Minggu, 14 Juni 2009

Satu Dasawarsa Politik dan Kebijakan LN RI


afp/stringer
Sejumlah warga berdoa di pagoda Swhe Dagon, Yangon, Myanmar, Kamis, 4 Juni, untuk pembebasan Aung San Suu Kyi dari status tahanan rumah. Suu Kyi juga menjadi tantangan RI dalam kaitannya dengan isu demokratisasi di kawasan ASEAN.

Rakaryan Sukarjaputra

Satu dasawarsa setelah memasuki era baru pasca-Soeharto, politik luar negeri Indonesia dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Tatanan dunia baru yang terus berproses menuntut politik luar negeri kita melakukan berbagai penyesuaian.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 antara lain disebutkan bahwa, ”Bagi Indonesia, sebagai negara yang baru membangun demokrasi, pilihan kebijakan luar negeri (LN) tidak lagi semata-mata menyangkut perspektif luar negeri yang berdiri sendiri. Pertautan dinamika internasional dan domestik cenderung makin mewarnai proses penentuan kebijakan luar negeri. Walaupun demikian, satu prinsip yang tetap tidak boleh diabaikan adalah seluruh proses perumusan kebijakan luar negeri ditujukan bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai bidang.”

Ditambahkan juga, dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berorientasi kepada kepentingan nasional, Indonesia berupaya memperkuat kelembagaan regional di tengah kecenderungan menguatnya unilateralisme.

Sebagai UU, hal-hal yang tercantum di dalam UU tersebut tentu harus menjadi pegangan bagi siapa pun yang memerintah, siapa pun yang menjadi menteri luar negeri. Sayangnya, berbagai perkembangan terbaru dalam ranah politik internasional, khususnya pergantian presiden di negara adidaya Amerika Serikat (AS), membuat asumsi mengenai kecenderungan menguatnya unilateralisme perlu dipertanyakan kembali.

Dalam arahan UU itu juga disebutkan dasar kebijakan politik luar negeri Indonesia, yaitu menumbuhkan penguatan citra Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan aspirasi umat Islam dengan upaya konsolidasi demokrasi, memberi perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, meningkatkan penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif, dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan hak-hak dasar warga negara secara konsisten.

Lima tantangan

Untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar negeri kita itu, pakar masalah luar negeri dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Rizal Sukma, dalam seminar nasional bertema ”Refleksi dan Proyeksi Satu Dasawarsa Politik Luar Negeri Indonesia” di Kampus FISIP UI Depok, belum lama ini, menyebutkan ada lima tantangan yang harus diperhatikan dengan mendalam.

Pertama, meskipun transformasi global sedang terjadi, pada saat yang sama kita juga menyaksikan masih adanya persistensi dari tatanan yang lama. Di satu pihak dunia ini sudah berubah ke struktur nonpolar atau oleh Farid Zakaria disebut dengan post-American world. Dalam struktur internasional seperti ini, kekuatan tidak hanya terbagi di antara beberapa negara besar, tetapi terbagi hampir di semua aktor, bukan hanya aktor negara, tetapi juga yang non-negara sehingga sulit untuk menentukan siapa yang menjadi kekuatan hegemon dalam konteks itu.

”Akan tetapi, hal ini juga bukan berarti memudarnya AS. AS masih mempunyai kekuatan yang sangat besar, proyeksinya 30-40 tahun akan tetap menjadi negara yang sangat kuat, tetapi pada saat yang sama negara-negara lain pun akan terus berjuang menjadi sama kuat dengan AS,” papar Rizal.

Transformasi global itu juga tercermin dari adanya perdebatan atau pergeseran dari Konsensus Washington yang menjadi landasan bagi tatanan ekonomi internasional, ke arah yang kita belum tahu apakah bentuk yang baru itu merupakan bentuk yang disempurnakan dengan berbagai penyesuaiannya ataukah apa yang disebut Konsensus Beijing.

Kedua, jika dulu semua harus diputuskan oleh G-8, sekarang ada dorongan menuju perluasan pemain global karena berbagai persoalan tidak bisa diselesaikan hanya oleh G-8. ”Saya kira G-20 akan semakin penting. Saya kira pergeseran dari G-8 ke G-20 akan menjadi tren di masa yang akan datang. Akan tetapi, pada saat yang sama struktur keamanan masih P-5, tetap sama saja di Dewan Keamanan PBB. Jadi persistensi dari tatanan lama itu memang masih ada,” ungkap Rizal.

Ketiga, di kawasan sekitar kita sedang terjadi sebuah pergeseran kekuatan yang cukup dramatis. Karakteristiknya adalah ekspansi mandala regional, dari yang semula orang berbicara mengenai lingkup Asia Timur, sekarang melebar ke Asia Pasifik. Ekspansi dari mandala regional itu ditandai juga dengan adanya pergeseran di dalam empat kekuatan besar dan adanya kebijakan-kebijakan baru dari mereka. Yaitu kebangkitan China, datangnya India, bergabungnya kembali AS sejak Obama memerintah karena pemerintahannya menjadikan Asia sebagai prioritas politik luar negeri AS, dan revitalisasi peran Jepang khususnya di bidang keamanan.

”Pergeseran kekuatan itu akan melahirkan tatanan regional yang akan membuat Indonesia bingung. Terutama akibat adanya kemungkinan konflik, kemungkinan ketegangan, tetapi pada saat yang sama mereka juga membutuhkan kerja sama,” papar Rizal.

Keempat, pakar CSIS itu menguraikan, empat negara besar (Jepang, China, India, AS) saat ini semuanya melakukan strategi hedging, yaitu bagaimana sebuah hubungan dikelola meskipun berusaha untuk mengeksploitasi aspek-aspek positif, tetapi pada saat yang sama dia juga mengantisipasi efek-efek negatifnya. Padahal, untuk bisa membuat kerja sama yang lebih dalam, dia harus memilih salah satu. Jadi, pola hubungan yang kompetitif dan kooperatif pada saat yang sama itu akan melahirkan kemacetan dalam hubungan keempat negara itu.

ASEAN ditinggalkan

Kelima, negara-negara besar itu selama ini mengandalkan ASEAN yang ditempatkan sebagai regional manajer melalui berbagai forumnya. Kalau ASEAN dilihat sudah tidak cukup lagi untuk digunakan, khususnya pascakegagalan pertemuan puncak di Pattaya (April 2009), maka akan terjadi penyelarasan (realignment).

”Suka atau tidak suka, terutama pasca-Pattaya, ASEAN semakin kehilangan relevansinya dan semakin tidak begitu penting di mata negara-negara besar. Negara-negara besar akan tiba pada satu kesimpulan, mengapa harus pergi ke ASEAN yang merupakan negara-negara lemah dan menyelenggarakan pertemuan puncak saja tidak sanggup. Ini membuat citra ASEAN buruk sekali di mata China, Korsel, dan Jepang. Saya khawatir 10-15 tahun yang akan datang dan ini sudah terlihat prosesnya, akan dibentuk pembagian kekuasaan di antara negara-negara besar. Kalau itu terjadi, lupakanlah kebijakan politik luar negeri bebas-aktif itu, lupakan ASEAN. ASEAN akan pecah, sebagian menggelayut kepada China, sebagian memilih Jepang, sebagian bingung kayak kita. Ini yang akan terjadi,” kata Rizal.

Pakar CSIS itu menyarankan agar ASEAN tidak diperlakukan lagi sebagai saka guru politik luar negeri Indonesia. Pemahaman kepentingan berdasarkan lingkaran konsentris yang berdimensi geografis pun sudah harus diganti. ”Tidak perlu kita mengistimewakan ASEAN dengan istilah saka guru. Seolah tanpa ada ASEAN maka bubarlah politik luar negeri. Tinggalkan konsep lama itu dan perlakukan ASEAN sebagai salah satu forum saja yang memang tetap memiliki arti penting untuk menciptakan hubungan saling bertetangga yang baik di Asia Tenggara. Oleh karena kalau saka guru, kita ini terus-menerus kompromi dengan negara-negara anggota yang baru yang sangat konservatif,” papar Rizal.

Guru besar Politik Ilmu Politik Internasional Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mempertanyakan apakah Indonesia mempunyai visi yang jelas dalam politik luar negerinya. Dia mencontohkan China yang konsisten membangun dari 1979 sampai 2009.

”Sejarah bangsa China dari 1840-an sampai 1940-an itu yang mereka sebut dengan abad dipermalukan. Mereka diperlakukan secara tidak adil oleh kekuatan besar. Macao diambil Portugal, Hongkong diambil Inggris, dan mereka mendapatkan perlakuan kejam dari Jepang. Dan, mulailah dari 1989-2050 mereka mau ubah itu menjadi abad kemenangan. Dan, sudah mulai kelihatan saat ini. Itu yang saya pikir kenapa kita tidak bisa setelah menghabiskan waktu dan energi dalam kurang lebih 60 tahun,” ungkapnya.

Tidak ada komentar: