Kamis, 25 Juni 2009

64 Tahun Piagam Jakarta

Dr Adian Husaini
Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Islam Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta (the Jakarta Charter). Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menandatangani rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar negara RI yang berikutnya dikenal sebagai Piagam Jakarta tersebut.

Meskipun sempat dikurangi tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, Naskah Piagam Jakarta itu tetap dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945. Dan pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menegaskan dalam Dekritnya: 'Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.'

Prof Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi di PPKI pada 18 Agustus 1945, juga menegaskan: 'Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut. Jakarta Charter dan Undang-undang Dasar 1945 --aldus Dekrit 5 Juli 1959-- merupakan suatu unit atau kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan lagi,' tulis Prof Kasman. (Lihat, buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)).

Jadi, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di Indonesia. Bahkan, setelah dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta merupakan sumber hukum yang hidup, dijadikan rujukan dalam sejumlah peraturan di Indonesia. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: 'Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.'

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: 'bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut'.

Anti-Piagam Jakarta
Tetapi, faktanya, meskipuan Piagam Jakarta adalah 'barang halal', ada saja di Indonesia sebagian kalangan yang berusaha menempatkannya sebagai 'barang haram'. Sebuah tabloid yang terbit di Jakarta edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul 'RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?' Dalam pengantar redaksinya, tabloid ini menekankan tugasnya untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.

Upaya umat Islam untuk mendapatkan UU Makanan Halal ditentang keras, bahkan disebut oleh tabloid ini sebagai 'ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.' Lebih jauh, umat Islam dikatakan telah 'memaksakan kehendaknya dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas.'

Cornelius D Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid itu menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. Yang menggemaskan, katanya, yang melakukan hal itu bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. "Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen," kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, "Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI."

Tentu, bagi kaum Muslim Indonesia, ini bukan hal baru. Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menceritakan tekanan kaum Kristen kepada negara RI, jika tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus dari UUD 1945, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997)).

Peristiwa tahun 1945 itu terus berulang di kemudian hari. Setiap kaum Muslim berniat mengajukan satu peraturan atau Undang-undang yang dianggap 'berbau syariah' maka akan dikatakan sebagai penghancur NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Pada 28 Januari 1989, pemerintah RI menyampaikan RUU Peradilan Agama ke DPR. Berbagai kalangan kemudian menuduh RUU tersebut tidak Pancasilais. Ketika perdebatan seputar RUU mencuat, ada seorang menulis: "Tiada Toleransi untuk Piagam Jakarta!" Ada lagi yang menulis: "RUUPA mengambil dari seberang". Toh, pada 29 Desember 1989, RUUPA disahkan. Peradilan Agama sudah berjalan. Dan berbagai gertakan terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia ternyata tidak terbukti.

Kesepakatan bangsa
Berdasarkan buku Risalah Sidang Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Setneg, 1995), bisa dipahami, bahwa Piagam Jakarta sebenarnya adalah sebuah 'Kesepakatan bangsa' yang di BPUPK dikatakan sebagai gentlements agreement. Kesepakatan itu tercapai melalui perdebatan yang sangat alot. Bahkan, setelah disahkan oleh Panitia Sembilan, Piagam Jakarta masih menimbulkan kontroversi. Pihak Islam belum puas. Begitu juga, pihak Kristen diwakili Latuharhary sempat menyoal rumusan tersebut.

Berulangkali Soekarno meminta agar rumusan itu diterima. Dalam rapat BPUPK 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan: ''Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat 'dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' sudah diterima Panitia ini."

Tetapi, permintaan itu belum reda ketika sidang memasuki pembahasan pasal-pasal dalam UUD. Dalam rapat 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan 'yang beragama Islam'. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: "Agama Negara ialah agama Islam", dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Usul Wachid Hasjim didukung oleh Soekiman. Tapi, Agus Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan lagi kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan.

Usul Wachid Hasjim akhirnya kandas. Tapi, pada rapat tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kiai Sanusi yang meminta agar frase 'bagi pemeluk-pemeluknya' dalam Piagam Jakarta dihapuskan saja. Jadi, bunyinya: 'Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.'

Menanggapi permintaan Kyai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPK: "Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen."

Dalam rapat besar BPUPK tanggal 15 Juli 1945, Soepomo menyampaikan pidato cukup panjang, di antaranya menegaskan perlunya semua menghormati kesepakatan yang telah dicapai susah payah tersebut. Tetapi, dalam rapat itu muncul perdebatan keras lagi. Tokoh NU, KH Masjkoer, misalnya, mengusulkan, agar pasal 28 diganti saja dengan rumusan 'Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah agama Islam.' Usul KH Masjkoer tersebut kemudian sempat memanaskan sidang. Perdebatan yang panas pun tidak dapat dihindarkan. Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah, juga mendukung usul tersebut.

Dalam rapat BPUPK tanggal 16 Juli 1945, Soekarno kembali tampil sebagai juru bicara untuk menengahi polemik sebelumnya. Dalam pidatonya yang panjang, Soekarno antara lain menyatakan: "Marilah kita setujui usul saya itu; terimalah clausule di dalam Undang-undang Dasar, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagai yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: "Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Saya minta, supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian."

Pada 18 Agustus 1945, sejumlah tokoh Islam yang sudah bersusah payah merumuskan Piagam Jakarta menerima penghapusan tujuh kata tersebut. Dan pada 5 Juli 1959, Piagam Jakarta ditegaskan sebagai 'yang menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945'. Maka, aneh, jika setiap aspirasi Islam di Indonesia dicap sebagai anti-Pancasila dan UUD 1945. Umat Islam sudah hafal 'lagu lama' semacam ini. Beberapa dekade lalu, para siswi yang mengenakan jilbab dicap anti-Pancasila. Kini, jilbab berlomba-lomba menuju istana. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: