Minggu, 28 Juni 2009

Ancaman Plutokrasi

Sudar D Atmanto

Wakil rakyat di Senayan dan anggota Dewan Perwakilan Daerah akan diisi banyak wajah baru. Mereka umumnya keluarga pejabat pemerintah/pemerintah daerah atau keluarga tokoh politik. Faktor dinasti politik, kemampuan pembiayaan, dan popularitas, mereka manfaatkan. Terkait fenomena itu, sejarawan Inggris, Prof Hugh Seton-Watson (1960), membagi bentuk pemerintahan menjadi tiga. Pertama, pemerintahan demokrasi yang dicirikan kekuasaan di tangan rakyat. Kedua, pemerintahan otokrasi yang dicirikan kekuasaan dipusatkan pada beberapa orang. Ketiga, pemerintahan plutokrasi, dicirikan kekuasaan dikelola sekelompok golongan berduit. Dengan sistem demokrasi dan model pemilu legislatif ini, tampaknya ancaman terwujudnya pemerintahan plutokrasi kian nyata.

Pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden tahun 2009 memerlukan biaya sekitar Rp 47,5 triliun. Selain itu, para caleg dan capres, dalam kampanye juga harus mengeluarkan biaya. Menurut Business News (6/5/2009), sepasang capres-cawapres dalam pemilu memerlukan biaya sekitar Rp 20 triliun. Untuk calon anggota legislatif DPR atau DPD, dalam kampanye memerlukan biaya rata-rata minimal Rp 500 juta. Bahkan, beberapa caleg perlu mengeluarkan biaya hingga Rp 2 miliar.

Adapun caleg anggota DPRD provinsi diperkirakan mengeluarkan biaya kampanye sekitar Rp 300 juta. Untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota, diperkirakan mengeluarkan biaya sekitar Rp 100 juta.

Data KPU menunjukkan, jumlah calon anggota DPR sebanyak 11.219 orang, calon anggota DPD 1.109 orang, calon anggota DPRD provinsi 32.263 orang, dan calon anggota DPRD kabupaten/kota 246.558 orang. Dengan demikian, seluruh jumlah caleg sebanyak 291.504 orang. Dari jumlah caleg itu, jika dikalikan biaya kampanye yang dikeluarkan oleh tiap caleg, mencapai sekitar Rp 39.947,75 miliar atau sekitar Rp 40 triliun.

Jika jumlah itu ditambah dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 47,5 triliun, jumlah keseluruhan mencapai Rp 87,5 triliun. Jika ditambah biaya kampanye capres-wapres, biaya keseluruhan akan lebih dari Rp 100 triliun. Luar biasa.

Sistem pemilu kita, di satu sisi, memberi peluang kepada warga negara untuk dapat mencalonkan sebagai anggota legislatif. Namun kenyataannya, hanya para caleg yang mempunyai biaya yang akan mampu berkompetisi.

Sistem demokrasi pemilu kita telah bergeser dari ”demokrasi musyawarah” menjadi ”demokrasi pasar”. Akibatnya, munculnya fenomena wakil-wakil rakyat dari kalangan keluarga pejabat pemerintah, keluarga politisi lama, pengusaha, dan artis- selebritis. Akibatnya, wakil rakyat yang jadi tidak didukung kapasitas sebagai aktivis dengan pengalaman ”kerja-kerja politik” di masyarakat.

Ancaman plutokrasi

Robert Dahl dalam Demokrasi dan Para Pengritiknya mengatakan, sistem demokrasi seharusnya memberikan ruang kepada semua warga untuk berpartisipasi politik, tetapi kenyataannya sering dikuasai kelompok berkemampuan (plutokrasi).

Ancaman plutokrasi di Indonesia disebabkan beberapa hal. Pertama, partai politik pascareformasi gagal mengembangkan paradigma demokrasi model Indonesia. Yang berkembang adalah pemahaman demokrasi liberal atau demokrasi pasar.

Kedua, pemerintah dan elite parpol gagal membangun sistem demokrasi politik nasional yang memberi peluang (affirmative action) wakil masyarakat bawah di lembaga perwakilan politik.

Ketiga, tidak berkembangnya kekuatan masyarakat dan civil society organization pascareformasi dalam mendesakkan sistem demokrasi politik yang mampu mengakomodasi aspirasi masyarakat menengah-bawah. 

Sebentar lagi pemilu presiden-wakil presiden dilaksanakan. Presiden terpilih nanti diharapkan mampu menyusun sistem demokrasi politik yang mempunyai ciri keindonesiaan, yaitu yang mengakomodasi sistem keterwakilan politik semua komponen masyarakat, bukan bangunan demokrasi pasar liberal yang menyisihkan si lemah.

Hasil pemilu legislatif yang menghasilkan wakil rakyat dari kelompok sosial tertentu harus direspons dengan melakukan komunikasi politik yang substansial antara presiden terpilih dan pimpinan parpol dengan agenda utama membangun demokrasi politik yang berorientasi kerakyatan, bukan liberal-market oriented.

Sudar D Atmanto Wakil Direktur LP3ES

Tidak ada komentar: