Sabtu, 13 Juni 2009

Label Sosial dan Logika Tuyul

Benny H Hoed

Tanpa sadar, setiap kita mengikuti warga lainnya memberikan makna dan tafsiran tertentu pada hal, benda, lembaga, gagasan, atau orang, itu adalah realitas sosial budaya di sekitar kita.

Gejala ini saya sebut semiotik sosial, yakni makna dan tafsiran yang terbentuk dalam masyarakat tentang aneka realitas sosial budaya. Bendera memiliki semiotik sosial, merah ”berani”, putih ”suci”. Di Jakarta, bendera kuning dari kertas minyak bermakna ”ada orang meninggal”.

Label sosial

Label sosial adalah semacam ”cap sosial” yang diberikan oleh orang, lembaga, atau kelompok masyarakat kepada realitas sosial budaya. Iklan komersial memberikan label sosial kepada produk agar terbentuk semiotik sosial positif dan kepercayaan publik (ini dikenal dengan istilah positioning).

Label sosial juga terjadi dalam kehidupan politik dan digunakan, misalnya dalam pidato politik atau unjuk rasa. Dalam politik, penciptaan label dilakukan secara sengaja untuk memberikan citra positif (mendukung) atau negatif (menyerang) dan merupakan bagian dari strategi politik. Label sosial bisa terjadi secara tidak sengaja.

Label tidak selalu warna, bisa juga kata. Label neolib (akronim neoliberal) dewasa ini muncul ke permukaan. Neoliberalisme yang mengandalkan ”pasar bebas” bermakna ”negatif” karena dipandang sebagai sebuah konsep ekonomi yang ”tidak berpihak pada rakyat”.

Pandangan itu sah saja. Label ini memang sudah lama diberikan kepada tim ekonomi pemerintahan SBY. Dalam dinamika politik sekarang, label ini diberikan kepada Boediono, seorang calon wapres. Dalam pidato politik mereka, SBY dan Boediono kelihatan mencoba menghapus label sosial ini. Pemberian label sosial seperti ini berpotensi menghasilkan semiotik sosial yang bisa menimbulkan pemahaman yang belum tentu betul tentang Boediono.

”Santri-abangan”

Dikotomi ”santri-abangan” yang diperkenalkan oleh tokoh sosiologi Clifford Geertz masih saja menjadi label sosial yang diberikan kepada sebagian warga beragama Islam di Indonesia. Meskipun sering kali mendapat kritik dari para pakar ilmu sosial kita, label abangan masih hidup di dalam semiotik sosial kita.

Editorial salah satu surat kabar nasional bahkan pernah memberikan label abangan kepada partai-partai ”non-Islam”, seperti PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Meski mungkin tidak disadari penulisnya, pemberian label itu berpotensi membangun semiotik sosial karena disiarkan oleh sebuah media. Padahal, banyak anggota, pengurus, konstituen, dan simpatisan partai-partai itu yang tidak termasuk golongan ”abangan”. Label sosial seperti itu berpotensi menghasilkan semiotik sosial yang tidak tepat tentang partai-partai itu.

Para capres dan cawapres juga menciptakan label sosial bagi kebijakan mereka dengan berkali-kali menyebutkan kata ekonomi kerakyatan dan kebijakan prorakyat. Ini lumrah dalam kampanye yang ingin menarik simpati pemilih. Seperti upaya positioning dalam iklan. Apa maksudnya tentu belum terlalu jelas.

Label sosial juga sering kali diberikan kepada para selebriti yang kehidupan pribadinya dibuka di muka publik oleh infotainment. Ini pun dapat menghasilkan semiotik sosial tentang tokoh yang bersangkutan, positif atau negatif.

Logika tuyul

Tuyul adalah makhluk halus yang dipercayai dapat mencuri uang di rumah seseorang tanpa diketahui. Dipercayai pula bahwa kita dapat memelihara tuyul agar dapat disuruh mencuri uang.

”Logika” tentang tuyul atau yang sejenisnya, yakni kepercayaan akan adanya makhluk halus dan dan hal-hal di luar nalar biasa, masih hidup subur di negeri kita. Tidak hanya di kalangan kurang terpelajar, tetapi juga pada kaum terdidik. Berita tersiar, banyak caleg menggunakan ”orang pinter” untuk memenangkan dirinya. Jika hasilnya sukses, makin dipercayai, kalau tidak sukses dipercayai sebagai ”belum saatnya”.

Dewasa ini nomor urut para capres pun dibicarakan maknanya. ”Logika” tuyul juga bermain di sini. Bahkan, media cetak dan elektronik mengangkat pembicaraan tentang makna ”1”, ”2”, dan ”3” yang menjadi label bagi setiap pasangan capres-cawapres. Yang ikut bicara pun orang-orang berpendidikan tinggi.

Dengan memberikan angka sebagai label, setiap pasangan mencoba membangun semiotik sosial yang menguntungkan dengan memanfaatkan logika tuyul. Padahal, apa hubungan ”logis” antara angka dan keberuntungan?

Namun, ”logika tuyul” masih hidup di kalangan para pemilih kita. Maka, label-label yang dibangun di atas dalam logika tuyul itu membentuk suatu semiotik sosial yang diharapkan akan terjadi di kalangan pemilih.

Tidak mendidik

Reformasi 1998 telah memberikan jalan pada proses demokratisasi dalam masyarakat Indonesia dan harus dipelihara dan dimatangkan menjadi bagian dari kebudayaan kita. Penciptaan label-label sosial itu merupakan bagian dari dinamika sosial di alam demokrasi.

Namun, penciptaan label-label sosial dengan memanfaatkan logika tuyul bisa membawa kita pada pembentukan semiotik sosial yang tidak mendidik masyarakat untuk menjadi cerdas. Apa pun tujuannya, label-label sosial seperti itu cenderung menjadi slogan yang bisa membuat masyarakat menjadi ”pembebek”.

Tentu saja ini merupakan imbauan kepada elite politik dan media massa kita. Pemaparan yang bernalar jauh lebih mendidik dan bermanfaat bagi proses demokratisasi daripada penggunaan label-label sosial dan eksploitasi logika tuyul.

Pemilih yang cerdas seharusnya tidak terbawa dalam arus semiotik sosial yang dilahirkan dari label-label seperti itu.

Benny H Hoed Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: