Minggu, 07 Juni 2009

Kegagalan Politik Santri


Santri harus tetap berjuang dengan konsisten terus bereksperimentasi. Nabi Muhammad juga ”politikus’’ ulung yang selalu kreatif mencipta strategi dalam mengimbangi ”lawan politik”.

GERAKpolitik kaum santri menjelang Pilpres mendatang terlihat ”pincang”. Partai berbasis santri tidak mampu mengkonsolidasikan massa santri, bahkan akhirnya mengekor dengan partai lain. Di samping tidak solid, politik santri juga semakin jauh dari nilai ideologis yang diperjuangan. Kalkulasi kekuasaan telah mengaburkan nilai-nilai luhur yang harus diperjuangkan lewat jalan politik.


Gagalnya eksperimentasi politik santri harus menjadi evaluasi gerakan yang telah dijalankan selama ini. Menarik yang disinyalir oleh Fachry Ali (2008) bahwa kaum santri tidak cocok mendirikan partai politik. Analisis Fachry Ali tersebut dikaitkan dengan kondisi politik kaum santri yang hari-harinya hanya didera konflik tak berujung sehingga justru membingungkan jamaah santri. Para kiai, lanjut Fachry, juga terlalu ”suci” untuk berkecimpung dalam jagat politik kekuasaan yang selalu diwarnai intrik dan geger.


Analisis Fachry Ali menarik menjadi sebuah tema aktual menjelang Pilpres karena eksperimentasi politik yang dijalankan kaum santri selalu kandas di pertengahan jalan. Kapal politik yang dikemudikan santri selalu tertabrak ”gunung es” yang kuat, sehingga kapalnya selalu pecah, berantakan. Membuat kapal baru lagi, ternyata tertabrak lagi, dan berantakan lagi. Tragedi demi tragedi, sayang, tidak menjadi pelajaran untuk evaluasi (muhasabah). Yang terjadi justru adalah ”politik balas dendam” yang saling menjatuhkan di kemudian hari. Fakta sejarah telah berbicara.


Kapal Besar


Tatkala kaum santri mendirikan partai Masyumi tahun 1948, semua bersepakat agar suara santri tertampung dalam satu kapal besar. Selang beberapa tahun kemudian, satu persatu organisasi menyatakan keluar dari Masyumi. Nahdlatul Ulama (NU) dengan tegas keluar pada tahun 1952. Demikian juga organisasi Islam dan partai Islam lainnya. Tanpa kualitas berdemokrasi, Masyumi akhirnya bubar pada 1959. Pasca bubarnya Masyumi, politik kaum santri tercerai dalam organisasi masing-masing.


Ketika Orde Baru tegak berdiri, kaum santri berfusi dalam politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itu terjadi pada 1973. Akrobat politik PPP sebagai kapal politik kaum santri dengan jelas terlihat dari lambangnya berupa Ka’bah.


Apalagi lambang itu dihasilkan melalui ritual istikharah yang dilakukan langsung oleh Rais Aam PPP, KH Bisri Sansuri yang juga Rais Aaam PBNU. Pada awal gerak politiknya, PPP mampu menjadi jendela politik yang mampu mengakomodasi semua organisasi santri. Tetapi selang beberapa tahun, masing-masing aliran santri mulai memperlihatkan egoisme politiknya.


Politisi NU mengawali kekecewaan di tubuh PPP. Pasca-wafatnya tokoh kharismatik NU, KH Bisri Sansuri tahun 1979, kapal PPP mulai goyah.


Politisi dari sayap modernis mulai bergerak ke tas menduduki jabatan tertinggi PPP. Kekecewaan politisi NU semakin memuncak tatkala para sesepuh NU ”memaksa” KH Idham Kholid mengundurkan diri dari kursi PBNU. KH Idham Kholid dirasa ”gagal” menyelamatkan moral kaum santri dalam gelanggang politik yang dimainkan PPP. Politisi NU, menurut kiai sepuh, menjadi rugi dan dirugikan dalam judi politik yang terjadi dalam tubuh PPP. Pecahlah kemudian suara ”Khittah 1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Dan NU secara tegas menarik seluruh aktivitas politiknya.


Berbagai tragedi kelam tersebut ternyata tidak membuat jera kaum santri dalam dunia politik. Tatkala terompet reformasi bergema tahun 1998, gonjang-ganjing politik bergejolak di seluruh negeri. Jagat politik santri juga geger dengan suara politik yang terus memperebutkan massa santri yang melimpah.


Yang paling kentara adalah berdirinya PKB pada 23 Juli 1998. Dengan suara bergemuruh, para kiai dan santri berkumpul di Pesantren Ciganjur, Jaksel, mendeklarasikan PKB dengan penuh sungguh dan khidmat.


Memang, jalan politik santri tidak hanya dalam jagat politik PKB. Era reformasi juga menandai jalan fragmentasi politik kaum santri. Di sana ada PAN, PKS, PBB, PPP dan sekarang ada PKNU dan PMB. PKB, PPP dan PKNU berselancar dalam merebutkan suara kaum santri tradisional.


PKS, PAN, dan PMB, bersikeras dalam mendulang suara kauma santri modernis. Terlepas dari fragmen tersebut, diakui atau tidak, suara santri tradisional jauh lebih melimpah dari pada santri modernis yang hanya berdiri di pojok-pojok kota. Santri tradisional hidup secara paguyuban yang dipimpin oleh kiai dan masih menerapkan kiai sebagai panutan dalam segala hal, termasuk dalam sebuah Pemilu.


Gejolak demi gejolak politik, sekali lagi, tidak menjadi bahan evaluasi (muhasabah) dalam mencipta moralitas politik santri yang bisa memperjuangkan nasib konstituennya. Gus Dur dengan PKB sendiri yang masih terus bergejolak juga penanda bahwa gejolak politik santri menjadi penanda gagalnya eksperimentasi politiknya. Berkah eksperimentasi politik santri mengalami kegagalan? Gerak sejarah yang akan menjawabnya. Tetapi sinyalemen Fachry Ali menjadi autokritik kaum santri dalam menata kembali mentalitas dan kedewasaan berpolitik.


Konsistensi


Politik adalah salah satu jalan untuk menegakkan kemaslahatan publik (al-maslahah al-íammah), sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles dan menancap sangat kuat dalam kaidah politik Islam (qawaidu al-siyasah al-islamiyah). Santri harus tetap berjuang dengan konsisten terus bereksperimentasi. Nabi Muhammad juga ”politikus” ulung yang selalu kreatif mencipta strategi dalam mengimbangi ”lawan politik”. Demikian juga para sahabat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.


Jalan politik santri, kalau mengikuti tata nilai yang diteladankan Nabi dan sahabatnya, pastilah akan terus berevaluasi dalam sekian eksperimentasi sehingga akan lahir kedewasaan berpolitik. Konflik, intrik, dan geger bernegosiasi memang akan selalu terjadi dalam dunia politik. Tetapi islah, komitmen, dan kemaslahatan publik akan menjadi jalan utama dalam berpentas politik. (80)

—Muhammadun AS, peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes) Jakarta.

Tidak ada komentar: