Rabu, 03 Juni 2009

Kongres Pancasila Minus Soekarno

Oleh Slamet Sutrisno

Kita perlu menyebut Soekarno manakala Pancasila hendak dibincangkan. Dialah paling pas disebut sebagai penggali dasar negara itu saat pada 1 Juni 1945 berpidato meneduhkan pertentangan keras antara opsi liberalisme Barat atau Islam yang diusulkan sebagai dasar negara. Bung Hatta menyebut pidato Bung Karno sebagai modus yang disepakati para pendiri negara dalam penutup sidang 1 Juni 1945, disempurnakan dalam rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Rumusan 22 Juni inilah merupakan rancangan mukadimah konstitusi yang lantas berubah sedikit dalam frasa sila pertama. Dari Sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Soekarno dalam kursus Pancasila selama seminggu tahun 1964 menegaskan dia menolak penilaian seorang politikus Islam bahwa dia kurang "dalam" menggali mutiara sejarah budaya yang terpendam di Tanah Air kita. Menurut sang kritikus, jika saja digali lebih dalam, bukan Pancasila munculnya melainkan Islam.

Menurut Soekarno, penggalian khazanah sejarah dan budaya bangsa itu sudah berlangsung sejak tahun 1918 menukik sampai jauh sebelum Islam datang ke Indonesia. Pikirannya merefleksikan kekayaan religio-kultural merambahi saf-saf budaya kebangsaan sejak era Proto Indonesia sebelum datang pengaruh asing.

Agama dan budaya Hindu, Buddha, Siwa. Islam masuk Indonesia bukan dalam kekosongan berhubung bangsa kita menjalani peri kehidupan yang bermartabat dengan peradaban yang tak perlu disebut primitif. Kebudayaan Indonesia sebelum era modern sama sekali bukan "jahiliyah" seperti pernah diduga oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam polemiknya bersama dr Soetomo, Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, Tjindarbumi, M Amir, dan Purbatjaraka.

Menyitir Prof Brandes, Soekarno menyebutkan bahwa sejak sebelum tahun Masehi, Jawa sudah mengenal 10 kecakapan budaya. Kecakapan itu mencakup: wayang, gamelan, seni batik, cor logam, pertanian, ilmu falak, mata uang, tata negara, kawruh, dan huruf abjad (ha na ca ra ka).

Dengan bacaannya yang luas melahap buku-buku berbagai bahasa Eropa, Soekarno mengolah khazanah mutiara keindonesiaan itu dalam kristalisasi dan sublimasi ke dalam Pancasila: Nasionalisme; Internasionalisme (cq Humanisme); Demokrasi; Sosialisme (Kesejahteraan); dan Teisme (Ketuhanan). Rumusan dalam Pembukaan UUD 1945 pasca-Piagam Jakarta menurut Bung Hatta tetap sama dalam ideologi awal yang dipidatokan Soekarno 1 Juni 1945. Dasar moral (Ketuhanan) ditarik ke atas; demikian Hatta. Tidak disebut

Namun, setelah 33 tahun berselang dari mainstream desoekarnoisme selama Soeharto berkuasa, Soekarno tetap tak disebut-sebut manakala orang berbincang dan berwacana tentang Pancasila.

Pertama, masih kuat ketakutan bahwa kembali membincangkan Soekarno dalam wacana Pancasila hanya akan membuka pintu kultus individu dan sosialisme marxistik. Kedua, membincangkan Soekarno akan amat memberi laba politik bagi sebuah partai di mana anak Soekarno menjadi tokoh sentral.

Dengan demikianlah maka kebebalan intelektual elite negara-bangsa malahan mencungulkan sosoknya tatkala kaidah elementer berpikir logis tidak pernah dimengerti. Pemikiran logis adalah menyamakan hal-ihwal yang memang sama dan memperbedakan hal ihwal yang memang berbeda.

Nilai-nilai dasar

Berbicara tentang Soekarno dalam konteks Pancasila tidak mungkin dinafikan kecuali bangsa ini secara kolektif membiarkan diri terjerembab dalam lembah kepengecutan. Pengamalan nilai-nilai Pancasila tidak mungkin tanpa pemahaman nilai-nilai dasar (intrinsic values) yang menopangnya.

Dan sistem nilai kepancasilaan itu niscaya memiliki pula akar raison d'etre sebagai basis komitmen yang secara ideologis diperjuangkan demi terpenuhkannya kepentingan kebangsaan: merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Inilah raison d'etre kebangsaan sebagaimana mewujud dalam "tanah-air mental", pancasila (Daoed-Joesoef, 1986).

Empat komitmen ini dielaborasi ke dalam tujuan kemerdekaan menyangkut: perlindungan kebangsaan dan ketumpahdarahan, kesejahteraan umum, kecerdasan kehidupan bangsa, dan keterlibatan terhadap perdamaian dunia.

Raison d'etre kebangsaan itu, sebagai akar-akar nasion, menghunjam dalam pulau keindonesiaan berupa pulau nilai dasar gotong royong atau kekeluargaan; berpohon antipenjajahan dan penindasan, yang mengejawantah dalam tiga dahan pokok Trisakti, yakni berdaulat politik, berdikari ekonomi, dan berjati diri dalam kebudayaan bangsa.

Pulau gotong royong/kekeluargaan itu pun menumbuhkan gunung-gunung besar resources-nya, yakni: Sosio-Nasionalisme; Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Gunung pertama mencegah chauvinisme, kosmopolitanisme, dan primordialisme; gunung kedua mencegah "mayorokrasi" dan "minorokrasi" yang notabene kini dipraktikkan secara telanjang; gunug ketiga adalah kerukunan keberagamaan yang kini banyak dilukai dan dikhianati.

Jika mau memahami dan menghayati Pancasila, kita mesti bertanya kepada Soekarno dengan cara membaca habis buku-bukunya. Pernik-pernik yang dikutip itu meminta kita generasi baru untuk menafsirkan secara dinamis kontekstual namun tetap merawat statika kejatidirian dan keindonesiaan baik di bidang ketatanegaraan, hukum, politik, ekonomi, dan hidup keberagamaan.

Akan tetapi, sudah empat puluh tahun lebih sejak awal Orba Indonesia meninggalkan (ajaran) Soekarno sehingga UGM pun menyelenggarakan Kongres Pancasila minus Soekarno. UGM entah sadar atau tidak menjauhi pendiriannya sendiri saat 19 Desember 1951 menganugerahkan Doktor HC kepada Soekarno atas jasanya telah "menciptakan Pancasila", demikian pidato promotornya Prof Mr Drs Notonagoro.

Slamet Sutrisno Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tidak ada komentar: