Jumat, 05 Maret 2010

Perilaku Parpol dan Kepentingan Publik


Jumat, 5 Maret 2010 | 04:41 WIB

Dodi Ambardi

Rapat Paripurna DPR untuk kasus politik Bank Century usai sudah, dan peta baru perimbangan politik kini terbentuk setelah tiga partai bertukar tempat dalam kaitannya dengan posisi mereka di dalam koalisi pemerintahan.

Tiga partai, yakni Golkar, PKS, dan PPP, meninggalkan koalisi. Mereka kini berkubu dengan tiga partai lain yang sejak semula berada di luar koalisi pemerintahan. Sejauh mana peristiwa ini bisa menjadi jendela bagi kita untuk menengok masa depan perilaku partai politik di Indonesia dan perilaku koalisi mereka, serta bagaimana perilaku partai itu bisa bersambungan dengan kepentingan publik?

Prediktabilitas

Kasus Bank Century telah menunjukkan dengan gamblang perilaku setiap partai politik yang bercokol di DPR, dan kasus itu menyentuh dua isu pokok yang penting dalam politik kepartaian, yakni problem prediktabilitas dan kredibilitas yang selama ini diidap oleh partai politik di Indonesia.

Prediktabilitas adalah situasi di mana kita yang berada di luar elite bisa menebak perilaku yang diambil oleh partai berdasarkan sinyal yang diberikannya sejak awal. Jika Golkar dan PKS, misalnya, dari awal bersikukuh dengan Opsi C dalam menilai kebijakan pemerintah dalam kasus Bank Century, maka dalam pandangan akhir di Rapat Paripurna DPR mereka tetap memilih Opsi C. Isi Opsi C ini intinya kebijakan bail out dianggap kebijakan yang salah dan implementasinya juga salah.

Demikian juga Demokrat dan PKB, pada permulaan bekerjanya Pansus, mereka dengan segera memilih Opsi A meskipun belum diberi label seperti itu pada awalnya. Pada rapat paripurna, keduanya tetap memilih Opsi A. Mereka bersikukuh dengan pandangan bahwa kebijakan bail out benar, tetapi pada implementasinya ada kesalahan.

PPP, Gerindra, dan PAN adalah tiga partai yang pada tengah proses beberapa kali bertukar pemihakan. Mereka menjadi ragu ketika lobi-lobi politik digencarkan oleh Demokrat atau oleh tim Presiden Yudhoyono. Sinyal awal yang diberikan oleh ketiga partai ini seolah memilih ke Opsi C, di tengah proses mereka goyah, dan di akhir proses mereka bersimpang, PPP dan Gerindra memilih Opsi C, dan PAN ke Opsi A.

Kini, petanya jernih, dan kita mengetahui posisi setiap partai dalam kasus Bank Century. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah tingkat prediktabilitas perilaku partai-partai politik ini akan berkembang ke sektor-sektor kebijakan lainnya dan bisa bertahan dari waktu ke waktu?

Pertanyaan ini penting karena tingkat prediktabilitas ini bersangkut paut dengan kepentingan publik di dua tingkat. Pertama, ambilan posisi partai politik memberikan sinyal bagi publik tentang cara mereka memilih jenis kebijakan publik. Secara substantif, kebijakan bail out bisa dikaitkan dengan kesetujuan atau ketidaksetujuan partai atas peran pemerintah dalam ekonomi. Opsi A bisa ditafsirkan sebagai kesetujuan atas adanya intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Lebih spesifik lagi, itu pertanda kesetujuan keterlibatan pemerintah dalam bisnis perbankan yang diisi pemain swasta.

Belum jelas benar memang, apakah penolakan Golkar, PKS, PDI-P, PPP, Gerindra, dan Hanura sesungguhnya bukan terletak pada persoalan intervensi negara, tetapi pada sebab kebijakan, yakni klaim dampak sistemik jika bail out tak diberikan. Artinya, apabila diandaikan bahwa memang ada sebab sistemik sebagaimana diklaim oleh kubu koalisi pemerintahan, partai-partai tersebut akan mengubah haluan dan membenarkan adanya intervensi negara/pemerintah. Publik akan mendapatkan penjernihan lebih jauh bila pada masa mendatang partai-partai politik tersebut mengeksplorasi isu peran pemerintah ini.

Kedua, sinyal posisi partai pada isu Bank Century ini akan lebih baik bagi publik jika dalam masa mendatang partai-partai itu membentangkan ambilan posisinya pada isu sektoral lainnya, misalnya, perjanjian perdagangan ASEAN dan China, apakah pilihan kebijakan yang bisa diambil: meneruskan karena perjanjian dagang itu sudah diratifikasi, menundanya, atau membatalkannya sama sekali.

Pada pilihan itu, lagi, peran pemerintah dalam isu perdagangan bebas jadi lebih jelas, dan partai politik harus mengambil posisinya. Partai-partai itu harus punya kemampuan dan keberanian untuk mengambil posisi dalam isu-isu yang subtantif.

Selanjutnya, posisi-posisi partai dalam kebijakan sektoral harus dikembangkan, dan lebih baik lagi bila bisa lintas sektoral, termasuk sektor pendidikan, program-program negara kesejahteraan, pertahanan, politik luar negeri, pertanian serta industri, dan lain-lain. Paket-paket kebijakan yang mempertegas posisi partai politik dalam berbagai isu strategis tersebut akan memberikan identitas programatik partai-partai tersebut. Bila diperlukan sebuah koalisi agar paket kebijakan tertentu mendapat kemenangan atau dukungan terhadap sebuah paket kebijakan, koalisi yang muncul haruslah berbasis identitas programatik tersebut.

Penjernihan posisi partai politik dalam kasus Bank Century ini barulah awal yang baik. Ujian berikutnya bagi partai politik— selain mengembangkan posisi dan paket kebijakan di atas—adalah bagaimana mereka menunjukkan kredibilitasnya.

Kredibilitas

Kredibilitas umumnya diukur melalui derajat konsistensi partai politik dalam pengambilan posisinya terhadap isu atau kebijakan yang sejak awal dinyatakannya. Dalam perdebatan di DPR, misalnya, jika sejak awal sebuah partai memberikan sinyal kepada publik tentang pilihan posisinya, pada akhir perdebatan atau pandangan akhir partai dalam rapat paripurna juga menegaskan pilihan tersebut.

Dalam kasus Bank Century, setidaknya enam partai tampak konsisten. Pada satu kubu, Demokrat dan PKB terus berada pada Opsi A, sementara di kubu lain, PDI-P, Golkar, PKS, dan Hanura, tetap pada Opsi C—meskipun label opsi ini kerap berganti. PPP, Gerindra, dan PAN terkesan bolak-balik di antara dua kubu tersebut dalam rumusan dan derajat inkonsistensi yang berbeda-beda. Dengan kata lain, enam partai tampak kredibel, tiga lainnya kurang kredibel.

Namun, soal kredibilitas ini tak bisa dibangun hanya bertolak dari satu kasus. Pada isu dan waktu yang lain dalam rentang waktu antara dua pemilu, setiap partai harus menjaga konsistensinya.

Selama sepuluh tahun era reformasi, problem kronik inilah yang diidap oleh partai-partai politik. Semua partai getol menjual isu populis ekonomi kerakyatan, tetapi tidak ada rincian bagaimana ekonomi kerakyatan itu dirumuskan dalam isu-isu kebijakan. Karena itu, kita kerap menjumpai, dalam kampanye partai berwajah kerakyatan, tetapi dalam kebijakan pemerintahan tidak jelas lagi apakah kebijakan yang diambil itu cocok dengan cetak biru kebijakan yang ditawarkannya. Lebih parah lagi, mereka tak jernih merumuskan cetak biru itu. Contoh semacam ini mudah diperbanyak.

Jika empat tahun mendatang setiap partai bisa mencapai tingkat prediktabilitas tertentu dan mampu membangun kredibilitas sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Bank Century, kita bisa berharap, struktur kompetisi antarpartai politik akan semakin bermakna bagi publik—dan kelak pemilih. Mereka benar-benar bisa menimbang pilihan partai dengan melihat track record pilihan dan posisi kebijakan mereka dalam berbagai isu.

Perbedaan kualitas partai dan struktur kompetisi kepartaian antara Indonesia dan negara-negara maju sesungguhnya terletak pada kesenjangan tingkat prediktabilitas dan kredibilitas ini. Di negara-negara maju, perilaku partai politik umumnya prediktabel, dan sekaligus umumnya mereka kredibel. Di Indonesia, partai-partai politik ini masih harus membuktikan bahwa mereka prediktabel dan kredibel pula. Dengan demikian, kasus Bank Century sesungguhnya hanyalah sebuah permulaan bagi kita untuk menilai perilaku partai di masa mendatang. Kelak publik tahu, partai mana yang prediktabel dan kredibel, mana yang tidak. Dengan kata lain, kita tahu, mana partai yang layak dipilih mana yang sebaiknya dilupakan dalam pemilu.

Dodi Ambardi Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

Demokrasi ala Partai Demokrat


Jumat, 5 Maret 2010 | 04:43 WIB

Syamsuddin Haris

Hiruk-pikuk politik di balik pengungkapan skandal penalangan Bank Century melalui pembentukan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century usai sudah. Melalui pemungutan suara secara terbuka, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyatakan sikapnya. Mengapa kubu Partai Demokrat kalah dan apa implikasi politik yang signifikan ke depan?

Meski didahului akrobat politik memalukan, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyatakan sikapnya terhadap skandal Century. Fraksi Partai Demokrat yang menjadi basis politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menerima fakta bahwa mayoritas anggota DPR, yakni 325 orang dari 537 anggota yang hadir, menilai adanya penyimpangan dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century sehing

Enam fraksi, yakni tiga dari partai politik koalisi (Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera/PKS, dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP) serta tiga parpol non-koalisi (PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura), mendukung penilaian tersebut berhadapan dengan tiga parpol koalisi lainnya (Demokrat, Partai Amanat Nasional/PAN, dan Partai Kebangkitan Bangsa/PKB) yang menyatakan penalangan Century tidak bermasalah.

Pelajaran bagi Demokrat

Kendati kemenangan opsi C (penalangan Century bermasalah) sudah diduga sebelumnya, kejutan terjadi ketika PPP meninggalkan sikap Demokrat, PKB, dan PAN, serta tatkala Lily Chodijah Wahid (PKB), adik kandung almarhum Abdurrahman Wahid, ”mbalelo” dari sikap fraksinya. Kekalahan kubu Partai Demokrat dalam pemungutan suara DPR merupakan pengalaman pahit yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi Presiden Yudhoyono.

Betapa tidak, melalui koalisi politik yang dibentuknya, Yudhoyono tentu berharap bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk pemberian dana talangan bagi Century, didukung penuh oleh enam parpol koalisi. Untuk memperluas dukungan DPR terhadap pemerintahannya, Yudhoyono bahkan akhirnya mengajak pesaingnya, Partai Golkar, turut bergabung ke dalam koalisi.

Harapan Presiden Yudhoyono ini jelas sangat wajar, tetapi tidak bertolak dari watak koalisi dalam skema presidensial berbasis multipartai yang hampir selalu cair, longgar, dan tidak pernah disiplin.

Pengalaman Presiden pada periode 2004-2009 sebenarnya sudah memperlihatkan bahwa koalisi politik melalui Kabinet Indonesia Bersatu I tidak pernah menjadi jaminan bagi dukungan parpol terhadap kebijakan pemerintah di DPR.

Persoalannya menjadi sangat krusial jika Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat tidak pernah berusaha merawat, mengelola, dan membangun komunikasi politik yang intensif dengan parpol-parpol koalisi. Dalam kasus Bank Century, misalnya, tampak jelas bahwa berbagai upaya lobi yang dilakukan bukan hanya terlambat dilakukan, tetapi juga tidak terencana dan terkelola dengan benar.

Bahkan tidak jelas, mengapa untuk lobi politik dengan tokoh sekaliber Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, atau Akbar Tandjung; Yudhoyono hanya mengirim staf khusus Presiden bidang bencana, Andi Arief, atau Felix Wanggae, staf khusus yang mengurusi otonomi daerah.

Mabuk kemenangan

Fenomena Partai Demokrat, seperti direpresentasikan melalui pernyataan vulgar beberapa anggota DPR dan pimpinan parpol bergambar segitiga biru ini adalah fenomena ”mabuk kemenangan”. Politik dan demokrasi seolah-olah telah berakhir dengan kemenangan Demokrat dalam pemilu legislatif dan kemenangan Yudhoyono dalam pemilu presiden.

Padahal, politik justru baru dimulai seusai pemilu. Artinya, kesungguhan komitmen mereka seperti dijanjikan dalam pemilu baru diuji ketika pemerintahan hasil pemilu bekerja.

Oleh karena itu, pernyataan politik melalui media, baik oleh Presiden Yudhoyono maupun anggota dan pimpinan Partai Demokrat, bukanlah cara cerdas, apalagi efektif, dalam merawat dan mengelola koalisi politik.

Dalam skema presidensial berbasis multipartai seperti dianut bangsa kita, Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat jelas tidak cukup merebut simpati dan dukungan publik, kecuali jika sistem politik kita mengenal mekanisme referendum ataupun plebisit yang sewaktu-waktu dapat mematahkan perlawanan DPR terhadap presiden melalui jajak pendapat rakyat.

Dalam sistem politik yang dianut konstitusi kita, dukungan politik riil bagi efektivitas pemerintahan pertama-tama datang dari DPR, bukan dari media ataupun publik. Karena itu, keberadaan koalisi parpol pendukung Yudhoyono semestinya tidak dipandang secara taken for granted.

Para politisi parpol koalisi yang memilih opsi C sadar betul bahwa kedudukan mereka di DPR setara dengan Presiden dan memiliki legitimasi yang sama kuatnya di hadapan rakyat. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Yudhoyono dan Demokrat kecuali harus pandai-pandai merawat dan mengelola koalisi politik yang telah dibentuk.

Implikasi ke depan?

Kekhawatiran berlebihan Presiden dan Partai Demokrat atas implikasi politik kasus Century sebenarnya tidak perlu. Secara substansi ataupun prosedur konstitusi, sangat sulit bagi Dewan mengarahkan dugaan kesalahan kebijakan Gubernur Bank Indonesia dalam kasus Century sebagai dasar pemakzulan Wakil Presiden Boediono.

Apalagi sejauh ini belum terdengar adanya agenda pemakzulan di balik sikap keras parpol koalisi, baik dari Golkar maupun PKS.

Karena itu, heboh skandal Century kemungkinan berakhir dengan usainya Rapat Paripurna DPR. Kalaupun proses hukum berlanjut atas sejumlah pejabat dan mantan pejabat publik yang dinilai bertanggung jawab, antusiasme media dan publik mungkin tidak akan sebesar ekspektasi mereka atas perseteruan parpol di DPR.

Itu artinya, soal Century pun bakal menguap bersamaan dengan bergulirnya isu-isu politik baru dalam relasi Presiden-DPR.

Lalu, apa yang diperoleh bangsa ini dari kisruh politik Century selama dua hingga tiga bulan terakhir? Bagi rakyat kita, hampir tidak ada yang substansial kecuali semakin terbukanya proses politik dalam relasi Presiden-DPR.

Namun, buat Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat, semua ini merupakan pelajaran bahwa demokrasi bukan sekadar memenangi pemilu, dan koalisi tidak identik dengan sikap ”yes man” terhadap pemerintah.

Karena itu, jika Presiden membuka mata dan hati serta mengakui ada kesalahan kebijakan dalam skandal Century, hampir tak ada alasan untuk mengocok ulang formasi koalisi.

Syamsuddin Haris Profesor Riest Ilmu Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan

Minggu, 28 Februari 2010

Demokrasi Jadi "Thugocracy"


Sabtu, 27 Februari 2010 | 03:03 WIB

Emmanuel Subangun

Setiap hari dicecar berita tentang Bank Century, masyarakat pun telah sampai pada titik jenuh.

Semakin kelihatan bahwa masalah perbankan adalah masalah ruwet dan rumit, semakin masyarakat tidak terlalu tahu mau ke mana arah politik dari hiruk-pikuk itu. Semakin DPR ”transparan”, soal sesungguhnya juga semakin kabur. Mengapa?

Kejenuhan itu terjadi karena dalam hal ini aneka macam segi tampil serentak dan para penggerak peristiwa itu juga tidak terlalu sadar akan hal yang dijalaninya. Tidak terlalu jelas batas antara soal ”ekonomi” dengan soal ”hukum”, misalnya sekitar istilah ancaman yang disebut ”sistemik” dalam pemikiran ekonomi, tetapi kemudian jika tindakan untuk menghadapi soal sistemik itu diletakkan dalam kerangka ”hukum”, segera orang masuk dalam lorong gelap. Kemudian akan menjadi gelap gulita ketika soal ”hukum” (artinya soal ada tidaknya tindakan melawan hukum) disandingkan dengan pertimbangan ”politik”, maka kita tidak tahu di mana tempat yang diambil oleh parlemen sebagai lembaga legislasi dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.

Tokoh-tokoh yang menyuarakan semua hal itu adalah mereka yang terdidik dalam sistem pendidikan kita dari zaman Orde Baru, dengan kurikulumnya yang khas itu. Mereka adalah produk sebuah sistem pendidikan yang disebut sebagai provincial. Artinya ekonomi bukan hukum, hukum bukan politik, dan ekonomi bukan pula politik. Dengan cara berpikir yang terkotak-kotak semacam itu, praktis komunikasi pada tingkat konseptual tidak pernah ada. Dengan demikian, segala rupa ucapan dan penilaian yang selama ini beredar tak lain adalah cermin dari struktur mental pada tokoh yang terlatih dalam kotak-kotak itu. Ketika cara berpikir dalam kotak terpisah itu ditambah dengan gairah kekuasaan, dengan sendirinya tak pernah menjadi jelas apa yang disebut ”kenyataan” dalam kasus ini.

Sementara itu masyarakat luas harus menanggung beban langsung dari tindakan pemerintah yang sedang dipersengketakan itu. Mereka mempunyai harapan tersendiri pada perjuangan kepentingan mereka yang diwakilkan pada parlemen. Mereka mengharap kasus ini ditutup secara ”adil” karena sudah menjadi ingatan bersama bagaimana kasus serupa yang jauh lebih besar, yakni soal BLBI, tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan ”adil”. Jadi, dalam hal ini, sesungguhnya, tidak terjadi komunikasi politik yang terang antara parlemen dan masyarakat.

Rasa hebat sendiri

Seperti dialami oleh setiap orang yang pernah duduk di perguruan tinggi dan mendapatkan kuliah ekonomi, ilmu ini mengidap dua penyakit pokok. Penyakit pertama, demi tegaknya ilmu ekonomi, batas ilmu harus jelas. Dalam bahasa mereka, ekonomi harus dipisah dari fakta sosial yang lain, yang gagah disebut dengan istilah latin ceteris paribus. Lalu lahir model ekonomi dan celakanya setiap kebijakan ekonomi dasarnya adalah model yang disusun di balik meja itu. Penyakit kedua, ilmu ekonomi tak sudi dimasukkan dalam kelompok ilmu sosial sehingga dirinya dianggap sebagai bintang yang paling tahu soal masyarakat. Hal ini lalu menimbulkan rasa hebat sendiri.

Ketika proses hukum dan politik tidak lagi dapat dikesampingkan begitu saja dalam keputusan ekonomi yang dilakukan oleh menteri keuangan dan direktur BI, sesungguhnya tokoh birokrat kita itu tidak siap juga secara konseptual dan eksistensial. Tadinya mereka tentu mengira bahwa berkat ratunya ilmu masyarakat ini, ilmu ekonomi memiliki advantage pula dalam politik dan hukum. Maka, ketika dengar pendapat digelar, amat jelas bagaimana ahli ekonomi itu tertatih-tatih dan anggota parlemen sekadar berangkat dari nalar umum. Ekonomi yang ”ilmiah” jadinya juga tidak bersambung dengan common sense. Terjadi disfungsionalisasi komunikasi elite.

Dan, untuk semakin memperkeruh keadaan, masih ada faktor lain yang semakin menyesatkan. Hal itu berkenaan dengan kultur politik kita sebagai hasil dari demokrasi yang semakin meluas. Artinya, persaingan elite politik—baik birokrat atau anggota parlemen—langsung tidak langsung ditentukan oleh pendapat umum. Padahal, apa yang disebut pendapat umum itu tidak lain adalah juga hanya produk kegiatan pengumpul suara/pengumpul pendapat umum (pollster). Pendapat umum tidak aktif, tetapi hanya obyek pasif yang diolah oleh para pollster.

Para pemungut pendapat umum itu juga memiliki kepentingan bisnisnya sendiri karena mereka terkait rapat dengan urusan pemasaran politik. Dan, jika kita tahu bahwa pemasaran sepenuhnya adalah upaya keras untuk menciptakan nilai (value creation), maka menjadi semakin benderang segala hal ini apabila diketahui ”nilai” apa yang sedang diolah oleh para pemasar politik.

Nilai itu juga sederhana, yakni sebuah gagasan yang lazim disebut anti-incumbency (menolak yang duduk di kursi jabatan). Jika pemasaran produk sampo, misalnya, nilai barunya bisa membikin rambut kemilau, maka pemasaran politik juga akan meletakkan anti-incumbency ini pada gagasan nilai tambahnya.

Akhirnya, dengan semua hal ini, yang terjadi adalah sebuah demokrasi yang bergerak menjadi thugocracy alias premanisme.

Emmanuel Subangun Sosiolog

Selasa, 19 Januari 2010

Kepak Sayap Sang Raja Jawa


Selasa, 19 Januari 2010 | 02:55 WIB

Oleh THOMAS PUDJOWIDIJANTO

Beberapa waktu lalu muncul surat edaran dari Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tri Harjun yang intinya meminta agar setiap pegawai negeri sipil menjadi abdi dalem keraton Yogyakarta. Edaran yang sifatnya imbauan tidak mengikat itu bertujuan melestarikan kebudayaan dan melestarikan kelembagaan Kesultanan Yogyakarta.

Meski Keraton tidak enak hati dengan imbauan itu, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Joyokusumo selaku Pengageng Kawedanan Ageng Panitipura Keraton Yogyakarta menyatakan, dalam sejarahnya sampai pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta terbagi dua, eksekutif dan kebudayaan. Pemerintahan eksekutif yang dikelola Patih Dalem disebut abdi dalem kaprajan. Adapun abdi dalem yang bekerja di lingkungan keraton disebut abdi dalem punokawan,

”Sejak pemerintahan Sultan HB X memang tak ada keharusan lagi pegawai negeri sipil (PNS) menjadi abdi dalem. Tidak usah ada imbauan saja, sekarang ini sekitar 1.400 PNS yang menjadi abdi dalem. PNS yang menjadi abdi dalem keraton harus memiliki kualitas kultural tertentu,” kata Joyokusumo.

Jika surat edaran itu mengundang pro-kontra, bagi Tri Harjun, semata-mata hanya ingin mengembalikan kekhasan Yogyakarta. Bahkan, sekaligus akan dijadikan salah satu ciri dari keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Menggali berbagai kekayaan budaya semacam itu senantiasa dilakukan masyarakat atau Pemerintah DIY. Ini menunjukkan soal keistimewaan DI Yogyakarta hal mutlak bagi warga. Ini senada dengan apa yang muncul dalam diskusi tentang RUU Keistimewaan (RUUK) DIY, semua panelis menyatakan, DIY memang memiliki keistimewaan yang harus dipertahankan.

Kekuatan kebudayaan banyak ditekankan panelis sebagai kekuatan untuk keistimewaan Yogyakarta. Nilai kebersamaan, gotong royong, saling menghormati, penuh kepedulian, pemufakatan, dan musyawarah adalah roh yang mendasari terbentuknya sebuah kerajaan Ngayogyakartahadiningrat. Bahkan, pemerintahan di Yogyakarta disebut sebagai artifact, socifact, dan mentifact dari kebudayaan Nusantara yang berkelanjutan menjadi kebudayaan Indonesia yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dari masa kolonial sampai masa Indonesia modern.

Kekuatan budaya yang melahirkan demokrasi yang diilhami kearifan lokal itulah basis keistimewaan DIY, di bawah pimpinan Kesultanan Yogyakarta. Itu terbukti dari sistem pemerintahan yang mampu melangsungkan kehidupannya dalam pergeseran dari bentuk vosten landen (praja kejawen-zaman kolonial) menjadi daerah istimewa sejak masa kemerdekaan Indonesia.

Beberapa panelis juga berharap, jangan sampai kekayaan dan kekhasan budaya Yogyakarta terhapuskan oleh konsep politik. Artinya, biarlah struktur pemerintahan di bawah kepemimpinan keraton. Kekhasan pemerintahan di Yogyakarta adalah kerajaan. Otonomi dengan keraton sebagai pusatnya jangan sampai terperangkap dalam konsep otonomi yang seragam. Dengan memandang otonomi tak hanya dari konsep politik, tetapi juga dari sisi budaya, kekhasan, atau keistimewaan, Yogyakarta akan terselamatkan. Keraton adalah kekayaan dan keindahan sejarah.

Bahkan, keberadaan Keraton Yogyakarta sudah ada sebelum pemerintahan Indonesia ada. Kehadiran pemerintahan Keraton Yogyakarta diakui dunia. Karena itu, pernyataan Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pernyataan cerdas dan pemahaman kenegarawanan Sultan HB IX waktu itu. Ini menunjukkan pula Keraton bukanlah feodal. Namun, punya sikap demokratis dengan visi ke depan.

Pengakuan tentang kemerdekaan Indonesia oleh Keraton memiliki makna historis yang besar dalam memberikan jaminan konkret berupa legitimasi terhadap eksistensi republik yang saat itu masih bayi. Tanpa itu, Belanda pasti akan mengklaim kembali atas wilayah Nusantara setelah berakhirnya pendudukan Jepang.

Kepak sayap raja Jawa itu semakin teruji ketika bersama Paku Alam VIII menjadi jaminan bagi Republik Indonesia ketika Ibu Kota harus pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.

Jiwa demokratis Sultan HB IX tecermin dalam pemerintahan Yogyakarta, yang sudah memiliki lembaga perwakilan daerah. Visi ke depan ditunjukkan secara konkret dengan menyediakan Keraton Yogyakarta sebagai tempat pendidikan tinggi. Dari Pagelaran Keraton Yogyakarta lahirlah Universitas Gadjah Mada, yang menjadikan wilayah Yogyakarta sebagai wilayah multikultural dengan hadirnya mahasiswa dari berbagai daerah di Tanah Air.

Kebudayaan

Sampai saat ini keberadaan Keraton Yogyakarta tetap kokoh sebagai artefak yang hidup di tengah arus zaman. Keraton masih menyimpan kekayaan budaya yang unik. Di dalamnya ada empat museum yang mencatat perjalanan sejarah kerajaan trah Mataram itu. Buku kuno, serat, babad, dan tembang tersimpan di sana. Berbagai jenis tari, bedaya, srimpi, golek, Maeso Lawung adalah bukti suara kebudayaan Keraton masih menggema.

Keraton masih menyimpan berbagai tradisi, adat istiadat yang kuat. Misalnya, saat Lebaran, semua PNS dan bupati berbaur dengan abdi dalem datang ke Keraton untuk sungkeman kepada Raja. Tradisi jumenengan, tingalan dalem, labuhan laut, dan upacara di Gunung Merapi adalah warna budaya keraton yang masih tetap terjaga hingga sekarang.

Keraton adalah sejarah panjang dari pemerintahan sejak pendirinya, Pangeran Mangkubumi (1755-1792). Sebuah pemerintahan yang terus berjalan dengan dinamika politik, sosial, budaya, yang tentu saja melahirkan proses pendewasaan yang terus-menerus. Itu berjalan sampai sekarang. Putra mahkotanya masih tetap memberikan sumbangsih untuk negeri yang bernama Indonesia ini. Sebagai keturunan Mangkubumi, Sultan HB IX, dan kini Sultan HB X, masih terus bisa memberikan nilai sejarah bagi leluhur dan bangsanya.

Secara empiris, posisi Sultan HB dan Paku Alam sebagai kepala daerah sudah terpelihara sepanjang perjalanan Republik Indonesia, termasuk proses suksesinya berlangsung stabil. Selama 11 tahun terakhir dalam pemerintahan Sultan HB X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY juga tidak terjadi suatu yang aneh, apalagi sesuatu yang buruk.

Barangkali pendiri Kerajaan Yogyakarta tidak mengira kekuasaan yang tinggal sakmegaring payung (seluas payung terbuka) yang sekarang dipimpin Sultan HB X, pada saat ini harus menghadapi persoalan kepemimpinan. Memang semua mengakui ada keistimewaan di DIY. Namun, kepemimpinan kepala daerahnya ditetapkan atau dipilih itu yang kini membuat berlarut-larutnya pembahasan payung hukum kepemimpinan di DIY.

Ada panelis yang menyatakan, masa pemerintahan mulai Sultan HB IX sampai HB X berjalan mulus tanpa ada gejolak yang berarti. Pemerintahan dan Keraton Yogyakarta menyatu. Penetapan bukan menjadi masalah. Sebab, demokrasi muaranya adalah kesejahteraan rakyat.

Menimbun Lubang


Selasa, 19 Januari 2010 | 02:53 WIB

SUKARDI RINAKIT

Demi masa, peserta seminar itu sekali lagi bertanya mengenai prediksi saya untuk tahun 2010. Dengan tegas penulis mengatakan, optimistis.

Meski situasi politik sedikit memanas karena kasus Bank Century, perlakuan istimewa kepada Artalyta Suryani, dan pernyataan Presiden untuk melakukan evaluasi koalisi partai, tetapi secara hipotesis semua itu tidak akan mengganggu ranah ekonomi. Banyak pihak percaya tahun ini ekonomi akan tumbuh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Situasi itu diduga akan berlaku hingga lima tahun mendatang.

Penulis jauh-jauh hari menyatakan, jika pemerintah tidur saja, kinerja ekonomi akan sama dengan periode tahun 2004-2009. Jika pemerintah tidak tidur dan bekerja ala kadarnya, keadaan akan lebih baik dibandingkan dengan lima tahun lalu. Keadaan akan mengalami lompatan signifikan, bahkan akan mengejar Bric (Brasil, India, dan China), jika Presiden melakukan resume power dan berani keluar dari kerangkeng rasa aman dan pencitraannya.

Pendeknya, pintu peluang bagi Indonesia untuk merangsek maju terbuka lebar. Namun, sekali lagi, pemerintah terjebak pada pencitraan semu. Belum apa-apa, pemerintah sudah mengklaim program 100 harinya sukses hampir 100 persen. Ini seperti mimpi yang tidak bisa dikonfirmasi. Ini justru menimbulkan pesimisme publik. Jangan heran, jika secara diam-diam rakyat yang melek politik mencemooh pernyataan itu.

Menyimak keadaan itu, penulis teringat Johann Christoph Friedrich von Schiller. Ia pernah menyatakan, Eine grosse Epochas Jahrhundert geboren, Aber der grosse Moment findet ein kleines Geschlecht (Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen sebesar ini hanya mendapatkan manusia kerdil). Sejujurnya, kita tidak memiliki pemimpin berkarakter kuat sekarang ini. Padahal, tatanan dunia bergerak semakin cepat, ekstrem, dan penuh risiko.

Menjadi orang

Sejak awal saya sudah mengkritisi program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Prioritasnya terlalu banyak, mencakup 15 program, mulai dari pertahanan, penegakan hukum, reformasi birokrasi, dan lain-lain. Karena tak ada program yang dijadikan maskot, keberhasilannya menjadi sulit diukur. Semua abu-abu.

Idealnya, pemerintah memilih tiga program saja sebagai panglima, yaitu mencabut peraturan perundang-undangan yang membatasi pendirian tempat ibadah, menciptakan sejuta lapangan kerja melalui program padat karya, serta membangun laboratorium modern untuk mengembangkan nanoteknologi, bioteknologi, neurosains, dan teknologi informasi. Program lain, meski tetap dijalankan, tidak perlu dikibar-kibarkan seperti ketiga maskot itu.

Dengan demikian, realisasi program itu bisa diukur langsung oleh publik. Jika program pertama dan kedua berhasil, optimisme rakyat pasti meningkat. Perasaan satu bangsa dipastikan menghebat. Semua akan merasa tidak sia-sia menjadi warga negara Republik Indonesia. Akan tetapi, dengan klaim sepihak dari pemerintah, optimisme publik menjadi kempis kembali.

Suka atau tidak, sikap pemerintah yang gampang mengklaim kesuksesan tanpa menyodorkan bukti memadai adalah cermin bening dari karakter kepemimpinan yang lemah jika tidak boleh disebut kerdil seperti kata Von Schiller. Sebab itu, jika kepada mereka ditanyakan apa cita-citanya dulu, mereka pasti menjawab, ”Mau jadi orang.” Maksudnya, menjadi pejabat.

Mereka tak pernah bercita-cita mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, membuka lapangan kerja, dan lain-lain. Tak mengherankan, setelah menjadi ”orang”, mereka tidak bekerja keras untuk rakyat. Cita-citanya memang hanya menjadi pejabat. Cita-cita itu telah terwujud kini.

Dalam perspektif budaya politik, pemimpin seperti itu telah gagal membentuk dirinya menjadi figur berkarakter kuat yang mampu mapras barang kang mbrenjul (meratakan sesuatu yang menonjol). Mereka bisa saja mengabaikan praktik ketidakadilan asal posisi politik dan sumber ekonominya aman.

Mencoba menimbun

Oleh karena tidak bisa tegak sebagai pemimpin yang berani mapras barang kang mbrenjul, mereka pun tidak akan mati-matian ngurug barang kang ledhok (menutup sesuatu yang berlubang). Pembelaan kepada yang lemah, miskin, tidak berpendidikan bukan merupakan ledakan energi pengabdian mereka. Petani, nelayan, dan buruh terpinggirkan begitu saja.

Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini gelombang demonstrasi mahasiswa dan aktivis bangkit lagi. Sesuai fitrahnya, mereka sedang memainkan peran sebagai patriot yang berusaha menimbun sesuatu yang ledhok (pembela yang lemah). Mereka juga sedang mencoba membunuh kultur pejabat yang tak sepenuh hati bekerja untuk rakyat.

Namun, apakah perlawanan mereka itu akan berubah menjadi ombak besar sehingga mampu menggulung kekuasaan sekarang ini? Dengan prihatin saya harus menjawab ”belum”. Sampai hari ini belum ada pengusaha dan militer yang mendukung gerakan aktivis itu. Pada umumnya mereka masih merasa nyaman dengan komposisi kekuasaan sekarang. Akibatnya, demonstrasi akan kempis, para demonstran kelelahan, dan jaringan pergerakan menjadi kendur.

Namun, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur). Jika hari ini gagal, masih ada hari esok.

Sukardi Rinakit Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Sabtu, 09 Januari 2010

Kerja dan Kinerja Kabinet


Sabtu, 9 Januari 2010 | 02:44 WIB

Oleh ANDI SURUJI

Di kalangan ilmuwan, praktisi, dan pelaku usaha, telah muncul bisik-bisik bernada sangsi setelah mereka dalam sekali-dua kali kesempatan bertemu dengan menteri-menteri di bidangnya masing-masing. Sejak pengumuman menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, penilaian skeptis itu pun sudah muncul. Ada yang kurang layak dan belum pantas.

Soal kelayakan dan kepantasan menteri, bukankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono bersama timnya telah menggelar tes kelayakan dan kepatutan?

Layak dan pantas memang bisa diperdebatkan. Bagi satu pihak, seseorang sudah layak dan pantas diangkat sebagai menteri, tetapi belum tentu bagi pihak lain. Yang pasti, kelayakan dan kepantasan mesti diukur dari kapasitas dan kemampuannya melakukan terobosan untuk mencapai percepatan pembangunan dan menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan yang macet karena penuh karat di sana-sini.

Maaf kepada para birokrat, mohon jangan tersinggung! Soalnya, sejak periode Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama, pemerintah telah menggulirkan program reformasi birokrasi.

Kembali ke soal kabinet, hari Selasa lalu, Presiden Yudhoyono menegaskan, tidak logis kalau mengukur keberhasilan pemerintah masa bakti 2009-2014 hanya dari program 100 hari. Lho...! Bukankah telah menjadi konsensus di mana-mana bahwa kinerja presiden dan kabinetnya dalam 100 hari sangat menentukan performa selanjutnya.

Michael Watkins, Associate Professor di Harvard Business School, memberi waktu lebih singkat, hanya 90 hari, bagi manajer bisnis untuk membuktikan prestasinya. ”Tindakan yang Anda ambil selama tiga bulan pertama menduduki posisi baru biasanya memberi gambaran apakah Anda akan sukses atau gagal. Transisi adalah masa kesempatan, peluang untuk memulai dari awal dan melakukan perubahan yang diperlukan dalam organisasi,” papar Watkins dalam bukunya 90 Hari Pertama.

Ia melanjutkan, ”Tetapi transisi juga masa yang sangat rentan karena Anda tidak memiliki hubungan kerja yang mantap dan belum pula memahami peran baru Anda secara mendalam. Jika Anda gagal membangun momentum selama masa transisi Anda, maka Anda akan menghadapi tantangan berat sejak itu.”

Petuah ini perlu dicamkan para menteri. Bagaimanapun, 100 hari usia kabinet dan program yang dilahirkannya tetaplah ditunggu dan akan dinilai masyarakat.

Kita tunggu. Pada saat dipaparkan, program 100 hari kabinet itu pasti akan berisi daftar program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan para menteri melalui kementerian yang dipimpinnya. Konon, sudah sekitar 90 persen selesai. Katanya, program itu kelak disertai rencana aksi dan waktu pelaksanaannya sehingga jelas tahapan pelaksanaan serta ukuran keberhasilan dan kegagalannya. Wah, bagus sekali dong!

Nah, dalam hal ini, ternyata banyak orang yang salah kaprah. Yang kita pahami adalah, dalam seratus hari sejak dilantik, kabinet atau menteri baru sedang sibuk menyusun program kerja yang akan dilaksanakannya. Sementara menurut versi kaum awam, program 100 hari kabinet itu adalah apa saja yang akan dilakukan kabinet dalam seratus hari sejak dilantiknya. Seharusnya, begitu dilantik, para menteri sudah mengumumkan apa saja yang akan dikerjakannya dalam seratus hari ke depan. Toh, sebelum dilantik, Presiden sudah memberikan arahan apa yang harus dilakukan. Apalagi, presidennya tetap, programnya tinggal dilanjutkan, bukan?

Jadi, ada kesenjangan pemahaman antara elite dan awam. Lebih parah kalau kesenjangan itu terjadi antara apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang dilakukan pemerintah.

Persoalan lain adalah sering kali terjadi orang pandai membuat konsep, tetapi implementasinya nol besar. Kalau sesuatu sudah diomongkan, seolah otomatis jadi. Memangnya negeri sulap?

Lantas, kalau gagal, sibuk cari kambing hitam. mencari pembenaran, dan sebagainya, tetapi tidak pernah mengintrospeksi kekurangan sendiri. Apakah memang punya kapasitas menjadi menteri, memimpin kementerian? Sayangnya, sangat sedikit orang yang tahu diri dan sangat tipis keberanian menolak; bahkan berlomba-lomba mempromosikan diri, terkadang lobi sana-sini, kirim riwayat hidup melalui berbagai saluran dan koneksi. Jangankan menolak, mengundurkan diri manakala performa jauh di bawah rata-rata juga tidak ada.

Ah, belum lagi program 100 hari kabinet diumumkan, yang berarti rakyat belum tahu apa yang telah dan akan dikerjakan menteri, mereka sudah dapat mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar.

Dalam perkembangan lain, sejumlah kementerian sudah ditambah pejabatnya dengan pengangkatan wakil menteri. Ini juga lucu. Orangnya sudah diumumkan, tetapi tidak jadi dilantik karena persyaratannya belum dipenuhi oleh yang bersangkutan. Ah, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah Presiden dikelilingi staf yang jago-jago, intelijen yang andal. Kalau urusan persyaratan administrasi saja kecolongan, bagaimana informasi yang akurat bisa sampai ke Presiden? Apa pun alasannya, sungguh kacau prosedur seleksi dan administrasi di lingkungan kepresidenan.

Sampai saat ini sudah ada 10 wakil menteri untuk memperkuat 34 menteri yang sudah diangkat sebelumnya. Ada yang mengatakan kemungkinan jumlah wakil menteri bakal setengah dari jumlah menteri. Tujuannya, untuk menyukseskan tugas menteri agar kinerja terbaik kementerian tercapai.

Kalau begitu, betapa ambisius program kerja kabinet sehingga harus menambah demikian banyak wakil menteri. Asumsinya, standar kinerja atau pencapaian pemerintahan dalam lima tahun tentu harus jauh lebih tinggi dari rata-rata lima tahun silam ketika hanya satu kementerian yang memiliki wakil menteri.

Kita tunggulah, seambisius apa target program para menteri? Rasionalkah program itu dan masuk akalkah cara implementasinya?

Berikut ini catatan yang harus menjadi muara sasaran semua program kabinet. Ada 35 juta orang miskin, 22 juta penganggur, dan 13 juta keluarga tidak memiliki rumah/tunawisma. Anak-anak yang putus sekolah 11,7 juta orang, kematian ibu dan anak sekitar 230 kematian per 100.000 orang. Ah, panjang sekali, tambah pusing nanti.

Catatan (Pernah) Jadi Ketua Partai


Sabtu, 9 Januari 2010 | 03:19 WIB

Soetrisno Bachir

Lima tahun bukanlah waktu yang pendek, bukan juga waktu yang lama untuk dijalani. Tak terasa lima tahun terakhir ini saya pernah menjadi ketua sebuah partai. Energi kehidupan saya secara total larut dalam hiruk-pikuk kehidupan yang bernama politik.

Sebelumnya, saya orang biasa, tiba-tiba memimpin sebuah Partai Amanat Nasional yang sebelumnya dipimpin oleh tokoh Reformasi. Banyak cibiran datang menanyakan kualitas saya. Bahkan, ada yang meramal PAN akan habis di bawah kepemimpinan saya. Saya tak peduli dan justru cibiran tersebut memacu saya bekerja lebih serius mengabdikan diri untuk membesarkan partai.

Saya tidak menyangka sebelumnya kalau ketua partai politik mempunyai kekuasaan dan daya tawar. Sejak saat itu, saya jadi mengerti dan paham kenapa jabatan ketua partai diperebutkan. Saya pun menjadi mafhum mengapa banyak orang berlomba-lomba membuat partai dan bertarung memperebutkan kursi kepemimpinannya.

Saya sudah berkomitmen sampai lima tahun menjalankan peran sebagai ketua umum partai karena ingin berkontribusi memperbaiki keadaan. Kenyataannya tak mudah. Kegamangan sempat menyelimuti hati saya, apakah ijtihad saya ini benar? Namun, saya tetap mempertahankan sampai jabatan tersebut selesai. Bukan untuk kejumawaan, hanya ingin meninggalkan rekam jejak ketika seseorang memilih menjadi ketua partai sebaiknya mempunyai komitmen penuh menjalankan amanah sampai selesai.

Partai politik yang semestinya dimaknai sebagai ladang tanggung jawab sosial menjadi lebih sempit dimaknai sebagai bagian dari partisan sehingga menolak pihak atau kelompok lain yang bukan partisannya. Adalah wajar apabila selalu ada kasak-kusuk dan permusuhan. Dalam satu partai pun saya harus menyelesaikan masalah yang menurut kami bisa diselesaikan dengan pembicaraan, tetapi diselesaikan dengan amoral, melanggar etika, dan kekerasan.

Pentingnya pencitraan

Saya baru sadar ketika terjun ke dunia politik pentingnya dunia pencitraan bagi politisi. Itulah keputusan saya waktu itu. Belakangan saya lebih senang mengistilahkan dunia pencitraan dengan dunia seolah-olah. Semua dibalut dengan topeng. Dunia yang sebenarnya bukan dunia saya.

Inilah salah satu episode hidup saya. Saya tidak menyesal ketika membuat keputusan untuk menyudahi dan tidak berminat untuk mencalonkan kembali menjadi Ketua Umum PAN. Bukan karena sakit hati atau kecewa, melainkan waktu lima tahun memang sudah cukup untuk mengabdikan diri di partai. Inilah saat yang tepat bagi saya untuk mencerabutkan diri dari hiruk-pikuk kepartaian dan kembali ke habitat sebelumnya di dunia wirausaha dan sosial kemasyarakatan.

Ini merupakan salah satu keputusan saya memasuki episode baru dalam kehidupan saya, yaitu babak spiritualitas. Babak tempat banyak menjumpai kebahagiaan, kehidupan yang harmonis, dan ketenangan. Ini sebagai sebuah perjalanan (suluk) untuk menemukan hakikat yang selama ini mungkin saya biarkan tak terawat sehingga hati sebagai sebuah cermin menjadi kotor dan kusam, yang akhirnya tidak mampu merefleksikan nilai-nilai ketuhanan. Menekuni dunia spiritualitas bukan lari dari tanggung jawab, melainkan upaya untuk melihat segala permasalahan dengan pandangan yang jernih tanpa tendensi apa pun selain nilai kebenaran itu sendiri.

Untuk berkontribusi terhadap bangsa, tidak selalu melalui partai. Ketika seseorang sudah memutuskan mengabdikan diri di partai, hendaknya itu merupakan keputusan yang diambil secara sadar. Bukan karena kepepet, karena memang sudah tidak ada pekerjaan lain, sehingga partai dijadikan pelarian, bahkan untuk penghidupan. Pasalnya, memang di partai banyak tersedia jalan pintas untuk menuju ke kekuasaan.

Kontribusi sosial

Berkhidmat di dunia kepartaian lebih baik apabila diniatkan sebagai kontribusi sosial; merasa sebagai sekrup kecil dari sebuah mesin besar yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Di partai bukan untuk membangun dinasti turun-temurun yang ”ujug-ujug” dan perkoncoan yang seolah-olah hanya dari golongan atau keturunan mereka saja yang berhak mengelola negara ini dan menafikan yang lain.

Alangkah eloknya apabila pribadi yang berasal dari partai ketika menjadi penjabat publik rela meninggalkan sikap partisan dan total melayani masyarakat. Tidak mencampuradukkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan diri dan partainya.

Saya ingin mengakhiri peran saya sebagai ketua umum dengan khusnul qotimah sehingga saya hanya berharap permohonan maaf apabila selama kepemimpinan saya ada hal-hal yang mengecewakan, mencederai perasaan, dan tidak bisa memuaskan keinginan banyak orang; terutama buat masyarakat yang dalam Pemilu 2009 telah memilih PAN sebagai harapan perubahan bangsa.

Doa saya, siapa pun ketua umum yang terpilih, semoga mampu membawa Partai Amanat Nasional ke arah yang lebih baik.

Soetrisno Bachir Ketua Umum Partai Amanat Nasional Periode 2005-2010

Minggu, 27 Desember 2009

nilah Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas (3)

INILAH.COM, Jakarta - Inilah cuplikan halaman 3 dari buku Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century, yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, diterbitkan oleh Galang Pers, dilaunching Hari Rabu (23/12) di Yogya dan ditarik dari peredaran hari Sabtu (26/12).

Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.

Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta.

Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Explo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai-maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.

Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM.

Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis,“PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).

Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.

Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis.

Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab.

Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya

Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Explo.

Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama.

Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center.

Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat,

mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009).[bersambung/iaf/ims

Inilah Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas (2)


INILAH.COM, Jakarta - Inilah cuplikan halaman 2 dan 3 dari buku Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century, yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, diterbitkan oleh Galang Pers, dilaunching Hari Rabu (23/12) di Yogya dan ditarik dari peredaran hari Sabtu (26/12).

Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998.

Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar.

Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: Haque, 2009; Inilah.com, 25 Febr 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).

BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS

Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas?

Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48).

Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009).

Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun.

Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49).

Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara.

Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101).[bersambung/iaf/ims

Inilah Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas (1)



(istimewa)

INILAH.COM, Jakarta - Buku ini ditulis oleh George Junus Aditjondro. Judul lengkapnya: Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century. Dilaunching hari Rabu (23/12) di Yogya. Hari Sabtu (26/12), buku yang diedarkan melalui jaringan Toko Buku Gramedia ini ditarik dari peredaran. Inilah cuplikan halaman pertama buku ini.

“Apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus,rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan….

Sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S Ryanto dan Chandra M Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya.

Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI.

Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009.[bersambung/ims]