Minggu, 07 Juni 2009

Patafisika Politik

Yasraf Amir Piliang

Beberapa hari ke depan, iklim politik di atas tubuh bangsa kembali diramaikan gemerlap citra politik, mengiringi hiruk pikuk kampanye pemilihan umum presiden yang makin dekat.

Citra-citra itu mungkin menggoda, menghipnotis, bahkan meneror perhatian dan kesadaran melalui aneka media: koran, televisi, handphone, internet, dan Facebook. Citra yang semula merupakan cara komunikasi politik, mungkin akan menjadi ”roh” politik itu sendiri. Citra politik seakan menjadi pilar arsitektur politik, yang tanpanya tak ada kekuatan politik.

Panggung politik menjelma menjadi ”panggung citra” dengan peran citra yang kian dominan dalam membangun kekuatan politik. Dominasi citra macam ini dapat dilihat sebagai peralihan dari ”politik fisik” (physical politics) ke arah ”politik citra” (politics of image). Pengerahan kekuatan fisik (massa, alat, senjata) yang menjadi ciri politik masa lalu kini diambil alih oleh pengerahan ”kekuatan citra”. Tubuh politik yang sebelumnya digerakkan ”mesin konkret” (concrete machine) kini bersandar pada kekuatan ”mesin semiotik” (semiotic machine).

Fisika politik

Politik adalah upaya sistematis-pragmatis mendapatkan ”kekuasaan”, dengan mengerahkan segala ”kekuatan”, baik kekuatan material, modal, ekonomi, sosial, kultural, simbolik, bahasa spiritual, bahkan mistik. Tetapi, pada tingkat rasionalitas tertentu, politik lebih merayakan kekuatan fisik-konkret-material (individu, kelompok, massa, teknologi, infrastruktur), dengan menolak segala kekuatan ”irasional” (mistik, ketuhanan).

Relasi kekuatan politik macam ini disebut John Protevi dalam Political Physics (2002) sebagai ”fisika politik” (political physics). Tubuh politik dibangun oleh totalitas kekuatan—dalam aneka skala: perorangan, keluarga, kelompok, partai, geng, korporasi, sekte, bangsa; aneka jenis: kekuatan konstituen, kekuatan modal (dana, infrastruktur), kekuatan paramiliter (sayap partai), kekuatan geng (premanisme), kekuatan umat (partai berbasis agama), kekuatan militer (Orde Baru), kekuatan teknologi (negara adidaya)—yang semuanya dikerahkan membangun kekuasaan politik.

Totalitas kekuatan fisik, tubuh, dan material inilah yang disebut Felix Guattari dalam Molecular Revolution (1984) sebagai ”mesin konkret” (concrete machine). Aneka ”mesin konkret politik” (mesin massa, mesin perang, mesin ekonomi, mesin industri, mesin uang) dikerahkan sebagai cara mendapatkan kekuasaan. Pengerahan massa, pawai kampanye, money politics, hadiah (kaus, topi, jaket), bantuan sosial (pembangunan jalan, masjid, sekolah), dapat dilihat sebagai elemen ”mesin konkret politik” dalam membangun kekuasaan.

Namun, tubuh politik bangsa juga dibangun oleh kekuatan ”metafisika politik” (political metaphysics), yaitu segala kekuatan ”melampaui fisik”: mistik, paranormal, kekuatan gaib, arwah leluhur, wangsit, jin, gunung, kuburan, yang dianggap dapat menganugerahkan kekuasaan. Di sini, tafsir nomor urut pemilihan umum oleh capres-cawapres sebagai ”tanda kemenangan”, ”angka Tuhan” atau ”angka berkah” menunjukkan hidupnya ”metafisika politik” dalam panggung politik bangsa.

Patafisika politik

Perkembangan politik abad virtual telah menciptakan watak politik, yang tidak lagi didominasi kekuatan fisik dan metafisik, tetapi ”kekuatan citra”. Inilah politik yang menjadikan seduksi imagologis sebagai pilar kekuasaan, bukan kekuatan riil individu dan kelompok. Citra yang awalnya menjadi ”medium” untuk penyampaian ”pesan”, kini malah menjadi pesan itu sendiri. Citra politik seakan-akan menjadi bagian dari ”tubuh politik”, yang tanpanya tidak ada kekuatan politik.

Dunia politik yang didominasi kekuatan citra disebut Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1981) sebagai dunia ”patafisika” (pataphysics). Melemahnya kekuatan fisik dan metafisik menjadikan ”mesin citra” sebagai mesin penggerak utama politik. Citra-citra politik tak saja muncul dalam intensitas tinggi, tetapi juga sarat manipulasi, seduksi, dan ilusi. Citra-citra itu berpretensi seakan lukisan realitas, padahal sebuah ”topeng” untuk menutupi ”ketiadaan realitas”.

”Patafisika politik” membawa pada sebuah ”absurditas politik” di mana penyelewengan realitas melalui ”citra realitas” merupakan sebuah cara kerja politik yang dianggap legitimated. Dominasi citra atas realitas menggiring pada ”derealisasi politik” (derealisation of politic) di mana kekuatan politik dibangun bukan oleh relasi-relasi konkret, riil, dan substansial pada tingkat realitas sosial harian, tetapi oleh ”kekuatan citra manipulatif” pada tingkat semiotik. ”Semiotika politik” kini mengambil alih ”sosiologi politik”.

Dalam perayaan politik citra, ”kekuatan citra” mengooptasi ”kekuatan demos” (rakyat) itu sendiri karena demos kini hidup dalam bayang-bayang ”seduksi citra”. Kekuatan citra itu kini yang (diasumsikan) membentuk demos, bukan kekuatan dari dalam diri demos sendiri. Di sini ”demokrasi” (kekuasaan di tangan rakyat) mendapat makna baru sebagai ”imagokrasi” (imagocracy) di mana kekuasaan ada di tangan gemerlap citra dan pencitraan. ”Seduksi politik” lalu menggantikan ”program politik”.

Politik ilusi

Ketiga kekuatan yang dikembangkan dalam arsitektur politik bangsa—fisika, metafisika, dan patafisika—bermuara pada hasrat akan kekuasaan, yaitu sepenuhnya memegang bola panas kekuasaan. Tetapi, ketiga kekuatan itu tidak merupakan lukisan real politic karena ketiganya dibangun bukan oleh kekuatan realitas, tetapi oleh ”ilusi-ilusi”, baik yang berkarakter fisik, metafisik, maupun patafisik. Bangunan tubuh politik dengan demikian dibangun oleh ”kekuatan ilusi” ini.

Tampaknya, beberapa hari ke depan ruang politik akan didominasi kekuatan ”patafisika politik” meski secara sporadis diwarnai unjuk fisik dan metafisik. Politik yang didominasi permainan citra akan menjadi ”fantasmagoria politik” (phantasmagoria), yaitu ilusi-ilusi politik yang membombardir ruang-ruang kesadaran dan perhatian masyarakat melalui seduksi politik. Dalam jagat seduksi politik, beberapa hari ke depan, pakaian, gaya rambut, gaya berbicara, gesture, dan body language capres-cawapres menjadi amat penting dalam membangun kekuasaan politik.

Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, ITB; Direktur YAP Institute

Tidak ada komentar: