylor sudah menjadi pandangan umum tentang demokrasi kita.

Ihwal koalisi

Kini banyak orang bingung mengapa konstelasi politik sesudah pilpres tidak menarik. Faksi-faksi politik yang bersaing tiba-tiba bersinergi dalam koalisi yang sulit dijelaskan bentuk dan orientasinya. Bahkan, PDI Perjuangan yang dipandang sebagai ikon oposisi (2004-2009) diduga mendapat kursi di kabinet SBY-Boediono (2009-2014). Gerindra tidak ketinggalan.

Dalam politik, berbagi kekuatan itu hal wajar. Namun, menjadi tidak wajar jika bagi-bagi kue kekuasaan tak mempertimbangkan etika. Demokrasi seolah hanya prosedur, yang paling utama bagaimana prosedur dipenuhi.

Padahal, demokrasi bukan sekadar struktur. Demokrasi mendapat makna substansial saat postulat moral tidak dicabut dari proses pelaksanaannya. Itulah roh demokrasi (Larry Diamond, 2008). Tanpa kejujuran, komitmen, dan semangat pengabdian, demokrasi adalah jasad mati. Dalam konteks inilah politik bisa berubah menjadi pasar. Yang ada hanya perdagangan kepentingan dan semua ”manusia politik” menjadi pragmatis.

Kita tak berkehendak mengabaikan maksud baik di balik koalisi besar. Betul, koalisi besar akan menjamin stabilitas sebuah pemerintahan. Presiden akan dengan mudah mengoptimalkan hak prerogratifnya, terutama dalam menentukan formasi kabinet dan mengukur kinerja pemerintahan ke depan. Namun, kita tak bisa menafikan fakta, ketika mayoritas kekuatan partai di parlemen bersatu, fungsi pengawasan akan mandul.

Kita sulit mengharap parlemen tampil sebagai kekuatan pengimbang. Mungkinkah demokrasi bekerja di parlemen dalam situasi macam ini? Persis skeptisisme ini yang mengganggu imajinasi kolektif masyarakat terkait wajah demokrasi Indonesia lima tahun ke depan.

Selain parlemen mandul, koalisi besar membuka peluang lahirnya otoritarianisme model baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Saat kontrol terhadap pemerintah melemah, ada kontingensi luas bagi pemerintah untuk menjadi otoriter yang diperhalus Asrul Sani, pemerintah dominan. Otoritarianisme tidak selalu telanjang seperti dalam gambaran klasik pemimpin berdiri dengan senjata, lalu memerintah, yang dengan mudah diterjemahkan sebagai ”hukum”. Sosok otorianisme juga bisa halus. Di permukaan, pemimpin tidak mengandalkan senjata atau mengatur pemerintahan secara monolitik. Kritik tetap berjalan selayaknya demokrasi normal. Akan tetapi, di balik kritik dan diskursus, diam-diam pemerintah dengan segala kekuatannya mengatur pemerintahan secara monolitik. Kritik dan kontrol hanya sistem panoptik yang mengelabui kesadaran publik. Bagaimanapun halus wajahnya, karakter kekuasaan macam ini tetap otoritarian.

Simalakama

Sepertinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada di tengah dilema simalakama. Di satu sisi, jika tak membentuk koalisi besar, ada peluang pemerintah tidak fokus bekerja karena harus menghadapi aneka tekanan politik, berapa pun skalanya. Bagi Partai Demokrat (PD), koalisi besar memudahkan upaya membangun kerja sama politik dengan partai-partai lain di parlemen dan pemerintahan. Ini model berpikir integralistik yang cenderung tidak percaya pada pertentangan sebagai proses menuju pematangan.

Di sisi lain, koalisi besar sebenarnya identik dengan memelihara macan. Bisa saja SBY diatur balik oleh elite partai yang bercokol dalam kabinet. Lalu Demokrat dikepung kekuatan-kekuatan politik di tubuh koalisi dalam Pemilu 2014. Sejarah berulang, menteri yang mundur di tengah jalan menjadi jawara di Pemilu 2014.

Krisis kontemplasi

Secara kasatmata, koalisi besar membingungkan masyarakat politik. Mengapa elite mudah berubah dalam sekejap? Berpolitik seolah hanya urusan mencari peluang. Lalu dengan gampang inkonsistensi dirasionalisasi dengan alasan ”politik adalah strategi”. Strategi untuk siapa? Motifnya apa? Jika strategi untuk sekadar berkuasa dan motifnya keuntungan parsial, maka itu bukan politik dalam makna asali (Arendt, 1948). Politik macam itu refleksi sebuah pragmatisme palsu. Saat itulah, dalam bahasa Diamond (2008), roh demokrasi mengalami kematian mutlak.

Umumnya demokrasi yang gagal secara substansial terkait elite politik yang tak mampu mentransendensi makna kekuasaan dari sekadar duduk di kursi dengan sejumlah kewenangan menjadi sesuatu yang mengandung pengabdian, komitmen, dan tanggung jawab. Tak mampu berkontemplasi, bermenung. Padahal, (jika sepakat) berkuasa bukan untuk bersenang-senang. Dibutuhkan permenungan agar bisa bekerja sebagai ”manusia politik” yang sebenarnya, bukan sebagai pemburu rente yang dalam situasi tertentu mengambil rupa sebagai ”leviathan”.

Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia

Sabtu, 22 Agustus 2009

KOMPAS cetak - SBY Perlu Terus Terang

KOMPAS cetak - SBY Perlu Terus Terang: "SBY Perlu Terus Terang
Jaleswari: Mungkin Ancaman Teramat Genting

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diminta transparan kepada masyarakat soal seberapa serius ancaman terorisme yang ada di Indonesia sekarang ketimbang bersikeras ingin melibatkan militer secara aktif dalam menangani terorisme.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramowardhani, Jumat (21/8), dengan penjelasan seperti itu, masyarakat paham dan mampu menyiapkan diri menghadapi kondisi dan gradasi keadaan bahaya sebenarnya, yang riil terjadi sekarang terkait ancaman terorisme tadi."

KOMPAS cetak - Calon Anggota Legislatif Minta KPU Pakai Putusan MA

KOMPAS cetak - Calon Anggota Legislatif Minta KPU Pakai Putusan MA: "Calon Anggota Legislatif Minta KPU Pakai Putusan MA

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:18 WIB

Jakarta, Kompas - Sebanyak 115 calon anggota legislatif yang tergabung dalam Forum Komunikasi Caleg Lintas Partai Politik meminta Komisi Pemilihan Umum menggunakan putusan Mahkamah Agung terkait pembagian kursi tahap II dan III untuk Dewan Perwakilan Rakyat.

Mereka meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persoalan pembagian kursi itu."

KOMPAS cetak - Tanpa "Oposisi", Makna Hilang

KOMPAS cetak - Tanpa "Oposisi", Makna Hilang: "Tanpa 'Oposisi', Makna Hilang
Pemerintahan Berpotensi Sulit Dikontrol

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:23 WIB

Jakarta, Kompas - Kerekatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan Partai Demokrat bisa riskan untuk keberlangsungan demokrasi Indonesia. Jika PDI-P masuk ke koalisi pemerintahan Yudhoyono, demokrasi Indonesia bisa berjalan tanpa kontrol dan hanya akan mengembalikan otoritarianisme.

Ketua Pedoman Indonesia M Fadjroel Rachman, Jumat (21/8), menegaskan, demokrasi tanpa oposisi adalah ”demokrasi kuburan”, yang sunyi senyap tanpa kritik dan tanpa program alternatif. Masalah terbesar bagi ”oposisi” di parlemen adalah tidak adanya undang-undang tentang hak dan kewajiban sebagai oposisi, termasuk kewajiban membuat kabinet bayangan."

KOMPAS cetak - Yudhoyono: Kabinet Berisi Orang-orang Bersih

KOMPAS cetak - Yudhoyono: Kabinet Berisi Orang-orang Bersih: "Yudhoyono: Kabinet Berisi Orang-orang Bersih

Sabtu, 22 Agustus 2009 | 03:23 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden terpilih 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan dua bulan waktu masa transisi pemerintahan untuk membentuk kabinet. Yudhoyono menjanjikan, anggota kabinet mendatang akan berisi orang-orang yang kompeten, bersih, jujur, dan penuh dedikasi dari mana pun asalnya.

”Akan dipilih yang terbaik dan profesional dari semua kalangan, baik dari partai politik atau nonpartai politik,” ujar Yudhoyono dalam pidato penerimaan di Jakarta International Expo, Kemayoran, Kamis (20/8) malam."

Kamis, 20 Agustus 2009

KOMPAS.Com - Pengetahuan Sejarah Teroris Harus Diluruskan

KOMPAS.Com - Pengetahuan Sejarah Teroris Harus Diluruskan: "Pengetahuan Sejarah Teroris Harus Diluruskan
/
Artikel Terkait:

* Sadarkan Teroris Melalui Komunikasi yang Baik
* Inilah Sosok Bagus, Buronan Teroris Itu
* Presiden: Hati-Hati Sebut Polri Langgar HAM soal Terorisme
* Salah Sangka soal Teroris, Aparat Desa Sidokumpul Sesalkan Pers
* Kenapa Indonesia Digandrungi Teroris?

Kamis, 20 Agustus 2009 | 16:11 WIB

DEPOK, KOMPAS.com - Para teroris keliru dalam memahami sejarah peradaban. Selama ini mereka meyakini bahwa negara-negara barat adalah musuh Islam yang harus dihancurkan. Padahal, dalam sejarah umat Islam senantiasa hidup dalam kedamaian dan tidak pernah melakukan teror."

KOMPAS cetak - Bank BUMN Paling Agresif

KOMPAS cetak - Bank BUMN Paling Agresif: "Bank BUMN Paling Agresif
Usaha Mikro Butuh Pelatihan

Kamis, 20 Agustus 2009 | 04:52 WIB

Jakarta, Kompas - Kelompok bank berstatus badan usaha milik negara merupakan kelompok yang paling gencar menyalurkan kredit mikro atau kredit dengan plafon di bawah Rp 50 juta. Pertumbuhan kredit mikro kelompok bank ini mencapai 22 persen dalam setahun terakhir.

Berdasarkan data Bank Indonesia, posisi kredit mikro kelompok bank BUMN per akhir Juni 2009 mencapai Rp 109,7 triliun atau 21,3 persen dari total kredit bank BUMN."

KOMPAS cetak - Reformasi Birokrasi Selesai 2011

KOMPAS cetak - Reformasi Birokrasi Selesai 2011: "Reformasi Birokrasi Selesai 2011

Kamis, 20 Agustus 2009 | 03:13 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, program reformasi birokrasi telah dan sedang dilaksanakan secara bertahap. Program itu dapat diselesaikan untuk keseluruhan kementerian dan lembaga pada tahun 2011.

Secara bersama dan bertahap, reformasi di tingkat pemerintahan daerah juga harus mulai dilakukan dengan terencana, terorganisasi, dan berkesinambungan."

KOMPAS cetak - Pemerintah Harus Sistematis

KOMPAS cetak - Pemerintah Harus Sistematis: "Pemerintah Harus Sistematis
Ketegasan Yudhoyono Dibutuhkan untuk Jaga Koalisi Pendukungnya

Kamis, 20 Agustus 2009 | 03:14 WIB

Jakarta, Kompas - Tantangan di depan bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono adalah menjalankan pemerintahan secara sistematis, sesuai aturan, dan tertata baik. Masalah yang dihadapi pemerintah adalah masih menguatnya semangat sentralisasi."

Gmail - [IDOM - Indonesia] Statemen Solidaritas dari IMT kepada Warga Dusun Suluk Bongkal - guslank@gmail.com

Gmail - [IDOM - Indonesia] Statemen Solidaritas dari IMT kepada Warga Dusun Suluk Bongkal - guslank@gmail.com: "[IDOM - Indonesia] Statemen Solidaritas dari IMT kepada Warga Dusun Suluk Bongka"

Rabu, 19 Agustus 2009

KOMPAS.Com - Presiden Berkisah tentang "Ikan", "Kail", dan "Perahu"

KOMPAS.Com - Presiden Berkisah tentang "Ikan", "Kail", dan "Perahu": "Presiden Berkisah tentang 'Ikan', 'Kail', dan 'Perahu'
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi
/
Artikel Terkait:

* Presiden: Pembangunan untuk Semua
* Pidato di DPD, Pidato Terakhir SBY di Akhir Masa Jabatan
* Hari Ini, Giliran DPD Dengarkan Pidato SBY

Rabu, 19 Agustus 2009 | 08:58 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Suhartono

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah menjalankan berbagai program prorakyat yang dirancang dengan berbagai tingkatan kemampuan masyarakat. Program-program itu, diibaratkan Presiden, ada yang seperti 'ikan', 'kail', dan 'perahu'."

KOMPAS.Com - Hasyim Muzadi "Ogah" Jadi Ketua PBNU Lagi

KOMPAS.Com - Hasyim Muzadi "Ogah" Jadi Ketua PBNU Lagi: "Hasyim Muzadi 'Ogah' Jadi Ketua PBNU Lagi
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Hasyim Muzadi
/
Artikel Terkait:

* Ketua PBNU Siap 'Nganter' jika Ada Kader Mau Jadi Menteri
* Hasyim Muzadi: Penuntasan Bom Minim Koordinasi
* Ketua PBNU: Pilkada Langsung Dihapus Saja
* Hasyim Muzadi Tak Akan Nyalon sebagai Ketua PBNU
* Hasyim Muzadi: Tiru Pemilu Jurdil Zaman Mega

Rabu, 19 Agustus 2009 | 15:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — KH Hasyim Muzadi menegaskan tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar NU di Makassar, Januari 2010. 'Saya tidak mencalonkan lagi sebagai ketua umum,' kata Ketua Umum PBNU itu kepada wartawan, saat acara launching Muktamar ke-32 NU di Jakarta, Rabu (19/8)."

Selasa, 18 Agustus 2009

Situs Berita Rakyat Merdeka

Situs Berita Rakyat Merdeka: "64 Tahun Merdeka, Rakyat Masih Miskin!"

Senin, 17 Agustus 2009

Minggu, 16 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Terorisme dalam "Reality Show"

KOMPAS cetak - Terorisme dalam "Reality Show": "Terorisme dalam 'Reality Show'"

Republika Online - Wajah Kabinet

Republika Online - Wajah Kabinet: "Wajah Kabinet"

Republika Online - Noordin dan Siaran Langsung Televisi

Republika Online - Noordin dan Siaran Langsung Televisi: "Noordin dan Siaran Langsung Televisi"

Republika Online - Agen Perubahan dari Generasi Muda

Republika Online - Agen Perubahan dari Generasi Muda: "Agen Perubahan dari Generasi Muda"

Republika Online - Media Didesak Lebih Hati-hati

Republika Online - Media Didesak Lebih Hati-hati: "Media Didesak Lebih Hati-hati"

Republika Online - Tokoh Muslim Kecam Pemberitaan Terorisme

Republika Online - Tokoh Muslim Kecam Pemberitaan Terorisme: "Tokoh Muslim Kecam Pemberitaan Terorisme"

detikNews : situs warta era digital | Ba'asyir Bantah Dirinya Ajarkan Islam Garis Keras

detikNews : situs warta era digital | Ba'asyir Bantah Dirinya Ajarkan Islam Garis Keras: "Ba'asyir Bantah Dirinya Ajarkan Islam Garis Keras"

detikNews : situs warta era digital

detikNews : situs warta era digital: "Isu Kantor Dagang Israel di Indonesia
Majelis Dzikir SBY Tuding Abu Bakar Ba'asyir Gegabah"

detikNews : situs warta era digital | Menang Pilpres, GPS Siap Kawal SBY-Boediono

detikNews : situs warta era digital | Menang Pilpres, GPS Siap Kawal SBY-Boediono: "Menang Pilpres, GPS Siap Kawal SBY-Boediono"

detikNews : situs warta era digital | KPU Tegaskan Takkan Ubah Penghitungan Kursi DPR Tahap 2

detikNews : situs warta era digital | KPU Tegaskan Takkan Ubah Penghitungan Kursi DPR Tahap 2: "KPU Tegaskan Takkan Ubah Penghitungan Kursi DPR Tahap 2"

Sabtu, 15 Agustus 2009

VIVANEWS - VIDEO - Setiawan Djody Datangi KPK

VIVANEWS - VIDEO - Setiawan Djody Datangi KPK: "Kamis, 16 Oktober 2008, 16:11 WIB
Setiawan Djody Datangi KPK"

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro: "Setiawan Djody Datangi KPK"

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro: "Setiawan Djody Datangi KPK"

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro: "Pasca Rapat DPR-KPK, Pemberantasan Korupsi Terancam?"

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro

VIVANEWS - KORUPSI - Tuduhan Suap Dua Pejabat KPK: Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro: "Rekaman Suara Mirip Antasari-Anggoro"

VIVANEWS - KORUPSI - Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki: Tak Solid, KPK Mudah Diserang

VIVANEWS - KORUPSI - Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki: Tak Solid, KPK Mudah Diserang: "Tak Solid, KPK Mudah Diserang"

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel: "Inilah Data Diri Sang Perekrut Bomber"

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel: "SJ Indoktrinasi Para Bomber di Curug Nangka"

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel: "Perekrut Bomber Seorang Tukang Bekam"

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel: "Keluarga Noordin M Top Terus 'Ditempel'"

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel

VIVANEWS - NASIONAL - Hubungan Indonesia-Israel: Laskar Muslim Lacak Kantor Dagang Israel: "Mengapa Gerak Noordin Sulit Terendus"

VIVANEWS - NASIONAL - Penggerebekan Jaringan Noordin M Top: "Belum Ada Kabar Dana Noordin dari Malaysia"

VIVANEWS - NASIONAL - Penggerebekan Jaringan Noordin M Top: "Belum Ada Kabar Dana Noordin dari Malaysia": "'Belum Ada Kabar Dana Noordin dari Malaysia'"

berita pemilu indonesia - pemilu.okezone.com

berita pemilu indonesia - pemilu.okezone.com: "Zaenal Maarif Pasrah Pada Putusan MA"

berita pemilu indonesia - pemilu.okezone.com

berita pemilu indonesia - pemilu.okezone.com: "Kali Ini Soetrisno Bachir Puji KPU Cerdas"

PDIP Merapat Karena Pendekatan Demokrat - pemilu.okezone.com

PDIP Merapat Karena Pendekatan Demokrat - pemilu.okezone.com

115 Caleg Desak KPU Jalankan Putusan MA - pemilu.okezone.com

115 Caleg Desak KPU Jalankan Putusan MA - pemilu.okezone.com: "Pekan Depan, KPU Tetapkan Penghitungan Kursi Tahap 3"

115 Caleg Desak KPU Jalankan Putusan MA - pemilu.okezone.com

115 Caleg Desak KPU Jalankan Putusan MA - pemilu.okezone.com: "Pleno Rekapitulasi Suara Pileg Tahap Tiga Digelar"

berita bisnis dan ekonomi terpercaya - economy.okezone.com

berita bisnis dan ekonomi terpercaya - economy.okezone.com: "Bagaimana Mencegah Pendanaan Terorisme?"

rakyatmerdeka.co.id - Pemalas, Taufiq Kiemas Tak Pantas Pimpin MPR

rakyatmerdeka.co.id - Pemalas, Taufiq Kiemas Tak Pantas Pimpin MPR: "Pemalas, Taufiq Kiemas Tak Pantas Pimpin MPR"

rakyatmerdeka.co.id - Tentang Penjajahan Barat yang Berkembang Pesat

rakyatmerdeka.co.id - Tentang Penjajahan Barat yang Berkembang Pesat: "Tentang Penjajahan Barat yang Berkembang Pesat"

rakyatmerdeka.co.id - INDONESIA RAYA LUPA DINYANYIKAN, Merasa Bersalah, Sekjen DPR Harus Mundur

rakyatmerdeka.co.id - INDONESIA RAYA LUPA DINYANYIKAN, Merasa Bersalah, Sekjen DPR Harus Mundur: "INDONESIA RAYA LUPA DINYANYIKAN
Merasa Bersalah, Sekjen DPR Harus Mundur"

rakyatmerdeka.co.id - INDONESIA RAYA LUPA DINYANYIKAN, Ketua MPR Anggap Tak Lazim, Harap Bukan Sabotase

rakyatmerdeka.co.id - INDONESIA RAYA LUPA DINYANYIKAN, Ketua MPR Anggap Tak Lazim, Harap Bukan Sabotase: "NDONESIA RAYA LUPA DINYANYIKAN
Ketua MPR Anggap Tak Lazim, Harap Bukan Sabotase"

rakyatmerdeka.co.id - Elit Politik Ulangi Sejarah Penjajahan

rakyatmerdeka.co.id - Elit Politik Ulangi Sejarah Penjajahan: "Elit Politik Ulangi Sejarah Penjajahan"

rakyatmerdeka.co.id - Elit Politik Ulangi Sejarah Penjajahan

rakyatmerdeka.co.id - Elit Politik Ulangi Sejarah Penjajahan: "Elit Politik Ulangi Sejarah Penjajahan"

Republika Online - Agen Perubahan dari Generasi Muda

Republika Online - Agen Perubahan dari Generasi Muda: "Agen Perubahan dari Generasi Muda"

KOMPAS cetak - Perangi Terorisme dengan Beradab

KOMPAS cetak - Perangi Terorisme dengan Beradab: "Perangi Terorisme dengan Beradab"

KOMPAS cetak - Keahlian Noordin Terwariskan

KOMPAS cetak - Keahlian Noordin Terwariskan: "Keahlian Noordin Terwariskan"

KOMPAS cetak - "Indonesia Raya" yang Terlupakan...

KOMPAS cetak - "Indonesia Raya" yang Terlupakan...: "'Indonesia Raya' yang Terlupakan..."

KOMPAS cetak - Syarif Hasan dan Priyo Budi Siap Pimpin

KOMPAS cetak - Syarif Hasan dan Priyo Budi Siap Pimpin: "Syarif Hasan dan Priyo Budi Siap Pimpin"

KOMPAS cetak - Secarik Pleidoi buat Bu Mega

KOMPAS cetak - Secarik Pleidoi buat Bu Mega: "Secarik Pleidoi buat Bu Mega"

KOMPAS cetak - Tanah Air Merdeka

KOMPAS cetak - Tanah Air Merdeka: "Tanah Air Merdeka"

KOMPAS cetak - "When I'm Sixty-Four"

KOMPAS cetak - "When I'm Sixty-Four": "'When I'm Sixty-Four'"

KOMPAS cetak - Upaya Rekonsiliasi dalam Tuturan Demokrasi

KOMPAS cetak - Upaya Rekonsiliasi dalam Tuturan Demokrasi: "PIDATO KENEGARAAN
Upaya Rekonsiliasi dalam Tuturan Demokrasi"

KOMPAS cetak - Diperlukan Reformasi Kedua

KOMPAS cetak - Diperlukan Reformasi Kedua: "Diperlukan Reformasi Kedua"

KOMPAS cetak - Presiden: Posisi Indonesia Kian Kuat dan Strategis

KOMPAS cetak - Presiden: Posisi Indonesia Kian Kuat dan Strategis: "Presiden: Posisi Indonesia Kian Kuat dan Strategis"

Jumat, 14 Agustus 2009

KOMPAS cetak - Pemuda Hadapi Banyak Tantangan

KOMPAS cetak - Pemuda Hadapi Banyak Tantangan: "Pemuda Hadapi Banyak Tantangan

Rabu, 12 Agustus 2009 | 03:43 WIB

Jakarta, Kompas - Menghadapi Tahun Pemuda Internasional, pemuda menghadapi banyak tantangan, seperti kemiskinan, pengangguran, buta aksara, hingga terinfeksi HIV/AIDS.

Saat ini jumlah pemuda mencapai 18 persen dari total penduduk dunia. Namun, sekitar 200 juta pemuda dunia hidup miskin, 88 juta orang menganggur, dan 160 juta pemuda mengalami masalah gizi. Selain itu, 130 juta pemuda masih buta aksara dan lebih dari 10 juta anak muda hidup dengan HIV/AIDS.

Berkaitan dengan peringatan Hari Pemuda Internasional yang diperingati Rabu (12/8), Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) meminta pemerintah dan semua pihak untuk bisa memberikan perhatian terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi pemuda saat ini. Direktur Jenderal UNESCO Koichiro Matsuura mengatakan, penting untuk merangkul dan mempersiapkan pemuda bagi kesinambungan dunia. Para pemuda itu juga perlu diajak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

”Semua anak muda mesti menyalurkan energi dan kreativitasnya dengan cara-cara damai dan berkesinambungan,” kata Koichiro.

Ade Irawan dari Koalisi Pendidikan mengatakan, generasi muda bangsa ini menghadapi tantangan yang berat untuk memajukan bangsa. Jika pemerintah tidak mau berinvestasi secara serius d"

Delapan Windu Merdeka


Rabu, 12 Agustus 2009 | 05:05 WIB

Sjamsoe’oed Sadjad

Delapan windu artinya delapan kali delapan tahun atau enam puluh empat tahun. Jika seorang pejabat PNS golongan empat berusia sebanyak itu, memang sudah masuk lanjut usia, saatnya menyiapkan pensiun.

Namun, bagi umur suatu bangsa merdeka, bermartabat, delapan windu mungkin ibarat orang yang baru seumur anak SMP akan masuk SMA. Bagi kehidupan pribadi seseorang, delapan windu merdeka sejak tahun 1945 rasanya sudah cukup lama. Katakan dari umur-umur siswa SMP sampai cucunya sudah sarjana.

Dari hidup menyanyikan ”Wilhelmus”, kemudian sebentar ”Kimigayo”, lalu ”Indonesia Raya” selama delapan windu, rasanya hidup selamat seseorang sebagai anak suatu bangsa merdeka memang patut harus disyukuri. Demikian kalau kehidupannya bisa diisi dengan amal perbuatan dan perilaku yang baik dan benar.

Pertanyaannya kini, puaskah hidup dalam kemerdekaan selama delapan windu itu?

Kacamata desa

Andaikan kita bisa memilih berbagai kacamata untuk melihat beragam keadaan, mungkin kesan dan jawabnya pun bisa beragam. Kita pilih saja kacamata yang bisa memperlihatkan pedesaan bagi mata pemakainya.

Merdeka delapan windu ternyata belum apa-apa. Kerja keras petani dan seluruh keluarganya bermusim-musim, stigmanya masih tetap sebagai gurem, miskin, atau buruh tani yang tidak memiliki lahan dan melarat.

Pertanian pun hanya sebatas kerja fisik di lahan, atau di tengah laut, yang menghasilkan produk mentahan gabah, sayuran, atau ikan yang dijual ke pasar. Lebih jelek lagi jika hasilnya sudah menjadi milik orang kaya karena harus membayar utangnya.

Dalam delapan windu merdeka, masih belum bisa leluasa menyekolahkan anaknya berkelanjutan, belum bisa terpuaskan mendapatkan pelayanan pengobatan, dan sandang serta papan pun hanya sekadar mencukupi kebutuhan dasar hidup.

Kondisi fisik desa juga tidak memadai, entah itu berupa infrastruktur maupun bangunan fasilitas publik. Katakanlah ini gambaran desa dan pertaniannya delapan windu pertama. Bagaimana keadaan delapan windu kedua kelak? Kita coba melihat dengan kacamata baru yang melegakan.

Industri unit desa

Tidak dijumpai lagi keadaan yang berbeda antara desa dan kota. Artinya, kebutuhan kehidupan dasar manusia desa dan kota terpenuhi sama-sama memuaskan. Pendidikan kepada masyarakat desa telah membawakan perubahan mental dan pandangan yang berbeda sama sekali dari delapan windu sebelumnya.

Mental industrial mereka bisa mewujudkan usaha taninya menjadi bermartabat yang tidak lagi diukur dari berapa lahan pertanian yang dimiliki. Usaha tani industrial menjadikan seluruh warga bisa bekerja maksimal dan menghasilkan nilai tambah yang mumpuni dalam kehidupannya.

Daya beli mereka menjadi sangat tinggi dan mereka bisa menabung serta memiliki saham dalam usaha tani industrial atau dalam industri unit desanya. Pendek kata mereka menjadi makmur, sejahtera, adil dan merata. Jika mereka menengok sejarah delapan windu ke belakang, bagaimana mereka mulai dengan berbagai perubahan.

Pertama, menyadari pertanian adalah berproses industrial. Hasil mereka baru dihubungkan dengan pasar sesudah menjadi produk industrial sehingga bisa meraih nilai tambah. Mereka bekerja di industri unit desa dalam desa industri yang merupakan satu sistem sebagai pelaksana operasional dalam masing-masing subsistem dari yang primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Semua bergerak maksimal pada tiap subsistem dan meraih nilai tambah dari seluruh sistem secara proporsional dan adil.

Kedua, mereka dididik bagaimana membangun modal untuk usaha taninya yang membesar dan bermartabat. Mereka bisa menjadi besar karena modal usahanya juga bisa bertambah besar. Semua itu terjadi karena memiliki Bank Pertanian yang mendorong mereka bisa menabung dan menjadi nasabah serta bisa mendapat pinjaman modal sesuai rencana usahanya. Mereka mempunyai saham dalam bank itu sehingga bisa dikatakan mereka memiliki banknya sendiri.

Ketiga, mereka memang dididik oleh ahli-ahli pendamping yang bisa menjadikan warga desa mampu berkreasi dalam bentuk-bentuk industri kreatif. Bahkan, akhirnya mereka bisa mengekspor produk kulinernya, produk kerajinan tangannya, produk bahan baku pangan dengan gizi seimbang, serta produk ternak dan ikannya. Semua dari usaha tani berupa industri unit desa. Tenaga ahli pendamping itu bukan seorang PNS, tetapi yang dipersiapkan oleh perguruan tinggi menjadi wirausaha di desa, berintegrasi dengan warga desa dan kelompok tani menjadi businessman di industri unit desa.

Begitu indahnya kondisi delapan windu mendatang kita merdeka. Mari kita bangun dengan etos kerja luar biasa agar modal kita delapan windu merdeka bisa membawa kemajuan dan benar-benar terwujud agropolitan yang ideal.

Sjamsoe’oed Sadjad Guru Besar Emeritus IPB

Rabu, 12 Agustus 2009

Terorisme

Perlu Pendekatan Baru

Rabu, 12 Agustus 2009 | 04:36 WIB

Jakarta, Kompas - Dugaan keterlibatan mantan narapidana terorisme dalam pengeboman pada 17 Juli 2009 perlu menjadi pengalaman penting bagi pemerintah. Pendekatan keras semata diyakini akan sia-sia belaka dalam menangani terorisme sebagai masalah sosial.

Sejumlah kalangan saat ini meyakini, pendekatan penegakan hukum semata dalam menangani terorisme hanya mampu menunda sesaat terjadinya aksi destruktif oleh kelompok teroris. Namun, paham kekerasan yang dianut tak mudah pupus hanya dengan hukuman penjara ataupun eksekusi mati.

”Sekadar mengunci mereka dalam penjara atau bahkan mengeksekusi mati mereka (terpidana terorisme) sama sekali tak akan bisa mengubah apa pun (keyakinan) dari mereka,” kata Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Selasa (11/8).

Yayasan Prasasti Perdamaian merupakan lembaga nirlaba yang sejak tahun 2006 mendampingi para mantan narapidana terorisme ataupun mantan pelaku dalam sejumlah peristiwa konflik kekerasan di Indonesia. Yayasan tersebut bertujuan dan berupaya mengembalikan para mantan narapidana terorisme ke kehidupan bermasyarakat serta meminimalkan kemungkinan mereka kembali ke komunitas lama.

Noor Huda memandang, pemerintah belum tampak serius menerapkan pendekatan deradikalisasi (rekonsiliasi dan rehabilitasi), yang mengedepankan dialog atau komunikasi intensif dengan kelompok berpaham keras ataupun dengan para mantan narapidana terorisme. Padahal, pemberantasan terorisme oleh aparat hukum sudah berjalan intensif satu dekade terakhir.

Noor Huda mengatakan, munculnya nama Air Setiyawan dalam pengeboman di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton menjadi pelajaran penting bagi negara untuk lebih memedulikan isu deradikalisasi. Air merupakan salah satu terduga pelaku yang tertembak mati oleh polisi dalam pengepungan di Jatiasih, Bekasi, 8 Agustus lalu. Air pada tahun 2004 pernah ditangkap polisi terkait bom di Kedutaan Besar Australia. Namun, karena bukti-bukti material tidak cukup untuk menjeratnya, polisi tidak bisa melanjutkan kasus Air ke pengadilan sehingga ia terbebas.

”Pemerintah sekarang juga harus lebih memerhatikan penanganan setelah hukuman penjara. Sejarah sudah menunjukkan, jaringan saat ini bagian dari metamorfosis gerakan radikal lama seperti Darul Islam pada masa lalu,” kata Noor Huda.

Sebelumnya, Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri juga menyebut salah satu buronan penting berinisial Ur yang diduga terlibat dalam pengeboman 17 Juli lalu. Ur—pria asal Kudus, Jawa Tengah—pernah ditangkap pada Juli 2004 karena pernah menyembunyikan Noordin M Top. Setelah 3,5 tahun dipenjara, Ur bebas pada tahun 2005.

Sebelumnya, Direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Jones juga sepakat bahwa pendekatan deradikalisasi yang mengedepankan dialog perlu berjalan seiring dengan pendekatan penegakan hukum. Laporan ICG sejak tahun 2007 menyebutkan, pemerintah kurang menaruh perhatian pada program deradikalisasi dan minimnya intervensi pembinaan terhadap narapidana terorisme di penjara. Bahkan, kuat indikasi selama di dalam penjara mereka tetap membina hubungan dengan jaringan lama.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Nanan Soekarna mengakui, penanganan terorisme masih terpusat di kepolisian yang tugasnya memang mengedepankan pendekatan keras, yaitu penegakan hukum semata. ”Bahkan, bantuan internasional untuk pemberantasan terorisme pun lebih banyak hanya untuk penegakan hukum, padahal pascahukuman untuk pembinaan mantan narapidana teroris juga sangat penting,” kata Nanan.

Sejauh ini, menurut Nanan, sudah lebih dari 430 orang yang ditangkap polisi terkait terorisme. Sementara sekitar 200 orang telah bebas dari penjara. Pada 2002-2009 sudah 12 orang bersedia melakukan bom bunuh diri. Catatan Litbang Kompas, dalam periode yang sama, teror bom sudah memakan 262 korban jiwa dan 782 luka-luka.

”Terorisme dalam satu hal bisa seperti narkoba. Penjara saja tak cukup menyembuhkan mereka. Karena itu perlu rehabilitasi. Orang narkoba ke luar penjara bisa balik lagi, kan,” ujar Nanan.

Identitas Mr X

Hari ini, Nanan mengatakan, Polri akan secara resmi mengumumkan identitas Mr X, pria yang tewas dalam pengepungan Tim Polisi Antiteror di Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu lalu.

Dari Kuningan, Jawa Barat, istri Ibrohim, Sucihani, yang tinggal di Desa Sampora, Cilimus, Kuningan, hingga kemarin mengaku belum mendapatkan kabar apa pun dari suaminya. Mereka juga belum mendapatkan keterangan dari polisi tentang nasib Ibrohim, penata bunga di Hotel Ritz-Carlton.

”Kami masih belum tahu bagaimana nasibnya (Ibrohim). Belum ada kabar apa pun,” kata Suci yang ditemui di rumahnya.

Ibrohim diketahui lulusan STM di Jakarta. Empat tahun terakhir ia membawa keluarganya dari Jakarta untuk pindah ke Kuningan.

Sementara itu, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Zain menyatakan tak benar jika disebutkan banyak orang Malaysia menjadi teroris dan merusak bangsa Indonesia. Justru orang Malaysia belajar terorisme dari orang Indonesia.

”Tidak benar itu. Hanya beberapa orang saja,” ujarnya saat ditanya pers seusai melaporkan tugas akhirnya sebagai duta besar di Indonesia kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta.

Lebih jauh Zainal Abidin mengakui, bersama Wapres Kalla, ia mendiskusikan banyak hal, termasuk masalah terorisme. Untuk mengatasi aksi terorisme, Zainal Abidin mengatakan, kerja sama kepolisian Indonesia dengan kepolisian Malaysia untuk mengatasi terorisme akan terus berlangsung.

”Kerja sama itu berupa tukar-menukar informasi dan berupaya menangkap para pelaku teror,” katanya. (SF/HAR/NIT)

Selasa, 04 Agustus 2009

Indonesia Kini dalam Sorotan Pembukaan UUD 1945 (I)



Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Beberapa hari lagi kita akan memperingati Ultah ke-64 Kemerdekaan Indonesia. Banyak sudah yang dicapai oleh bangsa dan negara ini berkat kemerdekaan. Untuk pribadi saya, misalnya, kemerdekaan bangsa benar-benar sebuah rahmat Allah yang nilainya tak terkatakan. Tanpa kemerdekaan, adalah sebuah kemustahilan bagi seorang anak bangsa kelahiran udik sampai sempat belajar ke ujung dunia. Oleh sebab itu, jasa pendiri bangsa dan negara ini tidak mungkin dibalas; saya sungguh berutang budi kepada mereka semua. Saya tahu bahwa mereka yang telah ''dimanjakan'' kemerdekaan ini, sudah lumayan jumlahnya. Tetapi pertanyaan krusial yang masih tersisa adalah: berapa persen jumlah yang lumayan itu? Untuk menakar plus-minus perjalanan bangsa ini selama 64 tahun dalam sorotan Pembukaan UUD 1945, Resonansi dalam dua seri ingin mencobanya, sudah tentu dengan segala kekurangan pendekatan di sana-sini.

Sebagai parameter konstitusional, kita kutip dulu secara lengkap rumusan padat-singkat Pembukaan UUD 1945 untuk mengukur sampai di mana perjalanan bangsa ini sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, apa yang sudah dicapai dan apa pula yang terbengkalai dan tersia-sia:

''Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.''

Alinea pertama mengandung hak kemerdekaan semua umat manusia, baik pada ranah domestik maupun ranah global, yang relatif sudah berhasil sampai batas-batas yang jauh. Indonesia sudah merdeka bersama dengan 186 negara lain di seluruh dunia. Adapun Tibet masih berjuang untuk sebuah kemerdekaan dari kekuasaan Cina. Kemerdekaan bangsa-bangsa secara besar-besaran ini, justru berkat ledakan PD (Perang Dunia) II yang hampir memusnahkan peradaban umat manusia. Tanpa PD II, Indonesia mungkin masih menanti waktu, entah berapa lama, untuk mendapatkan kemerdekaan yang telah puluhan tahun diperjuangkan.

Kandungan alinea kedua yang sepenuhnya bercorak Indonesia, sebagian sudah tercapai berupa kemerdekaan, persatuan, dan kedaulatan bangsa, sekalipun masih terdapat bolong di sana-sini. Sedangkan penggal yang lebih menantang dalam format keadilan dan kemakmuran masih jauh dari harapan kita semua. Ada kemakmuran, tetapi baru dinikmati oleh segolongan kecil rakyat Indonesia. Bagian terbesar masih belum mendapat keadilan dari hasil kemerdekaan. Mereka ini masih berada pada kawasan marjinal yang pada setiap pemilu menjadi rebutan partai politik. Mereka belum menjadi tuan di negaranya sendiri. Menggelembungnya jumlah TKW/TKI yang mengais ke negara lain, adalah bukti telanjang tentang betapa masih parahnya kesenjangan sosio-ekonomi di kalangan masyarakat kita. Tidak sedikit di antara mereka yang bernasib malang di negeri orang, di samping ada pula yang beruntung. Ini adalah masalah yang sangat serius untuk Indonesia ke depan.

(-)

Jumat, 31 Juli 2009

NU Perlu Penegasan Khitah dalam Politik


Jumat, 31 Juli 2009 | 03:21 WIB

Surabaya, Kompas - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur mengusulkan penegasan implementasi khitah NU dalam bidang politik pada Muktamar NU, Januari 2010 di Makassar, Sulawesi Selatan. Penjelasan implementasi khitah akan menentukan pilihan politik NU pada warganya.

Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Mutawakkil Alallah, Kamis (30/7) di Surabaya, menegaskan, usulan itu bukan untuk meredefinisi khitah. Khitah, bagaimanapun, tidak bisa diubah. Namun, perlu ada penegasan implementasi khitah.

”Selama ini khitah jadi bulan-bulanan dan senjata, baik untuk yang mengerti khitah, tidak mengerti, dan yang tak memiliki khitah,” tuturnya.

Khitah sesungguhnya berisi tiga hal, yakni roh atau jati diri NU yang ahlussunnah waljamaah; posisi NU yang netral, tidak menjadi bagian dari parpol, tidak pernah menjadi parpol; dan pilihan dalam politik. Masalah pilihan dalam politik akan dibahas supaya tidak ada lagi perdebatan. Hasil dari pembahasan itu dituangkan dalam aturan anggota yang mengikat.

Masyhudi Muchtar, Ketua Komisi Khitah, dalam Musyawarah Kerja Wilayah NU Jatim, awal Juni lalu, mengatakan, NU wajib memberikan petunjuk dan arahan kepada warganya dalam bidang akidah, syariah, akhlak, dan politik sebab NU memiliki potensi politik yang besar. Bila tidak dikelola, potensi politik itu akan diambil pihak yang tidak mendukung upaya untuk mencapai tujuan NU, yakni mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Bahkan, bila dikelola pihak dengan ideologi berlawanan dengan NU, potensi itu justru merugikan NU.

Mengenai figur calon Ketua Umum PBNU selanjutnya, Mutawakkil mengatakan, PWNU Jatim belum membicarakannya. ”Namun, minggu lalu, KH Hasyim Muzadi sudah menyatakan tak bersedia dicalonkan kembali sebagai ketua umum, tetapi saya tidak tahu apakah ini tidak akan berubah,” katanya. (ina)

Senin, 27 Juli 2009

Terorisme: Konstruksi Opini itu Gugur Sudah


Daniel Rudi Hariyanto dan Anab Afifi
Mahasiswa Kajian Media, IKJ dan Praktisi Komunikasi dan Alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki

Sejak terjadinya aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, seluruh perhatian media massa terpusat pada pemberitaan peristiwa tersebut. Sebuah model pemberitaan berhasil mengonstruksi opini publik sekaligus mengabaikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi objektif berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik investigatif.

Jika dikaji tayangan audio visual beberapa stasiun televisi swasta, dapat kita temukan kemasan pemberitaan yang padat dan berulang pada setiap konten berita. Kemasan tersebut dibumbui dengan thriller-thriller dan bumper yang sangat cepat. Diambil dari potongan-potongan visual dan audio, diedit dengan ritme yang cepat, disertai scoring musik yang menarik.

Media televisi komersial menunjukkan perlombaan dalam menampilkan berita terbaru. Konten berita yang berulang-ulang dan selalu sama bagaikan cerita yang selalu ditutup dengan open ending yang membuka interpretasi dan persepsi yang berlebihan di mata pemirsa. Maka, konsumen berita terus-menerus digiring dalam ruang informasi yang samar-samar.

Konstruksi berita
Teknologi informasi telah melahirkan konsekuensi percepatan penyiaran berita. Berita tidak lagi berbatas ruang dan waktu. Media televisi dengan sangat praktis dapat segera menyiarkan liputan lapangan secara langsung kepada publik. Demikian yang dapat kita saksikan jam demi jam. Sejak 17 Juli, dalam satu hari, stasiun penyiaran terkesan berlomba dan bersaing merebut segmen pemirsa dengan melansir berita terbaru di lapangan.

Pada jam-jam awal peristiwa, dapat disaksikan rekaman beberapa video amatir yang diambil oleh saksi mata di lapangan. Jam-jam berikutnya, para saksi sudah masuk studio untuk memberikan keterangan peristiwa. Berikutnya konten diisi oleh analisis beberapa pengamat.

Situasi hari pertama adalah situasi yang gamang. Belum adanya titik terang dari hasil investigasi Polri membawa konsekuensi munculnya spekulasi media peyiaran. Informasi yang tumpang tindih berkutat sekitar koran dan lokasi pengeboman. Dimunculkannya pengamat intelijen dan pengamat terorisme menambah spekulasi bertambah kuat.

Tiga hari libur panjang merupakan masa yang sangat efektif untuk pembentukan opini publik. Hari-hari berikutnya, analis-analis memberikan pernyataan yang memfokuskan aksi peledakan kepada jaringan Jamaah Islamiyah. Jaringan ini memang menjadi langganan pemberitaan setelah peledakan bom Bali 1. Noordin M Top dan kelompoknya menjadi sorotan, manakala muncul inisial N. Media menerjemahkannya sebagai satu di antara dua pelaku peledakan bom bunuh diri.

Nur Sahid alias Nur Hasbi adalah santri Ngruki seangkatan Asmar Latin Sani. Fotonya dilansir dalam setiap pemberitaan, berulang-ulang kali. Foto lelaki dengan kacamata hitam itu sangat jauh dari wajah teroris. Ia seperti wajah pemuda-pemuda desa berkacamata hitam lainnya. Warga Dusun Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung Jawa Tengah itu menjadi headline setiap berita.

Sementara berita itu telah dilansir media massa, pihak kepolisian yang menangani investigasi belum memberikan keterangan apa pun. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa media massa menjadikan keterangan sekunder sebagai berita yang primer. Keberadaan keluarga Nur Sahid khususnya dan warga Temanggung pada umumnya merasa terganggu dengan adanya pemberitaan tersebut.

Televisi menyiarkan gambar rumah keluarga Nur Sahid yang tertutup rapat. Tayangan visual yang ditambah dengan narasi reportase tersebut semakin menambah dramatis berita yang belum tentu memiliki kekuatan data tersebut.

Munculnya video kedatangan laki-laki bertopi yang menjinjing tas beroda telah membangun opini yang sangat kuat terhadap Nur Sahid. Tayangan video rekaman itu berasal dari rekaman kamera pemantau keamanan JW Marriott. Tayangan ini menambah kekuatan drama berkaitan dengan pengembangan informasi yang telah dikonstruksikan sejak awal peristiwa.

Ketika tayangan berikutnya didapatkan dari kamera pemantau Hotel Ritz Carlton yang menyampaikan adanya pengeboman ke dua, tampak seorang lelaki berjalan tergesa-gesa ke arah restoran Airlagga. Beberapa saat kemudian, ledakan terjadi. Penonton tidak disuguhkan detail kedatangan pelaku, seperti video dari Hotel Marriott.

Kedua tayangan tersebut semestinya dikaji lebih mendalam, terkait dengan sistem pengamanan yang diberlakukan pada kedua hotel.

Tayangan kedua video tersebut disertai narasi berita yang difokuskan pada pelaku bom bunuh diri Nur Sahid, alumni Ngruki, bagian dari Jamaah Islamiyah kelompok Noordin M Top dan konstruksi paling atas adalah pondok pesantren asuhan Ustaz Abu Bakar Baasyir.

Gugurnya konstruksi opini
Enam hari setelah peritiwa peledakan, Polri memberikan keterangan bahwa inisial N yang disebut sebagai penghuni kamar 1808 Hotel JW Marriott ternyata tidak sesuai dengan DNA yang diambil dari anggota keluarganya. Tentunya, keterangan resmi Polri tersebut membawa dampak berantai pada konstruksi opini yang telah hampir satu minggu ini dibentuk oleh media massa elektronik dan cetak.

Gugur sudah konstruksi opini yang telah dibangun media massa, terutama media televisi selama enam hari ini. Sebuah stasiun televisi swasta, pagi-pagi benar di segmen acara editorial, mencoba membangun konstruksi baru dengan menyampaikan narasi yang menciptakan respek terhadap kerja-kerja lembaga kepolisian yang independen dan profesional. Munculnya keterangan mengenai satu di antara dua pelaku yang masih berusia antara 16 atau 17 tahun menjadi fokus baru. Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan perekrutan anak-anak sebagai pelaku pengeboman sebagai cara baru. Ada pembahasan dari pengamat psikologi anak yang menyampaikan statement gugatan terhadap praktik teror bom bunuh diri yang menggunakan anak-anak sebagai pelaku.

Berita berikutnya adalah pembahasan lembaga intelijen. Pengungkapan teorisme tidak hanya menjadi tugas kepolisian, melainkan juga tugas semua aaparat keamanan negara.

Hari keenam setelah peledakan, media massa, khususnya televisi komersial, terkesan berbalik dan mencari arah serta fokus pemberitaan. Dalam hal ini, terdapat satu hal penting yang harus disadari oleh semua pihak. Perlunya langkah-langkah dari media massa.

Pertama, mesti ada sikap baik untuk menyampaikan klarifikasi terhadap pemberitaan sebelumnya. Kedua, menyampaikan permintaan maaf kepada segenap masyarakat, korban, keluarga di Desa Ketekan Temanggung, Pesantren Al Mukmin Ngruki, serta Ustaz Abu Bakar Baasyir disebabkan berita-berita yang selama ini dilansir telah merugikan moralias sosial pihak-pihak tertentu.

Ketiga, media massa semestinya melakukan perbaikan dalam teknik investigasi berita, bukan mengedepankan kuantitas berita tanpa memedulikan kualitas berita. Penyiaran langsung memiliki potensi kesalahan data dan penyataan narasumber. Pakem-pakem investigasi semestinya dipegang teguh para jurnalis dalam menyampaikan fakta di lapangan.

Gugurnya konstruksi opini yang terbangun selama enam hari ini, jika tidak segera disikapi dengan baik, akan melahirkan pola dan bentuk terorisme baru yang dilakukan media massa. Kamera, perekam suara, pena, dan berita akan menjadi bom-bom baru yang menciptakan ketakutan dan membahayakan kelangsungan negara serta kemanusiaan secara keseluruhan.

Rabu, 15 Juli 2009

Rakyat Masih Jadi Obyek

Jakarta, Kompas - Meski partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum presiden tinggi, bukan berarti pendidikan politik di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Hal ini terbukti bahwa rakyat masih menjadi obyek suara saja bagi partai politik dalam pemilihan umum lalu.

Hal itu disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Daniel Zuchron di Jakarta, Selasa (14/7). Dari hasil pemantauan JPPR, partisipasi masyarakat di tiap TPS selama pelaksanaan pilpres sangat tinggi, bahkan ada yang 100 persen.

”Pemilu 2009, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, masih membuktikan bahwa rakyat masih menjadi obyek suara saja. Masyarakat hanya dikonversi hak politiknya menjadi suara saja,” kata Daniel.

Menurut dia, persoalan partisipasi luar biasa. Akan tetapi, kalau bicara kualitas, partisipasi politik yang tinggi ini tidak berbanding lurus dengan pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai-partai politik.

Partisipasi pemilih tinggi bukan hasil dari pendidikan politik jangka panjang yang dilakukan partai-partai politik, melainkan baru sebatas pencitraan, media kampanye, dan penggunaan-penggunaan kapital. ”Secara substansial bukan menjadi ajang pendidikan politik masyarakat, masyarakat secara substansial tidak dapat menagih janji politik dari partai politik atau capres dan cawapres,” jelas Daniel.

Relasi lemah

Daniel mengatakan, relasi masyarakat dengan anggota DPR yang dipilih ataupun presiden yang dipilihnya akan lemah. Sebab, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk memilihnya. Saat ditanya adanya kontrak politik dari calon presiden tertentu, Daniel mengatakan, itu hanya euforia politik dan strategi kampanye saja. ”Situasi ini kalau diteruskan akan berbahaya sebab rakyat selalu hanya dijadikan sasaran suaranya setiap lima tahun sekali,” kata Daniel.

Yang ideal, menurut Daniel, tugas melakukan pendidikan politik seharusnya dilakukan oleh partai politik. ”Partai politik harus bekerja dengan baik mendidik masyarakat. Pendidikan politik ini adalah investasi jangka panjang partai politik, jangan melihat rakyat hanya untuk kepentingan pemilu lima tahunan,” ujar Daniel.

Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi mengatakan, tingginya angka pemilih yang datang ke TPS bukan berarti partisipasi pemilih tinggi dalam pilpres.

”Kami melihatnya sebagai mobilisasi pemilih. Ini kami temukan di daerah-daerah yang pola patronnya kuat, seperti di Madura. Tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh agama mengerahkan masyarakat untuk memilih,” jelas Jojo.

Jojo mengatakan, selain di Madura, KIPP juga menemukan di beberapa daerah lain, seperti di Lampung, Nias, dan Riau. ”Dari TPS yang kami pantau, pemilih yang datang ke TPS di Pulau Jawa sekitar 80-90 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa sekitar 70-80 persen,” jelas Jojo.

Jojo mengatakan, dari hasil temuan KIPP di lapangan, KIPP menemukan pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif. Yang menonjol adalah keragaman dalam menyikapi penggunaan KTP dan kartu keluarga.

Menurut Jojo, di beberapa daerah banyak yang meminta fotokopi KTP untuk ditinggalkan. ”Padahal, saat itu kondisinya libur, susah sekali mencari tempat fotokopi, belum lagi kalau lokasinya itu di pelosok yang jauh dari mana-mana, bagaimana bisa mencari tempat fotokopi. Akhirnya hak pilih masyarakat menjadi terabaikan,” ujar Jojo. (VIN)

Demokrasi yang Membebaskan

Oleh Devitri Indriasari

Di tengah euforia demokrasi, nasib bangsa Indonesia sungguh ironis.

Seperti kisah anak dan ibu tiri yang jahat, ketika ada ayah, ibu tiri bermulut manis dan amat sayang. Namun saat sang ayah pergi, ibu tiri amat galak dan kejam. Sang ayah tidak bisa berbuat banyak karena benturan dua kepentingan, istri dan anak.

Kisah sedih bangsa Indonesia tidak beda dengan kisah itu. Menjelang pemilu, politisi mendekati rakyat dengan berbagai janji-janji dan berperilaku seperti seorang ayah kepada anak.

Di sisi lain, perilaku politisi di gedung dewan maupun di belakang layar menunjukkan perilaku sebaliknya. Berbagai keputusan politisi justru melukai hati rakyat dan melemahkan pengawasan rakyat atas jalannya pemerintahan. Imbauan Komisi I DPR agar KPK tidak aktif selama ketua tidak lengkap mengindikasikan adanya resistensi terhadap usaha pemberantasan korupsi. Keputusan untuk mengesahkan RUU Rahasia Negara juga memunculkan sinyal kontraproduktif dengan pelaksanaan Undang-Undang KIP yang memberi jaminan kepada rakyat atas hak informasi publik.

Meski pelaksanaan pesta demokrasi baru saja usai dan pilpres sedang dalam proses rekapitulasi suara nasional, rakyat sudah disuguhkan aneka berita yang menyedihkan. Pelaksanaan demokrasi yang disebut berhasil oleh sejumlah pengamat sepertinya berbanding terbalik dengan kondisi nyata nasib rakyat Indonesia. Berita sedih bermunculan seolah tidak peduli dengan maraknya pesta demokrasi yang sedang berlangsung.

Berita itu antara lain upaya sistematis sejumlah pihak untuk melemahkan usaha pemberantasan korupsi, proses RUU Tipikor yang tidak jelas, dan persiapan pengesahan RUU Rahasia Negara yang kontraproduktif dengan UU KIP. Berita pembagian BLT sebagai strategi kampanye pilpres adalah potret nyata kemiskinan rakyat Indonesia di tengah hiruk pikuk demokrasi.

Merunut ke belakang, yang lebih menyedihkan adalah pengesahan UU BHP. Pengaruhnya amat krusial karena memperkecil peluang masyarakat tidak mampu untuk memperoleh pendidikan tinggi di tengah impitan ekonomi yang kian berat. Tingkat pendidikan yang rendah akan berimplikasi pada kualitas demokrasi yang didominasi pemilih yang tidak rasional. Akhirnya demokrasi yang berhasil secara prosedural tidak menghasilkan pemimpin berkualitas seperti demokrasi di negara maju.

Misteri kesadaran politik

Hernando de Soto pernah menjelaskan fenomena ini sebagai misteri kesadaran politik. Kegagalan rakyat di negara dunia ketiga dalam melakukan pembangunan sudah menjadi kesadaran politik bersama suatu bangsa. Namun, para politisi tidak berinisiatif mengambil tindakan strategis untuk mengatasi kegagalan pembangunan itu. Para politisi menyadari, mereka membutuhkan dukungan suara rakyat kecil guna meraih jabatan politik yang memungkinkan mereka mengambil kebijakan publik untuk melakukan perubahan sistem yang berpihak kepada rakyat.

Pada sisi lain, politisi tidak bisa bebas dari sponsor yang membiayai mereka berkampanye. Bahkan, pada beberapa kasus, sponsor bisa datang dari negara maju yang memiliki kepentingan ekonomi atau politik. Karena posisinya amat dilematis, politisi lebih memilih tidak membangun sistem hukum yang kuat dengan berbagai cara. Pertama, tidak membuat peraturan yang efeknya merugikan sponsor.

Kedua, membuat peraturan yang lemah dan tidak lengkap.

Ketiga, membuat peraturan yang melemahkan peraturan sebelumnya.

Demokrasi yang substansial

Keadaan seperti ini terjadi berkelanjutan karena politisi tidak ingin memperbaikinya melalui regulasi dan kebijakan publik yang diputuskan parlemen. Bahkan, politisi yang muncul dari kalangan rakyat kecil pun tidak bisa berbuat apa-apa. Jumlah mereka relatif sedikit dan harus tunduk kepada keputusan partai politik. Peran individu politisi tidak ubahnya seperti bagian mesin politik partai, yang harus bekerja untuk menyuarakan partai. Sikap yang bertentangan dengan partai akan membahayakan eksistensi jabatan politisi itu.

Konsep pelaksanaan demokrasi yang benar seharusnya ditujukan pada substansi daripada prosedur. Demokrasi harus mampu membebaskan rakyat dari ketidakadilan di bidang hukum, ekonomi, dan politik. Demokrasi harus memberi jaminan fungsi lembaga-lembaga negara untuk memberi perlindungan hukum, ekonomi, dan politik kepada rakyatnya.

Untuk memutus siklus kegagalan demokrasi dalam mewujudkan masyarakat sipil yang maju, rakyat sebagai pemegang kedaulatan harus mengambil peran aktif pengawasan. Masyarakat sipil bisa berupa individu, ormas, media massa, dan LSM, harus meningkatkan soliditas pengawasan terhadap semua lembaga negara. Tidak ada jaminan dari prosedur demokrasi yang baik akan menghasilkan kualitas demokrasi yang substantif dan mampu memberi keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Devitri Indriasari Mahasiswa Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia; Bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

"Quo Vadis" Golkar?


Rabu, 15 Juli 2009 | 03:34 WIB

Oleh Kacung Marijan

Merosotnya perolehan suara Partai Golkar secara tajam pada Pemilu 1999 tidak serta-merta menjadikan Golkar kehilangan jati diri sebagai bagian the ruling party.

Meski tak lagi bisa menempatkan kadernya sebagai presiden dan wakil presiden, elite Golkar masih bisa menduduki jabatan ketua DPR dan sejumlah kementerian.

Aroma sebagai the ruling party juga terjadi pada Pemilu 2004. Perolehan suara yang tidak berbeda jauh dari Pemilu 1999 dan kegagalan memenangi pilpres tetap menghantarkan Golkar sebagai bagian kekuasaan. Kursi ketua DPR masih didapat, posisi wakil presiden diraih, dan ”portofolio” sejumlah kementerian didapat.

Pemilu 2009 menorehkan kekalahan beruntun Golkar. Perolehan suara pada pemilu legislatif merosot cukup tajam. Yang terbaru, persentase perolehan suara pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, yang diusung Golkar-Hanura, jauh di bawah persentase perolehan suara gabungan Golkar-Hanura.

Apakah kekalahan beruntun itu menjadikan Golkar berganti posisi, dari sebelumnya selalu menjadi bagian the ruling party menjadi bagian kelompok oposisi?

Kultur berkuasa

Tidak sedikit orang, termasuk elite Golkar sendiri, yang berpandangan, kultur the ruling party di tubuh Golkar telah tertanam kuat. Hal ini tidak saja berimplikasi pada adanya energi cukup besar untuk mempertahankan diri sebagai bagian kekuasaan. Ketika mendapati realitas bahwa perolehan suaranya menurun dan jatuh pun, Golkar berusaha menjadi bagian kekuasaan yang ada.

Upaya untuk mengubah kultur demikian sudah pernah dilakukan, tetapi gagal. Setelah kalah dalam Pilpres 2004, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung bertekad keluar dari kultur the ruling party, melalui komitmen bersama dengan PDI-P sebagai kekuatan oposisi.

Namun, komitmen itu hanya berumur beberapa bulan. SBY-JK menjadikan sejumlah elite Golkar sebagai bagian gerbong pemerintahan, duduk dalam kabinet yang dibentuk. Perlahan-lahan, posisi oposisi Golkar tergerus, dan puncaknya ketika JK terpilih sebagai Ketua Umum Golkar.

Memang, godaan menjadi bagian dari kekuasaan itu bukan hanya karena kultur the ruling party yang tertanam kuat. Kebutuhan JK untuk memperoleh basis dukungan kuat di DPR menjadi rabuk bagi lebih suburnya kultur semacam itu.

Oposisi... tidak... oposisi...

Konteks Pilpres 2009 berbeda dengan Pilpres 2004. Pada Pemilu 2004, SBY menggandeng JK, di antaranya, didasari keinginan untuk merebut sebagian pemilih Golkar. Selain itu juga ada kebutuhan untuk meraih dukungan dari parlemen.

Pilpres 2009 lain lagi situasinya. SBY berangkat dengan modal dukungan ”diri sendiri” yang cukup kuat, melalui kemenangan dan perolehan suara cukup dari Partai Demokrat. Selain itu, SBY juga didukung partai-partai tengahan sehingga total perolehan suara kursi partai-partai pendukung SBY mencapai 56 persen.

Sebagai presiden yang ingin membangun pemerintahan yang kuat dan mendapat dukungan meyakinkan dari parlemen, SBY bisa jadi akan senang ketika Golkar juga menjadi bagian kekuatan yang mendukungnya di parlemen. Namun menjadikan Golkar sebagai bagian pemerintahan dengan ”portofolio” kementerian yang memadai adalah sesuatu yang lain.

Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa SBY juga menginginkan adanya pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Pemerintahan semacam ini lebih sulit diwujudkan jika koalisi yang dibangun terlalu gemuk.

Dalam situasi seperti itu, SBY bisa saja tetap membuka diri bagi Golkar untuk bergabung di dalamnya, tetapi dengan persyaratan bahwa ”portofolio” kementerian yang didapat tidak lagi proporsional dan SBY memiliki keleluasaan memilih orang-orang Golkar yang duduk di dalam pemerintahan.

Di sisi yang lain, dalam tubuh Golkar sendiri ada arus untuk membawa Golkar ke arah lain, seperti pernah dicoba oleh Akbar Tandjung, yaitu menjadikan Golkar sebagai bagian kekuatan oposisi.

Arus semacam itu lebih kuat dari apa yang terjadi pada 2004 karena tidak ada lagi magnet yang begitu kuat untuk menarik Golkar sebagai bagian the ruling party kembali. Selain sebagai bagian dari langkah membangun kultur baru, hal ini juga sebagai bagian strategi untuk Pemilu 2014. Menjadi bagian dari oposisi akan menjadikan jenis kelamin lebih jelas.

Kepemimpinan baru

Namun, apa pun langkah yang akan diambil akan amat bergantung pada hasil munas yang akan dilakukan. Pergantian kepemimpinan di tubuh Golkar hampir pasti tidak bisa dihindari. Selain usianya yang tidak muda lagi, JK juga tahu diri bahwa di bawah kepemimpinannya Golkar mengalami kekalahan beruntun.

Ketika Golkar dikendalikan oleh kelompok yang ingin membangun kultur baru di tubuh Golkar, kemungkinan menjadikan Golkar sebagai bagian oposisi akan amat terbuka lebar. Kelompok ini merupakan akumulasi dari orang-orang yang merasa tersinggung dengan SBY yang dianggap jual mahal dan orang-orang yang ingin melakukan berbagai perubahan lebih besar di Golkar.

Meski demikian, sejak awal, dalam tubuh Golkar juga ada kelompok yang lebih suka membawa Golkar berkoalisi dengan Partai Demokrat. Orang-orang ini tak hanya melihat pilihan seperti ini lebih realistis. Mereka juga memahami betapa tidak mudah mengubah Golkar dari yang berkultur penguasa ke yang berkultur oposisi.

Pertarungan untuk memperebutkan kepemimpinan Golkar dari dua arus besar itu akan menarik dan seru. Kedua kelompok sama-sama didukung basis akar rumput. Di kalangan pemilih Golkar, yang memilih SBY-Boediono tidak kalah besar ketimbang yang memilih JK-Wiranto.

Selain itu, hasil dari pertarungan itu akan mewarnai bangunan pemerintahan yang akan dibentuk SBY-Boediono. Saat Golkar dipimpin oleh orang-orang yang cenderung ke SBY, pemerintahan yang terbangun akan amat kuat dan efektif.

Sementara itu, manakala Golkar dikendalikan oleh orang-orang yang ingin membangun kultur baru dan membawa Golkar ke orbit oposisi, pemerintahan yang dibangun SBY masih cukup kuat tetapi mendapat imbangan memadai.

Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Sabtu, 11 Juli 2009

PARTAI GOLKAR Aburizal Disebut-sebut Calon Ketum

Jakarta, Kompas - Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie disebut- sebut menjadi calon kuat untuk menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar pada musyawarah nasional yang segera diadakan setelah pelaksanaan rapat pimpinan nasional khusus akhir Juli ini.

Bahkan, Ical, begitu ia biasa dipanggil, disebut-sebut akan sepenuhnya berkonsentrasi memimpin Partai Golkar apabila ia terpilih dan akan menolak tawaran duduk dalam kabinet mendatang.

Hal itu disampaikan Ketua DPD Tingkat I Sulawesi Tenggara Ridwan Bae kepada pers seusai shalat Jumat bersama Ketua Umum Muhammad Jusuf Kalla di Masjid Baitulrahman, Istana Wapres, Jakarta, kemarin.

”Salah satu kandidat terkuatnya adalah Bang Ical. Ia sudah didukung setidaknya oleh 500 DPD Partai Golkar tingkat I provinsi dan tingkat II kabupaten. Adapun pesaingnya yang kuat adalah Surya Paloh, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar,” ujar Ridwan.

Selain Ridwan, dalam pertemuan dengan Kalla, hadir pula Fahmi Idris, yang juga Menteri Perindustrian, Ketua DPP Partai Golkar Rully Chairul Azwar dan Ferry Mursyidan Baldan.

Secara terpisah, juru bicara Ical, Lalu Mara, yang dihubungi Kompas di Lombok mengatakan, ”Apa yang disampaikan Pak Ridwan silakan saja ditulis. Pak Ical belum bisa berkomentar lebih jauh.”

Lalu Mara menambahkan, ”Saya bisa mengerti dengan kekalahan beruntun Partai Golkar pada pemilu legislatif dan pemilu presiden. Banyak kader Partai Golkar mengharapkan kejayaan Partai Golkar pada masa yang akan datang seperti sebelum ini. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan Partai Golkar sebagai pilihan mayoritas rakyat Indonesia seperti pemilu sebelumnya.”

Bantah didukung SBY

Ditanya apakah dukungan dari DPD-DPD terhadap Aburizal itu karena kemampuan finansial Ical yang kuat, Ridwan membantahnya. ”Bang Ical tidak datang bawa-bawa uang, tetapi datang membawa program dan janji kemajuan masa depan,” katanya.

Ridwan juga membantah bahwa upaya menjadikan Aburizal sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar didukung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, ia mengakui ada wacana mengenai posisi Akbar Tandjung sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar, Ical sebagai ketua umum, dan Agung Laksono sebagai sekjen. Pesaing lainnya yang akan maju adalah Kalla sebagai ketua dewan penasihat, Surya Paloh sebagai ketua umum, dan Siswono Yudo Husodo sebagai sekjen.

Secara terpisah, fungsionaris Partai Golkar, Indra J Piliang, menyebutkan, agenda terpenting Partai Golkar pasca-Pemilu 2009 adalah konsolidasi internal. Konsolidasi diri penting untuk persiapan menghadapi Pemilu 2014 dan juga pemilihan kepala daerah mulai 2010.

Indra yang juru bicara tim kampanye pasangan JK-Wiranto menyebutkan wacana oposisi hanya ada dalam sistem parlementer. Ia juga mengatakan selalu ada upaya pihak yang menang untuk merangkul yang kalah. Partai Demokrat dalam posisi membutuhkan Golkar yang merupakan partai politik moderat karena mitra utama koalisi Partai Demokrat saat ini adalah parpol kanan.

Menurut Indra, Kalla adalah sosok yang konsisten dengan pernyataannya. Sejak awal, Kalla tidak berniat kembali menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Jika kalah dalam pemilu, Kalla akan pulang kampung dan berkonsentrasi di bidang agama, pendidikan, dan perdamaian.

Kabinet SBY

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengemukakan, komposisi politik, personalia, kecakapan, dan representasi yang terbaik untuk benar-benar bisa membantu SBY dalam menunaikan visi, misi, dan program aksinya akan menjadi pertimbangan utama pembentukan kabinet. ”Saya juga yakin, SBY tidak bisa ditekan untuk menarik atau menolak Partai Golkar ke dalam jajaran pemerintahan,” katanya.

Apa yang dikemukakan Anas sejalan dengan jalan politik Demokrat, yaitu politik pintu terbuka kepada Partai Golkar. Namun, Anas menyebutkan, kemungkinan koalisi di pemerintahan masih terlalu dini dibahas.

Namun, tidak terlalu sulit menebak ke mana arah Golkar pasca-Pilpres 2009. Anggota Dewan Penasihat Partai Golkar yang juga Ketua Tim Kampanye JK-Wiranto, Fahmi Idris, sudah mengindikasikan sulitnya Golkar menjadi oposisi pemerintah.

Penegasan lebih keras pernah disampaikan Kalla jauh sebelum Pemilu 2009. Bagi Kalla yang membelokkan arah oposisi Golkar di bawah Akbar Tandjung yang digantikannya, oposisi adalah sebuah kecelakaan karena tujuan utama gagal diraih.

Perbedaan ini pernah menyulut perdebatan dan keretakan hubungan Kalla dengan Akbar. Akbar menilai mentalitas saudagar menguasai Golkar saat Kalla mengambil alih puncak pimpinan darinya. (HAR/DIK/INU)

Kamis, 02 Juli 2009

Polisi, "Bajik"dan "Bijak"

Robert Bala

I’m not against the police; I’m just afraid of them (Alfred Hitchcock).


Kata-kata American filmmaker (1899-1980) ini bisa ada benarnya. Polisi amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan komunal kian merebak. Masalahnya, mengapa polisi yang dirindu itu sekaligus dibenci?

Membangun sebuah image positif bukanlah hal mudah. Ia memerlukan proses perjuangan yang melelahkan. Aneka elemen konstitutif sebagai core values diciptakan untuk menyatukan perjuangan, menggugah keteladanan internal, dan menuai dukungan eksternal masyarakat.

Masalahnya, mengapa harapan itu tidak mudah terwujud? Atas pertanyaan ini, Saturla J dalam Vulnerabilidad, Dignidad y Justicia: Valores éticos Fundamentales en un Mundo Globalizado, 2003 membuka rahasianya. Ia mudah sirna karena kebijakan dalam bentuk aturan yang seharusnya dibuat secara bijak sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur dibuat seadanya. Akibatnya, pribadi yang terbentuk tidak utuh. Hal-hal internal yang lahir sebagai kebajikan diri menjadi langka.

Pemikiran yang sama diamini Dino Pasini dalam Problemi di Filosofia della Politica 1977. Ia melihat, politik sering menjenuhkan karena tidak dilihat secara utuh. Ia hanya medium untuk mencapai kepentingan jangka pendek, yakni kekuasaan. Padahal, inti kekuasaan timbul akibat pengakuan akan kualitas diri yang dimiliki seseorang. Martabat diri pun kian terbentuk karena dalam diri seseorang sudah ditemukan dimensi bajik dan bijak (virtuous and wise).

Lurus dan jujur

Perpaduan antara bajik dan bijak bukan hal baru dalam Polri. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sosok Hoegeng Iman Santoso, Kapolri 1968-1971. Dalam buku Pak Hoegeng, Polisi Profesional dan Bermartabat (Aris Santoso, dkk, 2003), terbitan Adrianus Noe Center, terungkap secara jelas.

Martabat kepribadian Hoegeng memulainya dari hal yang kelihatan sederhana. Saat menjabat Dirjen Imigrasi, tidak ada alasan hukum yang melarangnya untuk menutup Toko Kembang yang sudah lama diretas. Namun, nuraninya berkata lain. Pelanggan ”siluman” akan muncul secara gaib memborong bunganya.

Tidak hanya itu. Demi martabat, kerinduan putranya, Aditya, untuk menjadi tentara terkubur. Izin dari Hoegeng sebagai orangtua, sebagai prasyarat untuk seorang putra tunggal, sengaja diundur-undur. Baginya, bagaimanapun, izin itu merupakan ”katebelece” karena ditandatangani orangtua anak Kapolri.

Aditya begitu kecewa, tetapi kini ia sadar, itu adalah buah dari komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar. Ia adalah contoh bahwa kalau Hoegeng masih hidup, pasti ia tidak akan mengizinkan anaknya jadi caleg seperti yang lazim dibuat pejabat.

Citra diri

HUT Polri perlu sekaligus menjadi momen aktualitatif terhadap nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki negeri ini sekaligus menjadi acuan untuk membangun pamor Polri agar semakin baik.

Pertama, citra diri Polri tidak merupakan buah dari peraturan eksternal, tetapi dibentuk melalui proses penanaman nilai-nilai. Dalam bahasa John F Kennedy, a police state finds that it cannot command the grain to grow. Itu berarti, proses itu harus dimulai dari hal-hal keseharian.

Sambil tidak melupakan kemajuan yang telah dicapai, fenomena harian masih menunjukkan praksis yang kontradiktif. Polisi nakal yang bisa diajak ”berdamai” di jalan, hingga jajaran petinggi yang kelihatan masih belum independen dalam menyelesaikan kasus seperti pemilu, menunjukkan bahwa keseharian kita masih tersendat.

Kedua, perlu kemauan untuk membangun kepercayaan. Sebagai aparat penegak hukum, Polri (semestinya) menyadari bahwa kepincangan reformasi yang kini dirasakan juga disebabkan oleh memudarnya kepercayaan rakyat terhadapnya. Rakyat sudah bosan dan muak oleh kesaksian tidak sedikit anggota Polri yang jauh dari harapan.

Sebaliknya, perubahan bangsa ke arah yang lebih positif akan terwujud saat Polri menyadari bahwa kepercayaan pada korpsnya akan menjadi langkah bijak ke arah pembaruan bangsa.

Meminjam Jacques Prevet (1900-1977), penyair asal Perancis, When truth is no longer free, freedom is no longer real: the truths of the police are the truths of today.

Ketiga, perlu menanamkan kebajikan dalam kebijakan. Aturan perundangan demi mereformasi tubuh Polri amat penting. Tetapi, ia akan lengkap ketika reformasi itu dibuat di atas pijakan yang kuat, yakni sikap penuh kebajikan. Itu berarti, ia harus berawal dari diri sendiri sebelum dilansirkan keluar, sebagaimana pernah dicontohkan oleh Hoegeng.

Bila kita memulai dari sini, niscaya tahun depan Polri sudah selangkah lebih maju. Rakyat tidak lagi takut kepada Polri, melainkan kian mengaguminya.

Dirgahayu Polisi Republik Indonesia.

Robert Bala Diploma Resolusi Konflik dan Perdamaian di Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol; Bekerja pada Adrianus Noe Center dan Lembaga Penghargaan Hoegeng

Menuju Perpolisian Hijau

SATJIPTO RAHARDJO

Pada tahun 1989 di Giardini-Naxos, Messina, Sisilia, Italia, diselenggarakan sebuah seminar kepolisian internasional bertema ”Policing in the 21st Century: Interfaces with the Social, Cultural, and Private Security Services”. 

Dalam seminar itu, William Tafoya dari Amerika Serikat tampil dengan makalah yang memikat, Changes of Police Functions towards the End of the Century: Integration of the Social; Network. Tafoya mengatakan, pekerjaan polisi terimbas oleh pesatnya perkembangan teknologi yang telah mengubah dunia menjadi a global village. Polisi berada di tengah-tengah transformasi itu dan perlu mengubah fungsi polisi tradisional yang dijalankan selama ini.

Memimpin bangsa

Beberapa pokok pikiran Tafoya antara lain, pertama, polisi harus belajar untuk berbagi informasi, yang berarti menguasai ilmu pengetahuan mutakhir dengan baik. Kedua, polisi hendaknya tidak melihat dirinya sebagai sebuah angkatan kerja saja, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai bagian integral dari lingkungannya serta menjadikan dirinya sebagai badan (agent) yang selalu dicari lingkungannya. Ketiga, untuk dapat menjalankan fungsi itu dengan baik, polisi hendaknya melakukan refleksi terhadap hakikat perubahan sosial yang terjadi. Keempat, polisi hendaknya menjadi fasilitator perubahan.

Hal itu akan sulit dilakukan jika polisi masih memfungsikan diri sebagai penjaga status quo. Kelima, polisi harus memimpin bangsanya agar berhasil melewati masa perubahan dengan baik. Untuk itu, ia harus berada satu langkah di depan.

Pikiran-pikiran Tafoya yang muncul hampir 20 tahun lalu masih relevan untuk keadaan sekarang. Kini dunia masih dalam suasana perubahan dan transformasi kendati masalah yang dihadapi tidak persis sama dengan keadaan 20 tahun lalu.

Berbagai masalah yang mencekam dunia (burning issues) saat ini sudah berkembang sedemikian rupa sehingga berkualitas ”masalah planet”. Babak tentang perkembangan teknologi, seperti dikedepankan Tafoya, yang mengubah gaya hidup manusia, sudah memasuki babak baru, yaitu kerusakan bumi akibat eksploitasi alam yang dilakukan teknologi tinggi.

Etika hidup baru

Masalah pemanasan global sudah mengambil alih ”kepemimpinan” teknologi tinggi itu. The Club of Rome (1970) kini disusul The Club of Budapest (1998) yang makin mempertajam masalah tentang kerusakan bumi kita dengan mengeluarkan Manifesto on Planetary Consciousness. Kalau umat manusia ingin hidup dengan selamat (sustainable), tidak ada jalan lain kecuali mengubah gaya hidup dengan mengembangkan kesadaran beretika hidup baru, yaitu planetary ethics.

Jika mengikuti dan mencermati pikiran Tafoya, dengan adanya perubahan yang bertubi-tubi, kepolisian adalah badan yang seharusnya paling sibuk. Kini polisi memiliki tugas baru, yaitu memimpin bangsanya melewati krisis yang sudah berdimensi planet itu dengan baik.

Memang dalam banyak hal, polisi selalu menjadi etalase pamer (show window) dari perubahan di masyarakat. Pada waktu Indonesia memasuki era HAM tahun 1980-an, perilaku perpolisian menjadi tolok ukur sejauh mana HAM benar-benar dimajukan di negeri ini.

Berbagai hubungan yang harus dijaga oleh polisi sekarang tidak lagi hanya berupa hubungan harmoni antarmanusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam. Polisi dan perpolisian harus mengamankan suatu etika baru, yaitu planetary ethics itu. Kalau diikuti pikiran Tafoya, jauh sebelum bangsa kita dihadapkan kepada etika planet tersebut, polisi seharusnya sudah memahami seluk-beluk masalah lingkungan dan biosfer agar mampu membimbing bangsanya.

Polisi berada di barisan paling depan untuk mewujudkan etika baru tentang hidup dalam planet dewasa ini. Kini masih banyak gaya hidup manusia yang bertentangan dengan tuntutan etika baru terkait dengan hubungan antara manusia dan alam. Polisi ada di tengah gejolak perubahan yang baru ini.

Pekerjaan mulia

Menurut informasi, Indonesia belum memiliki divisi polisi yang menjaga harmoni antara manusia dan alam atau polisi lingkungan. (Mudah-mudahan informasi saya keliru.) Di negara lain, kita dapat menyaksikan kehadiran divisi polisi lingkungan. Di Belanda, misalnya, bisa ditemukan polisi dengan selempang Millieu Politie sibuk mengangkat barang-barang dari kanal, seperti rongsokan sepeda yang dibuang orang begitu saja.

Pekerjaan polisi seharusnya merupakan pekerjaan mulia karena menjaga kualitas kehidupan manusia. Polisi Belanda bersemboyan ”Kita bekerja agar orang dapat tidur dengan nyenyak”. Sungguh kata-kata sederhana yang mengharukan dan melambangkan kemuliaan itu.

Memang masih banyak kekurangan Polri dalam ”melindungi dan melayani” publik. Kini, porsi pekerjaannya menjadi lebih berat lagi dengan tambahan fungsi untuk tidak saja menjaga harmoni hubungan antarmanusia dalam masyarakat, tetapi juga manusia dengan alam.

Hari Bhayangkara adalah saat yang bagus bagi Polri untuk merenungkan perannya dalam ikut menjaga keberlangsungan (sustainability) hidup manusia di planet ini. Pemanasan global sudah nyata-nyata terjadi. Apakah Polri belum tergerak untuk menjadikan kepolisian Indonesia berada di barisan terdepan dalam mengimplementasikan planetary ethics itu? Pikiran untuk membuat Green Constitution sudah mulai muncul di Indonesia. Penjagaan keamanan hidup di bumi sudah amat mendesak untuk dilaksanakan.

Polri sudah seharusnya berada di depan untuk ikut mengubah dan memandu gaya hidup manusia sesuai dengan tuntutan etika hidup yang baru itu. Untuk itulah, pada hemat saya, kehadiran the Green Police dinantikan di negeri ini.

Selamat Hari Bhayangkara.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang